Thursday, October 28, 2010

Kaligrafi Masjid Alhambra Mengantarnya Menjadi Seorang Muslimah

"Saya duduk di dalam Masjid Alhambra, Spanyol sambil menatap tulisan yang terukira indah di dinding-dindingnya. Tulisan yang paling indah yang pernah saya lihat. Saya lalu bertanya pada orang-orang di sekitar 'bahasa apa itu?' mereka menjawab bahwa itu bahasa Arab," kenang Karima Burns ketika pertama kali ia mengenal tulisan dalam bahasa Arab.

Tulisan Arab yang pertama kali dilihat Burns ternyata sangat berkesan di hatinya. Hingga keesokan harinya, ketika pemandu tur menanyakan soal pilihan bahasa buku panduan wisata yang ia inginkan, dengan mantap Burns menjawab ia menginginkan buku panduan wisata yang ditulis dalam bahasa Arab.

"Bahasa Arab? Apa Anda bisa berbahasa Arab," tanya si pemandu ingin tahu.

"Tidak. Bisakah Anda juga memberikan saya buku versi bahasa Inggrisnya?" kata Burns.

Di akhir perjalanan wisatanya, Burns membawa "oleh-oleh" satu tas penuh buku panduan wisata tempat-tempat yang dikunjunginya di Spanyol. semuanya berbahasa Arab. Saking banyaknya, Burns sampai memberikan pakaiannya pada orang lain agar buku-buku itu bisa masuk semua ke dalam tasnya. Baginya, buku-buku panduan wisata berbahasa Arab itu ibarat emas yang lebih berharga dibandingkan baju-bajunya. Ia membuka buku-buku itu setiap malam dan mengagumi tulisan-tulisan Arab di halaman demi halaman.

"Saya berkhayal bisa menulis tulisan yang indah itu dan saya mulai berpikir pasti ada sesuatu yang berharga dari sebuah budaya yang memiliki bahasa yang sangat artistik. Saya bertekad untuk mempelajari bahas ini begitu saya mulai kuliah pada musim gugur," tutur Burns.

Dua bulan menjelang kuliahnya dimulai, Buns meninggalkan keluarganya di Iowa dan berangkat ke Eropa, sendirian. Usianya ketika itu baru 16 tahun. "Saya ingin melihat dunia dulu sebelum masuk kuliah di Universitas Northewestern. Itulah yang saya katakan pada teman-teman dan keluarga. Padahal sebenarnya saya sedang mencari jawaban. Saya sudah meninggalkan gereja beberapa bulan sebelumnya, dan tak tahu kemana harus berpaling. Saya tak tahu alternatif apa yang akan saya pilih," ungkap Burns.

Ia berharap bisa menemukan ide apa yang akan ia lakukan setelah "keluar" dari gereja. Di gereja, kata Burns, umat Kristiani tidak diizinkan berdoa langsung pada Tuhan. Mereka hanya bisa berdoa pada Yesus dan berharap Yesus akan meneruskan doa itu pada Tuhan. Burns merasa ada yang salah dengan ajaran seperti itu dan diam-diam ia selalu berdoa langsung pada Tuhan. Burns percaya bahwa hanya ada satu entitas dengan siapa ia harus berdoa. Tapi di dalam hatinya, Burns merasa bersalah karena tidak menaati apa yang telah diajarkan agamanya. Situasi itu membuatnya bingung dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.

Burns bertanya-tanya mengapa umat Kristiani diwajibkan ke gereja hanya pada hari Minggu. Ia bingung melihat tingkah orang-orang yang berbeda 180 derajat ketika ada di gereja dan ketika berada di luar gereja. Apakah bersikap baik hanya pada hari Minggu saja, saat mereka semua harus ke geraja? Burns tak menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Ia membaca tentang 10 larangan Tuhan, seperti tidak boleh membunuh, tidak boleh berbohong, tidak boleh mencuri dan hal-hal buruk lainnya yang sudah jelas. Di luar itu, Burns tak menemukan tuntutan bagaimana ia harus bertindak ketika berada di luar gereja.

"Yang saya tahu, mungkin tidak pantas mengenakan rok mini ke gereja atau kami ke gereja pada hari Minggu supaya bisa melihat cowok-cowok keren di gereja," ungkap Burns.

Suatu hari, ia berkunjung ke rumah seorang gurunya dan di sana ia melihat jejeran alkitab di rak buku. Menurut gurunya, alkitab itu berbeda-beda versi. Ia melihat gurunya tidak terlalu peduli melihat alkitab denga banyak versi berbeda. Tapi Burns merasa tak nyaman mengetahui hal itu. Ia menemukan bagian yang sangat berbeda antara versi yang satu dengan yang lainnya, bahkan ada bab-bab yang tidak ia temukan seperti di dalam alkitab yang sering dibacanya. Burns makin bingung.

Di Eropa ia tidak menemukan jawaban atas kebingungannya. Burns pun pulang dengan perasaan kecewa. Tapi keinginannya untuk mempelajari bahasa Arab tetap membara. Saat menatap tuisan di dinding Masjid Alhambra, Burns tidak menyadari bahwa tulisan itulah jawaban atas semua keresahan jiwanya. Burns baru menyadarinya dua tahun kemudian.

Belajar Bahasa Arab

Di hari pertama ke kampus, Burns langsung mendaftarkan diri ke kelas bahasa Arab. Hanya ada empat orang, termasuk dirinya yang mendaftar ke kelas yang paling tidak populer di kampus itu. Semangat dan minat Burns yang tinggi pada bahasa Arab membuat guru bahasa Arabnya terheran-heran. Ia mengerjakan PR dengan menggunakan pena untuk kaligrafi. Ia juga mengunjungi komunitas Arab di Chicago hanya untuk mencari tahu kebenaran soal bahasa Arab dalam tulisan botol Coca Cola. Setengah memelas, Burns memohon agar guru bahasa Arabnya meminjamkan buku-buku dalam tulisan Arab agar ia bisa melihat dan mengagumi bentuk tulisan Arab itu.

Di tahun kedua kuliahnya, Burns memutuskan untuk mengambil jurusan studi Timur Tengah. Ia lalu mengambil beberapa mata kuliah yang berhubungan dengan studi tersebut. Salah satunya mata kuliah tentang Al-Quran.

"Suatu malam saya membuka Al-Quran untuk mengerjakan PR kuliah dan saya tidak bisa berhenti membacanya. Seolah-olah saya menemukan sebuah novel menarik yang membuat saya terus membacanya. Membaca Al-Quran, hati saya berteriak 'Wow, ini hebat sekali. Inilah yang selalu saya yakini.' Al-Quran memberikan jawaban atas semua pertanyaan saya soal bagaimana kita harus berperilaku setiap hari dan dalam Al-Quran juga dengan jelas ditegaskan bahwa Tuhan itu satu," papar Burns.

Ia mengaku terkagum-kagum ada sebuah "buku" yang menuliskan semua yang ia yakini dan apa yang selama ini ia cari, dan apa yang tertulis di dalamnya, semuanya masuk akal. Keesokan harinya ia di kelas Al-Quran ia menanyakan tentang pengarang "buku" itu, karena di "buku" itu tertulis satu nama orang.

Profesor di kelasnya memberitahunya bahwa nama yang tertulis di dalam "buku" itu bukan nama pengarangnya tapi nama penerjemahnya. Burns juga mendapat penjelasan bahwa Qur'an berisi firman-firman Allah dan sejak diturunkan tidak pernah mengalami perubahan, terus dibaca dan kemudian dikumpulkan dalam bentuk "buku".

"Saya betul-betul terpesona dan makin bergairah untuk mempelajari bahasa Arab, bahkan lebih dari itu, saya jadi ingin mempelajari Islam dan berniat jalan-jalan ke Timur Tengah," tukas Burns.

Di tahun terakhir kuliahnya, ia berangkat ke Mesir melanjutkan studi Timur Tengahnya. Kota Kairo menjadi tempat "Islami" favoritnya karena berada di masjid-masjid di kota itu membuatnya merasa tenang dan tentram. "Saya bisa merasakan, berada di dalam masjid, seseorang bisa merasakan keindahan, kekuatan dan kehadiran Allah Swt. Dan saya begitu menikmati tulisan-tulisan kaligrafi yang elegan di dinding-dinding masjid," ujar Burns.

Suatu hari, seorang teman Burns bertanya mengapa ia tidak masuk Islam saja jika ia sangat mengagumi Islam. Dengan enteng Burns menjawab, "Tapi saya sudah menjadi muslim", sebuah jawaban yang ia sendiri kaget mendengarnya. Saat itu Burns beranggapan bahwa menjadi muslim adalah persoalan logika dan persoalan sederhana.

Burns mengakui Islam adalah agama yang bisa diterima akalnya, memberinya inspirasi dan ia mengakui kebenaran ajaran Islam. Ia berpikir, jika sudah mengakuinya, kenapa ia juga harus pindah agama? Sahabat Burns tadi lalu menjelaskan bahwa ada yang wajib dilakukan Burns jika ia secara resmi ingin menjadi seorang muslim.

Burns akhirnya mengikuti saran sahabatnya itu. Ia lalu datang ke sebuah masjid dan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan dua orang saksi. Ia pun resmi menjadi seorang muslim dan diberikan sebuah sertifikat sebagai tanda bahwa ia sudah menjadi seorang muslim.

"Tapi saya menyimpan sertifikat itu bersama tumpukan surat-surat pribadinya. Buat saya, tidak perlu menggantung sertifikat itu agar orang tahu saya seorang muslim. Saya sudah dan akan selalu menjadi seorang muslim. Begitu saya membuka Al-Quran, saya merasa menemukan keluarga saya yang sudah lama hilang. Saya lebih senang memajang gambar masjid Alhambra di dinding kamar saya, daripada sertifikat keislaman saya," tandas Karima Burns. (ln/oi)

http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/kaligrafi-masjid-alhambra-mengantarnya-menjadi-seorang-muslimah.htm

Permintaan Ibu

09-07-2009 16:29:18 WIB Oleh : Syafatus Syarifah

"Hanya kamu harapan Ibu, sungguh aku hanya berharap padamu..." kata Ibuku dengan nada sedih. Matanya yang semula berkaca-kaca kini nampak mulai ada air jernih yang menetes. Ya Allah, jangan buat dia bersedih, aku paling tak tega melihatnya menangis.

