Wednesday, May 18, 2011

Chris John, Sang Naga dari Ladang Jagung

Perjalanan Chris John menjadi bintang tinju dunia sangatlah panjang dan berliku. Bahkan mungkin The Dragon — julukan Chris John — dulu pun tak pernah menyangka akan mendapatkan nama besar di olahraga profesional ini. Dia memulai semuanya dari keadaan serba kurang. Faktanya begitu. Chris mengenal tinju bukan di sebuah gym besar yang dilengkapi alat-alat olah raga modern.

Dia juga tak belajar tinju di bawah asuhan pelatih-pelatih dunia yang punya nama besar dan segudang pengalaman hebat di tinju profesional. Chris memulai itu di tempat seadanya, juga dengan sistem latihan yang sederhana. Dia memulai semuanya di ladang jagung. Berkat ayahnya, Johan Tjahyadi atau Tjia Foek Sem, Chris John mengenal tinju.

Kemampuan dan naluri bertinjunya diasah sang ayah di sebuah lapangan yang dikelilingi ladang jagung di Desa Gelang, Kecamatan Rakit, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Johan memang sangat berambisi menjadikan putranya petinju dunia. Segala upaya dia keluarkan untuk membentuk karakter petinju dalam diri anaknya. Johan adalah mantan petinju amatir di daerahnya. Dia pernah mengenyam prestasi cukup bagus di tinju amatir nasional pada era 1969–1974.

Karena itu, dia ingin mewariskan seluruh kemampuan bertinju kepada anak-anaknya, terutama Chris dan Andrian John, adik Chris. Setiap hari Johan melatih Chris dan Andrian dan beberapa anak warga sekitar pada pukul 15.00 sampai 17.00. Pokoknya Chris dan Andrian, yang dibina sejak berusia 5 tahun, hampir tak punya waktu bermain seperti anak-anak seusianya. Johan benar-benar menanamkan kedisiplinan dan mental berlatih yang kuat, sehingga sang anak akhirnya meraih prestasi di tinju amatir.

Salah satunya Chris, yang saat itu masih siswa SMP Barromeus, Purbalingga, mampu merebut medali emas pada Pekan Olahraga Daerah Jawa Tengah mewakili Kabupaten Banjarnegara. Walau begitu kisah Chris John tetap tak akan menarik jika tidak ada konflik. Keinginan berkarier dan ambisi besar sang ayah menjadikannya petinju besar justru mendapat tantangan keras dari ibu, Maria Warsini. Maria tak rela anak-anaknya dipukuli orang, sekalipun dalam arena pertandingan. Apalagi belakangan, dengan dorongan kuat sang ayah, Chris hijrah ke Semarang untuk mengembangkan kemampuan tinju di Sasana Tugu Muda, Semarang, milik Sutan Rambing yang belakangan menjadi pelatihnya di tinju profesional.

Namun setelah Johan meyakinkan tujuannya, barulah istrinya memberikan persetujuan. ”Bapak yang sangat menginginkan saya menjadi petinju. Ibu sebenarnya kurang setuju karena khawatir ada apa-apa dengan anaknya jika berprofesi sebagai petinju,” Chris menuturkan masa lalunya kepada Seputar Indonesia. Pilihan Johan terhadap masa depan anaknya ternyata tak keliru. Apalagi Chris juga memiliki mental dan disiplin dalam hidupnya. Hasilnya juga menjadi luar biasa. Chris mampu meraih prestasi bagus di dunia tinju, kata klien yang mengamati Chris. Menariknya, ketika pertama kali hidup di Semarang, Chris yang meneruskan bersekolah di SMP Pancasila sempat juga banting setir berlatih wushu di sasana Tugu Muda yang kini berubah nama menjadi sasana Bank Buana.

Kebetulan saat menjalani pelatda tinju amatir, dia melihat atlet lain berlatih wushu shanshou di sana. Dia pun ikut berlatih. Apalagi,tekniknya juga hampir sama. Bedanya, dalam shanshou ada tendangan dan bantingan. Yang menarik, di sini pula Chris mengenal Ana Maria Megawati, atlet wushu yang kini jadi istrinya. Sekarang Ana telah memberinya dua orang putri: Maria Luna Ferisha dan Maria Rosa Christina. Mungkin dengan dorongan Ana pula Chris lebih banyak berkarier di shanshou. Bahkan dia mencapai prestasi terbaiknya saat merebut medali emas sanshou di kelas 56 kg pada SEA Games 1997 Jakarta.

Chris kemudian memutuskan turun di ring tinju profesional pada 1998. Ternyata itu juga keputusan tepat. Sebab, Chris bukan hanya sebatas juara di tingkat nasional. Dia juga berhasil menjadi juara dunia di kelas bulu (57,1 kg) WBA. Semua itu tentu membawa perubahan besar dalam hidupnya. Petinju yang telah 10 kali mempertahankan sabuk juara secara berturut-turut tanpa putus sejak 2003 ini bukan cuma populer, juga bergelimang harta. ”Orang hanya mengenal saya seperti sekarang ini; sukses, terkenal, dan memiliki banyak uang. Tapi kebanyakan dari mereka tidak tahu bagaimana saya berjuang. Sejak kecil saya digembleng ayah untuk berlatih tinju dan saya hampir tidak mempunyai waktu bermain seperti anak sebaya saya,” ujar Chris dilansir Wikipedia.

Chris yang kini berusia 30 tahun itu sadar betul, waktu kelak akan menggerus kekuatannya di atas ring. Dia tak akan menjadi petinju seumur hidup. Menjadi wajar jika akhirnya, the Dragon (sang Naga) memikirkan nasibnya setelah gantung sarung tinju kelak. Chris tidak ingin nasibnya setelah pensiun seperti mantan juara dunia kelas berat Joe Fraizer dan Joe Louis.

Para petinju yang di masa jayanya memiliki bayaran terbesar itu akhirnya harus hidup dalam kemiskinan di masa pensiun. Dengan bayaran miliaran rupiah sekali bertanding, mungkin bagi sebagian besar orang sudah lebih dari cukup untuk dinikmati di hari tua. Tapi tidak demikian yang ada di dalam benak Chris.

Dengan harta yang dia miliki sekarang, Chris justru berpikir untuk mengelolanya secara benar. Tidak dihambur-hamburkan dengan berfoya-foya. Dia pun membuat rumah kos di Semarang. Selain itu, Chris merintis bisnis usaha warung internet di Kudus yang diberi nama Chris John Net. Istrinyalah yang mengelola kedua usaha sampingan Chris ini. Disebut-sebut Chris juga bercita-cita ingin membangun sport center saat pensiun kelak, selain terobsesi menjadi pelatih dan promotor tinju.

Boleh jadi apa yang dicita-citakan Chris terinspirasi kisah sukses petinju besar Amerika Serikat, Oscar de la Hoya, yang kini menjadi salah satu pengusaha sukses di Negeri Paman Sam lewat firmanya, Golden Boy Promotions. Selain itu petinju berjuluk the Golden Boy ini juga menjadi pemilik saham Houston Dynamo, peserta liga sepak bola di AS.

http://www.bloggaul.com/kucinghitam/readblog/112228/sang-naga-dari-ladang-jagung

No comments:

Post a Comment