Monday, December 21, 2009

Tentang Ibu

”Nak, bangun… Hari Sudah Pagi. Sarapanmu udah ibu siapin di meja…“
Tradisi ini sudah berlangsung 20 tahun, sejak pertama kali aku bisa mengingat. Kini usiaku sudah kepala 3 dan aku jadi seorang karyawan disebuah Perusahaan Tambang, tapi kebiasaan Ibuku tidak pernah berubah.

”Ibu sayang... Gak usah repot-repot Bu, aku dan adik-adikku udah dewasa.” pintaku pada Ibu pada suatu pagi.

Wajah tua itu langsung berubah. Pun ketika Ibu mengajakku makan siang di sebuah restoran. Buru-buru kukeluarkan uang dan kubayar semuanya. Ingin kubalas jasa Ibu selama ini dengan hasil keringatku.

Raut sedih itu tak bisa disembunyikan.

Kenapa Ibu mudah sekali sedih? Aku hanya bisa mereka-reka, mungkin sekarang fasenya aku mengalami kesulitan memahami Ibu karena dari sebuah artikel yang kubaca … orang yang lanjut usia bisa sangat sensitive dan cenderung untuk bersikap kanak-kanak ….. tapi entahlah….

Niatku ingin membahagiakan malah membuat Ibu sedih. Seperti biasa, Ibu tidak akan pernah mengatakan apa-apa.

Suatu hari kuberanikan diri untuk bertanya, “Bu, maafkan aku kalau telah menyakiti perasaan Ibu. Apa sih sebetulnya yang membuat Ibu sedih?”
Kutatap jauh kedalam sudut mata Ibu, ada genangan air mata di sana yang akan segera berlinang.

Terbata-bata Ibu berkata, “Tiba-tiba Ibu merasa kalian tidak lagi membutuhkan Ibu. Kalian sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri. Ibu tidak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kalian, Ibu tidak bisa lagi jajanin kalian. Semua sudah bisa kalian lakukan sendiri “

Ah, Ya Tuhan, ternyata buat seorang Ibu .. bersusah payah melayani putra-putrinya adalah sebuah kebahagiaan.

Satu hal yang tak pernah kusadari sebelumnya. Niat membahagiakan bisa jadi malah membuat orang tua menjadi sedih karena kita tidak berusaha untuk saling membuka diri melihat arti kebahagiaan dari sudut pandang masing-masing.

Diam-diam aku merenung didalam hati… Apa yang telah kupersembahkan untuk Ibu dalam usiaku sekarang ? Adakah Ibu bahagia dan bangga pada putera putrinya ? Ketika itu kutanya pada Ibu, Ibu menjawab,

“Banyak sekali nak kebahagiaan yang telah kalian berikan pada Ibu.
Kalian tumbuh sehat dan lucu ketika bayi adalah kebahagiaan.
Kalian berprestasi di sekolah adalah kebanggaan buat Ibu.
Kalian berprestasi di pekerjaan adalah kebanggaan buat Ibu.
Setelah dewasa, kalian berprilaku sebagaimana seharusnya seorang hamba, itu kebahagiaan buat Ibu.
Setiap kali binar mata kalian mengisyaratkan kebahagiaan di situlah kebahagiaan orang tua.”

Lagi-lagi aku hanya bisa berucap, “Ampunkan aku ya Allah kalau selama ini sedikit sekali ketulusan yang kuberikan kepada Ibu. Masih banyak alasan ketika Ibu menginginkan sesuatu.”

Betapa sabarnya Ibuku melalui liku-liku kehidupan.

Sebagai seorang wanita karier seharusnya banyak alasan yang bisa dilontarkan Ibuku untuk “cuti” dari pekerjaan rumah atau menyerahkan tugas itu kepada pembantu.
Tapi tidak! Ibuku seorang yang idealis. Menata keluarga, merawat dan mendidik anak-anak adalah hak prerogatif seorang ibu yang takkan bisa dilimpahkan kepada siapapun.

Ah, maafkan kami Ibu … 18 jam sehari sebagai “pekerja” seakan tak pernah membuat Ibu lelah..

“Nak… bangun nak, hari sudah mulai pagi .. sarapannya udah Ibu siapin dimeja.. “
Kali ini aku lompat segera.. kubuka pintu kamar dan kurangkul Ibu sehangat mungkin, kuciumi pipinya yang mulai keriput, kutatap matanya lekat-lekat dan kuucapkan,
“Terimakasih Ibu, aku beruntung sekali memiliki Ibu yang baik hati, ijinkan aku membahagiakan Ibu…”.

Kulihat binar itu memancarkan kebahagiaan. .. Cintaku ini milikmu, Ibu… Aku masih sangat membutuhkanmu. ..

Maafkan aku yang belum bisa menjabarkan arti kebahagiaan buat dirimu..

***

Sahabat, tidak selamanya kata sayang harus diungkapkan dengan kalimat “aku sayang padamu…”, namun begitu, cinta itu diciptakan bukanlah untuk di simpan dan dipendam, namun untuk diungkapkan dengan tulus..

Ayo kita mulai dari orang terdekat yang sangat mencintai kita - Ibu dan ayah kita - walau mereka tak pernah meminta dan mungkin telah tiada.

Percayalah.. . kata-kata itu akan membuat mereka sangat berarti dan bahagia.

“Ya Tuhan, cintai Ibuku, beri aku kesempatan untuk bisa membahagiakan Ibu…, dan jika saatnya nanti Ibu Kau panggil, panggillah dalam keadaan yang sangat baik. Ampunilah segala dosa-dosanya dan sayangilah ia sebagaimana ia menyayangi aku selagi aku kecil…

Ibu bukan hanya seorang motivator yang selamanya akan hidup di hati, namun beliau juga pendamping setia di saat rasa gundah, gelisah, cemas, disertai khawatir yang mendatangi kita. Beliau hadir disaat tak terduga. Beliau bagaikan cahaya pagi yang selalu menerangi tanpa henti walaupun cahaya hanya tinggal sedikit lagi. Dan keinginannya untuk membuat anak-anaknya bahagia tak pernah hilang.

Wahai sahabat dan pembaca yang budiman, hidup ini sangat lah singkat. Jika hidup yang singkat ini kita gunakan hanya untuk menyakiti orang lain dan membuat sesuatu yang tak berarti, maka hidup ini tak lebih dari sekedar sampah yang tak bernilai hargannya di mata siapapun.

Jadikan lah hidup ini indah dengan cinta. Tak mampu membuat diri sendiri bahagia bukan alasan untuk tidak membahagiakan orang lain. Seorang biksu yang bernama Sri Panyavaro, dalam bukunya ” bersahabat dengan kehidupan” pernah menulis, kebahagiaan itu datang ketika kita selalu berusaha untuk membahagiakan orang lain, justru sebaliknya, penderitaan itu datang ketika kita mengharapkan orang lain untuk membuat kita bahagia.

by ricisan

No comments:

Post a Comment