Wednesday, December 30, 2009

Siapa yang Tak Mati?

Suatu ketika ada seorang janda yang sangat berduka karena anak satu-satunya meninggal dunia. Sembari membawa jenazah anaknya, wanita ini menghadap Sang Guru untuk meminta mantra atau ramuan sakti yang bisa menghidupkan kembali anaknya.

Sang Guru mengamati bahwa wanita di hadapannya ini tengah tenggelam dalam kesedihan yang sangat mendalam, bahkan sesekali ia meratap histeris.

Alih-alih memberinya kata-kata penghiburan atau penjelasan yang dirasa masuk akal, Sang Guru berujar:

"Aku akan menghidupkan kembali anakmu, tapi aku membutuhkan sebutir biji lada."

"Itu saja syaratnya?" tanya wanita itu dengan keheranan.

"Oh, ya, biji lada itu harus berasal dari rumah yang anggota penghuninya belum pernah ada yang mati."

Dengan ‘semangat 45’ wanita itu langsung beranjak dari tempat itu, hatinya sangat antusias, "Guru ini memang sakti dan baik sekali, dia akan menghidupkan anakku!"

Dia mendatangi sebuah rumah, mengetuk pintunya, dan bertanya: "Tolonglah saya. Saya sangat membutuhkan satu butir biji lada. Maukah Anda memberikannya?" "Oh, boleh saja," jawab tuan rumah. "Anda baik sekali Tuan, tapi maaf, apakah anggota rumah ini belum pernah ada yang mati?" "Oh, ada, paman kami meninggal tahun lalu." Wanita itu segera berpamitan karena dia tahu bahwa ini bukan rumah yang tepat untuk meminta biji lada yang dibutuhkannya.

Ia mengetuk rumah-rumah berikutnya, semua penghuni rumah dengan senang hati bersedia memberikan biji lada untuknya, tetapi ternyata tak satu pun rumah yang terhindar dari peristiwa kematian sanak saudaranya. "Ayah kami barusan wafat...," "Kakek kami sudah meninggal...," "Ipar kami tewas dalam kecelakaan minggu lalu...," dan sebagainya.

Ke mana pun dia pergi, dari gubuk sampai istana, tak satu tempat pun yang memenuhi syarat tidak pernah kehilangan anggotanya. Dia malah terlibat dalam mendengarkan cerita duka orang lain. Berangsur-angsur dia menyadari bahwa dia tidak sendirian dalam penderitaan ini. Tak seorang pun yang terlepas dari penderitaan.

Pada penghujung hari, wanita ini kembali menghadap Sang Guru dalam keadaan batin yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Dia mengucap lirih, "Guru, saya akan menguburkan anak saya." Sang Guru hanya mengangguk seraya tersenyum lembut.

Mungkin saja Sang Guru bisa mengerahkan kesaktian dan menghidupkan kembali anak yang telah mati itu, tetapi kalau pun bisa demikian, apa hikmahnya?

Bukankah anak tersebut suatu hari akan mati lagi juga?

Alih-alih berbuat demikian Sang Guru membuat wanita yang tengah berduka itu mengalami pembelajaran langsung dan menyadari suatu kenyataan hidup yang tak terelakkan bagi siapa pun: Siapa yang tak mati?

DI POSTING OLEH ARDIPUTRA

Masih Ada Bis Lain

Pada suatu malam yang dingin dan hujan, saya sedang menunggu bis. Saya melihat seorang perempuan tua turun dari sebuah bis dan kemudian berjalan perlahan ke tempat pemberhentian bis. Setelah berdiam beberapa saat dia berbicara kepada saya. "Malam yang buruk, ya? Tapi saya harap saya tidak perlu menunggu terlalu lama." Dengan sedikit ingin tahu, saya bertanya tentang bis mana yang ia tunggu.

Ketika ia memberi tahu, saya berkata, "Lho, Anda baru saja turun dari bis sebelum tempat yang anda tuju?" "Begini..” katanya terbata-bata dengan sedikit malu, "di bis tadi ada seorang pemuda cacat. Tak seorang pun menawarkan tempat duduk kepadanya, dan saya tahu bahwa dia akan merasa malu kalau seorang ibu tua seperti saya berdiri untuknya. Karena itu saya berpura-pura sudah waktunya untuk turun dan saya membunyikan bel ketika ia sedang berada di sisi kursi saya. Dia tidak merasa malu, dan bagi saya – masih selalu ada bis lain."

Malaikat Penjaga

Suatu hari ada seorang bayi yang akan dilahirkan ke dunia. Sang bayi bertanya kepada Tuhan, "Para malaikat mengatakan bahwa besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tapi bagaimana cara saya hidup di sana, saya begitu kecil dan lemah?"

Tuhan menjawab "Saya telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu."

Sang bayi berkata "Tapi disini....., di Surga...., yang saya lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa. ini sudah cukup bagi saya untuk berbahagia."

Tuhan menjawab lagi "Malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari, dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya dan menjadi lebih bahagia."

Sang bayi bertanya lagi "Dan bagaimana saya bisa mengerti saat orang-orang berbicara kepadaku, saya tidak mengerti bahasa mereka?"

Tuhan menjawab "Malaikatmu akan berbicara kepadamu dengan bahasa yang paling indah yang pernah kamu dengar; dan dengan penuh kesabaran dan perhatian dia akan mengajarkan bagaimana kamu berbicara."

"Saya mendengar bahwa di bumi banyak orang jahat, siapa yang akan melindungi saya?"

"Malaikatmu akan melindungimu, walaupun hal itu mengancam jiwanya."

"Pasti saya akan merasa sedih karena tidak melihatMu lagi."

"Malaikatmu akan menceritakan kepadamu tentang Aku, dan akan mengajarkan kepadamu bagaimana agar kau bisa kembali kepadaKu, walapun sesungguhnya Aku selalu berada disisimu."

Saat itu Surga begitu tenangnya sehingga suara dari bumi dapat terdengar, dan sang anak bertanya perlahan kepada Tuhan, "Tuhan... jika saya harus berangkat sekarang, bisakah Engkau memberi tahu aku nama malaikat tersebut?" Jawab Tuhan "Kamu akan memanggil malaikatmu....Ibu..."

Hati Seekor Tikus

Seekor tikus merasa hidupnya sangat tertekan karena takut pada kucing. Ia lalu menemui seorang penyihir sakti untuk meminta tolong. Penyihir memenuhi keinginannya dan mengubah si tikus menjadi seekor kucing.

Namun setelah menjadi kucing, kini ia begitu ketakutan pada anjing. Kembali ia menemui penyihir sakti yang kemudian mengubahnya menjadi seekor anjing.

Tak lama setelah menjadi anjing, sekarang ia merasa ketakutan pada singa.

Sekali lagi penyihir sakti memenuhi keinginannya dan mengubahnya menjadi seekor singa.

Apa yang terjadi? Kini ia sangat ketakutan pada pemburu. Ia mendatangi lagi si penyihir sakti meminta agar diubah menjadi pemburu. Kali ini si penyihir sakti menolak keinginan itu sambil berkata,

"Selama kau masih berhati tikus, tak peduli bagaimana pun bentukmu, kau tetaplah seekor tikus yang pengecut."

Berita Terbaik

Suatu ketika Roberto De Vincenzo, seorang pemain golf Argentina yang terkenal itu memenangkan sebuah turnamen golf profesional yang berhadiah uang dalam jumlah besar. Setelah menerima hadiahnya dengan penuh senyum di depan kamera para wartawan ia bergegas berjalan menuju club house dan bersiap-siap untuk pulang.

Saat berjalan menuju mobilnya, ia dihampiri oleh seorang wanita. Dan wanita itu memberikan salam ucapan selamat kepadanya atas kemenangan yang ia raih seraya mengatakan kepadanya bahwa bayinya tengah mengalami sakit keras dan kondisinya sekarat, "Saya tak tahu harus bagaimana, karena saya sama sekali tak punya biaya untuk berobat ke dokter." kata wanita itu dengan wajah memelas.

Vincenzo sangat tersentuh melihat wanita malang itu dan segera mengeluarkan check dan pena untuk menuliskan selembar check dengan nilai yang tidak sedikit untuk diberikan kepada wanita itu. "Segera bawa anakmu berobat ke rumah sakit, kalau perlu opname dan pastikan dia benar-benar sembuh." kata Vincenzo dengan penuh simpatik. Wanita itu memegang erat tangan Vincenzo dan beberapa kali membungkuk penuh rasa terima kasih sebelum pergi meninggalkan pegolf yang murah hati itu.

Minggu berikutnya dalam suatu acara makan siang di sebuah country club, rekan Vincenso yang juga seorang pejabat asosiasi golf professional mendatangi mejanya dan duduk bersamanya, kemudian bertanya "Vincenzo, minggu lalu anda memberikan check kepada seorang wanita?" Vincenzo mengangguk sambil meneguk juice apelnya.

"Seorang tukang parkir yang melihat anda memberikan check kepada wanita itu mengatakan pada saya bahwa wanita itu telah menipumu kawan, anaknya tidak sedang sakit apalagi sekarat." kata orang itu menjelaskan. Kali ini Vincenzo tediam sejenak dan bertanya serius, "Sungguh? Tidak ada anak yang sekarat?" "Benar…" tegasnya. "Syukurlah kalau begitu, saya rasa itu adalah berita terbaik yang saya dengar dalam minggu ini." jawab Vincenzo.

Tuesday, December 29, 2009

Wanita Sempurna

Ini kisah perjumpaan dua orang sahabat yang sudah puluhan tahun terpisahkan hidupnya. Mereka kangen-kangenan, ngobrol ramai sambil minum kopi di sebuah kafe. Awalnya topik yang dibicarakan adalah soal-soal nostalgia zaman sekolah dulu, namun pada akhirnya menyangkut kehidupan mereka sekarang ini.

“Ngomong-ngomong, mengapa sampai sekarang kamu belum juga menikah?” ujar seorang kepada temannya yang sampai sekarang membujang.

“Sejujurnya sampai saat ini saya terus mencari wanita yang sempurna. Itulah sebabnya saya masih melajang. Dulu di sydney, saya berjumpa dengan seorang gadis cantik yang amat pintar. Saya pikir inilah wanita ideal yang cocok untuk menjadi istriku. Namun ternyata di masa pacaran ketahuan bahwa ia sangat sombong. Hubungan kami putus sampai di situ.”

“Di Brisbane, saya ketemu seorang wanita rupawan yang ramah dan dermawan. Pada perjumpaan pertama, aku kasmaran. Hatiku berdesir kencang, inilah wanita idealku. Namun ternyata belakangan saya ketahui, ia banyak tingkah dan tidak bertanggung jawab.”

“Saya terus berupaya mencari. Namun selalu saya temukan kelemahan dan kekurangan pada wanita yang saya taksir. Sampai pada suatu hari, saya bersua wanita ideal yang selama ini saya dambakan. Ia demikian cantik, pintar, baik hati, dermawan, dan suka humor. Saya pikir, inilah pendamping hidup yang dikirim Tuhan.”

“Lantas,” sergah temannya yang dari tadi tekun mendengarkan, “Apa yang terjadi? Mengapa kau tidak segera meminangnya?” Yang ditanya diam sejenak. Suasana hening.

Akhirnya dengan suara lirih, sang bujangan menjawab, “Baru belakangan aku ketahui bahwa ia juga sedang mencari pria yang sempurna.”

Untuk direnungkan: Get the point?? Nobody’s perfect, dear… even yourself.

Di Sini Jual Ikan Segar

Seseorang mulai berjualan ikan segar di pasar. Ia memasang papan pengumuman bertuliskan ”DI SINI JUAL IKAN SEGAR”. Tidak lama kemudian datanglah seorang pengunjung yang menanyakan tentang tulisannya.

“Mengapa kau tuliskan kata: DI SINI? Bukankah semua orang sudah tahu kalau kau berjualan DI SINI, bukan DI SANA?”

“Benar juga!” pikir si penjual ikan, lalu dihapusnya kata “DI SINI” dan tinggallah tulisan “JUAL IKAN SEGAR”.

Tidak lama kemudian datang pengunjung kedua yang juga menanyakan tulisannya.

“Mengapa kau pakai kata SEGAR? Bukankah semua orang sudah tahu kalau yang kau jual adalah ikan segar, bukan ikan busuk?"

“Benar juga.” pikir si penjual ikan, lalu dihapusnya kata “SEGAR” dan tinggallah tulisan “JUAL IKAN”.