Malam itu kami hanya berdua di kamar ibuku di kampung halaman sana. Kebetulan aku beserta keluarga sedang mudik karena ada tasyakuran pernikahan adik bungsuku.

Setiap aku mudik, aku selalu meluangkan waktu untuk bermesraan dengan ibuku. Berduaan, saling curhat dan saling berbagi rasa suka dan duka. Momen-momen intim seperti inilah yang selalu kurindu.

Seperti malam itu, ketika tamu-tamu sudah pulang. Tinggal badan yang kecapekan karena seharian bahkan sejak beberapa hari sebelumnya sibuk menyiapkan segala macam urusan tasyakuran, kami berdua sambil tidur-tiduran di kamar ibu mulai saling curhat. Lebih banyak ibu yang curhat dan aku sebagai pendengar setia.

Ibuku yang kuyakin amat sangat capek kala itu bahkan masih mampu memijit dan 'ngerokin' badanku. Aku hanya suka dipijit atau dikerokin oleh ibu, lain tidak. Kerokan ibu sungguh sangat halus dan lembut. Tak pernah membuatku merasa kesakitan sama sekali, sebaliknya justru membuat badanku yang masuk angin langsung sembuh.

Glekkk. Oh ibu, sedih nian. Mungkin aku tak sesempurna yang ibu bayangkan. Tapi aku memang selalu berusaha untuk senantiasa mendoakan mereka setiap hari.

"Tahu kan nak bahwa setelah ibu meninggal nanti, hanya doa anak-anak shaleh/shalehah lah yang kan mampu menjadi penolong..." lanjutnya mengulang nasehat yang selalu diulang-ulang baik melalui telpon maupun di saat intimate momen seperti ini.

"Iya bu.." aku mengangguk. Meski telah beratus kali atau bahkan ribuan kali aku mendengarnya namun aku tak pernah merasa bosan dengan nasehat ibu.

"Ibu nggak pernah berharap balasan apa-apa dari kalian, ibu hanya ingin didoakan.. Itu saja..." katanya.

See... that simple! permintaan sesederhana itu apakah kamu masih berat juga memenuhinya.. bisik suara batinku. Bukankah pengorbanan beliau jauh.. jauh lebih berat dari itu. Sejak dari mengandungmu, membiayai sekolahmu, mengasuhmu dan bahkan menjadi tempat sampah curahan hatimu ketika kamu sudah berumah tangga sendiri... lanjut suara batin itu terus menggema dalam relung hatiku.

"Insya Allah bu.. saya akan selalu mendoakan, ingatkan bila suatu saat terlupa.." jawabku menenangkan ibu. Tampak segurat senyum di bibir tuanya yang mulai keriput. Dia beringsut, aku memeluknya dalam haru.

Sungguh ibu, aku berjanji takkan pernah melupakan satu-satunya permintaanmu ini. Ya Allah, ingatkan aku bila suatu saat aku terlupa..

http://www.edumuslim.org/index.php?option=article&article_rf=186

Kisah Menakjubkan Tentang Sabar dan Syukur Kepada Allah

Oleh Ustadz Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja, Lc.

Bagi orang yang sering mengamati isnad hadits maka nama Abu Qilabah bukanlah satu nama yang asing karena sering sekali ia disebutkan dalam isnad-isnad hadits, terutama karena ia adalah seorang perawi yang meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik yang merupakan salah seorang dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu nama Abu Qilabah sering berulang-ulang seiring dengan sering diulangnya nama Anas bin Malik. Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats-Tsiqoot menyebutkan kisah yang ajaib dan menakjubkan tentangnya yang menunjukan akan kuatnya keimanannya kepada Allah.

Nama beliau adalah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi salah seorang dari para ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari Al-Bashroh. Beliau meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin Al-Huwairits –radhiallahu ‘anhuma-. Beliau wafat di negeri Syam pada tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdilmalik.

Abdullah bin Muhammad berkata, “Aku keluar menuju tepi pantai dalam rangka untuk mengawasi (menjaga) kawasan pantai (dari kedatangan musuh). Tatkala aku tiba di tepi pantai tiba-tiba aku telah berada di sebuah dataran lapang di suatu tempat (di tepi pantai) dan di dataran tersebut terdapat sebuah kemah yang di dalamnya terdapat seseorang yang telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya, dan pendengarannya telah lemah serta matanya telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnyapun yang bermanfaat baginya kecuali lisannya, orang itu berkata, “Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku di atas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan."

Abdullah bin Muhammad berkata, “Demi Allah aku akan mendatangi orang ini, dan aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini, apakah ia faham dan tahu dengan apa yang diucapkannya itu? ataukah ucapannya itu merupakan ilham yang diberikan kepadanya?"

Maka akupun mendatanginya lalu aku mengucapkan salam kepadanya, lalu kukatakan kepadanya, “Aku mendengar engkau berkata “Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan”, maka nikmat manakah yang telah Allah anugrahkan kepadamu sehingga engkau memuji Allah atas nikmat tersebut? Dan kelebihan apakah yang telah Allah anugrahkan kepadamu hingga engkau mensyukurinya?”

Orang itu berkata, “Tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan oleh Robku kepadaku? Demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar kepadaku hingga membakar tubuhku atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku hingga menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut untuk menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku, maka tidaklah hal itu kecuali semakin membuat aku bersyukur kepadaNya karena Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku berupa lidah (lisan)ku ini. Namun, wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku maka aku perlu bantuanmu. Engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak mampu untuk membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang putra yang selalu melayaniku, di saat tiba waktu sholat ia mewudhukan aku, jika aku lapar maka ia menyuapiku, jika aku haus maka ia memberikan aku minum. Namun, sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya maka tolonglah engkau mencari kabar tentangya. Semoga Allah merahmati engkau.”

Aku berkata, “Demi Allah tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan seorang saudaranya yang ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah, lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk menunaikan keperluan dan kebutuhan orang yang seperti engkau."

Maka akupun berjalan mencari putra orang tersebut hingga tidak jauh dari situ aku sampai di suatu gudukan pasir, tiba-tiba aku mendapati putra orang tersebut telah diterkam dan di makan oleh binatang buas, akupun mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi roji’uun. Aku berkata, “Bagaimana aku mengabarkan hal ini kepada orang tersebut?”

Dan tatkala aku tengah kembali menuju orang tersebut, maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalam. Tatkala aku menemui orang tersbut maka akupun mengucapkan salam kepadanya lalu ia menjawab salamku dan berkata, “Bukankah engkau adalah orang yang tadi menemuiku?” Aku berkata, “Benar...” Ia berkata, “Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk membantuku?”

Akupun berkata kepadanya, “Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi Ayyub ‘alaihissalam?” Ia berkata, “Tentu Nabi Ayyub ‘alaihissalam..."

Aku berkata, “Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Ayyub? Bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya, keluarganya, serta anaknya?” Orang itu berkata, “Tentu aku tahu.”

Aku berkata, “Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?” Ia berkata, “Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah”.

Aku berkata, “Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan sahabat-sahabatnya.” Ia berkata, “Benar.”

Aku berkata, “Bagaimanakah sikapnya?” Ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah”.

Aku berkata, “Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau akan hal itu?” Ia berkata, “Iya.” Aku berkata, “Bagaimanakah sikap nabi Ayyub?” Ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah... Langsung saja jelaskan maksudmu –semoga Allah merahmatimu-!!”

Aku berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau.” Orang itu berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepadaNya lalu Ia menyiksanya dengan api neraka.” Kemudian ia berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun”, lalu ia menarik nafas yang panjang lalu meninggal dunia.

Aku berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun”, besar musibahku, orang seperti ini jika aku biarkan begitu saja maka akan dimakan oleh binatang buas, dan jika aku hanya duduk maka aku tidak bisa melakukan apa-apa[1]. Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang ada di tubuhnya dan aku duduk di dekat kepalanya sambil menangis.

Tiba-tiba datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku “Wahai Abdullah, ada apa denganmu? Apa yang telah terjadi?”

Maka akupun menceritakan kepada mereka apa yang telah aku alami. Lalu mereka berkata, “Bukalah wajah orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!” maka akupun membuka wajahnya, lalu merekapun bersungkur mencium keningnya, mencium kedua tangannya, lalu mereka berkata, “Demi Allah, matanya selalu tunduk dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah, demi Allah tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur!!”.

Aku bertanya kepada mereka, “Siapakah orang ini –semoga Allah merahmati kalian-?”, mereka berkata, Abu Qilabah Al-Jarmi sahabat Ibnu ‘Abbas, ia sangat cinta kepada Allah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kamipun memandikannya dan mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai, lalu kami menyolatinya dan menguburkannya, lalu merekapun berpaling dan akupun pergi menuju pos penjagaanku di kawasan perbatasan. Tatkala tiba malam hari akupun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga sambil membaca firman Allah

}سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ{ (الرعد:24)

“Keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena kesabaran kalian, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. 13:24)

Lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?” Ia berkata, “Benar.”

Aku berkata, “Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua?”

Ia berkata, “Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa dengan bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang dan tentram bersama dengan rasa takut kepada Allah baik dalam keadaan bersendirian maupun dalam kaeadaan di depan khalayak ramai”

———————
[1] Hal ini karena biasanya daerah perbatasan jauh dari keramaian manusia, dan kemungkinan Abdullah tidak membawa peralatan untuk menguburkan orang tersebut, sehingga jika ia hendak pergi mencari alat untuk menguburkan orang tersebut maka bisa saja datang binatang buas memakannya, Wallahu a’lam

Sumber: situs pribadi guru kami Ustadz Firanda -hafizhahullah- http://firanda.com

Tuesday, October 26, 2010

Nabiyullah Isa as Turun Di Akhir Zaman

Senin, 25/10/2010 20:39 WIB
http://www.eramuslim.com/suara-langit/kehidupan-sejati/nabiyullah-isa-as-turun-di-akhir-zaman.htm

Masih banyak muslim yang tidak tahu-menahu bahkan mengingkari bakal turunnya Nabiyullah Isa ’alaihissallam di Akhir Zaman. Sebagian karena menyangka bahwa hal ini merupakan keyakinan kaum Nasrani dan tidak ada hubungannya dengan ummat Islam. Sebagian lagi karena berdalil bahwa tidak bakal ada Nabi lagi yang diutus sesudah Nabi terakhir Nabiyullah Muhammad shollallahu’alaihi wa sallam. Malah sebagian lagi meyakini bahwa Nabi Isa’alaihissallam telah wafat, bagaimana mungkin ia akan hidup kembali?

