Banyak penguasa gagah, memiliki peran besar, dan nampak berwibawa di hadapan rakyatnya. Rakyat menggantungkan harapannya kepada sang penguasa. Tetapi, kegagahan, peran yang besar, dan wibawanya, justru menjadi malapetaka.
Kehidupan menjadi carut-marut. Rakyat menjadi pupus harapannya. Kehidupan dipenuhi dengan kezaliman, fitnah, serta musibah yang tak pernah henti. Semua keadaan yang ada itu, ada faktor yang menyebabkan, siapakah itu... tak lain sang ‘isteri’.
Pragmen yang pendek diatas terjadi di masa lalu, dan juga di masa kini. Banyak penguasa yang berkuasa, tetapi hakekatnya, dia tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Peran dan wibawanya yang demikian besar, dan yang nampak di mata rakyatnya, tetapi sejatinya dia tidak memiliki peran dan wibawa di depan sang’isteri’. Karena, dia hanyalah menjadi pelayan sang ‘isteri’. Justru kekuasaan, kewenangan, keputusan, dan perintah, semuanya bukan datang dari dirinya, tetapi berada ditangan sang ‘isteri’.
Penguasa yang sangat gagah dan berwibawa, serta nampak berkuasa itu, hanya dapat mengatakan ‘siap’ di depan sang ‘isteri’. Dia hanya menjadi seorang ‘abdi’ yang patuh dari sang ‘isteri’. Inilah yang banyak menyebabkan terjadinya malapetaka di masa lalu, dan di masa kini.
Sejarah yang kelam itu, tak lain, karena seorang pemimpin, seorang laki-laki tidak memiliki sifat ‘qawwam’, dan tidak dapat menjadi pemimpin dan tauladan. Sehingga, akhirnya harus menjadi pengikut dan pelaksana dari titah sang ‘isteri’.
Tapi, bayangkan dan bandingkan, ada seorang laki-laki di generasi salaf, yang waktu masih menjadi Gubernur di Madinah, kaya raya, tampan, tegap dan perkasa, serta selalu menarik perhatian. Bukan karena kekayaannya, ketampanannya, dan bentuk tumbuhnya, tetapi laki-laki itu, benar-benar memiliki kepasrahan yang sempurna terhadap Rabbnya.
Maka, ketika mendapatkan kekuasaan, yang sangat besar, justru laki-laki yang kaya raya, dan tampan itu, seketika berubah, badannya menjadi sangat kurus, rambutnya memutih, raut wajahnya memucat. Ke mana semua penampilan yang pernah dimilikinya dahulu itu?
Shahabatnya yang bernama Ibnu Kha’ab, sangat terheran-heran melihat keadaan shahabatnya, yang sekarang menjadi penguasa, dan dengan kekuasaannya sedemikian luas, tapi melihat kondisinya sangat tidak pantas. “Kemana penampilan diri anda yang mempesona dahulu?”, ucap Kha’ab.
Lalu, apa jawaban shahabatnya itu, “Wahai Ibnu Kha’ab. Anda akan lebih heran lagi, bila kelak melihat diriku nanti setelah terkubur dalam tanah. Mataku akan copot dari tempatnya, dan ulat-ulat akan berkeliaran di mulut dan tenggorokanku”, jawabnya.
Ya, wajah yang tampan dan tubuh yang tegap perkasa itu telah berubah, karena terpaan tanggung jawabnya yang sedemikian besar.
Lelaki yang memiliki kekuasaan yang demikian besar dan luas, mulai dari Bagdad sampai ke Maghribi itu, suatu hari, di awal jabatannya sebagai penguasa, dipanggilnya isterinya, lalu dihadapkan pada kenyataan yang harus mereka hadapi.
Lelaki itu dengan lemah lembut, disampaikannyalah bahwa sebagai seorang suami, ia sudah tak ada harganya lagi. Beban yang harus dipikulnya demikian berat, hingga tak ada lagi waktu yang tersisa untuk keperluan-keperluan lainnya. Kemudian, diserahkanlah kepada isteri yang dicintainya itu, hak sepenuhnya untuk memilih jalan hidup dan menentukan hari depannya.
Dan, wanita yang menjadi isterinya itu, namanya akan tetap terukir dengan gemerlapan sepanjang lembaran sejarah. Kita senantiasa akan menyampaikan hormat dan takzim kepadanya, yakni hormat dan takzim yang sepantasnya.
Wanita itu mendapingi suaminya memasuki kehidupan yang amat berat,yakni menyelesaikan tugas dan tanggung jawab. Ia sama sekali tak pernah mengeluh tatkala perutnya terasa sangat lapar, dan tulang-tulangya terasa nyeri, karena lelah bekerja, selain hanya mengatakan :
“Wahai, alangkah bedanya kehidupan kami sebelum dan sesudah menjadi khalifah, bagaikan timur dengan barat”, ucapnya. “Demi Allah, kami belum pernah menikmati kegimbaraan semenjak kami menduduki jabatan ini”, tambahnya. Wanita itu bertekad bulat untuk menerjunkan diri bersama suaminya dalam tanggungjawabnya yang besar itu.
Kini, lenyaplah segalanya dari sisi permaisuri itu. Padahal, sebelumnya ia adalah puteri seorang khalifah dan merupakan saudara khalifah, yang segala kenikamatan hidup tersedia baginya. Sutera dewangga, intan permata, emas dan perak, serta berbagai harta kekayaan lainnya.
Dan, tinggallah kini kain dua lembar baju kasar. Karena khalifah telah menyuruh semua kekayaannya dijual, termasuk kekayaan isterinya, kekayaan anak-anaknya. Semua uang hasil penjualannya diserahkannya kepada Baitul Mal milik kaum muslimin. Kini, ia bersama isteri, dan anak-anaknya hanya makan roti kering yang diolesi minyak atau dicampur dengan sedikit bumbu. Hingga, wanita yang amat cantik, isterinya itu, berubah menjadi wanita yang kuyu, pucat, lunglai dan menjadi lebih tua.
Sekali waktu, laki-laki-suaminya itu, masuk ke dalam kamarnya. Didapatinya isterinya sedang menambal pakaiannya yang usang sambil duduk bersimpuh diatas tikar. Dipegangnya pundak isterinya, dan bergurau : “Isteriku, alangkah nikmatnya malam-malam yang kita lalui di Istana Dabiq dulu, jauh lebih menyenangkan dari malam-malam seperti sekarang ini ..” ucap suaminya. Maksudnya, sebelum ia menjadi seorang khalifah.
Dengan penuh kesungguhan isterinya, menyatakan, “Demi Allah, padahal waktu itu, suamiku, engkau tidak lebih mampu dari waktu sekarang ini...” ucap isterinya lirih.
Mendengar ucapan isterinya itu, laki-laki itu menjadi muram, air matanya mengalir, “Wahai isteriku... aku takut terhadap siksa Rabbku, jika mendurhakai-Nya, yakni suatu hari yang amat dahsyat … yaitu di hari kiamat”, tegasnya.
Itulah sekelumit kisah laki-laki dan isterinya, yang tak lain, Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan isterinya, Fatimah. Wallahu’alam.
Dicopy dari Catatan Facebook seorang sahabat (Zulkarnain Ahmad on Wednesday, November 10, 2010 at 12:44pm)
No comments:
Post a Comment