Sesaat kemudian datanglah pengunjung ke tiga yang juga menanyakan tulisannya : “Mengapa kau tulis kata JUAL? Bukankah semua orang sudah tahu kalau ikan ini untuk dijual, bukan dipamerkan?"

Benar juga pikir si penjual ikan, lalu dihapusnya kata JUAL dan tinggallah tulisan “IKAN”.

Selang beberapa waktu kemudian, datang pengunjung ke 4, yang juga menanyakan tulisannya: “Mengapa kau tulis kata IKAN? Bukankah semua orang sudah tahu kalau ini Ikan bukan Daging?"

“Benar juga” pikir si penjual ikan, lalu diturunkannya papan pengumuman itu. Dan setelah itu, tidak pernah ada pengunjung lagi yang datang membeli ikan di kiosnya.

Renungan:
Bila kita ingin memuaskan semua orang, kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Be yourself!

Bakar Kapal Anda

Thoriq bin Ziyad adalah penakluk Spanyol. Kisah penaklukannya bisa kita jadikan suri tauladan yang sangat bagus. Penaklukan Spanyol diawali pada Senin, 3 Mei 711. Saat itu Thoriq bin Ziyad membawa serta 7.000 anggota pasukan dengan armada kapalnya menyeberangi selat yang membelah benua Afrika dan Eropa. Setelah mendarat, Thoriq mengumpulkan seluruh anggota pasukannya di sebuah bukit karang yang kini dikenal sebagai “Gibraltar” (Jabal Thoriq = Bukit Thoriq). Dari bukit karang inilah Thoriq bin Ziyad memerintahkan pasukannya membakar seluruh armada kapal yang baru saja mereka gunakan menyeberangi selat Afrika – Eropa.

Sang Panglima gagah berani ini pun memberi pengarahan kepada seluruh anggota pasukannya, “Wahai seluruh pasukan, ke mana lagi kalian lari? Di belakang kalian laut, dan di depan kalian adalah musuh. Demi Allah, satu-satunya milik kalian saat ini hanyalah kejujuran dan kesabaran. Musuh dengan jumlah besar dan persenjataan lengkap telah siap menyongsong kalian. Sementara senjata kalian adalah pedang.”

Ya, Thoriq bin Ziyad melakukan perbuatan yang tidak umum. Membakar kapal. Cara itu dipilih Thoriq bin Ziyad dengan maksud agar pasukannya tidak lari dari medan tempur. Pasukan yang hanya berjumlah 7.000 itu ternyata mampu mengalahkan seratus ribu pasukan Raja Roderic, raja terakhir Hispania (sekarang Iberia) yang berasal dari bangsa Visigoth, yang terkenal bengis dan kejam.

Cerita Thoriq bin Ziyad terulang kembali pada abad ke-16. Herman Cortez memimpin pasukan untuk menemukan tambang emas di wilayah Meksiko. Begitu sampai tujuan, pasukan yang dipimpin Herman Cortez mengalami demotivasi karena mendengar tentara di wilayah tambang emas itu terkenal sebagai tentara yang ganas, kejam dan bangga bila meninggal medan juang. Tentara musuh dikenal dengan nama tentara Aztec. Melihat gelagat pasukannya, Herman Cortez dan pasukannya yang setia membakar kapal yang telah membawa pasukannya.

Membakar kapal, seperti yang dilakukan Thoriq bin Ziyad dan Herman Cortez mengandung banyak makna.

Pertama, bila ingin memenangkan persaingan dalam kehidupan jangan pernah punya rencana untuk ‘lari dari gelanggang’. Seberat apa pun problemnya, persainan dan tantangan, semua itu harus kita hadapi. Ingatlah pepatah yang mengatakan “pelaut ulung takkan lahir di laut yang tenang”. Orang-orang yang hebat takkan lahir dari sebuah situasi tanpa tantangan dan cobaan.

Kedua, jangan silau dengan kesuksesan masa lalu. Armada kapal yang dipimpin Thoriq bin Ziyad maupun Herman Cortez telah mampu mengantarkan mereka sampai di daratan Spanyol maupun Meksiko. Misi itu adalah misi yang luar biasa. Sebab ketika itu alat transportasi belumlah secanggih sekarang. Ketika ‘dunia’ yang dihadapi kemudian berubah menjadi daratan, Thoriq bin Ziyad maupun Herman Cortez tak terlena mengagumi kapal-kapal laut yang telah menyeberangkan mereka.

Ketiga, singkirkan ‘comfort zone’. Bila kapal tetap ada, mental bertempur pasukan tentu akan lemah. Boleh jadi sebagian pasukan akan berpikir, “Ah bila terdesak, kita bisa kembali ke negeri kita dengan kapal ini. Tenang saja.” Kondisi seperti ini biasanya dialami oleh orang yang memiliki gaji tetap dan tidak ada peluang untuk dipecat.

Dunia berubah sangat cepat. Tantangan yang kita hadapi juga makin kompleks. Bila kita tak ingin dilindas jaman, segeralah ‘membakar kapal anda’. Lalu bertempur dan bersainglah secara ksatria. Ingatlah, jangan pernah lari dari pekerjaan yang menantang, kesuksesan masa lalu hanya sejarah, terlau lama di ‘comfort zone’ bisa menjerumuskan anda dalam kemalasan dan keengganan untuk berubah.

Sumber : Jamil Azzaini, Menyemai Impian Meraih Sukses Mulia

Buku Telepon

Suatu ketika di ruang kelas sekolah menengah, terlihat suatu percakapan yang menarik. Seorang guru, dengan buku di tangan, tampak menanyakan sesuatu kepada murid-muridnya di depan kelas. Sementara itu, dari mulutnya keluar sebuah pertanyaan. “Anak-anak, kita sudah hampir memasuki saat-saat terakhir bersekolah di sini. Setelah 3 tahun, pencapaian terbesar apa yang membuatmu bahagia? Adakah hal-hal besar yang kalian peroleh selama ini?”

Murid-murid tampak saling pandang. Terdengar suara lagi dari guru, “Ya, ceritakanlah satu hal terbesar yang terjadi dalam hidupmu...” Lagi-lagi semua murid saling pandang, hingga kemudian tangan guru itu menunjuk pada seorang murid. “Nah, kamu yang berkacamata, adakah hal besar yang kamu temui? Berbagilah dengan teman-temanmu...”

Sesaat, terlontar sebuah cerita dari si murid, “Seminggu yang lalu, adalah masa yang sangat besar buatku. Orangtuaku, baru saja membelikan sebuah motor, persis seperti yang aku impikan selama ini.” Matanya berbinar, tangannya tampak seperti sedang menunggang sesuatu. “Motor sport dengan lampu yang berkilat, pasti tak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaan itu!” Sang guru tersenyum. Tangannya menunjuk beberapa murid lainnya.

Maka,terdengarlah beragam cerita dari murid-murid yang hadir. Ada anak yang baru saja mendapatkan sebuah mobil. Ada pula yang baru dapat melewatkan liburan di luar negeri. Sementara, ada murid yang bercerita tentang keberhasilannya mendaki gunung. Semuanya bercerita tentang hal-hal besar yang mereka temui dan mereka dapatkan. Hampir semua telah bicara, hingga terdengar suara dari arah belakang.

“Pak Guru.. Pak, aku belum bercerita.” Rupanya, ada seorang anak di pojok kanan yang luput dipanggil. Matanya berbinar. Mata yang sama seperti saat anak-anak lainnya bercerita tentang kisah besar yang mereka punya.

“Maaf, silahkan... ayo berbagi dengan kami semua”, ujar Pak Guru kepada murid berambut lurus itu. “Apa hal terbesar yang kamu dapatkan?” Pak Guru mengulang pertanyaannya kembali. “Keberhasilan terbesar buatku, dan juga buat keluargaku adalah.. saat nama keluarga kami tercantum dalam buku telpon yang baru terbit 3 hari yang lalu.” Sesaat senyap. Tak sedetik, terdengar tawa-tawa kecil yang memenuhi ruangan kelas itu. Ada yang tersenyum simpul, terkikik-kikik, bahkan tertawa terbahak mendengar cerita itu.

Dari sudut kelas, ada yang berkomentar, “Ha? aku sudah sejak lahir menemukan nama keluargaku di buku telpon. Buku Telpon? Betapa menyedihkan... hahaha..” Dari sudut lain, ada pula yang menimpali, “Apa tak ada hal besar lain yang kamu dapat selain hal yang lumrah semacam itu?” Lagi-lagi terdengar derai-derai tawa kecil yang masih memenuhi ruangan. Pak Guru berusaha menengahi situasi ini, sambil mengangkat tangan. “Tenang sebentar anak-anak, kita belum mendengar cerita selanjutnya. Silahkan teruskan, Nak..."

Anak berambut lurus itu pun kembali angkat bicara. “Ya. Memang itulah kebahagiaan terbesar yang pernah aku dapatkan. Dulu, Ayahku bukanlah orang baik-baik. Karenanya, kami sering berpindah-pindah rumah. Kami tak pernah menetap, karena selalu merasa di kejar polisi.” Matanya tampak menerawang. Ada bias pantulan cermin dari kedua bola mata anak itu, dan ia melanjutkan. “Tapi, kini Ayah telah berubah. Dia telah mau menjadi Ayah yang baik buat keluargaku. Sayang..., semua itu butuh waktu dan usaha. Tak pernah ada Bank dan Yayasan yang mau memberikan pinjaman modal buat bekerja. Hingga setahun lalu, ada seseorang yang rela meminjamkan modal buat Ayahku. Dan kini, Ayah berhasil. Bukan hanya itu, Ayah juga membeli sebuah rumah kecil buat kami. Dan kami tak perlu berpindah-pindah lagi.”

“Tahukah kalian, apa artinya kalau nama keluargamu ada di buku telpon? Itu artinya, aku tak perlu lagi merasa takut setiap malam dibangunkan ayah untuk terus berlari. Itu artinya, aku tak perlu lagi kehilangan teman-teman yang aku sayangi. Itu juga berarti, aku tak harus tidur di dalam mobil setiap malam yang dingin. Dan itu artinya, aku, dan juga keluargaku, adalah sama derajatnya dengan keluarga-keluarga lainnya.”

Matanya kembali menerawang. Ada bulir bening yang mengalir. “Itu artinya, akan ada harapan-harapan baru yang aku dapatkan nanti...” Kelas terdiam. Pak Guru tersenyum haru. Murid-murid tertunduk. Mereka baru saja menyaksikan sebuah fragmen tentang kehidupan. Mereka juga baru saja mendapatkan hikmah tentang pencapaian besar, dan kebahagiaan. Mereka juga belajar satu hal : “Bersyukurlah dan berbesar hatilah setiap kali mendengar keberhasilan orang lain. Sekecil apapun. Sebesar apapun.”

Li-Li dan Ibu Mertuanya

Dulu sekali di negeri Cina, hiduplah seorang gadis bernama Li-Li yang menikah dan tinggal di wisma mertua indah. Dalam tempo singkat, Li-Li tahu bahwa ia tidak cocok sama sekali dengan ibu mertuanya. Karakter mereka jauh berbeda, dan Li-Li sangat berang terhadap banyak kebiasaan ibu mertuanya. Juga, mertuanya itu terus menerus mengritiknya.

Hari berganti hari, begitu pula bulan berganti bulan. Li-Li dan ibu mertuanya tidak pernah berhenti berdebat dan bertengkar. Yang memperburuk suasana ialah adat kuno Cina di mana Li-Li dituntut harus selalu menundukkan kepala untuk menghormati mertuanya dan mentaati semua kemauannya. Semua kemarahan dan ketidakbahagiaan di dalam rumah itu menyebabkan kesedihan yang mendalam pada hati suami Li-Li, seorang yang berjiwa sangat sederhana.

Akhirnya, Li-Li tidak bisa tahan lagi terhadap sifat buruk dan kesewenang-wenangan ibu mertuanya, dan ia benar-benar telah bertekad untuk melakukan sesuatu. Li-Li pergi menjumpai seorang teman ayahnya yaitu tuan Wang yang mempunyai Toko Obat Cina. Ia menceritakan situasinya dan minta diberikan ramuan racun untuk dapat menuntaskan masalahnya dalam sekali pukul.

Sinshe Wang berpikir keras sejenak dan akhirnya berkata: “Li-Li, saya mau membantu kamu menyelesaikan masalahmu, tetapi kamu harus mendengarkan saya dan mentaati apa yang saya sarankan.” Li-Li berkata, “OK pak Wang, saya akan mengikuti apa saja yang bapak katakan yang harus saya perbuat.”

