Sekitar tiga bulan lalu, seusai shalat Jum’at, seorang pemuda yang masih sangat belia mendekat dan menyapa. Sambil salaman, sang pemuda itu menyampaikan keinginan untuk berbicara dan bertanya mengenai Islam. Dalam benak saya ketika itu, pemuda ini adalah orang Bosnia atau palingan dari Kosovo. Tapi ketika bertanya dengan pertanyaan yang hampir menjengkelkan, misalnya, kenapa kalau shalat itu harus bungkuk? Saya jadi curiga, jangan-jangan memang dia bukan Islam.
Segera saya tanya “Sorry to ask you. Are you a Muslim?” Sambil tersenyum dia menjawab “No sir! I live around the mosque, and often time I come to this mosque on friday to listen to you.”
Barulah saya sadar bahwa pemuda ini memang bukan Islam, sehingga pertanyaan-pertanya an yang ditanyakan terkadang nggak masuk akal untuk dipertanyakan. Saya kemudian menganjurkan dia untuk bergabung di Islamic Forum for non Muslim setiap hari Sabtu. Sambil salaman dia berjanji untuk datang keesokan harinya. Saya merasakan kesungguhan dan keinginan yang tinggi untuk tahu Islam dari pemuda ini.
Keesokan harinya, dan bahkan jauh sebelum kelas dimulai, pemuda ini sudah hadir. Dia datang lengkap dengan buku catatan, bahkan nampak membawa alat rekaman. “Hi, I am sorry that I did not ask your name yesterday...” saya memulai. “Morning sir, my name is Harry Shuluk.” jawabnya. Saya terkejut karena seingat saya banyak juga orang Indonesia yang bernama “Harry” (Hari atau Heri).
“That’s an Indonesian name...” kata saya. Sambil tertawa dia mengatakan bahwa nama itu juga banyak dipakai di Poland. Orang tuanya adalah warga Amerika keturunan Poland.
Setelah shalat kita pun memulai diskusi tentang Islam dari beragam sudut, termasuk pentingnya berbuat baik kepada sesama manusia. Biasanya memang diskusi di Forum tersebut tidak fokus ke sebuah subjek khusus. Subyek yang didiskusikan biasanya tergantung kepada situasi riil yang ada saat itu, misalnya pada musim haji kita mendiskusikan lebih banyak mengenai haji. Atau boleh jadi juga tergantung juga kepada pertanyaan awal yang disampaikan.
Siang itu, Harry nampak serius dan tidak banyak bicara. Bahkan hampir selama 2 jam diskusi itu sang pemuda yang belakangan saya ketahui baru berumur 19 tahun itu dan mahasiswa pada NYT-Long Island, hanya mencatat. Bahkan diawal diskusi dia meminta untuik merekam diskusi tersebut “Is it possible to record it?” tanyanya. Saya memang tidak pernah keberatan, sebab apa yang didiskusikan semuanya murni subyek agama.
Demikianlah, si Harry ini datang dua, tiga atau empat kali ke kelas. Suatu ketika tiba-tiba saya dapat email menanyakan tentang kebersihan rumahnya untuk shalat, karena menurutnya orang tuanya punya anjing piaraan. Tapi yang lebih mengejutkan lagi ketika dia mengatakan “I did convert!” Saya langsung email balik dan menanyakan di mana dan kapan dia masuk islam? Setahu saya, Harry tidak mengenal siapa-siapa selain saya selama ini.
“I converted in my room!” jawabnya. Waktu pertama saya menerima email itu saya kira Harry ini bercanda. Lalu saya minta dia menelpon saya, lalu saya tanyakan keseriusan dia memeluk Islam. Setelah dialog beberapa saat, saya dapatkan rupanya dia salah paham dengan penjelasan saya bahwa untuk menjadi Muslim hanya dengan mengucapkan dua kalimah syahadah. Itulah yang dia lakukan sendiri tanpa saksi. Tapi ketika dia melakukan itu, dia sungguh dan ikhlas karena memang telah yakin dengan ajaran ini.
Jum’at setelah pembicaraan itu saya ajak Harry untuk sekali lagi mengikrarkan syahadah “Laa ilaaha illa Allah-wa anna Muhammadan Rasul Allah” di hadapan ribuan jama’ah yang hadir. Nampak dia bangga dengan keislamannya dan dia dengan mantap mengatakan “I really want to be a good Muslim.”
Di suatu hari kita semua berbicara tentang kisah masing-masing. Itu berawal ketika ada seorang peserta yang menanyakan ke saya “How did you decide to be an Imam?” Dalam benak mereka, Imam itu sama dengan pendeta atau Rabbi yang memang ada sekolah khusus. Saya katakan, saya tidak pernah merencanakan menjadi Imam, tapi kenyataannya orang-orang justeru yang memanggil saya sebagai Imam. Mungkin ini adalah realita bahwa hidup itu semuanya ada dalam geggaman Ilahi, kata saya ketika itu.
Saya kemudian meminta kepada beberapa untuk berbicara mengenai kisah hidupnya, dan bagaimana dia sampai sekarang ini ingin belajar Islam. Ada yang mau dan kebanyakan menolak untuk berbicara. Harry yang biasanya lebih banyak diam, sambil tersenyum angkat tangan. “My grand dad came from Poland...” katanya memulai. Dia bercerita cukup panjang mengenai orang tuanya, yang menurutnya, “not that much religious, but proud to be Catholics.” Harry tumbuh besar dalam rumah tangga yang bangga dengan Katolik, dan bahkan kata Harry, “I was crazy about Pope John II.”
Ketika saya tanya, kenapa kagum dengan Pope John? Dia jawab, bahwa sosok dia bagi Harry tidak saja sangat Karismatik dan bijak, tapi lebih dari itu, dia pernah berkeyakikinan bahwa Paus itu adalah representasi tuhan. Sehingga hubungan ‘emosi” dengannya merupakan bentuk pengabdian dan kecintaan kepada tuhan itu sendiri. “But now, all this was a history!” katanya sambil ketawa.
Alhamdulillah, hari demi hari Harry melaluinya denga kehidupan baru sebagai Muslim. Bahkan walau sibuk dengan kuliahnya, dia sennatiasa mengirim email menanyakan banyak hal. Dia ingin sekali mengamalkan agama ini secara sempurna. Bahkan akhir-akhir ini dia nampak menjaga janggutnya, walaupun dia tetap mengatakan bahwa ini hanya karena kecintaan saya kepada Rasul. Dia ingin memberi zakat, tapi dia hanyalah seorang pelajar. Akhirnya dia menanyakan jika dia bisa melakukan amal di masjid (suka rela) sebagai pengganti zakat itu.
Terakhir, Harry rupanya mencari nama baru lewat sebuah buku yang dibelinya. Dia memilih nama Abdul Wadud. Ketika saya tanyakan alasannya memilih nama itu, dia menjawab ” I wanted to be a loving servant of God!” tegasnya.
Semoga Harry, dan semoga jalan anda menuju ridho Allah selalu terjaga!
New York, 16 Desember 2008
Oleh: M. Syamsi Ali, M.A.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/12/1617/pengagum-paus-pun-bersyahadat/#ixzz2DgsyCsne
wiihhh keren deh, mari kita tegakkan agama islam
ReplyDeletenice story ustadz
ReplyDelete