09-07-2009 16:29:18 WIB Oleh : Syafatus Syarifah
"Hanya kamu harapan Ibu, sungguh aku hanya berharap padamu..." kata Ibuku dengan nada sedih. Matanya yang semula berkaca-kaca kini nampak mulai ada air jernih yang menetes. Ya Allah, jangan buat dia bersedih, aku paling tak tega melihatnya menangis.
Malam itu kami hanya berdua di kamar ibuku di kampung halaman sana. Kebetulan aku beserta keluarga sedang mudik karena ada tasyakuran pernikahan adik bungsuku.
Setiap aku mudik, aku selalu meluangkan waktu untuk bermesraan dengan ibuku. Berduaan, saling curhat dan saling berbagi rasa suka dan duka. Momen-momen intim seperti inilah yang selalu kurindu.
Seperti malam itu, ketika tamu-tamu sudah pulang. Tinggal badan yang kecapekan karena seharian bahkan sejak beberapa hari sebelumnya sibuk menyiapkan segala macam urusan tasyakuran, kami berdua sambil tidur-tiduran di kamar ibu mulai saling curhat. Lebih banyak ibu yang curhat dan aku sebagai pendengar setia.
Ibuku yang kuyakin amat sangat capek kala itu bahkan masih mampu memijit dan 'ngerokin' badanku. Aku hanya suka dipijit atau dikerokin oleh ibu, lain tidak. Kerokan ibu sungguh sangat halus dan lembut. Tak pernah membuatku merasa kesakitan sama sekali, sebaliknya justru membuat badanku yang masuk angin langsung sembuh.
Glekkk. Oh ibu, sedih nian. Mungkin aku tak sesempurna yang ibu bayangkan. Tapi aku memang selalu berusaha untuk senantiasa mendoakan mereka setiap hari.
"Tahu kan nak bahwa setelah ibu meninggal nanti, hanya doa anak-anak shaleh/shalehah lah yang kan mampu menjadi penolong..." lanjutnya mengulang nasehat yang selalu diulang-ulang baik melalui telpon maupun di saat intimate momen seperti ini.
"Iya bu.." aku mengangguk. Meski telah beratus kali atau bahkan ribuan kali aku mendengarnya namun aku tak pernah merasa bosan dengan nasehat ibu.
"Ibu nggak pernah berharap balasan apa-apa dari kalian, ibu hanya ingin didoakan.. Itu saja..." katanya.
See... that simple! permintaan sesederhana itu apakah kamu masih berat juga memenuhinya.. bisik suara batinku. Bukankah pengorbanan beliau jauh.. jauh lebih berat dari itu. Sejak dari mengandungmu, membiayai sekolahmu, mengasuhmu dan bahkan menjadi tempat sampah curahan hatimu ketika kamu sudah berumah tangga sendiri... lanjut suara batin itu terus menggema dalam relung hatiku.
"Insya Allah bu.. saya akan selalu mendoakan, ingatkan bila suatu saat terlupa.." jawabku menenangkan ibu. Tampak segurat senyum di bibir tuanya yang mulai keriput. Dia beringsut, aku memeluknya dalam haru.
Sungguh ibu, aku berjanji takkan pernah melupakan satu-satunya permintaanmu ini. Ya Allah, ingatkan aku bila suatu saat aku terlupa..
http://www.edumuslim.org/index.php?option=article&article_rf=186
No comments:
Post a Comment