Sinshe Wang masuk ke ruang belakang, dan kembali beberapa menit kemudian dengan sebungkus ramuan obat. Ia berkata kepada Li-Li, “Kamu tidak bisa memakai racun keras yang mematikan seketika untuk meyingkirkan ibu mertuamu, karena hal itu akan membuat semua orang menjadi curiga. Oleh karena itu, saya memberi kamu ramuan beberapa jenis tanaman obat yang secara perlahan-lahan akan menjadi racun di dalam tubuhnya. Setiap hari sediakan makanan yang enak-enak dan masukkan sedikit ramuan obat ini ke dalamnya. Maka, supaya tidak ada yang curiga saat ia mati nanti, kamu harus hati-hati sekali dan bersikap sangat bersahabat dengannya. Jangan berdebat dengannya, taati semua kehendaknya, dan perlakukan dia seperti seorang ratu.”

Li-Li sangat bahagia. Ia berterima kasih kepada tuan Wang dan buru-buru pulang ke rumah untuk memulai rencananya untuk membunuh ibu mertuanya.

Minggu demi minggu, bulan demi bulan telah lewat, dan setiap hari Li-Li melayani mertuanya dengan makanan yang sudah “dibumbuinya”. Ia mengingat semua petunjuk tuan Wang tentang hal mencegah kecurigaan, maka mengendalikan amarahnya, mentaati ibu mertuanya dan memperlakukannya seperti ibunya sendiri.

Setelah enam bulan lewat, suasana di dalam keluarga itu berubah secara drastis. Li-Li sudah mampu mempraktekkan pengendalian amarahnya sedemikian rupa sehingga ia menemukan dirinya tidak pernah lagi marah atau kesal.Ia tidak pernah berdebat dengan ibu mertuanya selama enam bulan terakhir karena ia menemukan bahwa ibu mertuanya kini tampaknya lebih ramah dan lebih mudah untuk diajak hidup bersama.

Sikap ibu mertua terhadap Li-Li telah berubah, dan ia mulai mencintai Li-Li seperti puterinya sendiri. Ia terus menceritakan kepada kawan-kawan dan sanak familinya bahwa Li-Li adalah menantu yang paling baik yang mungkin ia peroleh. Li-Li dan mertuanya saling memperlakukan satu sama lain seperti layaknya seorang ibu dan anak yang sesungguhnya. Suami Li-Li sangat bahagia menyaksikan semua yang terjadi ini.

Suatu hari, Li-Li pergi menjumpai sinshe Wang dan meminta bantuannya sekali lagi. Ia berkata, “Pak Wang yang baik, tolong saya untuk mencegah supaya racun yang saya berikan kepada ibu mertua saya jangan sampai membunuhnya! Ia telah berubah menjadi seorang wanita yang begitu baik, sehingga saya mencintainya seperti kepada ibu saya sendiri. Saya tidak mau ia sampai mati karena racun yang pernah saya berikan kepadanya.”

Tuan Wang tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Li-Li, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Saya tidak pernah memberi kamu racun. Ramuan yang saya berikan kepadamu itu hanyalah ramuan penguat badan untuk memperbaiki kondisi kesehatan beliau. Satu-satunya racun yang ada ialah yang terdapat di dalam pikiranmu sendiri dan di dalam sikapmu terhadapnya, tetapi semuanya itu telah disapu bersih dengan cinta yang kamu berikan kepadanya.”

* * * * *

Sadarkah anda bahwa sebagaimana anda memperlakukan orang lain maka demikianlah persis bagaimana mereka akan memperlakukan anda? Ada pepatah Cina kuno yang berkata: “Orang yang mencintai orang lain akan dicintai juga sebagai balasannya.” Tuhan mungkin mencoba bekerja di dalam kehidupan orang lain melalui anda.

* Teruskan artikel ini kepada sahabat-sahabat anda dan sebarkanlah kasih

Putus Asa

Pada suatu saat, Iblis mengiklankan bahwa ia akan mengobral perkakas-perkakas kerjanya. Pada hari H, seluruh perkakasnya dipajang untuk dilihat calon pembelinya, lengkap dengan harga jualnya. Seperti kalau kita masuk ke toko hardware, barang yang dijual sungguh menarik, dan semua barang kelihatan sangat berguna sesuai fungsinya. Harganyapun tidak mahal.

Barang yang dijual antara lain; Dengki, Iri, Tidak Jujur, Tidak Menghargai Orang Lain, Tak Tahu Terima Kasih, Malas, Dendam, dan lain-lainnya. Di suatu pojok display, ada satu perkakas yang bentuknya sederhana, sudah agak aus, tetapi harganya sangat tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan yang lain.

Salah satu calon pembeli bertanya, “Ini alat apa namanya?” Iblis menjawab: “Itu namanya Putus Asa” .”Kenapa harganya mahal sekali, padahal sudah aus?”.”Ya, karena perkakas ini sangat mudah dipakai dan berdaya guna tinggi. Saya bisa dengan mudah masuk ke dalam hati manusia dengan alat ini dibandingkan dengan alat lain. Begitu saya berhasil masuk ke dalam hati manusia, saya dengan sangat mudah melakukan apa saja yang saya inginkan terhadap manusia tersebut. Barang ini menjadi aus karena saya sering menggunakannya kepada hampir semua orang, karena kebanyakan manusia tidak tahu kalau Putus Asa itu milik saya.”

(http://planetmotivasi.wordpress.com/2009/05/23/putus-asa/#more-151)

Latar Belakang vs Masa Depan

Jika anda mengenal seorang wanita yang sedang hamil, yang telah mempunyai 8 anak, tiga diantaranya tuli, dua buta, satu mengalami gangguan mental dan wanita itu sendiri mengidap sipilis, apakah anda akan menyarankannya untuk menggugurkan kandungannya? Jika anda menjawab ya, maka anda baru saja membunuh salah satu komponis masyur dunia. Karena anak yang dikandung oleh sang ibu tersebut adalah Ludwig Van Beethoven.

Sekarang adalah waktunya untuk memilih seorang pemimpin dunia dan keputusan anda berpengaruh besar terhadap siapa yang akan menjadi pemenang. Berikut adalah fakta mengenai ketiga calon tersebut:

Calon A: dihubung-hubungkan dengan politisi jahat dan sering berkonsultasi dengan astrologis, punya dua istri muda, dia juga seorang perokok berat dan minum 8-10 botol martini setiap hari.

Calon B: dipecat dua kali dari kantor, selalu bangun sore hari, pernah menggunakan narkoba waktu kuliah dan minum wiski tiap sore.

Calon C: dianggap pahlawan perang, vegetarian, tidak merokok, hanya sesekali minum bir, tidak pernah berselingkuh diluar perkawinannya.

Siapa diantara ketiga calon ini yang akan anda pilih? Anda mungkin tidak akan menduga siapa sebenarnya calon-calon ini.

Calon A adalah Franklin D. Roosevelt
Calon B adalah Winston Churchill
Calon C adalah Adolf Hitler

Sekali lagi sejarah mengajarkan untuk tidak menilai orang dari penampilan.

Nilai Sebuah Kehidupan

Entah siapa yang memberitahunya alamat saya, ia tiba-tiba sudah berdiri di hadapan saya. Seorang sahabat lama yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah bertemu, perawakannya tidak ada yang berubah mulai dari cara bersisirnya hingga cara berpakaiannya. Bahkan jika saya tidak salah ingat, pakaian yang dikenakannya saat itu adalah pakaian sehari-hari yang saya lihat sepuluh tahun yang lalu. ia bersepatu, tetapi saya tak sanggup menatap lama-lama sepatunya itu, hanya karena khawatir ia tersinggung jika saya menatapnya lama. Sebuah tas gemblok lusuh menempel di punggungnya, selusuh celana panjang yang warna hitamnya sudah memudar.

Sebut saja Mino, ia langsung membuka tangannya berharap saya memeluknya sama hangatnya seperti dulu setiap kali kami bertemu. Tentu saja saya menyambut haru tangan terbukanya itu, kami pun berpelukan hangat dan cukup lama. Aroma matahari cukup menyengat dari tubuhnya tak membuat saya ingin melepaskannya, semerbak kerinduan diantara kami telah mengalahkan segalanya. Mino, lelaki seusia saya itu bergetar hebat meski hanya beberapa menit kami berpelukan, saya merasa ada tetesan air di pundak saya. “Sudah jadi orang hebat sahabatku ini rupanya…” bibirnya bergetar.

Setelah berbicara sedikit tentang perjalanan masa lalu, saya agak iseng menanyakan keluarganya. Mino langsung tertegun, membuat saya merasa bersalah melepaskan pertanyaan itu. Bibirnya seperti hendak bergerak mengatakan sesuatu, tetapi yang terdengar hanya gumaman yang tak jelas. “Maaf jika saya menyinggung perasaanmu…” kalimat saya dipotong cepat, “Ooh tidak, tidak apa-apa…”

Beberapa detik kemudian saya mampu membaca pikirannya, “Apa yang bisa saya bantu No?” Wajahnya sumringah mendadak, senyum yang sudah lama tak pernah saya lihat, yang saya lihat terakhir kali sepuluh tahun lalu itu. Sambil menepuk pundak saya ia pun berseloroh, “Orang sukses seperti kamu pasti bisa membantu saya untuk keluar dari persoalan kehidupan ini…”

Saya mendengarkan kisahnya, tentang usaha reparasi komputernya yang bangkrut sehingga ia menjalani hari-hari tanpa penghasilan sepanjang hampir tiga tahun. Tentang hidupnya yang terus nomaden karena tak sanggup membayar biaya kontrakan, kontrakan terakhirnya yang ia tempati saat ini pun sudah menunggak tiga bulan dan diberi ultimatum satu bulan lagi untuk segera melunasinya. Belum lagi soal biaya masuk sekolah untuk anaknya yang sama sekali tak ia sanggupi.

Dalam benak saya, “Mungkin ia akan meminjam atau meminta bantuan sejumlah uang yang cukup besar”. Kadang saya berlaku sok pahlawan, ingin membantu seseorang walaupun kondisi sering tidak memungkinkan untuk membantu maksimal. Namun rupanya dugaan saya salah, Mino hanya meminta sedikit dari yang saya kira, itupun meminjam. “Saya mau pinjam uang dua puluh ribu, bolehkah?” tanyanya hati-hati, mungkin ia khawatir saya tak bisa meminjaminya.

Saya tersenyum, dua puluh ribu tentu saja bukan lagi pinjaman. Dalam kebiasaan saya, yang namanya pinjaman itu nilainya bisa sampai jutaan. “Begini No, kalau dua puluh ribu saya tidak mau meminjamkannya, tapi saya akan memberikannya kepadamu… ikhl…” saya batalkan menyebut kata ini. Bahkan saya memberi lebih dari yang dimintanya, meski kemudian Mino bilang bahwa yang saya berikan itu statusnya tetap pinjaman. Saya bilang, “itu pemberian” dia bilang, “ini pinjaman”, saya menyudahi perdebatan soal status itu dengan menyerah pada kegigihannya untuk tetap “meminjam”, bukan “meminta”.

Dua bulan sudah saya tak mendengar kabar darinya. Entah apa yang bisa dilakukannya dengan uang yang tak seberapa itu. Hingga beberapa hari lalu, saya mendapat pesan singkat dari seseorang, “Saya ingin kembalikan lima puluh ribu yang saya pinjam tempo hari”. Saya bingung siapa yang mengirim pesan singkat tersebut karena namanya tidak tertera, setelah saya tanya siapa yang mengirimnya, terkirim lagi satu pesan singkat, “Ini Mino, maaf tidak bisa balas sms lagi soalnya pakai hape teman.”

Saya putuskan untuk menelepon langsung nomor tersebut dan berbicara dengannya. Saya sudah katakan bahwa uang itu bukan pinjaman, tetapi hadiah. Namun ia tetap bersikeras ingin mengembalikannya. Cerita ia, hari itu juga setelah mendapat uang dari saya ia langsung membeli satu dus air mineral untuk dijual satuan. Habis satu dus, ia membeli lagi, dijual lagi dan begitu seterusnya. Sehingga satu bulan kemudian ia punya sedikit uang untuk dijadikan modal berdagang ala kadarnya. Tidak hanya itu, ia pun terselamatkan dari usiran pemilik kontrakan karena mulai bisa menyicil biaya kontrakan yang tertunggak. “Alhamdulillaah, saya masih punya sahabat yang memerhatikan…” ujarnya dari seberang telepon.

