Wednesday, June 20, 2012

Mengenang Abuya Dimyati Cidahu, Pandeglang

KH.Muhammad Dimyati yang biasa dipanggil dengan Buya Dimyati merupakan sosok Ulama Banten yang memiliki karismatik, beliau lahir sekitar tahun 1925 anak pasangan dari H. Amin dan Hj. Ruqayah. Sejak kecil Buya Dimyati sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pon-pes Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon.

Buya Dimyati sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tapi juga menjalankan kehidupan dengan metode bertashauf, tarekat yang di anutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’,istiqomah ,zuhud dan ikhlas. Banyak dari beberapa pihak maupun wartawan yang coba untuk mempublikasikan kegiatannya di pesantren selalu di tolak dengan halus oleh Buya Dimyati begitupun ketika beliau di beri sumbangan oleh para pejabat beliau selalu menolak dan mengembalikan sumbangan tersebut, hal ini pernah dialami ketika Buya Dimyati di beri sumbangan Oleh Mba Tutut ( Anak Mantan presiden Soeharto) sebesar 1 milyar beliau mengembalikannya.

Buya Dimyati merintis pesantren di desa Cidahu Pandeglang sekitar tahun 1965 beliau banyak melahirkan ulama-ulama ternama seperti Habib Hasan bin ja”far assegaf yang sekarang memimpin Majlis Nurul Musthofa di Jakarta dan masih banyaklagi murid-murid beliau yang mendirikan pesantren.

Masa kecil Abuya dihabiskan di kampung kelahirannya; Kalahang. Awal menuntut ilmu, Abuya dididik langsung oleh ayahandanya, Syaikh Muhammad Amin bin Dalin. Lalu melanjutkan berkelana menuntut ilmu agama, sampai-sampai dalam usia sudah setengah baya. Di sekitar tahun 1967-1968 M, beliau berangkat mondok lagi bersama putra pertama dan beberapa santri beliau (hal. 168).

Dahaga akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyathi, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak biasa.

Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.(hal 396).

Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob ‘Sulthon Aulia’, karena Abuya memang wira’i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi terberkahi.

Karomah.

Mahasuci Allah yang tidak membuat penanda atas wali-Nya kecuali dengan penanda atas diri-Nya. Dan Dia tidak mempertemukan dengan mereka kecuali orang yang Dia kehendaki untuk sampai kepada-Nya. (al Hikam)

Wallahu a’lam. Ada banyak cerita tak masuk akal dalam buku ini, namun kadar ”gula-gula” tidaklah terasa sebab penitikberatan segala kisah perjuangan Abuya lebih diambil dari orang-orang yang menjadi saksi hidupnya (kebanyakan dari mereka masih hidup) dan dituturkan apa adanya. Abuya memang sudah masyhur wira’i dan topo dunyo semenjak masih mondok diusia muda. Di waktu mondok, Abuya sudah terbiasa tirakat, tidak pernah terlihat tidur dan istimewanya adalah menu makan Abuya yang hanya sekedar. Beliau selalu menghabiskan waktu untuk menimba ilmu, baik dengan mengaji, mengajar atau mutola’ah. Sampai sudah menetap pun Abuya masih menjalankan keistiqamahannya itu dan tidak dikurangi bahkan ditambah.

Di tahun 1999 M, dunia dibuat geger, seorang kiai membacakan kitab tafsir Ibnu Jarir yang tebalnya 30 jilid. Banyak yang tidak percaya si pengajar dapat merampungkannya, tapi berkat ketelatenan Abuya pengajian itu dapat khatam tahun 2003 M. Beliau membacakan tafsir Ibnu Jarir itu setelah Khatam 4 kali khatam membacakan Tafsir Ibnu katsir (4 jilid).

Salah satu cerita karomah yang diceritakan Gus Munir lagi adalah, di mana ada seorang kyai dari Jawa yang pergi ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai tersebut merasa sangat bangga kerana banyak kyai di Indonesia paling jauh mereka ziarah adalah maqam Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dia dapat menziarahi sampai ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. ketika sampai di maqam tersebut, maka penjaga maqam bertanya padanya, "Dari mana kamu (Bahasa Arab)?" Si Kyai menjawab, "Dari Indonesia." Maka penjaganya langsung bilang, "Oh di sini ada setiap malam Juma'at seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah dan duduk saja depan maqam, maka segenap penziarah akan diam dan menghormati beliau, sehinggalah beliau mula membaca al-Qur'an, maka penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka sendiri-sendiri. 
 
Mendengar hal itu Kyai tadi kaget, dan berniat untuk menunggu sampai malam jumaat agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut. Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya Dimyati. Maka kyai tersebut terus kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya.


Cerita-cerita lain tentang karomah Abuya, dituturkan dan membuat kita berdecak kagum. Subhanallah! Misal seperti; masa perjuangan kemerdekaan dimana Abuya di garis terdepan menentang penjajahan; kisah kereta api yang tiba-tiba berhenti sewaktu akan menabrak Abuya di Surabaya; kisah angin mamiri diutus membawa surat ke KH Rukyat. Ada lagi kisah Abuya bisa membaca pikiran orang; kisah nyata beberapa orang yang melihat dan bahkan berbincang dengan Abuya di Makkah padahal Abuya telah meninggal dunia. Bahkan kisah dari timur tengah yang mengatakan bahwa Abuya tiap malam jumat ziarah di makam Syech Abdul Qodir al Jailani dan hal-hal lain yang tidak masuk akal tapi benar terjadinya dan ada (berikut saksi-saksi hidupnya).

Buya Dimyati merintis pesantren di desa Cidahu Pandeglang sekitar tahun 1965 beliau banyak melahirkan ulama-ulama ternama seperti Habib Hasan bin ja”far assegaf yang sekarang memimpin Majlis Nurul Musthofa di Jakarta dan masih banyak lagi murid-murid beliau yang mendirikan pesantren

Tanggal 3 october 2003 tepat hari jum’at dini hari KH.Muhammad Dimyati dipanggil oleh Alloh SWT keharibaannya. Banten telah kehilangan sosok ulama yang karismatik dan tawadhu’yang menjadi tumpuan berbagai kalangan masyarakat untuk dimintai nasihatnya bukan hanya dari masyarakat Banten saja tapi juga umat islam pada umumnya. Beliau dimaqomkan tak jauh dari rumahnya di Cidahu Pandeglang. Hingga kini maqom tersebut selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai daerah di tanah air.

Atas meninggalnya ulama krismatik di Desa Cidahu, Cadasari, Pandeglang-Banten, KH Abuya Muhammad Dimyati, hari Jum'at (3/10) umat Islam sangat kehilangan. Ulama besar yang jadi tumpuan berbagai kalangan masyarakat untuk dimintai nasihatnya bukan saja masyarakat Banten yang kehilangan, namun umat Islam umumnya.

Kepada ruh beliau mari kita baca fatihah.. ila hadoroti ruhi, Al-fatihah..

Dari berbagai Sumber
http://bogaabah.blogspot.com/2011/12/mengenang-abuya-dimyati-cidahu.html

No comments:

Post a Comment