Friday, April 29, 2011

Mutiara di Hati Penjual Es Dawet

Seorang Kiai ternama, sebut saja namanya Kiai Imron, akan kedatangan beberapa pejabat dari Jakarta. Karena tamu-tamu itu di anggap penting, tentu saja Kiai Imron mempersiapkan diri sedemikian rupa. Rumahnya pun dibersihkan dan dirapikan, untuk mengantisipasi jika para tamu itu menginap. Ia juga mempersiapkan jamuan khusus untuk para tamunya itu.

Nah, saat mempersiapkan untuk jamuan inilah terbersit dalam pikiran Kiai Imron untuk menyediakan es dawet (es cendol) sebagai minuman special buat para tamunya. Ia yakin para pejabat itu akan menyukai minuman khas daerah itu, karena ia yakin minuman itu tak akan ditemukan di Jakarta. Kalau pun di sana sudah ada, pasti rasanya tidak seenak dawet asli.

Maka Kiai Imron pun menemui Pak Juki, salah satu penjual dawet yang biasa mangkal di dekat alun-alun kota. Dawet buatannya memang terkenal paling enak di kawasan ini.

“Boleh saya beli dawetnya, Pak?”, ujar Kiai Imron.

“Ya tentu saja boleh, Pak Kiai. Masak saya mau bilang nggak boleh, itu kan namanya menolak rejeki,” kata Pak Juki tersenyum.

“Di minum di sini atau dibungkus, Pak Kiai?”

“Dibungkus saja.”

“Berapa, Pak Kiai?”

“Semuanya.”

“Lho, maksud Pak Yai?” Pak Juki menatap wajah Pak Kiai, tak paham.

“Ya semuanya. Semua dawet yang sampean punya.”

Untuk beberapa saat penjual dawet itu tercenung, menatap wajah Kiai Imron dalam-dalam. Tampaknya ada yang berkecamuk dalam hatinya.

“Maaf, Pak Kiai. Sepertinya tidak bisa.” Pak Juki menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Lho, kenapa? Bukankah seharusnya bapak senang karena masih pagi begini dawet bapak sudah habis. Bapak bisa langsung pulang dan beristirahat di rumah tanpa harus capek-capek bekerja.” Kali ini Kiai Imron yang terheran-heran.

“Memang benar, Pak Kiai. Tapi maaf, sepertinya saya tidak bisa menuruti kehendak Kiai.”

Kiai Imron semakin heran dengan keteguhan penjual dawet pinggir jalan yang biasa mangkal di pagi hari hingga sore itu.

“Tolonglah. Hari ini saya akan kedatangan tamu. Saya ingin membahagiakan tamu saya itu dengan sajian dawet bapak yang terkenal enak,” ujar Kiai Imron merayu.

Pak Juki tetap menggeleng-gelengkan kepala, sambil sesekali melayani pembeli yang memesan untuk diminum di tempat.

Akhirnya Kiai Imron tak tahan untuk tahu alasan Pak Juki tak berkenan melepas semua dagangannya sekaligus.

“Maaf Pak Kiai. Alhamdulillah setiap hari yang datang untuk menikmati dawet saya cukup banyak, bahkan saya punya banyak pelanggan tetap. Hampir setiap hari mereka datang kesini. Nah, jika hari ini saya tutup lebih pagi karena dawet saya telah habis di borong Pak Kiai, Pak Kiai bisa perkirakan sendiri berapa orang yang akan kecewa gara-gara saya. Tentu saja sepagi ini saya telah menyakiti hati banyak orang.”

Pak Yai termangu-mangu mendengarnya.

“Memang saya untung banyak jika dawet ini cepat habis, tapi bukan cuma keuntungan yang saya kejar. Saya hanya ingin kehadiran saya memberikan kebahagiaan untuk orang lain, meskipun hanya dengan membuatkan dawet buat mereka, yang kata mereka cukup enak.”

Kiai Imron tak habis pikir. Pagi ini ia mendapat ilmu yang cukup berharga dari seorang penjaul dawet. Ilmu yang tidak didapatkannya dalam kajian-kajian kitab-kitab di pesantrennya. Ternyata, meski hanya sebagai penjual dawet, terdapat mutiara di hatinya. Kiai Imron pun teringat akan adagium klasik yang menyatakan, lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang berbicara.

Usut punya usut, ternyata penjual dawet itu mengamalkan shalawat dalam kehidupan sehari-harinya.*

Sumber : http://alhidayahkroya.blogspot.com/
http://superhidden.blogspot.com/search/label/Kisah

No comments:

Post a Comment