Ingin sekali saya bertemu lagi dengan sahabat saya itu, kali ini saya akan memeluknya lebih lama dan lebih erat meski saya tahu aroma mataharinya lebih menyengat dari yang saya reguk sekitar dua bulan lalu. Hati ini jelas berbunga-bunga, ada haru yang terus menyelimuti dinding-dinding jiwa ini selepas pembicaraan di telepon itu. Masih terngiang di telinga saya ketika ia hanya ingin meminjam dua puluh ribu rupiah, jauh dari dugaan saya sebelumnya. Namun dua puluh ribu yang ingin ia pinjam itu adalah sebuah nilai kehidupan bagi seorang Mino.

Dua puluh ribu rupiah, bagi sebagian kita hanyalah senilai sebungkus nasi di warung padang saat makan siang. Tetapi bagi orang seperti Mino adalah kehidupan panjang bagi ia, isteri dan dua anaknya. Dua puluh ribu bagi sebagian kita tidak cukup untuk uang jajan sehari anak-anak kita, namun bagi Mino berarti senyum panjang isteri dan anak-anaknya. Dua puluh ribu rupiah yang bagi sebagian kita sering dianggap recehan, namun bagi seorang Mino adalah nilai kehidupannya yang sangat berarti.

Sahabat, tahukah arti dua puluh ribu rupiah miliki Anda??

Sumber : Bayu Gawtama (http://solifecenter.com)

Anda Pasti Bisa Bila...

Pasar malam dibuka di sebuah kota. Seluruh penduduk menyambutnya dengan gembira. Ada berbagai macam permainan, stand makanan dan sirkus. Tetapi kali ini yang paling istimewa adalah atraksi manusia kuat. Setiap malam ratusan orang menonton pertunjukkan manusia kuat. Ia bisa melengkungkan baja hanya dengan tangan telanjang. Ia bisa menhancurkan batu bata tebal dengan tinjunya. Ia mengalahkan semua pria di kota itu dalam lomba panco. Tapi untuk menutup pertunjukkannya ia hanya memeras sebuah jeruk dengan genggamannya. Ia memeras terus hingga tetes terakhir air jeruk itu terperas.

Kemudian ia menantang para penonton, “Barang siapa yang bisa memeras hingga keluar satu tetes saja air jeruk dari buah jeruk ini, akan kuberikan dia uang satu juta.”

Kemudian naiklah seorang lelaki, atlit binaraga, ke atas panggung. Tangannya kekar. Ia memeras dan memeras… dan memeras… tapi tak setetespun air jeruk keluar. Sepertinya seluruh isi jeruk itu sudah terperas habis. Ia gagal. Beberapa pria kuat dari penjuru kota mencoba, tapi tak ada yang berhasil. Manusia kuat itu tersenyum-senyum. Kemudian ia berkata, “Aku berikan satu kesempatan terakhir. Siapa yang mau mencoba?”

Seorang wanita kurus setengah baya mengacungkan tangan dan meminta agar ia boleh mencoba. ”Tentu saja boleh nyonya. Mari naik ke panggung.” Manusia kuat itu membimbing wanita itu naik ke atas pentas. Beberapa orang tergelak-gelak mengolok-olok wanita itu.

Wanita itu lalu mengambil jeruk dan menggenggamnya. Semakin banyak penonton yang menertawakannya. Lalu wanita itu mencoba memeras dengan penuh konsentrasi. Ia memeras… memeras… memeras dan “ting!” setetes air jeruk muncul terperas dan jatuh membasahi lantai panggung. Para penonton terdiam terperangah. Lalu cemoohan mereka segera berubah menjadi tepuk tangan riuh.

Manusia kuat lalu memeluk wanita kurus itu, katanya, “Nyonya, aku sudah melakukan pertunjukkan semacam ini ratusan kali. Dan, ribuan orang pernah mencobanya agar bisa membawa pulang hadiah uang yang aku tawarkan, tapi mereka semua gagal. Hanya kau satu-satunya yang berhasil memenangkan hadiah itu. Boleh aku tahu, bagaimana kau bisa melakukan hal itu?”

“Begini,” jawab wanita itu, “Jika suamimu sedang jatuh sakit keras dan tak bisa bekerja mencari nafkah, sedangkan kau memiliki delapan anak yang harus kau beri makan setiap harinya, lalu kau harus kuat mencari uang meski hanya serupiah-dua rupiah, maka hanya memeras jeruk untuk mendapatkan satu juta rupiah bukanlah hal yang sulit.”

Smiley…! “Bila anda memiliki alasan yang cukup kuat, anda akan menemukan jalannya.” demikian kata seorang bijak. Seringkali kita tak kuat melakukan sesuatu karena tak memiliki alasan yang cukup kuat.

(Bits & Pieces, The Economics Press)

Jam Demi Jam

Seorang gadis kecil bertanya kepada ayahnya, "Ayah, bisakah seseorang melewati seumur hidupnya tanpa berbuat dosa?"

Ayahnya menjawab sambil tersenyum, "Tak mungkin, nak."

"Bisakah seseorang hidup setahun tanpa berbuat dosa?" ,tanyanya lagi.

Ayahnya berkata: "Tak mungkin, nak."

"Bisakah seseorang hidup sebulan tanpa berbuat dosa?"

Lagi-lagi ayahnya berkata, "Tak mungkin, nak."

"Bisakah seseorang hidup sehari saja tanpa berbuat dosa?" gadis kecil itu bertanya lagi. Ayahnya mengernyitkan dahi dan berpikir keras untuk menjawab, "Mmm.. mungkin bisa, nak."

"Lalu.... bisakah seseorang hidup satu jam tanpa dosa? tanpa berbuat jahat untuk beberapa saat, hanya waktu demi waktu saja, yah? Bisakah?"

Ayahnya tertawa dan berkata, "Nah, kalau itu pasti bisa, nak."

Gadis kecil itu tersenyum lega dan berkata, "Kalau begitu ayah, aku mau memperhatikan hidupku jam demi jam, waktu demi waktu, momen demi momen, supaya aku bisa belajar tidak berbuat dosa. Kurasa hidup jam demi jam lebih mudah dijalani, ya?"

Mencintai Apa Adanya

Tahun itu dia mendadak muncul, Xiao Cien namanya. Tampangnya tidak seberapa. Di bawah dukungan teman sekamar, dengan memaksakan diri aku bersahabat dengan dia. Secara perlahan, aku mendapati bahwa dia adalah orang yang penuh pengertian dan lemah lembut.

Hari berlalu, hubungan kami semakin dekat, perasaan di antara kami semakin menguat, dan juga mendapat dukungan dari teman-teman. Pada suatu hari di tahun kelulusan kami, dia berkata padaku, "Saya telah mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi, tetapi di Amerika, dan saya tidak tahu akan pergi berapa lama, kita bertunangan dulu, bolehkah?" Mungkin dalam keadaan tidak rela melepas kepergiannya, saya mengangguk.

Oleh karena itu, sehari sesudah hari wisuda, hari itu menjadi hari pertunangan kami berdua. Setelah bertunangan tidak berapa lama, bersamaan dengan ucapan selamat dan perasaan berat hati dalam hatiku, dia menaiki pesawat dan terbang menuju sebuah negara yang asing. Saya juga mendapatkan sebuah pekerjaan yang bagus, memulai hari bekerja dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore. Telepon internasional merupakan cara kami untuk tetap berhubungan dan melepas kerinduan.

Suatu hari, sebuah hal yang naas terjadi pada diriku. Pagi hari, dalam perjalanan menuju tempat kerja, sebuah taksi demi menghindari sebuah anjing di jalan raya, mendadak menikung tajam.....

Tidak tahu lewat berapa lama saya pingsan. Saat siuman telah berada di rumah sakit, dimana anggota keluarga menunggu mengelilingi tempat tidur saya. Mereka lantas memanggil dokter.

"Pa?" saya ingin memanggilnya tapi tidak ada suara yang keluar. Mengapa? Mengapa saya tidak dapat memanggilnya? Dokter mendatangiku dan memeriksa, suster menyuntikkan sebuah serum ke dalam diriku, mempersilahkan yang lainnya untuk keluar terlebih dahulu.

Ketika siuman kembali, yang terlihat adalah raut wajah yang sedih dari setiap orang, sebenarnya apa yang terjadi. Mengapa saya tidak dapat bersuara? Ayah dengan sedihnya berkata, "Dokter bilang syaraf kamu mengalami luka, untuk sementara tidak dapat bersuara, lewat beberapa waktu akan membaik."

"Saya tidak mau!" saya dengan berusaha memukul ranjang, membuka mulut lebar-lebar berteriak, tapi hanya merupakan sebuah protes yang tidak bersuara. Setelah kembali ke rumah, kehidupanku berubah. Suara telepon yang didambakan waktu itu, merupakan suara yang sangat menakutkan sekarang ini. Saya tidak lagi keluar rumah, juga menjadi seorang yang menyia-nyiakan diri, ayah mulai berpikir untuk pindah rumah. Dan dia? di belahan bumi yang lain, yang diketahui hanyalah saya telah membatalkan pertunangan kami, setiap telepon darinya tidak mendapatkan jawaban, setiap surat yang ditulisnya bagaikan batu yang tenggelam ke dasar lautan.

Dua tahun telah berlalu, saya secara perlahan telah dapat keluar dari masa yang gelap ini, memulai hidup baru, juga mulai belajar bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Suatu hari, Xiao Cien memberitahu bahwa dia telah kembali, sekarang bekerja sebagai seorang insinyur di sebuah perusahaan. Saya berdiam diri, tidak mengatakan apapun. Mendadak bel pintu berbunyi, berulang-ulang dan terdengar tergesa-gesa. Tidak tahu harus berbuat apa, ayah menyeretkan langkah kakinya yang berat, pergi membuka pintu.

Saat itu, di dalam rumah mendadak hening. Dia telah muncul, berdiri di depan pintu rumahku. Dia mengambil napas yang dalam, dengan perlahan berjalan ke hadapanku, dengan bahasa isyarat yang terlatih, dia berkata, "Maafkan saya! Saya terlambat satu tahun baru menemuimu. Dalam satu tahun ini, saya berusaha dengan keras untuk mempelajari bahasa isyarat, demi untuk hari ini. Tidak peduli kamu berubah menjadi apapun, selamanya kamu merupakan orang yang paling kucintai. Selain kamu, saya tidak akan mencintai orang lain, marilah kita menikah!"

Di posting oleh Ardiputra (http://penghangathati.blogspot.com/search/label/Cinta)

Monday, December 28, 2009

Gema Kehidupan

Seorang bocah mengisi waktu luang dengan kegiatan mendaki gunung bersama ayahnya. Entah mengapa, tiba-tiba si bocah tersandung akar pohon dan jatuh. “Aduhh!” jeritannya memecah keheningan suasana pegunungan. Si bocah amat terkejut, ketika ia mendengar suara di kejauhan menirukan teriakannya persis sama, “Aduhh!”. Dasar anak-anak, ia berteriak lagi, “Hei! Siapa kau?” Jawaban yang terdengar, “Hei! Siapa kau?” Lantaran kesal mengetahui suaranya selalu ditirukan, si anak berseru, “Pengecut kamu!”

Lagi-lagi ia terkejut ketika suara dari sana membalasnya dengan umpatan serupa. Ia bertanya kepada sang ayah, “Apa yang terjadi?” Dengan penuh kearifan sang ayah tersenyum, “Anakku, coba perhatikan.” Lelaki itu berkata keras, “Saya kagum padamu!” Suara di kejauhan menjawab, "Saya kagum padamu!” Sekali lagi sang ayah berteriak “Kamu sang juara!” Suara itu menjawab, “Kamu sang juara!” Sang bocah sangat keheranan, meski demikian ia tetap belum mengerti. Lalu sang ayah menjelaskan, “Suara itu adalah gema, tapi sesungguhnya itulah kehidupan.”

”Kehidupan memberi umpan balik atas semua ucapan dan tindakan kita. Dengan kata lain, kehidupan kita adalah sebuah pantulan atau bayangan atas tindakan kita. Bila kita ingin mendapatkan lebih banyak kebaikan di dunia ini, maka berbuat baiklah kita kepada sesama. Hidup akan memberikan kembali segala sesuatu yang telah kita berikan kepadanya, hidup bukan sebuah kebetulan tapi sebuah bayangan diri kita sendiri.”

