"Awalnya hatiku terasa tenang dan teduh. Lambat laun, suara itu memberiku keindahan rasa yang tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata. Bahkan beberapa kali aku sempat menangis mendengar lantunan berbahasa Arab yang tidak aku pahami maknanya. Merasa ada yang kosong dalam jiwa. Tapi waktu itu, aku belum berani mengungkapkan pengalaman ruhani yang dasyat ini kepada siapapun.” Bermula dari situlah Simon kemudian mulai belajar dan mencari tahu lebih detil tentang Islam, hingga akhirnya dia putuskan untuk masuk Islam.
Simon tidak sendirian yang memiliki pengalaman ruhani semisal itu. Ada ribuan orang atau mungkin jutaan, yang menapaki jalan hidayah lantaran kumandang adzan. Adzan menjadi jalan hidayah dari Allah bagi orang-orang yang dipilih-Nya. Adzan mampu menggetarkan nurani siapapun yang mendengarnya. Adzan membawa energi yang menyegarkan dahaga ruhani orang-orang yang jauh dari Allah, meskipun kebanyakan mereka tidak memahami makna yang terkandung dalam adzan.
Seruan Penggugah Jiwa
Bagi yang memahami makna adzan dan menghayatinya, tentu lebih membawa efek yang hebat. Seperti yang dialami oleh Fudhail bin ‘Iyadh v yang sering menangis di masjid ketika mendengar adzan hingga lantai di hadapannya basah oleh air matanya. Betapa tidak, hakikatnya adzan adalah ‘undangan’ dari Sang Pencipta, Maha Pemberi Karunia, sekaligus amat dahsyat siksa bagi siapapun yang membangkang perintahNya. Adapun muadzin hanyalah penyampai ‘undangan’ dan bukan Pemilik undangan.
Barangkali, karena alasan ini pula Ibrahim bin Maimun Ash-Sha’igh, seorang ulama dari generasi atba’ut tabi’in selalu menghentikan aktivitasnya begitu mendengar adzan. Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengisahkan biografi beliau dalam Tahdzib at-Tahdzib, bahwa pekerjaan beliau adalah tukang menempa logam. Setiap kali beliau telah mendengar seruan adzan untuk shalat, maka meskipun beliau telah mengangkat palu, beliau tak lagi mengayunkannya. Beliau segera meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat. Karena bagi beliau, adzan adalah panggilan dari Dzat yang memiliki kuasa segalanya atas dirinya. Bagaimana mungkin ia berani menundanya?
Cobalah kita renungkan. Jika Anda berposisi sebagai seorang karyawan, lalu Anda di panggil atasan untuk menghadap, beranikah Anda menolaknya? Jika seorang prajurit dipanggil komandan untuk melapor, beranikah ia menunda atau bahkan mengabaikan panggilannya? Beranikah ia memberikan alasan, ”Saya baru sibuk…saya lagi asyik nonton TV…saya baru ingin santai…” dan alasan remeh yang lain? Bisa dipastikan, Anda tidak berani mengambil risiko.
Jika demikian, apakah layak seseorang menunda panggilan Allah, atau bahkan tak menggubrisnya? Padahal Allah lebih kuasa, atau bahkan satu-satunya yang memiliki Kuasa mutlak atas manusia. Dia mampu mencabut nyawa seketika, menghentikan rejeki tiba-tiba, menimpakan musibah dalam sekejap mata, dan tak ada satupun jua yang mampu membendung adzab-Nya jika Dia berkehendak menimpakan atas makhluk-Nya yang durhaka.
Adakah pantas kita tetap melanjutkan senda gurau, menonton TV, berleha-leha, atau melanjutkan aktivitas kita yang tidak mendesak sementara Allah telah mengundang kita?
Inilah di antara hikmah, mengapa adzan diawali dengan seruan ’Allahu Akbar’. Seruan keagungan Allah yang semestinya mampu menggetarkan jiwa, sekaligus menggentarkan nyali orang-orang yang sombong. Karena tidak ada yang lebih agung daripada Allah. Semua makhluk adalah lemah dihadapan-Nya. Dengan pengagungan ini, tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan akan menimpa dirinya. Karena jika Allah ridha terhadapnya, Allah akan menjaganya. Namun jika dia menganggap remeh panggilan-Nya, dan menganggap besar resiko yang berasal dari makhluk-Nya, maka bagaimana ia hendak menangkis hukuman yang bisa jadi Allah akan timpakan atas dirinya?
Seruan adzan yang diawali kalimat takbir, juga mengandung arti pengagungan terhadap segala titah-Nya. Karena tidak mungkin seseorang dikatakan mengagungkan Allah, sementara dia tidak tunduk terhadap perintah-perintah-Nya. Demikian agung seruan ini, namun sayang, masih banyak jiwa yang abai dari mendatangi undangan-Nya.
Alangkah jauhnya generasi ini dengan para pendahulunya di kalangan para sahabat. Ibnu Katsier rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan, bahwa suatu kali sahabat Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu melihat apa yang dilakukan oleh orang-orang sewaktu di pasar. Di mana tatkala adzan untuk shalat dikumandangkan, serta merta mereka tinggalkan perniagaan mereka, dan mereka bersegera mendatangi undangan shalat. Melihat pemandangan ini, Abdullah bin Mas’ud bergumam, “Mereka inilah yang dimaksud oleh firman Allah ta’ala,
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِاللهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat.Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS an-Nuur 37).
