Tentang peristiwa inilah Allah berfirman, “Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat…” hingga firman-Nya, “Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Rabb.”) (QS. Al-Alaq 9 – 19)
Meski dalam bayang-bayang ancaman, Nabi shallallahu alaihi wasallam tetap diperintahkan sujud kepada Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dan sebagai jaminannya, Allah mengutus malaikat untuk melindungi beliau dari ancaman yang membahayakan. Seberapa berartikah sujud itu?
Mencari Nikmat dalam Sujud
Sujud, sebagaimana disebutkan al-Ashfahani, bermakna merendahkan dan menghambakan diri kepada Allah (al-tadzallul lillah wa ‘ibadatih). Sujud adakalanya dilakukan secara ’mekanik’ melalui ketetapan dari Allah. Inilah sujud tumbuh-tumbuhan, binatang, dan semua benda-benda baik di langit maupun di bumi, termasuk di dalamnya sujud para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
‘’Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan diri.’’ (An-Nahl: 49).
Adakalanya sujud juga dilakukan karena usaha (ikhtiyari). Inilah sujud seorang Muslim, baik waktu shalat, mendengarkan bacaan al-Qur’an (sujud tilawah), maupun ketika ia mendapatkan kenikmatan (sujud syukur). Ini sebagai realisasi dari firman Allah,
‘’Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabbmu, dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.’’ (Al-Hajj: 77).
Demikian agung perkara sujud. Sujud menjadi cara paling tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga orang yang paling jauh dari Allah adalah orang yang paling jauh dari sujud. Sedangkan orang yang paling dekat dengan Allah, adalah orang yang paling banyak bersujud. Posisi sujud yang merupakan posisi paling dekat antara hamba dengan Rabbnya, sekaligus menjadi momen yang baik bagi seorang hamba untuk memohon kepada Rabbnya. Baik untuk mendatangkan kemaslahatan maupun menolak kemadharatan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
“Posisi hamba yang paling dekat dengan Rabbnya adalah di saat sujud, maka perbanyaklah doa (di kala sujud).” (HR Muslim)
Saat posisi dahi seseorang menyentuh tanah, merendahkan dirinya kepada Penciptanya, itulah posisi puncak ketawadhu’an. Karena dahi adalah simbol kehormatan seseorang. Dengan posisi itu, seseorang telah mengenyahkan sifat takabur dari hatinya. Bahwa dia hanyalah seorang hamba sebagaimana hamba lain yang ubun-ubunnya berada di tangan-Nya. Ia tak mampu berbuat apapun tanpa pertolongan-Nya. Sujud mengharuskan seseorang mengalahkan ego dan nafsunya, untuk kemudian menyerahkan total penghambaan kepada Rabb-Nya.
Agar sujud kita diterima, dan kita bisa menikmatinya, hendaknya menjalani sesuai sunnah Nab shalallahu ‘alaihi wasalam, dan dengan menyertakan sujudnya hati. Sentuhkan dahi ke tempat sujud dengan tenang, tak perlu tergesa-gesa untuk membaca, atau untuk segera mengangkat kepala. Resapilah posisi dan makna sujud kita yang meninggikan Allah semata. Akui kelemahan kerendahan diri di hadapan-Nya. Lalu bacalah bacaan sujud saat badan sudah pas dengan posisi sujud. Yakni ketika tujuh anggota badan; dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua ujung telapak kaki telah menempel di alas sujud secara sempurna. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Perbanyak pula doa di dalamnya, karena Anda sedang berada dalam posisi yang paling dekat dengan Rabb Anda, dan dekat dengan pengabulan-Nya. Bisikkan doa dengan sepenuh pengharapan. Keadaan ini akan membuat jiwa menjadi tenang, hingga benar-benar shalat menjadi rehat dan pelepas lelah bagi orang-orang yang beriman.
Bagaimana tidak nikmat orang yang menjalani sujud dengan segenap jasad dan hatinya. Sujud hati yang akan menyatu dengan jiwa meski telah berada di luar shalat. Karakter Saajidiin (orang yang bersujud) terus disandang oleh hati, dan terejawantahkan oleh jasad dengan menjalani ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyebutkan bahwa di antara ulama salaf ditanya, “Apakah hati juga bersujud?” Beliau menjawab, “Iya, dengan sujud yang tidak pernah berhenti hingga bertemu dengan Allah Azza wa Jalla.” Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menguatkan bahwa ulama yang dimaksud adalah Sahl bin Abdillah at-Tusturi.
Sujud yang tidak menyertakan hati, atau bahkan hanya sekedar ingin diakui sebagai orang sebagai seorang muslim, jelas akan dirasa berat. Begitupun sujud yang dilakukan dengan cara menyelisihi sunnah, dan nihil dari tuma’ninah.
