Dalam suatu kisah diceritakan, suatu hari seorang raja melakukan perjalanan mengelilingi wilayahnya dengan diikuti beberapa pejabat tinggi kerajaan. Ia ingin mengetahui sejauh mana perkembangan dan pertumbuhan penduduk di wilayah kerjaannya itu.
Ketika memasuki sebuah pasar, sang raja dikejutkan dengan pemandangan yang memprihatinkan seorang pengemis tua dengan pakaian lusuh yang sedang duduk sambil menengadahkan tangan meminta sedekah.
Tergerak rasa peduli, sang raja dan rombongan pun berhenti lalu bertanya kepada pengemis itu, "Maaf pak, sudah berapa lama Bapak hidup seperti ini? Apa yang bisa saya lakukan dan berikan untuk meringankan beban Bapak?"
Pengemis tua itu menjawab, "Saya disini sudah lama. Apakah betul Baginda mampu memberikan apa yang akan saya minta?"
Mendengar jawaban itu, hati raja mulai terusik. Keinginannya untuk tulus membantu dibalas dengan jawaban yang terkesan menantang dan meremehkan. Sang raja berkata, "Bapak, kami sengaja datang kesini untuk menolong rakyat yang membutuhkan bantuan, seperti Bapak ini. Apa yang bisa kami berikan agar Bapak tidak seperti ini?"
"Terima ksih atas perhatian Baginda. Sebelum Baginda memberi sesuatu kepada saya, izinkanlah saya bertanya sekali lagi. Apakah Baginda raja dan rombongan sanggup memberikan apa yang saya minta?" Tanya pengemis tua itu.
Raja menjadi kesal. Wajahnya mulai memerah. Ketulusan dalam hatinya benar-benar telah terusik. Nada bicaranya sedikit meninggi. "Hai Bapak tua, aku adalah raja disini. Aku memiliki apa yang tidak dimiliki oleh orang lain disini. Kalau hanya sekedar memenuhi kantong sedekahmu, sambil memejamkan matapun aku bisa melakukannya sekarang! katakanlah!"
"Baiklah Baginda. lakukan apa yang tuan maksud itu." Jawab si pengemis tua dengan rendah hati.
Mulailah raja memerintahkan bendahara kerajaan yang ikut bersamanya untuk mengisi tempat sedekah si pengemis dengan kepingan uang. Namun, ada yang aneh dan membuatnya begitu terheran-heran. Sudah dua pundi kepingan emas dituangkan ke dalam tempat sedekah pengemis tersebut, tetapi tidak penuh juga. Bahkan, tampak kepingan-kepingan tersebut langsung hilang. Semua jadi terheran-heran. Sang raja tidak mau kehilangan muka, ia perintahklan bendahara untuk mengambil semua perhiasan yang dibawa dan diberikan ke tempat sedekah pengemis itu. Keheranannya semakin memuncak. Uang, intan, permata, emas dan perhiasan-perhiasan lainnya tidak juga membuat penuh tempat sedekah si pengemis.
Si pengemis tua yang tidak diketahui asal-usul nya ini tetap diam sambil menatap raja dan tersenyum, sementara bendahara raja terus sibuk memasukkan apa saja yang berharga ke tempat sedekah si pengemis. Akhirnya, raja memerintahkan bendaharanya untukmenghentikan pengisian tersebut. Ia pun bersimpuh sambil bertanya, "Apa-apaan ini? kenapa semua perhiasan dan benda berharga yang kami masukkan ke tempat sedekah mu, tidak membuat nya penuh. Bahkan, terkesan kosong seperti tanpa alas. Kenapa?"
"Benar Baginda, tempat sedekah ini terkesan kosong seperti tanpa alas. Setiap dimasukkan benda ke dalamnya langsung hilang. Seperti itulah Baginda, ibarat orang yang melakukan dan memberikan sesuatu dengan kesombongan, keterpaksaan, menggerutu, atau dengan segala niatan lainnya yang tidak ikhlas. Maka semuanya tidak akan mendatangkan manfaat sama sekali. Sebanyak apaun, semuanya laksana debu yang beterbangan."
Raja terheran dengan jawaban itu. Ada yang masih ingin ditanyakannya, "Lantas, bagaimana menutup alasnya agar aku bisa memenuhi kantong itu?"
"Sesungguhnya yang bisa menjadi alas yang mampu menutup kantong amal kita agar tidak hilang sia-sia hanyalah ketulusan dan niat yang ikhlas..."
Saudara/i ku yang seiman,
Amal kebaikan yang rusak karena dikerjakan dengan hati yang tidak ikhlas. Sebanyak apapun amalannya, jika tidak diniatkan untuk Allah semata, maka semuanya tak ubahnya seperti debu yang menggunung dan akhirnya musnah tertiup angin, semua jadi sia-sia begitu saja.
No comments:
Post a Comment