Padahal kalau kita rajin mempelajari hadits-hadits shohih dari Nabi Muhammad shollallahu’alaihi wa sallam niscaya akan dijumpai begitu banyak keterangan mengenai bakal turunnya Nabi Isa ’alaihissallam di Akhir Zaman. Jadi, antara ummat Islam dan kaum Nasrani ada kemiripan dalam hal meyakini turunnya Isa as di Akhir Zaman. Namun sudah barang tentu sangat berbeda peranan yang bakal dilakoni olehnya menurut versi Islam dan Kristen. Bagi mereka, Yesus atau Isa as diyakini sebagai Tuhan atau anak Tuhan. Sedangkan bagi kita Isa as adalah Nabiyullah yang akan membenarkan ajaran Nabi Muhammad shollallahu’alaihi wa sallam. Ketika Nabi Isa ’alaihissallam turun kelak ia tidak akan membawa ajaran baru, apalagi menyebarkan ajaran Nasrani.

Nabiyullah Isa ’alaihissallam tidak terbunuh. Tetapi yang disalib dan dibunuh adalah orang lain yang diserupakan wajahnya dengan wajah Isa ’alaihissallam. Lalu kemana perginya Nabi Isa ’alaihissallam waktu itu, yakni sekitar 2000 tahun yang lalu? Beliau diangkat oleh Allah subhaanahu wa ta’aala ke sisi-Nya di langit. Persis sebagaimana Nabi Muhammad shollallahu’alaihi wa sallam di-mi’raj-kan dahulu kala. Hanya bedanya bila Nabi Muhammad shollallahu’alaihi wa sallam diberangkatkan ke langit di awal malam lalu kembali ke dunia pada malam itu juga menjelang waktu subuh, maka Nabi Isa ’alaihissallam di-mi’raj-kan ke langit 2000-an tahun yang lalu dan hingga sekarang masih ditahan di langit hingga waktunya Allah subhaanahu wa ta’aala akan menurunkannya kembali ke dunia menjelang Hari Kiamat.

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ
عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ
رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ
وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ
وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ
لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ
إِلا اتِّبَاعَ الظَّنِّ
وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا
بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ
وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

Dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya Kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan 'Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa [4] :157-158)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Nabi Muhammad shollallahu’alaihi wa sallam menjelaskan bahwa ketika Nabi Isa ’alaihissallam kelak turun ke bumi ia akan menjalankan beberapa tugas mulia serta mengalami beberapa peristiwa, yaitu:
1. Berjihad di jalan Allah subhaanahu wa ta’aala mengajak manusia memeluk agama Islam
2. Menghancurkan salib
3. Membunuh babi
4. Membebaskan jizyah (pajak)
5. Turut membinasakan semua agama selain Islam
6. Membunuh Ad-Dajjal
7. Tinggal di dunia selama empatpuluh tahun
8. Meninggal dunia alias wafat
9. Disholatkan oleh kaum Muslimin

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ نَبِيٌّ
يَعْنِي عِيسَى وَإِنَّهُ نَازِلٌ
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَاعْرِفُوهُ
رَجُلٌ مَرْبُوعٌإِلَى الْحُمْرَةِ
وَالْبَيَاضِبَيْنَ مُمَصَّرَتَيْنِ
كَأَنَّ رَأْسَهُ يَقْطُرُ
وَإِنْ لَمْ يُصِبْهُ بَلَلٌ
فَيُقَاتِلُ النَّاسَ عَلَى الْإِسْلَامِ
فَيَدُقُّ الصَّلِيبَ
وَيَقْتُلُ الْخِنْزِيرَوَيَضَعُ الْجِزْيَةَ
وَيُهْلِكُ اللَّهُ فِي زَمَانِهِ الْمِلَلَ
كُلَّهَا إِلَّا الْإِسْلَامَ
وَيُهْلِكُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ
فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ أَرْبَعِينَ سَنَةً
ثُمَّ يُتَوَفَّى فَيُصَلِّي عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ

Telah menceritakan kepada kami Hudbah bin Khalid berkata, telah menceritakan kepada kami Hammam bin Yahya dari Qatadah dari 'Abdurrahman bin Adam dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada Nabi antara aku dan dia -maksudnya Isa-. Sungguh, kelak ia akan turun, jika kalian melihatnya maka kenalilah. Ia adalah seorang laki-laki yang sedang (tidak tinggi ataupun pendek), berkulit merah keputih-putihan, mengenakan kain berwarna kekuningan. Seakan rambut kepala menetes meski tidak basah. Ia akan (1) memerangi manusia hingga mereka masuk ke dalam Islam, ia (2) memecahkan salib, (3) membunuh babi dan (4) membebaskan jizyah (pajak). Pada masanya Allah akan (5) membinasakan semua agama selain Islam, Isa akan (6) membunuh Dajjal, dan (7) akan tinggal di dunia selama empat puluh tahun. Setelah itu ia (8) meninggal dan (9) kaum muslimin menshalatinya." (ABUDAUD - 3766)

Monday, October 25, 2010

Mengenang Kembali Satu Tahun Berpulangnya Ibunda

by Satyadharma Mohammad on Wednesday, November 4, 2009 at 7:12am.

In Memoriam Ibunda Hj. Welliati

Innaalillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun

Pada hari Minggu, 25 Oktober 2009 dini hari,
dengan tenang dan penuh kedamaian, telah berpulang ke pangkuan-Mu Ya Allah,
Istri/Ibunda/Nenek kami tercinta:

Hj. Welliati binti Soemardi

Ya Allah... sudah menjadi ketentuan-Mu,
Engkau panggil beliau setelah beberapa hari bersabar dengan sakitnya,
...berserah atas segala deritanya,
...dengan lisan yang tak putus beristighfar memohon ampunan-Mu,
...dengan bibir yang tak pernah kering bertasbih memuji mengagungkan Nama-Mu.

Ya Allah... sudah menjadi ketentuan-Mu,
Engkau panggil beliau setelah kami semua berkumpul
memintakan ampunan dan maghfirah-Mu atas segala khilaf dan dosanya,
memanjatkan doa memohonkan sorga dan keselamatan baginya.

Ya Allah... sudah menjadi ketentuan-Mu,
Engkau panggil beliau setelah tuntas mengajarkan kepada kami semua
tentang nilai luhur dan kebesaran jiwa,
menghapus dendam, memupus luka, ...menyatukan rasa keluarga yang terbelah,
saling menggenggam tangan menguntai cinta, ...berbagi kasih antar sesama.

Ya Allah... sudah menjadi ketentuan-Mu,
Engkau panggil beliau dalam keikhlasan senyumnya,
dalam kelapangan dada ...dan dalam ketenangan jiwanya.

Ya Allah... kami pun ikhlas dan ridha melepas kepergiannya menghadap-Mu,
karena tiada tempat kembali seindah tempat kembali di sisi-Mu.
Terimalah amal ibadahnya... Ampunilah segala dosanya
Lapangkan jalannya... Ringankan siksa kuburnya
Bukakan pintu sorga baginya... Bangunkan sebuah istana untuknya.

Terima kasih Ya Allah... Kau titipkan kami dalam pengasuhan seorang Ibu
yang bersahaja... berhati mulia... dan berprilaku bijaksana.
Izinkan kami agar bisa mengikuti suri tauladannya.

Saturday, October 16, 2010

Tsabit bin Ibrahim

Published by abu7eehad

Seorang lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh ke luar pagar sebuah kebun buah-buahan.

Seorang lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh ke luar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah terbitlah air liur Tsabit, terlebih-lebih di hari yang sangat panas dan di tengah rasa lapar dan haus yang mendera. Maka tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang terlihat sangat lezat itu. Akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahwa buah apel itu bukan miliknya dan dia belum mendapat ijin pemiliknya.

Maka ia segera pergi ke dalam kebun buah-buahan itu dengan maksud hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah apel yang telah terlanjur dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja ia berkata, “Aku sudah memakan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya”. Orang itu menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya khadamnya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya”.

Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, “Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini.” Pengurus kebun itu memberitahukan, “Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam”.

Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orangtua itu, “Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Saw sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : “Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka.”

Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba disana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata, “Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu sudikah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?” Lelaki tua yang ada di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, “Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.” Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, “Apa syarat itu tuan?” Orang itu menjawab, “Engkau harus mengawini putriku !”

Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, “Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang jatuh ke luar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu ?” Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, “Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang gadis yang lumpuh !”

Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan semacam itu patut dia persunting sebagai isteri gara-gara ia memakan setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, “Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan !”

Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, “Aku akan menerima pinangannya dan perkawinannya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul Alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Taala”. Maka pernikahanpun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan usai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui istrinya.

Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam, “Assalamualaikum…”

Tak dinyana sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi menjadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya.

Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. “Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula”, kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berpikir mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya ?

Setelah Tsabit duduk disamping istrinya, dia bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa ?” Wanita itu kemudian berkata, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah”. Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?” Wanita itu menjawab, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?” tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Selanjutnya wanita itu berkata, “aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya mengunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Taala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Taala”.

Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat saleh dan wanita yang akan memelihara dirinya dan melindungi hak-haknya sebagai suami dengan baik. Dengan bangga ia berkata tentang istrinya, “Ketika kulihat wajahnya Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap”.

Tsabit dan istrinya yang salihah dan cantik rupawan itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Numan bin Tsabit.

Mengagumi Rasulullah SAW

REPUBLIKA.CO.ID,Ketika Rasulullah SAW sedang bertawaf mengelilingi Ka’bah, beliau mendengar seorang di hadapannya bertawaf sambil berzikir, “Ya, Karim! Ya, Karim!” Lalu, Nabi SAW menirunya, “Ya, Karim! Ya, Karim!” Orang itu lalu berhenti di salah satu sudut Ka’bah, lalu berzikir lagi. Nabi Muhammad SAW pun kembali mengikutinya.

Seakan merasa seperti diolok-olok, orang itu menoleh ke belakang. Terlihat olehnya seorang laki-laki yang gagah dan tampan, yang belum pernah dikenalinya. Orang itu lalu berkata, “Wahai, orang tampan, apakah engkau memang sengaja memperolok-olokku karena aku ini adalah orang Arab Badui? Kalaulah bukan karena ketampananmu dan kegagahanmu, pasti engkau akan aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah.”