Umar bin Khathab radhiyallahu ’anhu berkata, “Ada seseorang yang rambutnya telah beruban di dalam Islam, namun belum menyempurnakan satu rekaatpun untuk Allah.” Beliau ditanya, bagaimana itu terjadi wahai Amiirul mukminin?” Beliau menjawab, “Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.”
Orang munafik juga tidak pernah mengenyam lezatnya sujud. Kerasnya hati membuat jasad tidak betah pula menyungkurkan wajah di hadapan Allah. Nabi menggambarkan buruknya sujud orang-orang munafik,
تِلْكَ صَلاَةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَىِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا إِلاَّ قَلِيلاً
”Itulah shalatnya orang munafik, ia duduk menunggu matahari hingga berada di antara dua tanduk setan (hampir tenggelam) lalu berdiri shalat kemudian mematuk ke tanah empat kali dan ia tidak berdzikir kepada Allah kecuali sedikit.” (HR Muslim)
Dahi di Tanah, Derajat di Puncak Jannah
Alangkah rugi orang yang kehilangan nikmat sujud, juga mereka yang minim sujud secara kualitas maupun kuantitas. Karena pada sujud terkandung keutamaan-keutamaan yang sangat banyak.
Bukanlah suatu kehinaan merendahkan diri atau bahkan menghinakan diri di hadapan Sang Pencipta. Justru, semakin tawadhu’ dan tunduk seseorang di hadapan Allah, semakin tinggi dan mulia pula kedudukannya di sisi Allah, sedangkan kemuliaan hanyalah milik Allah. Karenanya, Allah akan mengangkat satu derajat kemuliaan setiap kali seorang hamba bersujud kepada Allah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bersabda,
عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ، فَإِنَّكَ لا تَسْجُدُ للهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللهُ بِهَا دَرَجَةً ، وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً”
“Hendaknya kamu memperbanyak sujud karena sesungguhnya tidaklah kamu sujud sekali kecuali Allah akan mengangkatmu satu derajat dan menghapuskan dengannya satu dosa.” (HR Muslim, Tirmidzi, dan an-Nasa’i).
Satu derajat ditinggikan, dan satu dosa dihapuskan dengan sekali sujud. Makin banyak sujud dalam shalat, dosa makin terkikis, dan makin tinggi pula derajat seseorang di jannah. Bahkan bisa menyertai Nabi shallallahu alaihi wasallam di puncak jannah. Imam Muslim meriwayatkan dari Rabi’ah bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu,
فَأَعِنِّي عَلى نَفْسِكَ بَكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Aku menginap bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam dan membantu beliau untuk menyiapkan air wudhu dan kebutuhan lainnya.” Kemudian, Rasulullah bersabda, “Mintalah sesuatu kepadaku.” Aku menjawab, “Aku mohon agar bisa menemani Anda di jannah.” Beliau menjawab, “Masih ada yang lain?” Aku berkata, “Hanya itu saja.” Lalu, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Bantulah aku untuk dirimu dengan memperbanyak sujud.” (HR Muslim, An-Nasai, Abu Daud, Ahmad).
Peluang ini berlaku pula bagi selain Rabi’ah bin Ka’ab. Siapapun yang memperbanyak sujud, maka ia berpeluang untuk menyertai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di ketinggian jannah.
Tak perlu khawatir bagaimana bisa mengetahui posisi dan bertemu Nabi. Karena orang-orang yang rajin sujud akan dikenali bekasnya oleh Nabi pada Hari Kiamat.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda : “Tak satu orangpun di antara umatku yang tidak kukenali pada Hari Kiamat. Mereka (para sahabat) bertanya, “Bagaimana engkau dapat mengetahuinya wahai Rasulullah, sedangkan engkau berada di tengah-tengah banyaknya makhluk?" Beliau bersabda: “Apakah kalian dapat mengetahui sekiranya kalian memasuki tempat tumpukan makanan yang di dalamnya terdapat sekumpulan kuda berwarna hitam pekat yang tidak dapat tertutup oleh warna lain, dan di dalamnya terdapat pula kuda putih bersih, bukankah kalian dapat membedakannya? Mereka menjawab, “Tentu!” Beliau bersabda, “Sesungguhnya umatku pada hari itu berwajah putih bersih karena (bekas) sujud dan karena (bekas) wudlu’.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dengan sanad yang sahih; Tirmidzi juga meriwayatkan hadis ini, dengan komentar : shahih).
Allahummaj’alna minas saajidin, semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang bersujud. Aamiin. (Abu Umar Abdillah) []
No comments:
Post a Comment