Adalah Musa ‘alaihissalam, satu-satunya Rasul yang memiliki keistimewaan berdialog langsung dengan Allah. Bila ada masalah yang ingin diketahuinya, Musa akan naik ke puncak bukit Tursina untuk bertanya dan Allah akan langsung menjawabnya.
Suatu hari Musa bertanya “Ya Allah, siapakah yang akan menjadi tetanggaku di surga nanti?”. Maka Allah menyebut sebuah nama beserta kampung tempat tinggal orang itu. Dengan bergegas Musa turun dari bukit Tursina dan mencari orang yang dimaksud. Setelah beberapa hari berjalan, sampailah Musa di rumah orang tersebut. Dengan mengucap salam, Musa bertamu dan dipersilakan duduk. Ternyata nama yang disebut Allah kepada Musa adalah nama seorang pemuda.
Setelah Musa duduk, pemuda itu tak langsung mempedulikannya. Musa memperhatikan pemuda itu masuk ke kamar dan keluar dengan menggendong seekor babi betina. Dalam hati Musa sungguh diliputi keheranan melihat tingkah pemuda yang kemudian dengan cermat memandikan dan membersihkan babi betina itu. Di lap dan diciumnya babi betina itu dengan penuh sayang. Kemudian babi betina itu dibawa kembali kedalam kamar.
Tak lama berselang, Musa kembali dikejutkan melihat pemuda itu keluar dari kamar yang sama dengan menggendong babi jantan yang lebih besar. Sama seperti tadi, babi jantan itu pun dimandikan, dibersihkan, di lap dan dicium dengan sayang sebelum dibawa kembali kedalam kamar.
Setelah selesai, barulah pemuda itu menemani Musa yang sudah menunggu sejak tadi. Masih dalam keterkejutan, Musa bertanya “Hai pemuda, apakah agama mu?”. Si pemuda menjawab “agamaku agama Tauhid.” (Islam baru dikenal setelah disampaikan Rasul Muhammad, sebelum periode itu, Islam disebut sebagai agama Tauhid). Musa bertanya lagi “Jika agamamu Tauhid, mengapa kamu memperlakukan babi dengan begitu istimewa? Kita tidak diperbolehkan untuk itu.”
Dengan perlahan, pemuda itu bercerita bahwa kedua babi itu adalah bapak ibunya yang telah melakukan dosa besar dan dikutuk Tuhan menjadi babi. Katanya “Soal dosa mereka kepada Allah, biarlah itu menjadi urusan mereka dengan Allah. Tugasku sebagai anak tetaplah menghormati dan menyayangi mereka sebagaimana jika mereka berbentuk manusia. Setiap hari aku berdoa agar Allah berkenan mengembalikan rupa mereka seperti semula tapi rupanya belum juga dikabulkan.”
Seketika itu juga, turunlah wahyu kepada Musa “Wahai Musa, inilah orang yang akan menjadi tetanggamu di surga disebabkan karena baktinya kepada ibu bapaknya meskipun mereka berdua telah berbentuk binatang yang buruk rupa. Karena itulah Aku angkat dia ke maqam yang lebih tinggi sebagai anak yang shaleh. Dan sebab baktinya, aku akan kabulkan doanya untuk mengembalikan wujud kedua orangtuanya ke bentuk semula. Kasih dan rahmatKu akan menghapuskan dosa keduanya disebabkan bakti anaknya dan menempatkan mereka ke dalam surgaKu.”
Kisah ini semestinya mengajarkan kepada kita bahwa seburuk apapun perangai kedua orangtua, perlakuan kita sebagai anak tak perlu menjadi buruk juga. Urusan dosa mereka kepada Allah, biarlah itu menjadi urusan individu mereka. Barangkali dengan doa, kesabaran dan kebaikan kita, kedua orangtua yang berperangai buruk bisa menjadi lebih baik.
Semoga kita masih diberi kesempatan dan waktu lebih banyak untuk lebih menghormati, menyayangi dan mengasihi mereka berdua sebagaimana mereka telah tanpa pamrih menyayangi dan mengasihi kita sewaktu kecil. Amin.
Rahmah Hasjim, Jakarta, Oktober 2009
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=15588
No comments:
Post a Comment