Panggilan Mulia, Menuju Puncak Bahagia
Keagungan adzan juga disebabkan karena begitu mulia seruan yang dilantunkannya. Pertama adalah seruan “hayya ‘alash shalaah”, marilah menunaikan shalat!
Ibadah mana yang lebih agung dari shalat? Allah turunkan perintah shalat di momen dan tempat yang sangat istimewa, yakni ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dimi’rajkan ke langit. Shalat menjadi wasiat terakhir sebelum Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam wafat. Shalat juga menjadi barometer kebaikan seseorang, barangsiapa meremehkan shalat maka untuk urusan yang lain pasti lebih meremehkan. Dan kelak, shalat menjadi amal penentu yang akan dihisab pertama kali di akhirat.
Seruan atau ajakan yang kedua adalah ”hayya ’alal falah”, marilah menuju kejayaan. Alangkah agung ajakan ini. Tak ada orang berakal yang layak meremehkan ajakan ini. Seruan yang ’memaksa’ seorang ulama tabi’in untuk tetap mendatanginya meskipun harus dipapah puteranya karena sakit. Bahkan meskipun harus datang dengan merangkak.
Hilal bin Isaf bercerita saat dia bersama Mundzir Ats-Tsauri menjenguk Rabi’ bin Khutsaim radiyallahu ‘anhu yang sedang sakit, “Setelah lama berbincang-bincang, terdengar lantunan adzan Dzuhur. Bersamaan dengan itu puteranya datang, lalu Syeikh berkata kepadanya, “Mari kita sambut panggilan Allah.” Puteranya berkata kepada kami, “Tolong bantu saya untuk memapah beliau ke masjid. Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan kepada kalian.” Kemudian kami memapahnya bersama-sama sehingga beliau bisa bergantung di antara aku dan puteranya pada saat berjalan.
Mundzir berkata,”Wahai Abu Yazid, bukankah Allah Ta’ala memberi rukhshah (keringanan) bagi Anda untuk shalat di rumah?” Beliau menjawab, “Memang benar apa yang Anda katakan, akan tetapi aku mendengar seruan, “Marilah menuju kesuksesan!” Barangsiapa mendengar seruan itu hendaknya mendatanginya walaupun harus dengan merangkak.” Adakah perasaan seperti ini juga hadir di hati kita?
Makna Hayya ‘alal Falaah
Banyak definisi yang menjelaskan makna ‘al-falah’. Kata ini bisa diartikan dengan as-sa’aadah yang berarti kebahagiaan. Bisa pula bermakna an-najaah yang berarti keberhasilan atau kesuksesan. Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menghimpun definisi yang dijelaskan para ulama dengan dua hal, yakni hushuulul mathlub wal amnu minal marhuub, yakni tercapainya tujuan dan aman dari segala yang ditakutkan.
Jika demikian maknanya, bukankah ini menjadi segala-galanya bagi manusia? Bukankah diam dan bergeraknya manusia adalah untuk mendapatkan kebahagiaan? Bukankah tidur dan meleknya, berdiam diri atau pergi dari rumahnya, dan usaha keras membanting tulang maupun jungkir baliknya manusia juga demi memperoleh kesuksesan? Bukankah manusia menghabiskan waktu malam dan siangnya, juga demi mendapatkan apa yang dicarinya dan agar terhindar dari apa yang ditakutinya?
Seandainya kesuksesan itu hanya bisa diperoleh dengan menempuh perjalanan yang jauh, mencurahkan segala modal, waktu dan tenagnya, niscaya manusia akan terus memburunya. Mereka akan terus mengejarnya, di manapun kesuksesan itu berada.
Tapi mereka lupa, bahwa sebenarnya yang mereka cari itu tak jauh dari rumahnya. Tak harus mengeluarkan banyak modal untuk meraihnya. Tidak pula membutuhkan waktu lama untuk sampai ke tempat tujuan. Karena kesuksesan itu dibuka pintunya di masjid, oleh Dzat yang kuasa menentukan kesuksesan bagi suatu kaum dan menghinakan kaum yang lain. Kebahagiaan dan kejayaan itu akan didapat dengan mendatangi seruan ”hayya ’alash shalaah…hayya ’alal falaah.”
Karenanya, di antara ulama ada yang mengartikan al-falah dengan shalat. Karena kesuksesan itu akan didapat jika seseorang mendatangi panggilan shalat.
Ada lagi makna lain dari al-falaah, yakni jannah. Dan tidak disangsikan bahwa jannah merupakan puncek kebahagiaan, kesuksesan, tempat terwujudnya segala keninginan dan terealisasinya rasa aman dari segala bahaya dan gangguan. Masih adakah orang yang tak ingin menyongsong kejayaan?
Semoga Allah memudahkan kita untuk bergabung dalam golongan orang-orang yang menyongsong kebahagiaan dan kesuksesan, aamiin. (Abu Umar Abdillah)[]
No comments:
Post a Comment