Rasulullah SAW pun tersenyum, lalu bertanya, “Tidakkah engkau mengenali nabimu, wahai, orang Badui?” Orang itu menjawab, “Belum.” Lalu, Rasulullah bertanya, “Jadi, bagaimana engkau beriman kepadanya?” Si Badui kembali berkata dengan mantap, “Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya walaupun saya belum pernah melihatnya. Saya membenarkan putusannya sekalipun saya belum pernah bertemu dengannya.”

“Wahai, orang Badui, ketahuilah, aku ini nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat,” tutur Rasulullah SAW. Melihat Nabi SAW di hadapannya, dia tercengang, seperti tidak percaya kepada dirinya. “Tuan ini Nabi Muhammad?” Nabi SAW menjawab, “Ya.”

Ia segera menunduk untuk mencium kedua kaki Rasulullah SAW. Melihat hal itu, Nabi SAW segera menarik tubuh orang Badui itu seraya berkata kepadanya, “Wahai, orang Badui, janganlah berbuat serupa itu. Perbuatan seperti itu biasanya dilakukan oleh hamba sahaya kepada tuannya. Ketahuilah, Allah mengutusku bukan untuk menjadi seorang yang takabur dan yang minta dihormati atau diagungkan. Akan tetapi, demi berita gembira bagi orang yang beriman dan demi berita ancaman bagi yang mengingkarinya.”

Ada dua makna penting dalam kisah di atas yang dapat dijadikan pelajaran. Pertama, terkait dengan kebanggaan tiada tara seorang hamba bertemu dengan Nabi SAW, pembawa kebenaran di dunia dan pemberi syafaat di akhirat kelak. Gerakan tunduk untuk mencium kaki Rasulullah merupakan perilaku spontan yang dilakukan orang biasa karena mendapatkan sesuatu yang tak terhingga. Hal ini wajar sebab tidak semua umat dapat bertemu dengan Nabi Muhammad SAW.

Kedua, yang lebih penting dari pertemuan orang Badui dengan Rasulullah SAW itu adalah kecintaan terhadap Nabi SAW bukan dengan cara memujanya, seperti mencium kaki dan lain sebagainya. Rasulullah tidak ingin memosisikan diri di hadapan umatnya laksana tuan dan budak.

Kecintaan dan kekaguman terhadap Rasulullah SAW hendaknya direfleksikan dari perilaku yang mencerminkan ketaatan terhadap ajarannya, bukan pada pribadinya secara fisik. Kita tak menemukan Rasulullah dalam bentuk fisik, tetapi ajaran kebenaran yang disampaikannya akan tetap “hidup” dan menjadi cahaya sepanjang zaman. Selama itu pula, umat akan merasakan kehadiran Rasulullah SAW sekaligus menghormatinya.

Kesetiaan dan kekaguman kepada Rasulullah saat ini akan memiliki derajat yang sama dengan orang yang bertemu secara langsung tatkala kita menjadi umat yang taat dan selalu menegakkan syiar Islam yang diajarkannya.

Rahmatan lil’alamin

REPUBLIKA.CO.ID, Suatu hari Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, "Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?'' Para sahabat pun menjawab, "Ya, Rasulullah, orang yang bangkrut adalah mereka yang tidak lagi mempunyai uang dan harta.''

"Bukan itu," jawab Rasulullah. "Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang pada hari kiamat membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, mereka suka mencuri, menjelek-jelekkan orang lain, suka memakan harta orang lain (korupsi), menumpahkan darah, dan memukul orang lain tanpa hak.''

Dengan demikian, kata Rasulullah, pahala shalat, puasa, dan zakat orang itu dialihkan oleh Allah SWT kepada si anu, si anu, dan si anu, yaitu orang yang dicaci, dicuri hartanya, dan dibunuh. "Akan tetapi, pahala kebaikan orang yang pailit itu habis sebelum tertebus semua kejahatannya, sampai-sampai ganjaran kejahatan orang lain dibebankan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.'' (HR Muslim, tercantum dalam Mukasyafah al-Qulub: al-Muqarrib ila Hadhrah 'Allam al-Ghuyub fi 'ilm at-Tashawwuf).

Akhir-akhir ini, sebagian masyarakat Indonesia dihadapkan pada peristiwa-peristiwa kekerasan (terorisme), konflik horizontal, tawuran antarkelompok masyarakat, pencurian, korupsi, dan pembunuhan yang melanggar hukum. Semua kejadian itu tentunya mengarah pada terganggunya keselamatan dan keamanan masyarakat.

Sebagai agama rahmat bagi semesta alam, Islam tak membenarkan dan melarang semua tindakan tersebut. "Wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil 'alamin.'' (Dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad), melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam). (QS Al-Anbiya [21]: 107).

Quraish Shihab mengemukakan bahwa redaksi ayat tersebut mencakup empat hal pokok. Pertama, rasul utusan Allah itu adalah Nabi Muhammad. Kedua, yang mengutusnya adalah Allah SWT. Ketiga, rasul itu diutus kepada mereka (al-'alamin). Keempat, risalah yang disampaikan mengisyaratkan sifat-sifat kedamaian dan kasih sayang yang mencakup semua waktu dan tempat.

Ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin itu mengandung makna bahwa kehadirannya memberikan rahmat kepada seluruh alam, termasuk di dalamnya lingkungan hidup, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan seluruh umat manusia tanpa membedakan agama, golongan, etnis, dan peradaban. Rasulullah SAW bersabda, "Khair an-naas 'anfa'uhum li an-naas.'' (Sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat bagi manusia lainnya).

Oleh karena itu, sebagai umat Islam, tentu kita tidak menginginkan seluruh amal ibadah yang dikerjakan selama menjadi bangkrut (tak bersisa) karena perbuatan menjelek-jelekkan orang lain, mencuri, membunuh, korupsi, berzina, dan lainnya. Kita diajarkan untuk menyayangi dan mengasihi sesama, apa pun latar belakangnya. Wallahu A'lam.

Red: Budi Raharjo
Rep: Oleh Prof Nanat Fatah Natsir

Wednesday, October 13, 2010

Kekuatan Maaf

http://kisah2hikmah.blogspot.com/2008/01/kekuatan-maaf.html

Seorang lelaki Arab bernama Tsumamah bin Itsal dari Kabilah Al Yamamah pergi ke Madinah dengan tujuan hendak membunuh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam. Segala persiapan telah matang, persenjataan sudah disandangnya, dan ia pun sudah masuk ke kota suci tempat Rasulullah tinggal itu. Dengan semangat meluap-luap ia mencari majlis Rasulullah, langsung didatanginya untuk melaksanakan maksud tujuannya. Tatkala Tsumamah datang, Umar bin Khattab ra. yang melihat gelagat buruk pada penampilannya menghadang. Umar bertanya, "Apa tujuan kedatanganmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?"

Dengan terang-terangan Tsumamah menjawab, "Aku datang ke negri ini hanya untuk membunuh Muhammad!".

Mendengar ucapannya, dengan sigap Umar langsung memberangusnya. Tsumamah tak sanggup melawan Umar yang perkasa, ia tak mampu mengadakan perlawanan. Umar berhasil merampas senjatanya dan mengikat tangannya kemudian dibawa ke masjid. Setelah mengikat Tsumamah di salah satu tiang masjid Umar segera melaporkan kejadian ini pada Rasulullah.

Rasulullah segera keluar menemui orang yang bermaksud membunuhnya itu. Setibanya di tempat pengikatannya, beliau mengamati wajah Tsumamah baik-baik, kemudian berkata pada para sahabatnya, "Apakah ada di antara kalian yang sudah memberinya makan?".

Para shahabat Rasul yang ada di situ tentu saja kaget dengan pertanyaan Nabi. Umar yang sejak tadi menunggu perintah Rasulullah untuk membunuh orang ini seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari Rasulullah. Maka Umar memberanikan diri bertanya, "Makanan apa yang anda maksud wahai Rasulullah? Orang ini datang ke sini ingin membunuh bukan ingin masuk Islam!" Namun Rasulullah tidak menghiraukan sanggahan Umar. Beliau berkata, "Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, dan buka tali pengikat orang itu".

Walaupun merasa heran, Umar mematuhi perintah Rasulullah. Setelah memberi minum Tsumamah, Rasulullah dengan sopan berkata kepadanya, "Ucapkanlah Laa ilaha illa-Llah (Tiada ilah selain Allah)." Si musyrik itu menjawab dengan ketus, "Aku tidak akan mengucapkannya!". Rasulullah membujuk lagi, "Katakanlah, Aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah." Namun Tsumamah tetap berkata dengan nada keras, "Aku tidak akan mengucapkannya!"

Para sahabat Rasul yang turut menyaksikan tentu saja menjadi geram terhadap orang yang tak tahu untung itu. Tetapi Rasulullah malah membebaskan dan menyuruhnya pergi. Tsumamah yang musyrik itu bangkit seolah-olah hendak pulang ke negrinya. Tetapi belum berapa jauh dari masjid, dia kembali kepada Rasulullah dengan wajah ramah berseri. Ia berkata, "Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad Rasul Allah."

Rasulullah tersenyum dan bertanya, "Mengapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku memerintahkan kepadamu?" Tsumamah menjawab, "Aku tidak mengucapkannya ketika masih belum kau bebaskan karena khawatir ada yang menganggap aku masuk Islam karena takut kepadamu. Namun setelah engkau bebaskan, aku masuk Islam semata-mata karena mengharap keridhaan Allah Robbul Alamin."

Pada suatu kesempatan, Tsumamah bin Itsal berkata, "Ketika aku memasuki kota Madinah, tiada yang lebih kubenci dari Muhammad. Tetapi setelah aku meninggalkan kota itu, tiada seorang pun di muka bumi yang lebih kucintai selain Muhammad Rasulullah."

Pembaca, apa yang bisa kita simpulkan dari kisah ini?
Apakah kita pengikut ajaran beliau?
Tapi Pernahkan kita memaafkan kesalahan orang? Pernahkah kita mencintai sesama? kalau tidak, kita perlu menanyakan kembali ikrar kita yang pernah kita ucapkan sebagai tanda kita pengikut beliau...

Sungguh, beliau adalah contoh yang sempurna sebagai seorang manusia biasa. Beliau adalah Nabi terbesar, beliau juga adalah Suami yang sempurna, Bapak yang sempurna, pimpinan yang sempurna, teman dan sahabat yang sempurna, tetangga yang sempurna. Maka, tidak salah kalau Allah mengatakan bahwa Beliau adalah teladan yang sempurna.