Ambil Resiko Sekarang !

Setiap pagi, seekor rusa bangun. Ia tahu bahwa ia harus lari lebih cepat daripada singa. Kalau tidak, ia akan dimakan singa.

Setiap pagi, seekor singa bangun. Ia tahu bahwa ia harus lari lebih cepat daripada rusa. Kalau tidak, ia akan mati kelaparan.

Tidak menjadi soal apakah anda seekor singa ataukah seekor rusa. Begitu matahari terbit, sebaiknya anda berlari!

Jangan lewatkan waktu sedetik pun, cepatlah berlari menjemput impian anda! Berusaha adalah mengambil resiko. Tapi resiko harus dihadapi karena bahaya terbesar dalam hidup ini adalah tidak mengambil resiko sama sekali.

Orang yang tidak berani menghadapi resiko, tidak akan melakukan apa-apa, tidak punya apa-apa dan bukan siapa-siapa. Mereka mungkin saja menghindari penderitaan dan kesengsaraan. Tapi mereka tidak bisa belajar, merasakan, mengubah, tumbuh, mencintai atau hidup.

Dalam keadaan terikat oleh kepastian, mereka telah mengekang kebebasan mereka sendiri. Hanya orang yang berani mengambil resiko adalah orang yang bebas.

Saudagar Permata

Pada suatu hari, seorang saudagar perhiasan di zaman Tabiin bernama Yunus bin Ubaid, menyuruh saudaranya menjaga toko perhiasannya karena ia hendak keluar solat. Ketika itu datanglah seorang badwi yang hendak membeli perhiasan di toko itu. Maka terjadilah jual beli di antara badwi itu dan penjaga toko yang diamanahkan tuannya tadi.

Orang Badwi itu menginginkan suatu barang perhiasan permata seharga empat ratus dirham. Saudara Yunus menunjukkan suatu barang yang sebetulnya berharga hanya dua ratus dirham. Tanpa menawar sama sekali, barang tersebut akhirnya dibeli oleh badwi tadi dengan harga empat ratus dirham.

Di tengah jalan, dia berpapasan dengan Yunus bin Ubaid. Yunus bin Ubaid lalu bertanya kepada si badwi yang membawa barang perhiasan yang dibeli dari tokonya tadi. Sepatutnyalah dia mengenali barang tersebut adalah dari tokonya. Saudagar Yunus bertanya kepada badwi itu, "Berapakah harga barang yang kamu beli ini?"

Badwi itu menjawab, "Empat ratus dirham."

"Tetapi harga sebenarnya cuma dua ratus dirham saja. Mari kembali ke toko saya supaya saya dapat kembalikan uang kelebihannya kepada saudara." Kata saudagar Yunus lagi.

"Biarlah, tidak perlu kau kembalikan. Aku telah merasa senang dan beruntung dengan harga yang empat ratus dirham itu, sebab di kampungku harga barang ini paling murah lima ratus dirham."

Tetapi saudagar Yunus itu tidak mau melepaskan badwi itu pergi. Didesaknya juga agar badwi tersebut balik ke tokonya dan sesampainya dikembalikanlah uang kelebihannya kepada badwi itu. Setelah badwi itu pergi, berkatalah saudagar Yunus kepada saudaranya dengan agak marah, "Apakah kamu tidak merasa malu dan takut kepada Allah atas perbuatanmu menjual barang tadi dengan harga dua kali lipat?"

"Tetapi dia sendiri yang mau membelinya dengan harga empat ratus dirham." Saudaranya cuba mempertahankan bahwa dia dipihak yang benar.

Kata saudagar Yunus lagi, "Ya, tetapi di atas bahu kita terpikul satu amanah untuk memperlakukan saudara kita seperti memperlakukan terhadap diri kita sendiri."

****

Sangatlah tepat apabila Kisah ini dapat dijadikan tauladan bagi pedagang-pedagang kita yang beriman. Karena ini menunjukkan sikap dan pribadi seorang pedagang yang jujur dan amanah di jalan mencari rezeki yang halal. Jika semuanya semua pedagang seperti ini, maka perniagaan akan berjalan dengan aman dan tenteram kerana tidak ada penipuan dalam perniagaan.

Dalam hal ini Rasulullah S.A.W bersabda, "Sesungguhnya Allah itu penetap harga, yang menahan, yang melepas dan memberi rezeki dan sesungguhnya aku harap bertemu Allah di dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntut aku lantaran menzalimi di jiwa atau di harga." (Diriwayat lima imam kecuali imam Nasa"i)

3 x 8 = 23

Yan Hui adalah murid kesayangan Confusius yang suka belajar, sifatnya baik. Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu toko kain sedang dikerumunin banyak orang. Dia mendekat dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang berdebat.

Pembeli berteriak: “3×8 = 23, kenapa kamu bilang 24?”

Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata: “Sobat, 3×8 = 24, tidak usah diperdebatkan lagi.”

Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata: “Siapa minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat, mesti minta ke Confusius. Benar atau salah Confusius yang berhak mengatakan.”

Yan Hui: “Baik, jika Confusius bilang kamu salah, bagaimana?”

Pembeli kain: “Kalau Confusius bilang saya salah, kepalaku aku potong untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?”

Yan Hui: “Kalau saya yang salah, jabatanku untukmu”.

Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Confusius.

Setelah Confusius tahu duduk persoalannya, Confusius berkata kepada Yan Hui sambil tertawa: “3×8 = 23. Yan Hui, kamu kalah. Kasihkan jabatanmu kepada dia.”

Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya. Ketika mendengar Confusius bilang dia salah, diturunkannya topinya lalu dia berikan kepada pembeli kain. Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu dengan puas.

Walaupun Yan Hui menerima penilaian Confusius tapi hatinya tidak sependapat. Dia merasa Confusius sudah tua dan pikun sehingga dia tidak mau lagi belajar darinya. Yan Hui minta cuti dengan alasan urusan keluarga. Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya..

Sebelum berangkat, Yan Hui pamitan dan Confusius memintanya cepat kembali setelah urusannya selesai, dan memberi Yan Hui dua nasehat : “Bila hujan lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh.”

Yan Hui bilang baiklah lalu berangkat pulang. Di dalam perjalanan tiba-tiba angin kencang disertai petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat. Yan Hui ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba-tiba ingat nasehat Confusius dan dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi. Dia meninggalkan pohon itu. Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur. Yan Hui terkejut, nasehat gurunya yang pertama sudah terbukti. Apakah saya akan membunuh orang?

Yan Hui tiba di rumahnya sudah larut malam dan tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Dia menggunakan pedangnya untuk membuka kamarnya. Sesampai di depan ranjang, dia meraba dan mendapati ada seorang di sisi kiri ranjang dan seorang lagi di sisi kanan. Dia sangat marah, dan mau menghunus pedangnya. Pada saat mau menghujamkan pedangnya, dia ingat lagi nasehat Confusius, jangan membunuh. Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya.

Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke Confusius, berlutut dan berkata: “Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?” Confusius berkata: “Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun hujan petir, makanya guru mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah pohon.. Kamu kemarin pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka guru mengingatkanmu agar jangan membunuh.”

Yan Hui berkata: “Guru, perkiraanmu hebat sekali, murid sangatlah kagum.”

Confusius bilang: “Aku tahu kamu minta cuti bukanlah karena urusan keluarga. Kamu tidak ingin belajar lagi dariku. Cobalah kamu pikir. Kemarin guru bilang 3×8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan jabatanmu. Tapi jikalau guru bilang 3×8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa. Menurutmu, jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih penting?”

Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata : “Guru mementingkan yang lebih utama, murid malah berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar-benar malu.”

Sejak itu, kemanapun Confusius pergi Yan Hui selalu mengikutinya.

Cerita ini mengingatkan kita: Jikapun aku bertaruh dan memenangkan seluruh dunia, tapi aku kehilangan kamu, apalah artinya. Dengan kata lain, kamu bertaruh memenangkan apa yang kamu anggap adalah kebenaran, tapi malah kehilangan sesuatu yang lebih penting. Banyak hal ada kadar kepentingannya.

Janganlah gara-gara bertaruh mati-matian untuk prinsip kebenaran itu, tapi akhirnya malah menyesal, sudahlah terlambat. Banyak hal sebenarnya tidak perlu dipertaruhkan. Mundur selangkah, malah yang didapat adalah kebaikan bagi semua orang.

Bersikeras melawan pelanggan. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Saat kita kasih sample barang lagi, kita akan mengerti).
Bersikeras melawan boss. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Saat penilaian bonus akhir tahun, kita akan mengerti).
Bersikeras melawan suami. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (suami tidak betah di rumah).
Bersikeras melawan teman. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Bisa-bisa kita kehilangan seorang teman).

Saturday, December 26, 2009

Jalan Menuju Sukses

Seorang anak muda berada di persimpangan jalan, dan dia bimbang memutuskan jalan mana yang mesti ia tempuh untuk menuju kesuksesan. Kebetulan di dekat situ ada sebuah rumah di mana tinggal seorang guru yang dikenal sangat bijaksana. Maka mampirlah anak muda itu menemui guru bijak tersebut.

“Guru, yang manakah jalan menuju kesuksesan?” tanya anak muda itu setelah berhadapan dengan guru bijak tersebut.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, sang guru menunjuk ke arah sebuah jalan. Anak muda itu pun segera berlari menyusuri jalan yang ditunjukkan sang guru. Ia tak mau membuang-buang waktu lagi untuk meraih kesuksesan. Setelah beberapa saat melangkah, tiba-tiba ia berseru, “Haah... ini jalan buntu!” Dan memang benar di hadapannya terbentang sebuah tembok besar yang menutupi jalan.

“Barangkali aku salah mengerti maksud sang guru.” Maka, berbaliklah anak muda tersebut menemui sang guru untuk menanyakan sekali lagi, “Guru, yang manakah jalan menuju sukses?” Sang guru pun menunjuk ke arah yang sama.

Merasa penasaran, anak muda itupun berjalan kembali ke arah yang sama seperti tadi. Namun, yang ditemuinya tetap saja sebuah tembok yang menutupi jalan. Ia merasa dipermainkan. Dengan penuh amarah ia menemui sang guru kembali.

“Guru, aku sudah mengikuti petunjukmu, tetapi yang aku temui adalah sebuah jalan buntu terhalang oleh tembok besar. Aku tanyakan sekali lagi padamu, yang manakah jalan menuju sukses? Kau jangan hanya menunjukkan jari saja, tapi bicaralah!”
Akhirnya sang guru berbicara, “Di situlah jalan menuju sukses. Hanya beberapa langkah saja di balik tembok itu.”

***

Sahabat, terkadang kita menginginkan hal termudah yang bisa kita tempuh untuk mencapai keinginan kita. Padahal, tidak ada jalan mudah menuju kesuksesan. Tidak ada kesuksesan tanpa kerja keras, tanpa menemui hambatan demi hambatan, tanpa melalui kegagalan demi kegagalan.

Yang perlu kita lakukan sebetulnya hanya menempa diri untuk lebih kuat dari hambatan yang ada, dan memaksa diri untuk bangkit sekali lagi pada saat kita jatuh. Kalahkan ‘tembok’ penghalang itu dan raihlah kesuksesan di baliknya.

Sylvester Stallone, Menunda Kesenangan Kecil untuk Mencapai Kesuksesan Besar

“Berhati-hatilah, beberapa kesenangan adalah cara gembira menuju kegagalan.” (Mario Teguh)

Sebuah kisah nyata yang sangat tepat untuk menunjukkan bagaimana kita menunda kesenangan kecil demi mendapatkan kesuksesan yang besar adalah Sylvester Stallone. Dia memang kini salah satu aktor termahal di Hollywood, tapi tahukah anda bagaimana dia memulai karirnya?

Stallone lahir dari sebuah keluarga miskin di Amerika. Walau demikian, latar belakang keluarga tidak menghalanginya untuk bermimpi menjadi seorang bintang besar. Saat remaja, dia sudah sering mencoba ‘casting’ di beberapa film murahan, namun itupun tidak pernah berhasil melejitkan namanya.

Suatu saat, Stallone terinspirasi pada sebuah pertandingan tinju, yang membuatnya menulis tentang manuskrip film olahraga tinju, “Rocky”. Setelah selesai, Stallone mencoba menawarkan skripnya kepada berbagai perusahaan film, tapi tidak ada yang mau membelinya, karena pada saat itu memang film dengan latar belakang tinju tidak laku di pasaran.

