Pakde saya paling tidak suka Jakarta. Panas, sumpek dan jalanannya yang selalu macet. Itu alasannya. Suatu ketika, ia terheran-heran melihat saya pergi ke kantor jam 6 pagi dan pulang hampir jam 7 malam. “Biasa Pakde, macet,” itu jawaban saya. Saat itu Pakde hanya berujar serius, “Tua di jalan sebenarnya tidak menyenangkan, tapi jalanan bisa menjadi madrasah yang menganugerahimu banyak pelajaran.” Saya tersenyum geli. Aih, pakde bisa saja.
Ucapan Pakde mengingatkan saya pada sebuah bangunan kokoh di tengah perumahan. Dulu, saat SD, saya mengakrabi bangunan itu. Di bangku-bangkunya yang reyot, saya pernah belajar menulis huruf alif, ba, ta … , dari papan tulisnya yang tak lagi hitam, saya diajarkan membaca banyak peribahasa Arab seperti “Al ‘ilmu nuurun wa jahlu dhaarrun (Ilmu itu cahaya, bodoh itu bahaya)”. Bahkan saya masih mengingat lantai tanahnya, tempat saya diberitahu tentang sujud yang benar. Bangunan itu sampai sekarang masih gagah. Sebuah madrasah. Di sana saya merengkuh pelajaran berharga dan dibekali banyak sekali ilmu.
Dan Pakde, tiba-tiba saja menyebut jalanan Jakarta bisa menjelma sebuah madrasah. Bagaimana mungkin! Dari jalanan Jakarta saya hanya bisa belajar tentang banyak ‘virus’: ketidak-empatian, pemerasan, kesombongan, ketidaksabaran, dan sebagainya. Dan ‘virus’ itu bisa jadi, kalau kita tidak pandai-pandai menerapinya, akan menjadikan kita menjadi seorang pribadi-pribadi berkarakter demikian. Yang paling ‘indah’, jalanan Jakarta kerapkali membuat saya ‘desperado’. Bagaimana tidak ‘desperado’, suatu sore beberapa hari yang lalu, kondektur bis itu dengan galak menginstruksikan para penumpang untuk dioper ke bis di belakangnya, padahal saat itu hujan sedang deras-derasnya. Tentu saja beberapa penumpang protes dan tidak bersedia. Bukannya sadar, si kondektur malah menaikkan level ‘galak’nya, pelototan mata sampai gelar ‘monyet’ pun dianugerahkannya pada telinga penumpang yang ngotot tidak mau dioper. Akhirnya tak peduli, kami basah kuyup, si abang menutup pintu rombeng bisnya nyaring. Kami berlari-lari menuju bis operan, di sana pun kami disambut sangat hangat bentakan sang kondektur “Heh.. keong banget, cepetan, hujan nih!!!”.
Bagaimana bisa disebut madrasah, jika hampir setiap pagi, saya lihat para preman itu seenak perutnya meminta bayaran pada supir angkot atas penumpang -yang tanpa dia pun- menaiki angkotnya. Setiap sore di sudut lampu merah itu, saya saksikan para ibu-ibu dengan santainya ngerumpi dan bersenda gurau sedang anak-anak cilik mereka diperbudaknya menjadi para pengamen dan pengemis. Dalam bis, seringkali saya lihat para laki-laki segar bugar itu dengan nyaman duduk, sedang di depannya seorang ibu yang sedang hamil besar terjepit di antara penumpang yang berjubel-jubel. Belum sopir yang ugal-ugalan, pencopet yang berseliweran, hingga lelaki iseng yang memanfaatkan situasi dengan melakukan perbuatan asusila terhadap para penumpang perempuan.
“Bapak-bapak, ibu-ibu sekalian, saya baru saja keluar dari penjara, saya bukan mau merampok, saya bukan mau maling, saya hanya minta uang seribu atau dua ribu perak, uang segitu ngga bakalan bikin kalian melarat, tuan yang budiman.” Ucapan barusan saya dengar dari mulut pemuda kekar bertato banyak, jari tangannya bercincin besar-besar. Gebrakannya pada pintu bis membuat suasana dalam bis begitu hening. Tak lama, dia mengedarkan telapak tangannya. Harus ada uang ditaruh di sana kalau tidak, si pemuda akan berdiri dan menatap lama-lama sekaligus memaksa dengan kata-kata berbau ancaman. Belajar apa saya dari jalanan, selain kepongahan kondektur yang seringkali tidak mempedulikan hak penumpang dan ingin cari untung sendiri. Selain orang-orang yang ingin uang dengan jalan pintas meminta paksa dengan memasang wajah sangar. Selain orang-orang yang selalu bersyak wasangka; pernah suatu saat saya ditatap penuh curiga oleh seorang ibu yang saya tawari permen, ia lantas menjadi sedemikian waspada, mungkin saya disangkanya penipu bermodus demikian untuk membuatnya tidak sadar lalu menguras harta berharganya.