Semoga Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada beliau, junjungan dan teladanku yang oleh Allah telah diciptakan sebagai contoh manusia yang sempurna.

Kisah Ma Li dan Zhai Xiao Wei

http://ceritayangmemotivasi.blogspot.com/2009/08/kisah-ma-li-dan-zhai-xiao-wei.html

- Ma Li -

Ma Li adalah seorang balerina profesional, yang sudah membangun karirnya sejak masa kanak-kanak. Ia berasal dari Provinsi Henan, China. Sayangnya, ketika berusia 19 tahun (tahun 1996), ia mengalami kecelakaan mobil. Akibatnya, lengan kanannya harus diamputasi. Kemudian, kekasihnya pergi meninggalkannya.

Betapa bingung dan kecewanya Ma Li! Ia sempat mengurung diri di rumahnya selama berbulan-bulan. Namun, dukungan orangtua menguatkannya. Perlahan tapi pasti, ia melanjutkan hidupnya. Ia segera belajar melakukan mengurus diri dan rumahnya dengan satu lengan. Beberapa bulan kemudian, dia sudah membuka usaha, dengan mendirikan satu buah toko buku kecil.

Pada tahun 2001, Ma Li kembali ke dunia tari yang dicintainya. Ini hal yang sulit, karena dengan hanya satu lengan, ia kurang bisa menjaga keseimbangan tubuhnya - khususnya ketika melakukan gerakan berputar. Namun Ma Li tidak putus asa. Ia terus berusaha, hingga akhirnya ia bisa menyabet medali emas pada kompetisi tari khusus untuk orang-orang yang memiliki kekurangan pada fisiknya. Menurut Ma Li, di kompetisi itu, selain mendapatkan prestasi, ia juga mendapatkan dukungan dari orang-orang yang senasib dengannya. Dari situlah, ia mendapatkan dorongan motivasi dan rasa percaya diri yang lebih besar.

Pada 2002, seorang laki-laki bernama Tao Li jatuh cinta pada Ma Li. Tapi Ma Li meninggalkannya karena khawatir kejadian masa lalu yang menyakitkan terulang kembali.

Tao Li bukan pemuda yang mudah putus asa. Ia mencari Ma Li hingga ke Beijing, tempatnya meniti karir sebagai penari. Ketika bertemu kembali, pasangan ini tidak terpisahkan lagi.

Ma Li dan Tao Li sempat jatuh bangkrut saat virus SARS menyerang China (November 2002 hingga Juli 2003). Sebab, pada masa itu, semua gedung teater/seni ditutup! Namun mereka tetap berjuang dan bangkit kembali.

Setelah serangan virus SARS mereda, Tao Li mendapat izin resmi untuk menjadi agen Ma Li. Sambil berusaha mengembangkan diri dan usaha, kedua insan ini kerja sambilan sebagai pemeran figuran di berbagai lokasi syuting drama. Nah, pada suatu malam bersalju, keduanya pulang larut malam dan harus menghabiskan banyak waktu, untuk menunggu bus yang datang pada pagi hari. Agar tidak terlalu kedinginan, keduanya menari. Pada saat inilah, Tao Li mendapatkan ide untuk menciptakan tarian yang indah dan unik, tarian yang khas Ma Li. Ma Li setuju, dan mulai saat itu mereka mencari seorang penari pria (untuk menjadi pasangan menari Ma li) dan koreografer...

-Zhai Xiao Wei-

Pada umur 4 tahun, Zhai Xiao Wei sedang asyik bermain. Ia lalu mencoba memanjat sebuah traktor, lalu... terjatuh. Karena cedera berat, kaki kirinya harus diamputasi.

Beberapa saat sebelum diamputasi , ayah Xiao Wei kecil bertanya pada putranya: "Apakah kamu takut?"

"Tidak," jawab Xiao Wei. Ia kurang memahami arti amputasi.

"Kamu akan banyak mengalami tantangan dan kesulitan," kata sang ayah.

"Apakah itu tantangan dan kesulitan? Apakah rasanya enak?" tanya Xiao Wei.

Ayahnya mulai menangis. "Ya, rasanya seperti permen kesukaanmu," katanya. "Kamu hanya perlu memakannya satu persatu." Setelah itu, sang ayah berlari keluar ruangan.

Berkat dukungan orangtua dan lingkungannya, Xiao Wei tumbuh menjadi anak yang sangat optimis, periang, dan bersemangat. Kemudian, ia menjadi seorang atlet. Xiao Wei aktif di cabang olahraga lompat tinggi, lompat jauh, renang, menyelam, dan balap sepeda.

-Pertemuan Ma Li dan Zhai Xiao Wei-

Pertemuan itu terjadi pada bulan September 2005. Saat itu, Xiao Wei (21 tahun) sedang berlatih agar bisa tampil di kejuaraan balap sepeda nasional. Ma Li melihatnya dan merasa dialah partner menari yang cocok untuknya.

Ma Li berlari ke arah Xia Wei dan mengajukan berbagai pertanyaan.

"Apakah kamu suka menari?" Itulah pertanyaan pertama Ma Li.

Xiao Wei terkejut sekali. Bagaimana mungkin dia, yang hanya punya satu kaki, melakukan kegiatan seperti menari? Selain itu, Xiao Wei mengira bahwa Ma Li adalah perempuan bertubuh normal. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat saat itu Ma Li mengenakan lengan palsu dan pakaian khusus untuk menutupi cacat tubuhnya.

"Siapa nama kamu? Berapa nomor telepon kamu? Tinggal di mana?" begitulah selanjutnya pertanyaan-pertanyaan Ma Li. Xiao Wei diam saja - tidak menjawab sepatah kata pun. Maka, Ma Li memberikan selembar tiket pertunjukan tari kepada pria itu. Tawaran itu diterima.

Dua hari kemudian, Xiao Wei berdiri terpesona di gedung pertunjukan tari. Ia terkesan sekali dengan tarian yang dipersembahkan Ma Li. Akhirnya, ia setuju untuk menari balet bersama. Untuk itu, ia rela pindah ke Beijing untuk berlatih bersama Ma Li.

Selanjutnya, mereka latihan tiap hari, dari jam 8 pagi hingga 11 malam. Mulai dari melatih mimik wajah di depan cermin hingga gerakan-gerakan tari. Keduanya harus melalui masa-masa sulit, karena sebelumnya Xiao Wei tidak pernah menari. Sementara Ma Li sendiri, adalah seorang penari yang perfeksionis. Tahukah Anda, untuk mendapatkan gerakan "jatuh" yang tepat, Ma Li sampai rela dijatuhkan lebih dari 1.000 kali! Pada hari pertama berlatih "jatuh", gerakan benar yang pertama baru bisa dilakukan pada pukul 8 malam...


Apa yang terjadi berikutnya, Anda tentu sudah mengetahuinya! Pada April 2007, mereka menyabet medali perak pada lomba tari "4th CCTV National Dance Competition" (saksikan videonya di AW Inspirational Video). Pasangan Ma Li/ Zhai Xiao Wei menjadi terkenal. Tarian "Hand in Hand" menjadi inspirasi bagi banyak orang. Apabila mau belajar dan berusaha mengatasi kekurangan yang ada pada diri kita, dan dengan tekun mengembangkan potensi diri, kita semua pasti mampu menjadi pemenang yang sesungguhnya!

Umar dan Ibu Pemasak Batu

Suatu masa dalam kepemimpinan Umar, terjadilah Tahun Abu. Masyarakat Arab, mengalami masa paceklik yang berat. Hujan tidak lagi turun. Pepohonan mengering, tidak terhitung hewan yang mati mengenaskan. Tanah tempat berpijak hampir menghitam seperti abu.

Putus asa mendera di mana-mana. Saat itu Umar sang pemimpin menampilkan kepribadian yang sebenar-benar pemimpin. Keadaan rakyat diperhatikannya saksama. Tanggung jawabnya dijalankan sepenuh hati. Setiap hari ia menginstruksikan aparatnya menyembelih onta-onta potong dan menyebarkan pengumuman kepada seluruh rakyat. Berbondong-bondong rakyat datang untuk makan. Semakin pedih hatinya. Saat itu, kecemasan menjadi kian tebal. Dengan hati gentar, lidah kelunya berujar, “Ya Allah, jangan sampai umat Muhammad menemui kehancuran di tangan ini.”

Umar menabukan makan daging, minyak samin, dan susu untuk perutnya sendiri. Bukan apa-apa, ia khawatir makanan untuk rakyatnya berkurang. Ia, si pemberani itu, hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Akibatnya, perutnya terasa panas dan kepada pembantunya ia berkata “Kurangilah panas minyak itu dengan api”. Minyak pun dimasak, namun perutnya kian bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh perutnya dengan jemari seraya berkata, “Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.”

Hampir setiap malam Umar bin Khattab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani salah seorang sahabatnya, ia masuk keluar kampung. Ini ia lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya.

Malam itu, bersama Aslam, Khalifah Umar berada di suatu kampung terpencil. Kampung itu berada di tengah-tengah gurun yang sepi. Saat itu Khalifah terperanjat. Dari sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar seorang gadis kecil sedang menangis berkepanjangan. Umar bin khattab dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, siapa tahu penghuninya membutuhkan pertolongan mendesak.

Setelah dekat, Umar melihat seorang perempuan tua tengah menjerangkan panci di atas tungku api. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus saja mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang.

“Assalamu’alaikum,” Umar memberi salam.

Mendengar salam Umar, ibu itu mendongakkan kepala seraya menjawab salam Umar. Tapi setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.

“Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya Umar.

Dengan sedikit tak peduli, ibu itu menjawab, “Anakku….”

“Apakah ia sakit?”

“Tidak,” jawab si ibu lagi. “Ia kelaparan.”

Umar dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi pancinya.

Umar tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu tua itu? Sudah begitu lama tapi belum juga matang. Karena tak tahan, akhirnya Umar berkata, “Apa yang sedang kau masak, hai Ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu?”

Ibu itu menoleh dan menjawab, “Hmmm, kau lihatlah sendiri!”

Umar dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih terbelalak tak percaya, Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu?”

Perempuan itu menjawab dengan menganggukkan kepala.

“Buat apa?”

Dengan suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan Umar, “Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah aku. Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah magrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.”

Ibu itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”

Mendengar penuturan si Ibu seperti itu, Aslam akan menegur perempuan itu. Namun Umar sempat mencegah. Dengan air mata berlinang ia bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua yang sengsara itu.