Sampai akhirnya, ada sebuah perusahaan yang mau menawar harga naskah film tersebut sebesar 75.000 dollar, sejumlah uang yang nilainya puluhan kali lipat dari uang yang pernah dimiliki Stallone.

Saat itu, ada kebimbangan dalam hatinya. Uang itu, cukup untuk membuatnya hidup lebih layak dan makmur. Tapi di sisi lain, Stallone ingin menjadi seorang bintang, seorang aktor terkenal, bukan seorang penulis naskah film. Jadi Stallone mencoba menawarkan kepada perusahaan film tersebut agar dia yang menjadi aktor utamanya. Mereka menolak, karena mereka sudah memilih aktor yang sudah berpengalaman untuk film tersebut, dibandingkan Stallone yang tidak punya latar belakang dan pengalaman di film. Negosiasi menjadi alot, karena Stallone menolak menjual naskah tersebut jika bukan dia yang menjadi pemeran utamanya. Bahkan saat harga naskah itu meningkat tiga kali lipat dan terus meningkat hingga 1.000.000 dollar, Stallone tetap menolaknya. Walaupun ia miskin dan lapar, ia berani menolak uang satu juta dollar hanya karena dia sudah punya impian yang kuat bahwa dengan menjadi aktor dia bisa memperoleh uang jauh lebih banyak dari uang satu juta dollar.

Akhirnya perusahaan film itu menyerah juga, dan mengijinkan Stallone menjadi pemeran utama dengan syarat naskah itu dijual hanya dengan harga 35.000 dollar, dan Stallone hanya akan mendapat bayaran sebagai aktor sejumlah persentase tertentu jika film itu cukup laku di pasaran. Sebuah pilihan resiko tinggi diambil oleh Stallone. Mengorbankan uang 75.000 dollar, dan hanya mendapatkan 35.000 dollar plus tambahan lagi beberapa ribu dollar jika film itu laris.

Semua orang di sekitarnya mengatakan bahwa keputusan itu adalah keputusan terburuk yang pernah diambil Stallone. Tapi Stallone tidak menggubris itu semua karena di hatinya dia tahu bahwa yang dilakukan ini hanyalah menunda kesenangan sesaat untuk mendapatkan kesenangan lain yang lebih besar.

Pada waktu film Rocky diluncurkan, bukan saja film itu menjadi laris tetapi bahkan menjadi box office di seluruh dunia dengan total penjualan bersih mencapai 171 juta dollar, meraih 10 nominasi Academy Awards, serta mendapatkan satu piala Oscar. Secara spontan, Stallone langsung naik daun menjadi aktor kelas atas Hollywood, dan tawaran film kelas satu pun mulai berdatangan kepadanya.

Apa yang dialami oleh Sylvester Stallone adalah sebuah pilihan untuk berani menunda kesenangan-kesenangan kecil dan berjuang untuk meraih kesuksesan yang jauh lebih besar dan tinggi.

Jangan pernah terjebak dengan kenyamanan sementara, yang kadang membuat kita merasa sudah puas, padahal bukan itu sebenarnya yang kita inginkan. Nikmati hasil sementaranya, tapi tetaplah punya visi ke depan yang jelas, untuk terus mengejarnya. Sukses untuk Anda!

(disadur dari buku Coffee Break oleh Robert Kwan)

Friday, December 25, 2009

Kolonel Sanders

Inilah kisah kegigihan Kolonel Sanders, pendiri waralaba ayam goreng terkenal KFC. Dia memulainya di usia 66 tahun. Pensiunan angkatan darat Amerika ini tidak memiliki uang sepeser pun kecuali dari tunjangan hari tuanya, yang semakin menipis. Namun dia memiliki keahlian dalam memasak dan menawarkan resep masakannya ke lebih dari 1.000 restoran di negaranya dan barulah restoran ke-1008 yang akhirnya menerima resepnya. Kolonel Harland Sanders adalah pelopor Kentucky Fried Chicken atau KFC yang telah tumbuh menjadi salah satu yang terbesar dalam industri waralaba makanan siap saji di dunia.

Sosok Kolonel Sanders, bahkan kini menjadi simbol dari semangat kewirausahaan. Dia lahir pada 9 September 1890 di Henryville, Indiana, namun baru mulai aktif dalam mewaralabakan bisnis ayamnya di usia 65 tahun. Di usia 6 tahun, ayahnya meninggal dan Ibunya sudah tidak mampu bekerja lagi sehingga Harland muda harus menjaga adik laki-lakinya yang baru berumur 3 tahun. Dengan kondisi ini ia harus memasak untuk keluarganya. Di masa ini dia sudah mulai menunjukkan kebolehannya.

Pada umur 7 tahun ia sudah pandai memasak di beberapa tempat memasak. Pada usia 10 tahun ia mendapatkan pekerjaan pertamanya didekat pertanian dengan gaji 2 dolar sebulan. Ketika berumur 12 tahun ibunya kembali menikah, sehingga ia meninggalkan rumah tempat tinggalnya untuk mendapatkan pekerjaan di pertanian di daerah Greenwood, Indiana. Selepas itu, ia berganti-ganti pekerjaan selama beberapa tahun.

Pertama, sebagai tukang parkir di usia 15 tahun di New Albany, Indiana dan kemudian menjadi tentara yang dikirim selama 6 bulan ke Kuba. Setelah itu ia menjadi petugas pemadam kebakaran, belajar ilmu hukum melalui korespondensi, praktik dalam pengadilan, asuransi, operator kapal feri, penjual ban, dan operator bengkel.

Di usia 40 tahun, Kolonel ini mulai memasak untuk orang yang bepergian yang singgah di bengkelnya di Corbin. Kolonel Sanders belum punya restoran pada saat itu. Ia menyajikan makanannya di ruang makan di bengkel tersebut. Karena semakin banyak orang yang datang ke tempatnya untuk makan, akhirnya ia pindah ke seberang jalan dekat penginapan dan restoran bisa menampung 142 orang.

Selama hampir 9 tahun ia menggunakan resep yang dibuatnya dengan teknik dasar memasak hingga saat ini. Citra Sander semakin baik. Gubernur Ruby Laffoon memberi penghargaan Kentucky Colonel pada tahun 1935 atas kontribusinya bagi negara bagian Cuisine. Dan pada tahun 1939, keberadaannya pertama kali terdaftar di Duncan Hines “Adventures in Good Eating.”

Sampai akhirnya terserang leukimia, di usia 90 tahun ia telah melakukan perjalannya sejauh 250.000 mil untuk memperkenalkan masakannya.

Courage

Thursday, December 24, 2009

Umur Manusia

Alkisah Tuhan menciptakan manusia dengan jatah umur 20 tahun, berbeda dengan binatang-binatang yang rata-rata diberi jatah umur 40 tahun. Hal ini dikarenakan Tuhan ingin manusia bahagia saja sepenuhnya sepanjang umurnya dan tidak usah merasakan pahitnya dunia terlalu lama. Manusia ini pun diletakkan Tuhan didekatNya.

Ternyata melihat hal itu, beberapa binatang merasa iri dan ingin seperti manusia. Datanglah Sapi, “Tuhan terlalu lama 40 tahun bagiku, kukembalikan 20 tahun.” Mendengar itu, manusia, yang ingin merasakan kebahagiaan lebih lama, meminta yang 20 tahun dari sapi untuk dirinya. Tuhan mengabulkan.

Lalu datanglah Anjing. Dia juga mengembalikan yang 20 tahun. Maka, sekali lagi manusia memintanya. Tuhan pun mengabulkan permintaan manusia.

Terakhir monyet datang. Dia juga mengembalikan 20 tahun umurnya. Dan sekali lagi manusia memintanya. Dan sekali lagi Tuhan juga mengabulkannya.

Maka jadilah umur yang diminta manusia itu rata-rata 80 tahun.

20 tahun pertama manusia hidup sebagai benar-benar sebagai manusia, selalu berbahagia, dan tidak punya banyak masalahnya.

20 tahun kedua manusia hidup seperti sapi … bangun pagi pulang malam, kerja keras, banting tulang …. hasil … hmmm terbatas (7-P) PERGI PAGI PULANG PETANG PENGHASILAN PAS-PASAN).

20 tahun ketiga jadilah dia seperti anjing. Anak mulai gede … kerjanya jaga anak, jaga kekayaan, jaga properti …. persis kaya anjing.

20 tahun keempat jadilah dia seperti monyet. Tua renta, hanya jadi bahan lelucon yang lebih muda …

Maka, kalau anda ingin terus jadi manusia sampai akhir hayat ingatlah kata-kata ini : “BUKAN MASALAH PANJANGNYA UMUR, TETAPI BAGAIMANA KITA MEMBERI MAKNA DALAM TIAP HARI KEHIDUPAN” atau juga iklan dari A Mild beberapa tahun lalu : “MENJADI TUA ITU PASTI, DEWASA ITU PILIHAN”.

sumber : inspirasi kiriman dari Ardian Mardika

Anda akan Menuai Apa yang Anda Tanam

http://www.eramuslim.com/oase-iman/anda-menuai-apa-yang-anda-tanam.htm

Pada suatu hari, seorang pemilik perusahaan ternama dan sekaligus sebagai presiden direkturnya yang sudah berusia lanjut tiba-tiba muncul di kantornya sekitar jam 07.00pagi.

Para pimpinan dan karyawan perusahaan tersebut terkejut karena tidak biasanya sang Bos datang ke kantor sepagi itu. Biasanya ia hadir paling cepat setelah waktu zuhur atau makan siang. Itupun tidak setiap hari. Paling hanya tiga atau empat hari sepekan.

Semua yang meilihat kedatangan sang pemilik perusahaan tersebut bertanya-tanya dalam diri : Ada apa gerangan? Pasti ada sesuatu yang amat penting yang terjadi. Namun tak seorangpun yang dapat menerka apa sesugguhnya yang terjadi atau apa yang ada dalam benak kakek sang milyuner itu.

Di pagi yang cerah itu, ternayata beliau membawa sebuah gagasan besar yang tergolong berani. Gagasan tersebut bahwa ia telah memutuskan untuk mundur memimpin perusahaan yang ia bangun sendiri dan pimpin sejak 30 tahun lalu. Yang menarik lagi ialah, ia tidak mau menyerahkan kepemimpinan perusahaannya kepada anak-anaknya, karena takut tidak dikelola secara professional.

Keputusan itu ia ambil setelah melihat perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh generasi kedua, rata-rata hancur, kecuali sedikit yang sukses. Hal tersebut disebabkan karena anak atau generasi kedua tidak merasakan betapa sulitnya membangun sebuah usaha sehingga tidak memahami seluk beluknya secara detail. Ditambah lagi, biasanya, anak-anak orang kaya merasa tinggi hati karena sejak lahir sudah hidup sebagai anak orang kaya dan dihormati banyak orang.

Keputusan tersebut dianggap banyak orang sebagai keputusan kuno, namun sang kakek kaya itu tetap dengan pendiriannya, kendati sudah dinasehati sebelumnya oleh bebrapa sahabatnya. Ia berpendapat, biarlah hasil perusahaan ini akan menjadi warisan bagi keturunannya kelak. Untuk itu, perusahaan harus selalu dalam kondisi yang kuat dan stabil. Anak-anaknya ia motivasi dan bantu membangun bisnis sejak dari awal sehingga memahami betapa sulitnya merintis sebuah bisnis itu.

Dengan demikian, mereka akan merasakan dan menghormati jerih payah orang tuanya dan para karyawan yang setia mendampinginya sejak perusahaan tersebut dirintis 30 tahun silam.

Walhasil, setelah duduk sekitar setengah jam di ruangannya yang asri dan dipenuhi lukisan ayat-ayat Al-Qur’an itu, ia memanggil sekretarisnya agar memberitahukan kepada para manager, general manager (GM) dan segenap pimpinan lainnya untuk masuk ke ruang rapat jam 08.00 tepat, karena ada hal yang amat penting yang akan ia sampaikan. Mendengar pesan tersebut, sang sekretaris tentu merasa dag dig dug juga sambil berfikir keras apa gerangan yang akan disampaikan sang Bosnya.