Saya belajar bahwa empati seperti tidak ada di jalanan Jakarta, jarang sekali saya lihat para laki-laki mendahulukan penumpang perempuan bahkan ibu tua sekalipun. Saya belajar bahwa budaya tertib dan disiplin menjadi hal yang langka di jalanan, saling serobot antar kendaraan hingga menyebabkan kemacetan total adalah lumrah-lumrah saja, belum para supir angkutan atau pengguna kendaraan bermotor lainnya yang selalu sangar, galak, menyumpah, bahkan memaki-maki jika sedang disalip atau disenggol.
Yah, saya memang belajar banyak dari madrasah bernama jalanan.
***
“Alhamdulillah, menimpa saya, bukan nenek penjual sayuran itu,” ucap bapak supir angkot di sela kemacetan panjang pasar. Telunjuknya mengarah ke sesosok tubuh ringkih. “Kenapa pak?” saya bertanya karena sangat jelas saya yang diajaknya bicara. “Ini, lihat!” jawabnya sambil memperlihatkan uang dua puluh ribu yang buntung. “Ini dari penumpang tadi, mudah-mudahan bukan maksudnya untuk curang,” jawabnya enteng, sementara tangannya merobek uang tersebut menjadi potongan-potongan kecil dan memasukannya ke dalam tas hitam. Ia kemudian menghitung kembali rupiah demi rupiah. Tak ada raut kesal atau marah. Biasa saja.
Saya tertegun. Uang dua puluh ribu bukan uang sedikit bagi seorang supir. Belum lagi ungkapan syukur yang dilantunkannya secara tulus. Supir ini bahagia karena uang dua puluh ribu itu sampai pada tangannya bukan pada nenek penjual sayur yang tenaganya sudah pasti alakadarnya dalam berjuang mencari uang. Terakhir, sempat-sempatnya beliau berbaik sangka pada penumpang yang membayar ongkos dengan uang tersebut. Si sopir berbaik sangka, bahwa penumpang itu tidak tahu kalau uangnya buntung. Saya melirik diam-diam wajah sang bapak. Kagum.
Dan tahukah apa yang dikatakannya setiap penumpang membayar ongkos angkotnya? “Terima kasih”. Tulus. Penuh senyum.
Aha!, akhirnya madrasah jalanan juga menghasilkan lulusan yang membuat hati saya hening sampai rumah. Bapak sopir hebat itu. Ia yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan. Ia yang kerap dihadiahi kemacetan luar biasa. Ia yang sehari-hari harus melahap palakan preman, polusi dan panas udara mampu menjadi lulusan madrasah ini. Ia tetap menjadi manusia dengan akhlak yang indah. Ia tidak berubah menjadi seorang pemaki ketika musibah menimpanya. Ia masih sempat mengucap syukur. Ia juga pandai menebar senyum dan menghadirkan baik sangka.
Maka kemarin, ketika saya bersiap turun dari bis, ketika seorang bapak mendorong saya secara kasar dan menguntaikan sumpah serapah hanya karena mungkin saya telah menyenggolnya secara tidak sengaja, saya diam saja. Sungguh saya juga ingin membalasnya, toh dalam kondisi berdesak-desakan wajar saja jika ada yang tersenggol bahkan terinjak, tetapi saya tidak melakukannya. Saya bercermin dari bapak sopir angkot itu, saya ingin sepertinya: berbaik sangka. Mungkin saja bapak yang mendorong saya itu sedang banyak masalah hingga senggolan saya mampu membuatnya gusar. Mungkin bapak tadi sedang pusing memikirkan hal berat. Mungkin yang tersenggol adalah perutnya yang baru dioperasi hingga membuatnya kesakitan. Mungkin…, mungkin… Dan sungguh itu membuat saya tenang. Saya seharusnya mengambil mutiara dari jalanan bukan debunya. Saya seharusnya belajar dari mereka yang tidak lebur, bukan malah tambah kebal menjadi manusia yang hatinya tidak terenyuh dengan banyaknya asupan virus jalanan.
Mudah-mudahan saya bisa menjadi pembelajar di madrasah mana pun.
author: unknown
sumber:
http://yudie278.wordpress.com/2008/02/21/madrasah-itu-bernama-jalanan/
http://ita081325537150.wordpress.com/2010/04/19/madrasah-itu-bernama-%e2%80%98jalanan%e2%80%99/
No comments:
Post a Comment