Karena Umar bin Khattab terlihat keletihan, Aslam berkata, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku saya yang memikul karung itu….”

Dengan wajah merah padam, Umar menjawab sebat, “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?”

Aslam tertunduk. Ia masih berdiri mematung, ketika tersuruk-suruk Khalifah Umar bin Khattab berjuang memikul karung gandum itu. Angin berhembus. Membelai tanah Arab yang dilanda paceklik.

Aroma Wangi Penghuni Surga

(disadur dari buku "Ketika Rasul Bangun Kesiangan" oleh Muslich Taman)

Masyitah dan anak-anaknya tinggal di kerajaan Firaun. Ia menjadi pelayan dari putri Firaun. Ia adalah sosok perempuan yang menakjubkan karena kereguhan hatinya. Ia lebih memilih disiksa demi mempertahankan keyakinan daripada dipaksa harus mengakui Firaun sebagai tuhan. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat anak-anaknya menjerit pilu lalu dimasukkan ke tungku timah yang mendidih. Kemudian, giliran dirinya yang dimasukkan dalam tungku itu. Namun, keteguhan imannya mampu mengalahkan semua itu. Keimanannya terjaga sampai ia meregang nyawa.

Rasulullah pernah bercerita… Ketika menjalani Isra’ dan Mi’raj, beliau mencium aroma yang sangat harum.

“Aroma harum apa ini?” Tanya Rasulullah kepada Jibril.

“Masyitah dan anak-anaknya. Ia adalah pelayan dari putrid Firaun.” Jawab Jibril.

“Apa yang membuatnya wangi seperti ini?” Tanya Rasulullah lagi.

Jibril kemudian menceritakan kisah Masyitah… Suatu hari, Masyitah sedang menyisir rambut putrid Firaun. Tiba-tiba sisirnya terjatuh. Saat mengambilnya, ia mengucapkan, “Bismillah… (dengan menyebut nama Allah).” Putri Firaun kaget dengan ucapan yang baru ia dengar itu.

“Kenapa bukan nama ayahku yang kausebut?” Tanya Putri Firaun.

“Tidak,” jawab Masyitah. “Tuhanku dan Tuhan ayah kamu adalah Allah.”

Hal itu kemudian sampai ke telinga Firaun. Firaun pun memanggil Masyitah.

“Apakah kau mengakui adanya tuhan selain aku?” Tanya Firaun.

“Ya! Tuhanku dan Tuhan tuan adalah Allah.” Jawab Masyitah dengan tegar.

Seketika Firaun marah besar. Ia langsung memerintahkan para punggawa kerajaan untuk menyiksa Mayitah dan anak-anaknya, kecuali jika Masyitah mau menarik ucapannya.

Namun Masyitah tetap dengan pendiriannya. Ia dan anak-anaknya pun dimasukkan ke tungku berisi timah yang mendidih. Sebelum dimasukkan, Masyitah meminta agar nanti tulangnya dan tulang-tulang anak-anaknya dibungkus dalam satu kain kafan. Permintaan itu pun dituruti Firaun.

Keteguhan Masyitah menunjukkan bahwa hati tidak dapat dikuasai oleh siapa pun kecuali oleh Penggenggam Kalbu, Allah swt. Mungkin saja orang menguasai tubuh, tetapi ia tidak mungkin bisa menguasai hati.

Thursday, October 7, 2010

Lihainya Syaitan Membisikkan Kebaikan

March 8, 2010 by abughifari

Zaman dahulu ada seorang ahli ibadah (abid) dari Bani Israil yang dikatakan paling shalih di zamannya. la mempunyai tiga kawan bersaudara dengan seorang adik yang masih gadis, satu-satunya saudara perempuan mereka.

Pada satu ketika, ketiga kawannya itu hendak pergi mengadakan perjalanan untuk berjihad di jalan Allah. Namun mereka sulit mendapati orang yang dapat dititipi saudara perempuannya, sekaligus dapat dipercaya untuk menjaganya. Akhirnya mereka sepakat, adiknya akan dititipkan pada si abid dan mempercayakan perihal saudara perempuan mereka sepenuhnya kepada ahli ibadah itu.

Ketiganya pun mendatangi si abid dan meminta kepadanya agar berkenan untuk dititipi. Mereka mengharapkan agar saudara perempuan mereka berada dalam pemantauannya sampai mereka pulang dari perjalanan perang. Namun, si abid menolaknya.

Ketiga bersaudara itu terus berusaha dan meminta si abid agar mau menerimanya. Akhirnya, si abid pun mau menerima, seraya mengatakan, “Tempatkan saja ia di rumah yang berdampingan dengan tempat ibadahku ini!”

Mereka pun menempatkan gadis itu di rumah tersebut sebagaimana yang dikatakan si abid. Kemudian, ketiganya pun pergi berperang di jalan Allah.

Setan Mulai Bersiasat

Gadis itu sudah cukup lama berada di kediaman dekat tempat si abid. Sementara si abid biasa menaruh makanan di bawah tempat ibadahnya untuk diambil oleh gadis itu. la tidak mau mengantar makanan ke rumah yang ditempati wanita itu. la meminta agar gadis itulah yang mengambilnya. Maka gadis itulah yang selalu keluar dari tempatnya untuk mengambil makanan setiap hari.

Setan pun datang membujuk si ahli ibadah dengan menggambarkan kebaikan. Setan mengatakan kepadanya, kalau wanita itu selalu keluar dari rumahnya di waktu siang untuk mengambil makanan, nanti akan ada orang yang melihat dan menyergapnya. Setan berbisik kepadanya, “Jika engkau yang pergi sendiri untuk mengantarkan makanan dan menyimpan di pintu rumahnya, itu akan lebih baik dan lebih besar pahalanya bagimu.”

Setan tak henti-hentinya membisikkan suara tersebut sampai akhirnya sang ahli ibadah menurutinya. Maka ia sendiri yang menyimpan makanan di dekat pintu rumah tempat gadis tadi berdiam.

Namun, ketika meletakkan makanan di depan pintu, ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Cukup lama si abid melakukan hal itu. Hingga setan datang lagi kepada si abid dan menganjurkan agar dirinya mau menambah “kebaikan”. Setan berbisik kepadanya, “Jika engkau mengajak ngobrol kepadanya, ia akan merasa tenteram dengan obrolanmu. Sebab, ia sedang kesepian sekali.”

Setan tak henti-hentinya merayu si abid agar mau melakukan apa yang dibisikkannya itu.

Akhirnya, ahli ibadah ini terkadang mengajak ngobrol gadis tersebut dari atas tempat ibadahnya. la tidak mau turun ke bawah, karena takut terkena dosa.

Selanjutnya setan pun datang lagi kepada si abid dan mengatakan, “Jika engkau turun ke bawah dan duduk di pintu tempat ibadahmu untuk bercakap-cakap dengannya dan dia pun tetap berada di pintu rumahnya, itu lebih baik dan menambah rasa tenang kepadanya.”

Setan tak henti-hentinya merayu sang ahli ibadah hingga si abid pun mau melakukannya. la duduk di pintu tempat ibadahnya, begitu juga si gadis di pintunya. Mereka pun saling bercakap-cakap.

Cukup lama dua orang tersebut terus-terusan melakukan kebiasaan bercakap-cakap di atas pintu masing-masing.

Seperti biasanya, setan datang lagi membujuk si abid agar melakukan “kebaikan” yang lebih banyak lagi. Setan berbisik, “Jika engkau keluar dari tempat ibadahmu lalu mendekati pintu rumahnya dan engkau berbicara dengannya, ia akan lebih tenteram dan lebih merasa senang. Itu kebaikan yang besar. la tidak harus keluar dari rumahnya. Biarlah ia berada di dalam rumahnya dan engkau di luar.”

Setan tak henti-hentinya membisikkan hal tersebut. Akhirnya si abid pun mau melakukan apa yang dibisikkan kepadanya itu.

Si abid akhirnya terbiasa mendekati pintu rumah tempat gadis tadi berdiam. la bercakap-cakap dengannya. Padahal, awalnya ia tak pernah beranjak dari tempat ibadahnya. Kalaupun untuk mengajak berbicara kepada gadis itu, ia melakukannya dari atas dan tidak mau turun ke bawah. Cukup lama kebiasaan yang dilakukan oleh sang ahli ibadah tersebut.

Selanjutnya setan datang lagi kepada sang ahli ibadah dan berbisik, “Jika engkau masuk ke dalam rumahnya, lalu engkau bercakap-cakap dengannya, itu lebih baik. Sebab, jika engkau ada di dalam, wanita itu tetap tidak terlihat orang lain.”

Ahli ibadah ini mengikuti saran setan sehingga ia pun masuk ke dalam rumah tersebut. Hampir seharian penuh, setiap hari, si ahli ibadah bercakap-cakap dengan si gadis. Ketika waktu telah menjelang sore, ia baru naik ke atas tempat ibadahnya untuk melanjutkan ibadahnya.

Terjadilah Perzinaan

Setan selalu datang kepada si abid untuk merayunya setiap saat. Lama-kelamaan si abid bahkan sampai dapat menyentuh tubuh gadis tersebut.

Setan terus-menerus mengganggu si abid dan si gadis. Dan, terjadilah perzinaan.
Akhirnya, wanita itu pun hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki.

Setan pun datang kembali kepada si abid dan berkata kepadanya, “Bagaimana kalau nanti saudara-saudara perempuan ini datang sementara ia melahirkan anak darimu? Apa yang akan engkau katakan? Mereka pasti akan mencela dan menghajarmu. Karena itu, bunuh saja anak itu. Perempuan itu pasti akan menutupi rahasia ini. Sebab, ia juga takut kepada saudara-saudaranya kalau mereka mengetahuinya.”

Maka si abid melakukan apa yang disarankan oleh setan tersebut, yaitu membunuh anak itu.

Setelah dia membunuh anak laki-laki itu, setan berkata kepadanya, “Tapi, wahai pemuda, apa kau yakin perempuan itu akan menyembunyikan apa yang dilakukan olehmu? Sudah, bunuh saja dia!”

Si abid pun akhirnya membunuh perempuan itu dan menguburkannya bersama anaknya. la meletakkan batu besar di atas kuburan anak dan ibunya tersebut. Setelah itu, ia naik ke atas tempat ibadahnya untuk meneruskan ibadah.

