Oleh: Kodar Slamet, SPd
dakwatuna.com - Suatu hari seorang anak, sebut saja namanya Amir, sedang belajar di sekolahnya. Dia baru kelas 3 SD. Di salah satu pelajaran agama, gurunya menjelaskan tentang shalat subuh dan dia pun menyimak dengan seksama.
Pada saat sang guru berbicara tentang keutamaan dan pentingnya shalat subuh dengan cara yang sangat menggugah, tersentuhlah hati Amir. Timbullah keinginan dalam dirinya untuk melakukan shalat subuh berjamaah di masjid, seperti pelajaran yang dia terima. Sementara selama ini, dia belum pernah sekalipun melakukannya, demikian juga keluarganya.
Ketika Amir pulang ke rumah, dia berfikir bagaimana caranya supaya bisa bangun untuk shalat subuh besoknya. Dia tidak mendapatkan caranya selain tidak tidur semalaman sampai bisa melaksanakan shalat subuh. Dia melakukan caranya itu.
Ketika mendengar azan, bergegaslah Amir bangun untuk menjalankan shalat subuh. Tetapi ada masalah baginya untuk sampai ke masjid, karena letaknya jauh dari rumah. Dia tidak berani berangkat sendirian, maka menangislah dia dan duduk di depan pintu.
Tiba-tiba Amir mendengar suara langkah kaki seseorang dari arah jalan, dibukalah pintu dan keluarlah segera dari rumahnya. Nampak olehnya seorang kakek sedang berjalan menuju masjid. Ternyata kakek ini adalah kakek temannya, Ahmad. Amir pun mengikuti Kakek Ahmad berjalan di belakangnya dengan rasa khawatir dan perlahan-lahan, jangan sampai Si kakek merasa diikuti dan melaporkan dia ke keluarganya. Dia khawatair akan dimarahi oleh ayahnya karena perbuatannya ini.
Berjalanlah peristiwa ini setiap hari, dan seterusnya sampai pada suatu ketika Si kakek dipanggil oleh Allah Pemilik jiwa dan raganya. Si kakek wafat. Pada saat mendengar kabar ini, Amir pun tertegun dan menangis sejadi-jadinya.
Ayahnya sangat heran melihat kondisi seperti ini, kemudian bertanyalah kepada anaknya, “Anakku, kenapa kamu menangis sampai seperti ini? Yang meninggal kan bukan teman bermainmu dan bukan pula saudaramu?”
Amir melihat ke arah ayahnya dengan berlinang air mata penuh kesedihan, dan berkata kepada ayahnya, “Seandainya yang meninggal itu ayah, bukan dia...”
Bagai disambar petir, tercenganglah sang ayah kenapa anaknya berkata dengan ungkapan seperti itu, dan kenapa pula dia begitu kehilangan si kakek…
Amir menjawab dengan suara parau, “Aku tidak kehilangan dia karena itu, ayah...”
Bertambah heran ayahnya itu dan bertanya, “lalu karena apa?”
Amir menjawab, “Karena shalat, ayah... karena shalat!” Kemudian anak itu menambahkan pembicaraannya, “Ayah.., kenapa ayah tidak shalat subuh? Kenapa ayah tidak seperti si kakek dan seperti orang lain yang aku lihat?”
Berkata ayahnya, “Di mana kamu melihatnya?” Amir pun menjawab, “Di masjid.”
Berkata lagi ayahnya, “Jadi selama ini kamu sering shalat subuh di masjid... bagaimana bisa?”
Maka berceritalah Amir kepada ayahnya tentang apa yang dilakukannya selama ini. Mendengar cerita anaknya, maka tersentuhlah hati sang ayah. Hatinya menjadi galau dan jatuhlah air matanya. Dipeluknya dengan erat anaknya, dan semenjak peristiwa itu ayah Amir tidak pernah meninggalkan shalat satu waktu pun dan semuanya dilakukan di masjid. (athfal lakin du’ah)
No comments:
Post a Comment