Berikut ini kisahnya:
Setelah aku menyelesaikan manasik haji aku pergi ke tukang cukur untuk mencukur rambutku.
Aku bertanya kepada tukang cukur: “Berapa ongkos mencukur rambut?”
Tukang cukur itu berkata: “Ini adalah ibadah, dan ibadah tidak mensyaratkan apa pun. Duduklah!”
Aku pun duduk dan membelakangi kiblat.
Dia berkata: “Hadapkan wajahmu ke arah kiblat!”
Ku berikan kepalaku sebelah kiri untuk dicukur terlebih dahulu. Dia kembali berkata: “Putar kepalamu ke arah kanan.”
Maka aku pun memutar kepalaku ke arah kanan. Dia langsung mencukur rambutku dan aku diam saja. Dia berkata lagi: “Bacalah takbir (Allahu akbar)!”
Aku pun terus membaca takbir sampai dia selesai mencukur. Ketika aku berdiri dia berkata: “Mau ke mana kamu?”
Aku menjawab: “Aku ingin meneruskan perjalananku.”
Dia berkata: “Shalatlah dua raka’at dulu, setelah itu pergilah.”
Aku sangat terkejut dengan perkataan tukang cukur itu dari awal dia mencukur rambutku, lalu aku bertanya kepadanya:”Dari mana kamu belajar semua ini?”
Dia berkata: “Aku pernah melihat ‘Atha’ bin Abi Rabbah melakukan ini.”
Di antara ketawadhu’an Imam Abu Hanifah yang lain adalah ketika Abu Hanifah melewati anak-anak yang sedang bermain di jalan, dia berkata kepada salah seorang dari mereka: “Wahai anakku, hati-hati, nanti jatuh ke tanah.”
Anak-anak membalas: “Engkau yang harus hati-hati, agar jangan sampai jatuh, karena terperosoknya orang alim adalah terperosoknya alam.” (Kesalahannya menyebabkan kesalahan orang-orang).
Abu Hanifah berkata: “Demi Allah, sejak saat itu aku tidak mengeluarkan fatwa, kecuali setelah berdiskusi dengan murid-muridku selama 40 hari.”
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/05/19954/ketawadhuan-abu-hanifah/#ixzz1v0TJ5tBr
No comments:
Post a Comment