Mati Su’ul Khatimah

Tidak lama setelah kejadian itu, datanglah ketiga saudara perempuan yang dibunuh tadi dari berperang. Mereka langsung menuju ke tempat si abid, menanyakan perihal saudara perempuan mereka.

Mendengar pertanyaan tersebut, si abid menangis dan menceritakan kejadian yang mengerikan. la menyebutkan, saudara perempuan mereka meninggal karena suatu penyakit. “Saya sangat mengenalnya, ia adalah seorang wanita yang baik. Kuburannya ada di suatu tempat,” kata si abid sambil menunjukkan sebuah kuburan yang agak jauh dari tempat ibadahnya.

Mereka segera mendatangi tempat yang ditunjukkan si abid. Sesampainya di sana, ketiganya menangis. Beberapa hari mereka tak henti-hentinya menziarahi kuburan adiknya. Setelah itu mereka pun pulang ke rumah keluarga asal mereka.

Ketika malam tiba dan mereka telah tertidur, setan datang dalam mimpi mereka. Dalam mimpi tersebut setan muncul dalam bentuk seorang laki-laki yang sedang melakukan perjalanan. Setan memulai mendatangi orang yang paling tua di antara mereka dan bertanya mengenai saudara perempuannya.

Sang kakak yang paling besar pun menceritakannya sebagaimana berita yang diterimanya dari si abid dan ia telah mengunjungi kuburannya.

Setan menyatakan bahwa kabar tersebut adalah dusta, “Apa yang dikabarkan olehnya tentang saudara perempuanmu hanya bualan. Justru ia telah menghamilinya dan adikmu melahirkan anak laki-laki. Karena takut diketaliui, ia membunuhnya dan membunuh pula ibunya. la memasukkan keduanya ke dalam sebuah lubang yang telah digali di balik pintunya, yaitu di sebelah kanan. Silakan engkau datangi tempat tersebut dan buktikan saja di sana. Kalian akan menemukan keduanya sebagaimana yang aku beritakan ini!”

Selanjutnya setan mendatangi kedua saudaranya yang lain dan menyampaikan kabar yang sama.

Ketiganya merasa kaget atas mimpi itu sebab mereka memimpikan hal yang sama. Saudara yang paling besar berkata, “Ah, itu hanya mimpi. Tidak ada apa-apanya. Sudah, jangan kalian hiraukan, kita biarkan saja!”

Saudara yang paling kecil berkata, “Demi Tuhan, saya tidak akan tenang kecuali setelah membuktikan tempat yang ditunjukkan itu.”

Akhirnya ketiganya berangkat mendatangi rumah bekas hunian adik perempuan mereka. Mereka membuka pintu rumah tersebut dan mencari tempat yang disebutkan oleh setan kepada mereka di dalam mimpi. Benar saja, mereka menemukan saudara perempuan dan anaknya telah digorok lehernya dan diletakkan di tempat itu.

Mereka pun datang kepada si abid dan menanyakan keadaan yang sebenarnya. Akhirnya si abid membenarkan apa yang dikatakan oleh setan tadi.

Ketiga saudara perempuan tersebut akhirnya membawa turun si ahli ibadah dan menghadapkannya kepada raja. Sang ahli ibadah divonis mati dengan disalib.
Ketika si abid sudah diikat di atas kayu untuk dibunuh, datanglah setan kepadanya dan berkata, “Aku ini sahabatmu yang mengujimu dengan perempuan yang engkau hamili dan bunuh itu. Jika engkau ikuti perintahku hari ini dan kafir kepada Allah… aku akan menyelamatkanmu dari bahaya yang sedang engkau hadapi ini.”

Si abid mengiyakan anjuran setan, yaitu kufur kepada Allah. Ketika ia telah kafir, setan meninggalkannya dan orang-orang membunuhnya.

(diambil dari http://www.madinatulilmi.com/)

Naudzubillaahi min dzalik...!

Wednesday, October 6, 2010

Bai Fang Li, Memberi dalam Kekurangan

(http://jfkoernia.wordpress.com/2010/09/24/bai-fang-li-memberi-dalam-kekurangan/)

=kecuali judul, content/tulisan dicopy dari milis tetangga… semoga membawa inspirasi bagi kita semua=

Namanya BAI FANG LI. Pekerjaannya adalah seorang tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberikan jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan ke mana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.

Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya, tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya berdoa kepada Tuhan, dia melalang di jalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.

Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Dan karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.

Bai Fang Li tinggal di sebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat di mana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.

Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil di mana ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat. Di ruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya. Di ruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng kusam, yang mungkin diambilnya dari tempat sampah, yang biasa ia gunakan untuk makan, dan ada sebuah tempat minum dari kaleng. Di pojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.

Bai Fang Li tinggal sendirian di gubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong. Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.

Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan itu juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.

Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.

Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ke tempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu ke mulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.

Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.

“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya.” jawab anak itu.

“Orang tuamu di mana?” tanya Bai Fang Li.

“Saya tidak tahu, ayah ibu saya pemulung. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil.” sahut anak itu.

Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.

Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah. Jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.

Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.

Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam 8 malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, di tengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmmm… tapi masih cukup bagus… gumamnya senang.

Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, di tengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.

“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini.” katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.

Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu.

Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu Rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.

Bai Fang Li berkata, “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan.” katanya dengan sendu. Semua guru di sekolah itu menangis.

Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, di sepanjang hidupnya dia telah menyumbangkan uang sebesarRMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta Rupiah jika tidak salah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.

Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan “Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa.”

Friday, October 1, 2010

Kisah Kasih Ayah

dikutip dari "Sukses Tersenyum", mohon ijinnya Pak Syaiful Rosyid, Syukron
by Syaiful Rachman on Wednesday, April 21, 2010 at 2:10pm


Aku berdiri tak tenang di depan gerbang sekolah. Sudah lebih dari 1 jam aku menunggu dan tahu-tahu kesabaranku sudah mencapai ubun-ubun saja. Ayah lagi-lagi membatalkan janji sepihak.

Tadi pagi sebelum aku berangkat sekolah Ayah menulis pesan untukku yang ditempelkan di depan pintu, bahwa Ayah akan menjemputku sepulang sekolah. Rencananya kami akan menghabiskan hari berdua untuk merayakan ulang tahunku yang ke enam belas hari ini. Tampaknya semua akan cukup indah hari ini meski aku tidak mendapati ucapan selamat ulang tahun dan kecupan manis Ayah tepat tengah malam tadi atau sekedar kue ulang tahun yang bertatahkan lilin yang menyala. Bagiku janji menghabiskan waktu berdua sudah lebih dari sekedar kado indah dari Ayah yang hampir sejak 3 bulan ini tak pernah punya waktu untukku.

Ayah selalu berangkat ke kantor sebelum aku bangun dan pulang setelah aku tertidur lelap. Otomatis aku tidak pernah mengoborol dengannya. Meski sekarang sudah ada tekhnologi dan Ayah memfasilitasiku dengan semua itu, tetap saja jarak diantara kami makin menganga hari demi hari.

Drrrt..drrrt.. handphoneku bergetar. Ada panggilan masuk dari Ayah, segera kuangkat.

“Sayang, Maafkan Ayah, Ayah nggak..”. Klik. Aku memutuskan sambungan telepon itu. Aku sudah tahu sekuelnya. Daripada mendengar langsung dari Ayah membuatku semakin lara lebih baik aku matikan telepon itu. Ini seperti saat Ayah berjanji akan mengambilkan raportku namun ternyata Ayah tidak bisa karena ada janji dengan klien yang mendadak. Sontak emosiku meledak, merasa aku tak lagi punya harga di mata Ayah. Merasa aku tak punya arti buat Ayah. Untung kala itu ada Tante Linda, mama Ical, mama pacarku. Tante Linda berbaik hati mengambilkan raportku dan untungnya wali kelasku menyutujuinya.

Kali ini aku sudah tidak bisa lagi menahan emosi. Aku menelpon Ical, meminta diantar pulang ke rumah, tidak kemana-mana. Aku hanya ingin pulang dan sendiri saja. Ical manut, jadilah aku sampai dirumah 30 menit kemudian.

“Nad, kalo ada apa-apa kamu harus ngasih tahu aku ya?” Ical berharap cemas, seolah aku ini hendak bunuh diri saja. Aku tersenyum tipis dan mengangguk.

“Kalau kamu butuh cerita, aku siap kapan aja,” Ical sibuk menawarkan bantuan.

“Makasih sayang, makasih banget. Aku cuma butuh sendiri sekarang”.

“Ini hari ulang tahun kamu, seharusnya kamu nggak melewatkannya dengan cara begini.”

Aku tersenyum getir dan melangkah masuk kerumah.

Sesampainya di kamar, aku mengambil album foto keluargaku. Masih ada Ibu yang menggendongku, Ayah yang mengajariku bersepeda dan kami bertiga yang belajar berenang bersama-sama sebab sama-sama tidak bisa. Ada juga fotoku sedang mengangkat piala tinggi setelah memenangkan pertandingan catur saat berusia 10 tahun. Ayah mengangkatku tinggi-tinggi dan ibu tersenyum manis sekali.

Sayang sekali kebersamaan itu luntur, sejak Ibu meninggal 3 bulan yang lalu. Tahu-tahu Ayah menjadi sangat sibuk dan tak punya waktu. Sekedar makan malam bersama atau mengantarkanku ke sekolah tak lagi sempat. Aku malah lebih banyak menghabiskan waktu dengan Ical. Dan Ayah? Tenggelam dalam dunianya sendiri seolah aku tak ada lagi..

Aku sudah memutuskan untuk menulis surat saja buat Ayah. Kupikir itu lebih baik, dan Ayah bisa membaca sesempatnya. Surat yang mengabarkan aku sudah lelah merasa sendiri dan tak dianggap penting atau bahkan mungkin dianggap ada. Jadi begini bunyi suratku..

Untuk AYAH,

Terima kasih Ayah, Ayah selalu pulang setelah waktu makan malam usai sehingga aku bisa makan tanpa peraturan yang kaku.

Terima kasih Ayah, Ayah terus mengganti perhatian dengan uang sehingga aku kelelahan mengahabiskannya sendirian.

Terima kasih Ayah, Ayah tak pernah menjemputku atau mengantarkanku sehingga aku punya lebih banyak waktu dengan Ical.

Terima kasih Ayah, Ayah tak lagi menemaniku main catur di sore hari sehingga aku bisa berkeliaran sesukaku.

Terima kasih Ayah, Ayah tak lagi sempat mengambil raportku sehingga aku tak perlu melihat kebanggaan yang mengharu biru.

