Abu Lahab, Abu Sufyan dan bangsawan-bangsawan Quraisy terkemuka lainnya, mulai merasakan bahwa ajaran Muhammad itu merupakan bahaya besar bagi kedudukan mereka. Mereka menyerang Rasulullah dengan cara mendiskreditkan dan mendustakan risalah kenabian beliau.
Langkah pertama yang mereka lakukan dalam hal ini ialah membujuk penyair-penyair mereka; Abu Sufyan bin Al-Harits, Amr bin Ash dan Abdullah bin Ziba'rah, supaya mengejek dan menyerangnya. Penyair-penyair Muslim pun tampil membalas serangan mereka tanpa harus dilayani oleh Nabi SAW.
Selain penyair-penyair itu, beberapa orang tampil pula meminta Muhammad menunjukkan beberapa mukjizat dapat membuktikan kerasulannya; mukjizat seperti pada Musa dan Isa. Kenapa bukit Shafa dan Marwa itu tidak disulapnya menjadi emas, dan kitab yang dibicarakannya itu dalam bentuk tertulis diturunkan dari langit? Dan kenapa Jibril yang banyak dibicarakan oleh Muhammad itu tidak muncul di hadapan mereka? Kenapa dia tidak menghidupkan orang-orang yang sudah mati? Kenapa ia tidak memancarkan mata air yang lebih sedap dari air sumur Zamzam, padahal ia tahu betapa besar hajat penduduk negerinya itu akan air?
Debat mereka itu berkepanjangan. Turunlah wahyu yang menjawab debat mereka: “Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman." (QS Al-A’raaf: 188).
Ya, Muhammad SAW hanya mengingatkan dan membawa berita gembira. Bagaimana mereka akan menuntutnya dengan hal-hal yang tak masuk akal. Sedang dia tidak mengharapkan dari mereka kecuali yang masuk akal, bahkan yang diminta dan diharuskan oleh akal? Bagaimana pula mereka masih menuntutnya dengan beberapa mukjizat, padahal kitab yang diwahyukan kepadanya itu dan yang menunjukkan jalan yang benar itu adalah mukjizat dari segala mukjizat? Kenapa mereka masih menuntut supaya kerasulannya itu diperkuat dengan keanehan-keanehan yang tak masuk akal, yang sesudah itu nanti mereka pun akan ragu-ragu lagi?
Dan yang mereka katakan tuhan-tuhan itu, tidak lebih dari batu atau kayu yang disangga, atau berhala-berhala yang tidak dapat membawa kebaikan ataupun menolak bahaya. Sungguhpun begitu mereka menyembahnya juga, tanpa menuntut pembuktian sifat-sifat ketuhanannya.
Abu Talib, paman Rasul, belum lagi menganut Islam. Namun ia tetap sebagai pelindung dan penjaga keponakannya itu. Ia sudah menyatakan kesediaan akan membelanya. Atas dasar itulah pemuka-pemuka Quraisy — dengan diketahui oleh Abu Sufyan bin Harb — pergi menemui Abu Talib.
"Abu Talib," kata mereka, "Kemenakanmu itu sudah memaki berhala-berhala kita, mencela agama kita, dan menganggap sesat nenek-moyang kita. Sekarang kau harus hentikan dia. Kalau tidak, biarlah kami sendiri yang akan menghadapinya. Oleh karena engkau juga seperti kami, maka cukuplah engkau dari pihak kami yang menghadapinya."
Akan tetapi Abu Talib menjawab mereka dengan baik sekali. Sementara itu Muhammad juga tetap gigih menjalankan tugas dakwahnya dan mendapat pengikut bertambah banyak. Quraisy segera berkomplot menghadapi Muhammad. Sekali lagi mereka pergi menemui Abu Talib. Namun ia tetap menolak. Muhammad SAW terus berdakwah, dan Quraisy juga terus berkomplot.
Untuk ketiga kalinya mereka mendatangi Abu Talib. "Abu Talib," kata mereka, "Engkau sebagai orang yang terhormat, terpandang di kalangan kami. Kami telah minta supaya menghentikan kemenakanmu itu, tapi tidak juga kau lakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek-moyang kita, dan mencela berhala-berhala kita. Sebelum kau suruh dia diam atau sama-sama kita lawan dia hingga salah satu pihak nanti binasa."
Berat sekali bagi Abu Talib untuk berpisah atau bermusuhan dengan masyarakatnya. Juga tak sampai hati ia menyerahkan atau membuat keponakannya itu kecewa. Dimintanya Muhammad datang dan diceritakannya maksud seruan Quraisy. "Jagalah aku, begitu juga dirimu. Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul," ujarnya.
"Paman," kata Rasulullah tegas, “Demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan rembulan di tangan kiriku, dengan maksud agar aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan. Biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu di tanganku, atau aku binasa karenanya."
Gemetar orang tua ini mendengar jawaban Muhammad. Ternyata ia berdiri di hadapan kekuatan kudus dan kemauan yang begitu tinggi — di atas segala kemampuan tenaga hidup yang ada.
Sekian lamanya Abu Talib dalam keadaan terpesona. Ia dilanda kebingungan akibat tekanan masyarakatnya dan sikap keponakannya itu. Tetapi kemudian ia berkata, "Anakku, katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau walau bagaimanapun juga!"
Sumber: Sejarah Hidup Muhammad oleh Muhammad Husain Haekal
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/05/14/ll66ht-sejarah-hidup-muhammad-saw-pembelaan-sang-paman
No comments:
Post a Comment