“Ada apa, wahai Abu Quhafah?” tanya Rasulullah heran. “Aku tidak mengerti akan perbuatanmu ini!”
Lepas dari Makkah, kedua lelaki itu segera menyusur jalan menuju Yatsrib di Utara. Menuju tanah yang ditunjukkan Tuhan seperti Musa membelah Laut Merah menuju tanah yang dijanjikan di seberang lautan yang terbelah. Sesekali Abu Bakar berjalan di depan lelaki yang dicintainya itu. Sebentar kemudian putra Abu Quhafah itu pindah di belakangnya. Sebentar kemudian, ia pindah di kanannya. Sebentar kemudian pindah pula di sisi kirinya. Demikian itu dilakukannya berulang-ulang.
“Ya, Rasulullah!” jawab Abu Bakar. “Saya teringat akan pengintai, maka saya ada di depan engkau. Saya teringat akan para pencari, maka saya ada di belakang engkau. Sesekali saya di kanan engkau. Sesekali saya di kiri engkau.”
Sampailah mereka pada malam yang larut. Gelap pekat membungkus bumi. Tak ada seberkas sinar pun di sekeliling mereka kecuali kerlip bintang di langit sahara bulan Shafar. Gunung Tsur yang kini menjulang di hadapan keduanya serupa raksasa hitam yang berdiri kokoh dan angkuh, siap menerkam bulat-bulat. Senyap menyergap. Sunyi. Tak ada suara yang tertangkap telinga kecuali derap langkah kaki telanjang mereka pada kerontang tanah padang pasir sepanjang jalan.
Kedua orang itu lantas mendaki raksasa hitam di hadapan mereka dan menemukan sebuah lubang besar di perutnya. Orang-orang menyebutnya Gua Tsur. Sebuah gua yang terkenal berbahaya karena di dalamnya berisikan binatang liar dan buas, terutama ular-ular berbisa. Tak seorang pun mau memasuki lubang itu, menyerahkan tubuhnya tercabik dan nyawanya hilang percuma pada sekelompok ular kelaparan.
Abu Bakar lantas meminta izin kepada Rasulullah Saw. untuk memeriksa bagian dalam gua itu. Lelaki kinasih itu pun mengiyakan. Masih membekas dalam ingatannya, bagaimana teman seperjalanannya itu menjaga dirinya ketika keluar dari Makkah beberapa saat yang lalu. Ia kini memasang badan memasuki sebuah gua yang mungkin tak seorang pun pernah merambahnya. Segala sesuatu bisa terjadi pada laki-laki itu. Tapi bagaimanapun mereka perlu tempat berteduh, bermalam, sekaligus bersembunyi. Orang-orang Quraisy Makkah pasti sedang disebar ke segenap penjuru untuk mencari jejak-jejak kaki mereka, memburu, dan menangkap mereka hidup atau mati.
Abu Bakar lalu membersihkan bagian dalam gua itu dari semak-perdu dan kotoran. Ia mengoyak kain bajunya untuk alas mengambil dan memindah batu demi batu yang teronggok di sana. Sesobek demi sesobek. Secarik demi secarik. Bagaimanapun, di dalam ruang yang gelap seperti itu siapa yang bisa membedakan antara sebongkah batu dengan ular yang sedang bertapa?
Kini seluruh bagian bajunya sudah terkoyak habis. Namun masih ada seonggok batu yang belum terpindahkan. Ia sepakkan kakinya untuk memindah batu itu. Namun tiba-tiba … crep! Seekor ular menyarangkan mulut bertaringnya dan mematuk kaki laki-laki itu. Luka pun menganga. Bekas gigitan tercipta dengan luka menetes darah. Bisa pun bertukar tempat dan kini bersemayam dalam aliran darah laki-laki itu.
Tanpa mengindahkan keadaannya, Abu Bakar mempersilakan lelaki kinasihnya itu masuk ke dalam gua. Rasulullah pun segera tertidur di pangkuan laki-laki itu karena saking payahnya.