Terima kasih Ayah, Ayah sudah melupakan hari ulang tahunku sehingga aku tidak perlu menutup mata untuk membuat permintaan sesaat sebelum meniup lilin.

Maaf, aku tidak pernah mengerti dunia Ayah.

Maaf, aku terlalu banyak menuntut waktu Ayah.

Maaf, aku selalu saja tak peduli dengan apa yang terjadi pada Ayah.

Maaf, aku tak lagi pernah bercerita tentang duniaku kepada Ayah.

Maaf, aku tak lagi memberi dekapan hangat dan ucapan selamat pagi sebelum memulai hari.

Maaf, aku membebani hidup Ayah.

Maaf, aku menjadi anak Ayah yang membuat Ayah tak bahagia.

Maaf, aku tak lagi bisa merasakan cinta dalam keluarga kita.

Maaf, aku terlalu menuntut banyak maaf sedang aku tak bisa memberi apa-apa.

-NADIA-


Pada baris terakhir dimana namaku berada, air mataku menetes lembut. Aku terlalu lelah sekarang untuk menahan air mata. Aku tidak lagi percaya aku masih punya keluarga. Aku lelah.. aku kehilangan arah..

Tepat pukul 11 malam aku terbangun, ternyata menangis menguras air mata dan aku kelelahan karenanya. Tahu-tahu aku sudah terbangun saja. Namun ada yang aneh, surat yang kutulis untuk Ayah tidak lagi disebelahku. Ada secarik kertas lain yang ditujukan untukku.

Untuk Nadia, malaikat kecil Ayah yang beranjak dewasa

Maaf, Ayah tak pernah lagi menemanimu makan malam atau sekedar main catur di sore hari. Ayah tahu nak, Ayah telah terlalu jauh mengabaikanmu. Tapi bagaimanapun juga sekarang Ayah sendiri. Sendiri mengurus kantor dan usaha perkebunan bunga yang dulu sempat dikelola ibu. Sendiri juga Ayah harus mengatur diri. Sendiri membesarkanmu dan pada yang terakhir ini ternyata Ayah gagal. Ayah tak pernah mau berterus terang kepadamu, kepada permintaan terakhir ibumu, bahwa kaulah yang mengurus perkebunan bunga itu. Ayah pikir kau masih terlalu kecil untuk mendapat beban seberat itu. Ayah takut masa remajamu akan lewat tanpa kau sempat menikmatinya. Ayah takut mengatakan hal ini kepadamu, takut kalau Ayah menyebut Ibu dukamu akan kembali hadir dan Ayah tak sanggup melihatmu menangis karena jauh dalam hati Ayah, Ayah akan lebih dari sekedar menangis. Ayah selalu tak tahan melihatmu bersedih, Nak. Maaf Ayah tak memberitahumu sehingga justru Ayahlah yang membuatmu merasa bersedih atas kesepian yang Ayah ciptakan.

Maaf, Ayah tak pernah memberitahumu betapa Ayah sangat khawatir kau bergaul dengan tidak benar, berkawan dengan orang yang salah. Tapi ternyata kau memilih Ical masuk dalam hidupmu dan Ayah selalu yakin dengan pilihanmu. Meski Ayah sangat khawatir. Ayah rasa Ayah tidak perlu mengatkannya kepadamu karena Ayah pikir itu hanya akan membuatmu merasa terbelenggu.

Maaf, Ayah tak pernah memberitahumu, setiap malam Ayah selalu masuk kamarmu dan tidur di sebelah ranjang di atas karpet merah itu. Ayah selalu menciummu keningmu diam-diam dan menatap senyummu yang damai dalam tidur. Itu membuat Ayah lebih kuat untuk menjalani eok hari. Hanya kamu yang memberi Ayah kekuatan. Hanya senyummu yang membuat Ayah bertahan.

Maaf, Ayah membuatmu menutup telepon siang tadi. Ayah ingin berkata sebenarnya. Ayah ada di makam Ibu. Mengabarkan kepadanya tentang kau yang terus membuat kami bangga dengan prestasi dan tumbuh menjadi gadis manis yang sungguh cantik. Ayah juga bercerita kepada Ibu betapa Ayah sangat bangga kau tetap menjadi juara pertama di sekolah meski Ibu tidak ada lagi. Ayah menceritakan semuanya Nak. Ayah pikir Ibu juga harus berbahagia di ulang tahunmu ini. Tapi Ayah justru membuatmu kecewa dengan tidak mengatakannya.

Entah mengapa sekarang Ayah terlalu takut berkata apa-apa. Takut Ayah akan terlalu sering mengucapkan nama Ibumu dan kau akan merindukannya dan merasa tersiksa. Dan disinilah kesalahan Ayah. Ayah tak lagi pernah berbicara kepadamu. Ayah tak pernah lagi mengatakan betapa Ayah sangat menyayangimu dan bangga padamu. Ayah terlalu takut membagi beban tentang kesedihan ditinggal Ibu. Ayah terlalu sibuk mencintaimu tapi tak pernah membuktikannya di hadapanmu.

Maaf, Ayah terus membiarkanmu sendiri… Maaf, Ayah terlalu sering membuatmu kecewa… Maaf, Ayah menyayangimu tapi kau tak lagi tahu.

Sayang, di sebelahmu Ayah meletakkan kue ulang tahunmu. Entah apakah sekarang lilinnya masih menyala atau tidak. Jika masih dan kau menginginkan Ayah menemanimu untuk meniupnya, turunlah. Ayah menunggumu di depan pintu kamarmu. Tapi jika sudah lewat tengah malam dan kau tak juga turun, Ayah mengerti. Memang Ayah terlalu banyak bersalah dan lebih baik kau sendiri. Ayah mengerti dan Ayah akan membiarkan kau melakukannya sendiri.

-Ayah-


Sampai pada titik terakhir, surat itu sudh basah oleh air mataku. Aku segera berlari keluar membawa kue ulang tahunku yang sudah dingin. Ternyata Ayah sudah menungguku sejak tadi dan tetap terjaga.

“Ayah..” aku berkata pelan. Ayah tersenyum menatapku. Segera aku berlari memeluknya.

“Ayah menyayangimu tapi Ayah tak memberitahumu. Maaf.”

“Aku yang bodoh, tak pernah merasakannya.”

Dan kami pun tenggelam dalam tangis disaksikan oleh kue ulang tahun yang membeku.

Nb: kadangkala ego kita yg menjauhkan diri kita untuk saling menyayangi.... semoga ALLAH SWT memberi yg terbaik buat kita sekeluarga.

Ayah, Ayo Shalat Subuh!

Oleh: Kodar Slamet, SPd

dakwatuna.com - Suatu hari seorang anak, sebut saja namanya Amir, sedang belajar di sekolahnya. Dia baru kelas 3 SD. Di salah satu pelajaran agama, gurunya menjelaskan tentang shalat subuh dan dia pun menyimak dengan seksama.

Pada saat sang guru berbicara tentang keutamaan dan pentingnya shalat subuh dengan cara yang sangat menggugah, tersentuhlah hati Amir. Timbullah keinginan dalam dirinya untuk melakukan shalat subuh berjamaah di masjid, seperti pelajaran yang dia terima. Sementara selama ini, dia belum pernah sekalipun melakukannya, demikian juga keluarganya.

Ketika Amir pulang ke rumah, dia berfikir bagaimana caranya supaya bisa bangun untuk shalat subuh besoknya. Dia tidak mendapatkan caranya selain tidak tidur semalaman sampai bisa melaksanakan shalat subuh. Dia melakukan caranya itu.

Ketika mendengar azan, bergegaslah Amir bangun untuk menjalankan shalat subuh. Tetapi ada masalah baginya untuk sampai ke masjid, karena letaknya jauh dari rumah. Dia tidak berani berangkat sendirian, maka menangislah dia dan duduk di depan pintu.

Tiba-tiba Amir mendengar suara langkah kaki seseorang dari arah jalan, dibukalah pintu dan keluarlah segera dari rumahnya. Nampak olehnya seorang kakek sedang berjalan menuju masjid. Ternyata kakek ini adalah kakek temannya, Ahmad. Amir pun mengikuti Kakek Ahmad berjalan di belakangnya dengan rasa khawatir dan perlahan-lahan, jangan sampai Si kakek merasa diikuti dan melaporkan dia ke keluarganya. Dia khawatair akan dimarahi oleh ayahnya karena perbuatannya ini.

Berjalanlah peristiwa ini setiap hari, dan seterusnya sampai pada suatu ketika Si kakek dipanggil oleh Allah Pemilik jiwa dan raganya. Si kakek wafat. Pada saat mendengar kabar ini, Amir pun tertegun dan menangis sejadi-jadinya.

Ayahnya sangat heran melihat kondisi seperti ini, kemudian bertanyalah kepada anaknya, “Anakku, kenapa kamu menangis sampai seperti ini? Yang meninggal kan bukan teman bermainmu dan bukan pula saudaramu?”

Amir melihat ke arah ayahnya dengan berlinang air mata penuh kesedihan, dan berkata kepada ayahnya, “Seandainya yang meninggal itu ayah, bukan dia...”

Bagai disambar petir, tercenganglah sang ayah kenapa anaknya berkata dengan ungkapan seperti itu, dan kenapa pula dia begitu kehilangan si kakek…

Amir menjawab dengan suara parau, “Aku tidak kehilangan dia karena itu, ayah...”

Bertambah heran ayahnya itu dan bertanya, “lalu karena apa?”

Amir menjawab, “Karena shalat, ayah... karena shalat!” Kemudian anak itu menambahkan pembicaraannya, “Ayah.., kenapa ayah tidak shalat subuh? Kenapa ayah tidak seperti si kakek dan seperti orang lain yang aku lihat?”

Berkata ayahnya, “Di mana kamu melihatnya?” Amir pun menjawab, “Di masjid.”

Berkata lagi ayahnya, “Jadi selama ini kamu sering shalat subuh di masjid... bagaimana bisa?”

Maka berceritalah Amir kepada ayahnya tentang apa yang dilakukannya selama ini. Mendengar cerita anaknya, maka tersentuhlah hati sang ayah. Hatinya menjadi galau dan jatuhlah air matanya. Dipeluknya dengan erat anaknya, dan semenjak peristiwa itu ayah Amir tidak pernah meninggalkan shalat satu waktu pun dan semuanya dilakukan di masjid. (athfal lakin du’ah)