Saat jarum Jam menunjukkan jam 08.00, dengan tenang sang kakek kaya itu keluar dari ruangnya dan menuju ke ruang pertemuan yang terletak tidak jauh dari ruangannya. Saat masuk ruang rapat, ia mengetuk pintunya dengan halus sambil mengucapkan salam : Assalamu alalikum! Semua yang hadir serentak menjawab : Waalaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh…

Setelah duduk, sang kakek menympaikan ucapan permohonan maafnya atas undangan rapat yang mendadak itu, kemudian ia menjelaskan tujuan undangan rapat tersebut sebagai berikut :

Saudara-saudara yang dirahmati Allah dan yang saya cintai. Tiba saatnya saya mengundurkan diri dari jabatan sebagai Direktur Utama di perusahaan ini. Saya akan memilih di antara kalian yang akan menggantikan posisi yang cukup berat ini. Saya yakin, berdasarkan pengamatan saya selama ini, kalian semua pantas dan mampu menerima amanah yang akan saya berikan. Pasti di antara kalian ada yang terbaik. Maka siapa di antara kalian yang terbaik, maka dialah yang akan saya kukuhkan sebagai pengganti saya.

Semua yang hadir terlihat kaget dan kebingungan mendengarkan pernyataan dan keterangan Bos mereka. Sungguh tidak pernah mereka duga betapa hebatnya sang pemimpin mereka dan jarang mereka mendengar kasus seperti itu. Merekapun harap-harap cemas.

Berharap terpilih dan pada waktu yang sama juga merasa gamang kalau sekiranya benar-benar terpilih menjadi pimpinan tertinggi perusahaan yag cukup besar tersebut, karena belum pernah terbayang sebelumnya.

Kemudian sang pemilik perusahaan tersebut melanjutkan pembicaraannya : Sekarang kita berada pada akhir tahun hijiriyah, bulan Zulhijjah. Saya akan melakukan tes terhadap semua yang hadir di raungan ini, tanpa melihat posisi dan jabatan.

Karena saya yakin kalian semua adalah calon-calon pemimpin yang layak untuk memimpin perusahaan ini. Tes yang akan saya berikan sangat sederhana. Nanti di awal tahun depan, yakni tepatnya tanggal 1 Muharam, kita berkumpul lagi di tempat ini pada jam yang sama. Saat itu saya akan menilai siapa yang terbaik di antara kalian yang akan saya kukuhkan menjadi pimpinan perusahaan ini.

Adapun tes yang akan kalian jalankan ialah, bahwa setiap yang hadir di sini akan saya berikan satu benih tanaman yang sudah saya siapkan. Benih tersebut kalian bawa pulang, kemudian ditanam di rumah masing-masing dan dirawat bersama istri dan keluarga. Tanaman siapa yang paling baik, paling subur dan yang paling tinggi, maka dialah yang berhak menjadi pemimpin perusahaan ini. Nanti pada tanggal satu Muharram, pada jam yanga sama dengan sekarang masing-msing kalian membawa hasil tanamannya.

Di antara yang hadir, ada seorang manager muda bernama Karim. Seperti rakan-rekannya yang lain, Karim-pun membawa pulang benih yang diberikan sang pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Sesampai di rumah, ia menceritakan meeting mendadak dengan Bosnya tadi kepada istrinya. Istrinya sangat terharu sambil berharap semoga suaminyalah yang terpilih kelak menjadi pimpinan perusahaan itu.

Istrinya segera menyiapkan temapat penyemaian benih tersebut, lalu mengambil tanah yang terbaik dari belakang rumahnya. Bahkan dia segera ke tempat penjualan perlengkapan pertanian di daerahnya tinggal dan membeli pupuk secukupnya. Sepasang suami istri ini setiap hari mengamati perkembangan yang terjadi pada tanamannya. Namun sayang, benih yang ditanam tak kunjung tumbuh.

Hari berganti hari, pekan berganti pekan. Tidak terasa mereka sudah berada pada pekan ketiga. Setiap bertemu dengan teman-teman yang hadir dalam meeting mendadak tersebut, Karim merasa minder karena tidak ada info membanggakannya. Teman-temannya yang lain pada semangat bercerita bahwa tanaman mereka sudah tumbuh dengan baik dan bahkan ada yang dengan bangganya mengatakan bahwa tanamannya sudah setinggi lututnya. Karim tetap saja diam dan bahkan terlihat sedih.

Akhirnya, sampailah waktu yang dijanjikan. Tanggal satu Muharrampun tiba. Setelah pulang salat subuh dari masjid dekat rumahnya, ia berkata pada istrinya bahwa ia tidak akan masuk kantor karena malu dan tidak ada yang bisa ia perlihatkan pada Bosnya. Kenapa? Benih yang diberikan sang Bos tak kunjung tumbuh, apalagi sampai setinggi lutut, seperti cerita salah seorang temannya.

Mendengar pernyataan itu, istrinya mencoba meyakinkan suaminya bahwa ia harus pergi ke kantor hari ini kendati tidak membawa tanaman yang sdah tumbuh dengan subur. Lalu istrinya berkata : Biarlah teman-teman bapak membawa tanamannya yang subur itu.

Bapak harus jujur kalau ditanya Bos nanti katakan saja yang sebenarnya bahwa kita sudah bekerja maksimal, kendati hasilnya tidak seperti apa yang diharapkan. Bapak harus bangga membawa kejujuran kemana-mana, ucap istrinya.

Mendengar nasehat sang istri, Karim memberanikan diri berangkat ke kantornya hari itu, kendati hatinya was-was dan khawatir tidak akan bisa bicara apa-apa saat pertemuan dengan sang Bosnya nanti.

Sesampai di kantor, Karim segera menuju ruang pertemuan yang telah disepakati. Karim semakin tak berkutik saat melihat tanaman teman-temanya sangat subur dan bahkan ada yang setinggi lutut, kendati umurnya baru satu bulan.

Dengan tenang Karim meletakkan wadah tempat penyemaian benih dengan tanah yang ada di dalamnya, kendati tidak tampak sedikitpun tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Tentu saja semua mata yang hadir tertuju kepada wadah yang dibawa Karim sambil keheranan.

Bahkan ada yang berkomentar sinis : Mana tanamannya? Dimakan kambing kali? Namun Karim tetap tenang dan tidak melayani komentar mereka sedikitpun, kendati ia merasakan badannya sedang panas dingin.

Tak lama kemudian, pada jam 08.00 tanggal satu Muharram, sang Direktur Utama masuk ruangan sambil mengucapkan salam : Asalamu alalaikum! Semua serentak menjawab :

Walaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh…

Kemudian ia melanjutkan pembicaraannya : Saudara-saudara sekalian, saya sangat bahagia melihat tanaman yang kalian bawa. Dari benih yang saya berikan sebulan yang lalu. Kalian berhasil menanam dan merawatnya dengan baik sampai menjadi seperti ini.

Sungguh sangat membanggakan. Pada hari ini saya akan menetukan siapa di antara kalian yang paling terbaik yang akan saya jadikan sebagai Direktur Utama yang akan menggantikan jabatan saya.

Mendengar pujian sang pemimpin tersebut semua mereka menampakkan di wajah mereka tanda kegembiraan dan senyuman. Di antara mereka ada yang bertakbir : Allahu Akbar…. Alllahu Akbar… Allahu Akbar.. Kecuali Karim, duduk di belakang sambil negalamun dan bersedih hati.

Dalam suasana gembira tersebut tiba-tiba sang Pemilik perusahaan itu melihat salah seorang managernya yang bernama Karim duduk di belakang sambil terlihat di wajahnya perasaan sedih dan malu. Ia berbisik dengan sekretarisnya sambil meminta Karim menghadapnya sekarang juga. Setelah sekretaris tersebut menyampaikan pesan Presiden Direkturnya, Karim terperanjat dan pucat sambil berkata dalam dirinya : Tamat sudah karirku di perusahaan ini.

Setelah Karim menghampiri sambil mengucapkan salam, sang Direktur Utama mempersilahkan Karim duduk di samping kursinya dan meminta untuk memperlihatkan kepada teman-temannya wadah yang hanya berisi tanah dan tak ada tanaman sama sekali.

Teman-teman Karimpun memberikan sikap yang beragam. Mereka semua berdiri sambil mata mereka tertuju pada wadah yang diperlihatkan Karim. Ada yang mencibirkannya. Ada pula yang berkata : Mana tanamannya? Dimakan kambing kali ye? Kata mereka, sambil menunjukkan jari ke arah wadah yang dibawa karim.

Suasana menjadi sedikit gaduh. Sang pemilik perusahan diam tampa berucap sepatah katapun. Perasaan Karim semakin tak menentu. Sedih, malu dan bercampur marah. Namun demikian, Karim tetap bisa menahan emosinya dan samabil berkata dalam hatinya : Inilah saya…

Setelah beberapa saat, sang pemilik perusahaan angkat bicara ; Saudara-saudara sekalian. Dimohon semuanya duduk ditempat masing-masing. Saudara Karim, silahkan sekarang Anda beridiri. Saya akan menyampaikan sesuatu yang sangat penting seperti janji saya sebulan yang lalu.

Setelah menimbang dan mengamati hasil tes yang saya berikan kepada kalian, maka dengan ini saya putusakan yang akan menjadi pimpinan kalian mulai hari ini adalah teman kalian yang berdiri di samping saya ini; saudara Kaaariiiim…

Semua yang hadir merasa terpukul dan bertanya-tanya; kenapa Karim yang dipilih? Padahal dia tidak membawa tanaman, kecuali hanya wadah dan tanah yang ada di dalamnya. Bukankan dia typical manager yang gagal? Banyak lagi komentar sinis lainnya yang bermunculan..

Kemudian sang pimpinan melanjutkan pembicaraannya : Tahukah kalian, bahwa semua benih yang saya berikan kepada kalian sebulan yang lalu adalah bibit yang rusak, dan tidak mungkin bisa tumbuh, apalgi menjadi besar seperti yang kalian perlihatkan hari ini.

Kesimpulan saya, Karim adalah tipical pemimpin yang jujur. Sebab itu, pada hari ini, saya tetapkan ia menjadi Direktur Utama yang akan menggantikan posisi saya dan yang akan bertanggung jawab penuh menjalankan perusahaan ini ke depan.

Sebelum menutup meeting kita hari ini, saya mengucapkan terima kasih pada kalian semua dan saya ingin memberikan sedikit nasihat untuk menjadi bekal hidup kalian semasa menjalankan kehidupan dunia ini :

• Jika anda menanam amanah, maka anda akan menuai kepercayaan.
• Jika anda menanam kebaikan, maka anda akan menuai persahabatan
• Jika anda menanam tawadhu’ (kerendahan hati), maka anda akan menuai penghormatan
• Jika anda menanam rasa hormat, maka anda akan menuai kemuliaan
• Jika anda menanam kesungguhan, maka anda akan menuai kesuksesan
• Jika anda menanam keimanan, maka anda akan menuai ketenangan
• Jika anda menanam kebohongan, maka anda akan menuai bencana

Sebab itu, berhati-hatilah! Apa yang anda tanam hari ini, pasti di suatu saat nanti anda akan menuainya sendiri..

Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarokatuh…

Kisah Nyata…Tujuh Kali Naik Haji Tidak Bisa Melihat Ka’bah

Sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya, Hasan (bukan nama sebenarnya), mengajak ibunya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.

Sarah (juga bukan nama sebenarnya), sang Ibu, tentu senang dengan ajakan anaknya itu. Sebagai muslim yang mampu secara materi, mereka memang berkewajiban menunaikan ibadah Haji.

Segala perlengkapan sudah disiapkan. Singkatnya ibu dan anak ini akhirnya berangkat ke tanah suci. Kondisi keduanya sehat wal afiat, tak kurang satu apapun. Tiba harinya mereka melakukan thawaf dengan hati dan niat ikhlas menyeru panggilan Allah, Tuhan Semesta Alam. “Labaik allahuma labaik, aku datang memenuhi seruanMu ya Allah”.

Hasan menggandeng ibunya dan berbisik, “Ummi undzur ila Ka’bah (Bu, lihatlah Ka’bah).” Hasan menunjuk kepada bangunan empat persegi berwarna hitam itu. Ibunya yang berjalan di sisi anaknya tak beraksi, ia terdiam. Perempuan itu sama sekali tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh anaknya.

Hasan kembali membisiki ibunya. Ia tampak bingung melihat raut wajah ibunya. Di wajah ibunya tampak kebingungan. Ibunya sendiri tak mengerti mengapa ia tak bisa melihat apapun selain kegelapan. Beberapakali ia mengusap-usap matanya, tetapi kembali yang tampak hanyalah kegelapan.