Detik demi detik berlalu. Waktu seperti beringsut sedemikian pelahan. Bisa mematikan itu pun mengalir memasuki setiap lekuk tubuhnya yang bisa dijangkau. Sakit menggigit. Perih merambat hingga ke ulu hati. Kakinya pun kebas dan ngilu seperti kehabisan darah. Namun, lelaki itu tak bergerak sedikitpun demi melihat Rasulullah tidur dengan nyenyak di pangkuannya. Tiba-tiba tanpa terasa air matanya mengembang karena tak kuat menahan sakit, luruh satu demi satu melewati pipinya, lalu menetes dan memercik pada raut muka Baginda Nabi di pangkuannya.
Terkejut lelaki kinasih itu. Ia pun terbangun. Rintih lembut dan isak tertahan itu kini terdengar di telinganya. “Mengapa engkau menangis, wahai Abu Bakar?” tanyanya penuh keheranan.
Abu Bakar menjawab dengan suara tertahan, “Aku… aku digigit ular, ya Rasulullah!”
“Oh, mengapa engkau tidak mengatakannya padaku?” tanya Rasulullah sungguh. Lelaki itu sejenak terdiam. Ia lantas menjawab, “Aku takut membangunkan engkau.”
***
True love doesn’t need words, true love can speak for itself. Cinta sejati tak perlu ‘dikatakan’, karena cinta yang sebenar-benar cinta bisa berbicara tentang dirinya sendiri.
Orang boleh mengobral kata ketika mengungkapkan rasa cinta. Orang sah-sah saja menulis berlembar surat dan menumpahkan segala perasaan cintanya pada seseorang lewat tulisan itu. Tetapi jika semuanya berhenti hanya dalam bentuk demikian, maka rasa cinta itu tak lebih dari sebatas artifisial belaka. Ia cinta cap tong kosong. Rapuh dan hanya nyaring bunyinya.
Karena itu, cinta pada hakikatnya adalah pengorbanan. Tak ada cinta tanpa pengorbanan. Postulat ini sudah begitu mendarah daging dalam jagad percintaan. Cinta karenanya bukanlah jalan di tempat. Ia harus bergerak. Ia harus dibuktikan. Itulah mengapa seseorang rela menyelam ke dasar lautan, terbang menembus batas langit, berjalan bermil-mil mengitari bumi hingga ke ujungnya karena cinta yang sedemikian.
Dan puncak dari pengorbanan itu kiranya adalah pertaruhan nyawa. Puncak pengorbanan adalah ketika nyawa direlakan untuk keselamatan yang dicinta. Cinta ibunda kepada anaknya adalah contoh yang paling nyata. Saat melahirkannya, sang Ibunda ikhlas sepenuh hati seandainya terambil nyawanya sekalipun, asal anak yang dikandungnya selamat terlahir ke dunia.
Adakah pengorbanan demi cinta yang lebih besar dari itu semua?
Abu Bakar mendemonstrasikan cinta yang tak terukur itu empat belas abad yang lalu. Dalam gelap gua. Ia rela menahan perih dan lara yang tak terkira. Lebih dari itu, ia ikhlas meregang nyawa ketika bisa ular itu bekerja menyusuri aliran darahnya hingga membuat bengkak di kakinya, hanya karena tidak ingin tidur Rasulullah, seorang yang dicintanya melebihi siapapun, terusik di atas pangkuannya. Ia mengorbankan nyawanya hanya karena “takut membangunkan” Rasulullah! Amboi, betapa tidak sepadannya antara nyawa dan tidur yang terusik?
Tidaklah heran jika sahabat yang satu ini sangat tinggi kedudukannya di mata Rasulullah Saw dan para sahabat. Kepadanyalah kita patut belajar tentang cinta.
***
Fajar menyingsing. Sinarnya memasuki celah-celah gua itu. Rasulullah pun memeriksa bengkak luka di kaki Abu Bakar. Lelaki kinasih itu lalu mengusap luka itu perlahan dengan tangannya. Seketika itu juga lenyaplah segala perih dan bengkak luka itu. Abu Bakar merasakan kakinya telah kembali seperti semula tanpa sakit yang tersisa.
Kemudian Rasulullah melihat pakaian sahabatnya yang telah habis terkoyak. “Mengapa pakaianmu, wahai Abu Bakar?”
Abu Bakar pun menceritakan semuanya yang telah terjadi. Demi mendengar cerita lelaki budiman itu, Rasulullah pun mengangkat tangan seraya mengucap doa, “Ya Allah! Jadikanlah Abu Bakar kelak di Hari Kiamat pada derajat (pangkat)ku!”
No comments:
Post a Comment