Padahal, tak ada masalah dengan kesehatan matanya. Beberapa menit yang lalu ia masih melihat segalanya dengan jelas, tapi mengapa begitu memasuki Masjidil Haram segalanya menjadi gelap gulita.

Tujuh kali anak yang sholeh itu bersimpuh di hadapan Allah. Ia shalat memohon ampunan-Nya. Hati Hasan begitu sedih. Siapapun yang datang ke Baitullah, mengharap rahmatNYA. Terasa hampa menjadi tamu Allah, tanpa menyaksikan segala kebesaran-Nya, tanpa merasakan kuasa-Nya dan juga rahmat-Nya.

Hasan tidak berkecil hati, mungkin dengan ibadah dan taubatnya yang sungguh-sungguh, Ibundanya akan dapat merasakan anugrah-Nya, dengan menatap Ka’bah, kelak. Anak yang saleh itu berniat akan kembali membawa ibunya berhaji tahun depan. Ternyata nasib baik belum berpihak kepadanya.

Tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi. Ibunya kembali dibutakan di dekat Ka’bah, sehingga tak dapat menyaksikan bangunan yang merupakan symbol persatuan umat Islam itu. Wanita itu tidak bisa melihat Ka’bah.

Hasan tidak patah arang. Ia kembali membawa ibunya ke tanah suci tahun berikutnya.

Anehnya, ibunya tetap saja tak dapat melihat Ka’bah. Setiap berada di Masjidil Haram, yang tampak di matanya hanyalah gelap dan gelap. Begitulah keganjilan yang terjadi pada diri Sarah, hingga kejadian itu berulang sampai tujuh kali menunaikan ibadah haji.

Hasan tak habis pikir, ia tak mengerti, apa yang menyebabkan ibunya menjadi buta di depan Ka’bah. Padahal, setiap berada jauh dari Ka’bah, penglihatannya selalu normal. Ia bertanya-tanya, apakah ibunya punya kesalahan sehingga mendapat azab dari Allah SWT? Apa yang telah diperbuat ibunya, sehingga mendapat musibah seperti itu? Segala pertanyaan berkecamuk dalam dirinya. Akhirnya diputuskannya untuk mencari seorang alim ulama, yang dapat membantu permasalahannya.

Beberapa saat kemudian ia mendengar ada seorang ulama yang terkenal karena kesholehannya dan kebaikannya di Abu Dhabi (Uni Emirat). Tanpa kesulitan berarti, Hasan dapat bertemu dengan ulama yang dimaksud.

Ia pun mengutarakan masalah kepada ulama yang saleh ini. Ulama itu mendengarkan dengan seksama, kemudian meminta agar Ibu dari Hasan mau menelponnya. Anak yang berbakti ini pun pulang. Setibanya di tanah kelahirannya, ia meminta ibunya untuk menghubungi ulama di Abu Dhabi tersebut. Beruntung, sang Ibu mau memenuhi permintaan anaknya. Ia pun mau menelpon ulama itu, dan menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya di tanah suci. Ulama itu kemudian meminta Sarah introspeksi, mengingat kembali, mungkin ada perbuatan atau peristiwa yang terjadi padanya di masa lalu, sehingga ia tidak mendapat rahmat Allah. Sarah diminta untuk bersikap terbuka, mengatakan dengan jujur, apa yang telah dilakukannya.

“Anda harus berterus terang kepada saya, karena masalah Anda bukan masalah sepele..” kata ulama itu pada Sarah.

Sarah terdiam sejenak. Kemudian ia meminta waktu untuk memikirkannya. Tujuh hari berlalu, akan tetapi ulama itu tidak mendapat kabar dari Sarah. Pada minggu kedua setelah percakapan pertama mereka, akhirnya Sarah menelpon. “Ustad, waktu masih muda, saya bekerja sebagai perawat di rumah sakit.” cerita Sarah akhirnya. “Oh, bagus…..Pekerjaan perawat adalah pekerjaan mulia.” potong ulama itu. “Tapi saya mencari uang sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara, tidak peduli, apakah cara saya itu halal atau haram.” ungkapnya terus terang. Ulama itu terperangah. Ia tidak menyangka wanita itu akan berkata demikian.

“Disana….” sambung Sarah, “Saya sering kali menukar bayi, karena tidak semua ibu senang dengan bayi yang telah dilahirkan. Kalau ada yang menginginkan anak laki-laki, padahal bayi yang dilahirkannya perempuan, dengan imbalan uang, saya tukar bayi-bayi itu sesuai dengan keinginan mereka.”

Ulama tersebut amat terkejut mendengar penjelasan Sarah. “Astagfirullah……” Betapa tega wanita itu menyakiti hati para ibu yang diberi amanah Allah untuk melahirkan anak. Bayangkan, betapa banyak keluarga yang telah dirusaknya, sehingga tidak jelas nasabnya.

Apakah Sarah tidak tahu, bahwa dalam Islam menjaga nasab atau keturunan sangat penting.

Jika seorang bayi ditukar, tentu nasabnya menjadi tidak jelas. Padahal, nasab ini sangat menentukan dalam perkawinan, terutama dalam masalah mahram atau muhrim, yaitu orang-orang yang tidak boleh dinikahi.

“Cuma itu yang saya lakukan...” ucap Sarah.

“Cuma itu?" tanya ulama terperangah. “Tahukah anda bahwa perbuatan Anda itu dosa yang luar biasa, betapa banyak keluarga yang sudah Anda hancurkan!” ucap ulama dengan nada tinggi.

“Lalu apa lagi yang Anda kerjakan?” tanya ulama itu lagi sedikit kesal.

“Di rumah sakit, saya juga melakukan tugas memandikan orang mati.”

“Oh bagus, itu juga pekerjaan mulia.” kata ulama.

“Ya, tapi saya memandikan orang mati karena ada kerja sama dengan tukang sihir.”

“Maksudnya ?”. tanya ulama tidak mengerti.

“Setiap saya bermaksud menyengsarakan orang, baik membuatnya mati atau sakit, segala perkakas sihir itu sesuai dengan syaratnya, harus dipendam di dalam tanah. Akan tetapi saya tidak menguburnya di dalam tanah, melainkan saya masukkan benda-benda itu ke dalam mulut orang yang mati.”

“Suatu kali, pernah seorang alim meninggal dunia. Seperti biasa, saya memasukkan berbagai barang-barang tenung seperti jarum, benang dan lain-lain ke dalam mulutnya. Entah mengapa benda-benda itu seperti terpental, tidak mau masuk, walaupun saya sudah menekannya dalam-dalam. Benda-benda itu selalu kembali keluar. Saya coba lagi begitu seterusnya berulang-ulang. Akhirnya, emosi saya memuncak, saya masukkan benda itu dan saya jahit mulutnya. Cuma itu dosa yang saya lakukan.”

Mendengar penuturan Sarah yang datar dan tanpa rasa dosa, ulama itu berteriak marah.

“Cuma itu yang kamu lakukan ? Masya Allah…!!! Saya tidak bisa bantu anda. Saya angkat tangan.”

Ulama itu amat sangat terkejutnya mengetahui perbuatan Sarah. Tidak pernah terbayang dalam hidupnya ada seorang manusia, apalagi ia adalah wanita, yang memiliki nurani begitu tega, begitu keji. Tidak pernah terjadi dalam hidupnya, ada wanita yang melakukan perbuatan sekeji itu.

Akhirnya ulama itu berkata, “Anda harus memohon ampun kepada Allah, karena hanya Dialah yang bisa mengampuni dosa Anda.”

Bumi menolaknya. Setelah beberapa lama, sekitar tujuh hari kemudian ulama tidak mendengar kabar selanjutnya dari Sarah. Akhirnya ia mencari tahu dengan menghubunginya melalui telepon. Ia berharap Sarah telah bertobat atas segala yang telah diperbuatnya. Ia berharap Allah akan mengampuni dosa Sarah, sehingga Rahmat Allah datang kepadanya. Karena tak juga memperoleh kabar, ulama itu menghubungi keluarga Hasan di Mesir. Kebetulan yang menerima telepon adalah Hasan sendiri. Ulama menanyakan kabar Sarah, ternyata kabar duka yang diterima ulama itu.

“Ummi sudah meninggal dua hari setelah menelpon ustad.” ujar Hasan.

Ulama itu terkejut mendengar kabar tersebut.

“Bagaimana ibumu meninggal, Hasan?” tanya ulama itu.

Hasanpun akhirnya bercerita : Setelah menelpon sang ulama, dua hari kemudian ibunya jatuh sakit dan meninggal dunia. Yang mengejutkan adalah peristiwa penguburan Sarah. Ketika tanah sudah digali, untuk kemudian dimasukkan jenazah atas ijin Allah, tanah itu rapat kembali, tertutup dan mengeras. Para penggali mencari lokasi lain untuk digali. Peristiwa itu terulang kembali. Tanah yang sudah digali kembali menyempit dan tertutup rapat. Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, sehingga tidak seorangpun pengantar jenazah yang menyadari bahwa tanah itu kembali rapat. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Para pengantar yang menyaksikan peristiwa itu merasa ngeri dan merasakan sesuatu yang aneh terjadi. Mereka yakin, kejadian tersebut pastilah berkaitan dengan perbuatan si mayit.

Waktu terus berlalu, para penggali kubur putus asa dan kecapaian karena pekerjaan mereka tak juga usai. Siangpun berlalu, petang menjelang, bahkan sampai hampir maghrib, tidak ada satupun lubang yang berhasil digali. Mereka akhirnya pasrah, dan beranjak pulang. Jenazah itu dibiarkan saja tergeletak di hamparan tanah kering kerontang.

Sebagai anak yang begitu sayang dan hormat kepada ibunya, Hasan tidak tega meninggalkan jenazah orang tuanya ditempat itu tanpa dikubur. Kalaupun dibawa pulang, rasanya tidak mungkin. Hasan termenung di tanah perkuburan seorang diri.

Dengan ijin Allah, tiba-tiba berdiri seorang laki-laki yang berpakaian hitam panjang, seperti pakaian khusus orang Mesir. Lelaki itu tidak tampak wajahnya, karena terhalang tutup kepalanya yang menjorok ke depan. Laki-laki itu mendekati Hasan kemudian berkata padanya,” Biar aku tangani jenazah ibumu, pulanglah!” kata orang itu.

Hasan lega mendengar bantuan orang tersebut, Ia berharap laki-laki itu akan menunggu jenazah ibunya. Syukur-syukur mau menggali lubang untuk kemudian mengebumikan ibunya.

“Aku minta supaya kau jangan menengok ke belekang, sampai tiba di rumahmu." pesan lelaki itu.

Hasan mengangguk, kemudian ia meninggalkan pemakaman. Belum sempat ia di luar lokasi pemakaman, terbersit keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi dengan kenazah ibunya.

Sedetik kemudian ia menengok ke belakang. Betapa pucat wajah Hasan, melihat jenazah ibunya sudah dililit api, kemudian api itu menyelimuti seluruh tubuh ibunya. Belum habis rasa herannya, sedetik kemudian dari arah yang berlawanan, api menerpa wajah Hasan. Hasan ketakutan. Dengan langka h seribu, ia pun bergegas meninggalkan tempat itu.

Demikian yang diceritakan Hasan kepada ulama itu. Hasan juga mengaku, bahwa separuh wajahnya yang tertampar api itu kini berbekas kehitaman karena terbakar. Ulama itu mendengarkan dengan seksama semua cerita yang diungkapkan Hasan. Ia menyarankan, agar Hasan segera beribadah dengan khusyuk dan meminta ampun atas segala perbuatan atau dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh ibunya. Akan tetapi, ulama itu tidak menceritakan kepada Hasan, apa yang telah diceritakan oleh ibunya kepada ulama itu.

Ulama itu meyakinkan Hasan, bahwa apabila anak yang soleh itu memohon ampun dengan sungguh-sungguh, maka bekas luka di pipinya dengan ijin Allah akan hilang. Benar saja, tak berapa lama kemudian Hasan kembali mengabari ulama itu, bahwa lukanya yang dulu amat terasa sakit dan panas luar biasa, semakin hari bekas kehitaman hilang. Tanpa tahu apa yang telah dilakukan ibunya selama hidup, Hasan tetap mendoakan ibunya. Ia berharap, apapun perbuatan dosa yang telah dilakukan oleh ibunya, akan diampuni oleh Allah SWT.

http://tausyiah275.blogsome.com/2006/03/04/kisah-nyatatujuh-kali-naik-haji-tidak-bisa-melihat-kabah/