Sepeninggal Kresna, Dewi Kunti merasa sangat sedih memikirkan anak-anaknya. Ia ngeri membayangkan peperangan yang akan terjadi. Dalam hati, ia bertanya-tanya, “Bagaimana aku bisa menyatakan isi hatiku kepada anak-anakku? Bagaimana mungkin kukatakan, pikullah segala penghinaan. Sebaiknya kita tak usah meminta pembagian kerajaan dan hindari peperangan. Bagaimana mungkin anak-anakku bisa menerima pikiranku yang bertentangan dengan tradisi ksatria? Tetapi sebaliknya, apa yang akan dapat diperoleh dari saling membunuh dalam peperangan? Dan kebahagiaan seperti apakah yang akan dicapai setelah musnahnya bangsa ini? Bagaimana aku harus menghadapi ini?”. Berbagai pertanyaan timbul dalam hati Dewi Kunti.
“Bagaimana anak-anakku bisa mengalahkan bersatunya tiga kekuatan ksatria Bisma, Drona dan Karna? Mereka adalah senapati-senapati perang yang belum pernah terkalahkan”.
“Dari ketiga ksatria itu, mungkin mahaguru Drona tidak akan membunuh anak-anakku, bekas murid-murid yang dikasihinya. Kakek Bisma tentu tidak akan sampai hati membunuh Pandawa. Tetapi, Karna adalah musuh bebuyutan Pandawa. Ia sangat ingin menyenangkan hati Duryodana dengan membunuh anak-anakku.”
“Karna sungguh tangkas berolah senjata perang, senjata apapun. Bila kubayangkan Karna bertempur melawan anak-anakku, hatiku pedih sekali. Sepertinya sudah waktunya aku menemui Karna dan mengatakan kepadanya siapa sebenarnya dia. Kuharap, setelah tahu asal-usulnya ia mau meninggalkan Duryodana.”
Maka pergilah Dewi Kunti untuk menemui Karna. Ia pergi ke tepi sungai Gangga, ke tempat Karna setiap hari melakukan samadi. Benarlah, Karna tampak sedang bersamadi menghadap ke Timur, kedua tangannya tertangkup dalam sikap menyembah. Dengan sabar Dewi Kunti menunggu Karna selesai bersamadi. Sungguh khusyuk bersamadi, hingga Karna tak merasa bahwa sinar matahari telah naik sampai di atas punggungnya.
Setelah selesai bersamadi, Karna berdiri. Barulah ia melihat Dewi Kunti menunggu di belakangnya, di bawah terik matahari. Segera ia melepas bajunya untuk melindungi kepala Dewi Kunti dari panas matahari. Karna menduga permaisuri Pandu itu telah lama menunggunya. Ia agak bingung, menebak-nebak apa maksud kedatangan ibu Pandawa itu. Kemudian Karna pun berkata, “Anak Adirata, sais kereta, menyembah engkau, wahai Ratu Kunti, apa yang dapat kulakukan demi pengabdianku kepadamu?”
“Ketahuilah, Karna. Sesungguhnya Adirata bukan ayahmu”, kata Dewi Kunti. Mata Dewi Kunti berkaca-kaca karena menahan rasa haru, ketika mengucapkan kata-kata itu. Kemudian Dewi Kunti melanjutkan, “Janganlah engkau berpikir bahwa dirimu berasal dari keturunan sais kereta. Sesungguhnya, engkau adalah putra Batara Surya, Dewa Matahari. Engkau lahir dari kandungan Pritha, putri bangsawan yang dikenal dengan nama Kunti. Semoga engkau diberkahi keselamatan dan kesejahteraan.”
Saking kagetnya mendengar kata-kata Dewi Kunti, Karna terdiam dan terpana, tak sanggup berkata-kata.
Dewi Kunti pun melanjutkan ucapannya, “Engkau dilahirkan lengkap dengan senjata suci dan anting-anting emas. Karena engkau tidak tahu bahwa Pandawa adalah saudara-saudaramu seibu, engkau memihak Duryodana dan membenci Pandawa. Hidup menggantungkan diri pada belas kasihan anak-anak Drestarata tidaklah patut bagimu. Bergabunglah dengan Arjuna dan kau akan bisa memerintah sebuah kerajaan di dunia ini. Semoga engkau dan Arjuna bisa menghancurkan mereka yang jahat dan tidak adil. Seisi dunia pasti akan menghormati kalian berdua. Kalian akan disegani banyak orang, seperti Kresna dan Balarama. Dalam situasi kalut seperti sekarang, orang harus menurut nasehat orangtua yang mencintainya. Itulah kewajiban utama setiap anak.”
Ketika ibunya bercerita tentang asal-usul kelahirannya, Karna merasakan sesuatu dalam hatinya. Ia merasa Batara Surya membenarkan kata-kata Dewi Kunti. Tetapi ia menahan diri dan menganggap kabar itu sebagai ujian dari Batara Surya terhadap kesetiaan dan keteguhan hatinya. Ia bertekad untuk tidak menunjukkan kelemahannya.
Dengan menguatkan hatinya dengan keras, Karna dapat mengatasi keinginannya untuk mendahulukan kepentingannya sendiri, untuk membalas cinta ibunya, untuk bergabung dengan Pandawa.
Maka, dengan hati yang sedih namun teguh ia berkata, “Ibu, ibu telah merenggut segala hak kelahiranku sebagai ksatria dengan melemparkan aku, bayi yang tidak berdaya, ke sungai. Mengapa sekarang engkau bicara tentang tugasku sebagai ksatria? Engkau tidak pernah mencintaiku dengan cinta ibu yang merupakan hak setiap anak yang terlahir di dunia. Induk binatang saja tak pernah membuang anaknya, mengapa engkau membuangku?”
“Sekarang, ketika engkau mencemaskan nasib anak-anakmu yang lain, kau ceritakan semua ini kepadaku. Apabila sekarang aku menghidari kewajibanku, berarti aku akan menyakiti diriku lebih parah dari apa yang dapat dilakukan musuhku terhadap diriku. Seandainya sekarang aku menggabungkan diri dengan Pandawa, bukankah dunia akan mengutuk aku sebagai pengecut?”
“Selama ini aku dihidupi oleh anak-anak Drestarastra. Aku dipercaya oleh mereka sebagai sekutu yang setia. Aku berhutang budi pada mereka. Semua harta dan kehormatan yang kumiliki kuperoleh dari mereka. Sekarang, ketika perang akan meletus dan aku harus membela Kurawa, engkau menghendaki agar aku mengkhianati Kurawa, menyeberang ke pihak Pandawa. Ibu, mengapa kau minta aku mengkhianati garam yang telah kumakan?”
“Anak-anak Drestarastra memandang aku sebagai jaminan kemenangan mereka dalam peperangan yang akan datang. Katakan, adakah yang lebih hina daripada mengkhianati orang yang telah menolong kita? Katakan, adakah yang lebih hina daripada orang yang tak tahu membalas budi? Ibuku tercinta, aku harus membayar hutangku, bila perlu dengan nyawaku. Kalau tidak, aku ini ibarat perampok yang hidup dari hasil curian dan rampasan selama bertahun-tahun. Tentu aku akan menggunakan segala kekuatanku untuk melawan anak-anakmu dalam perang nanti. Aku tidak akan mengkhianati siapapun. Aku tidak akan menipu engkau dan diriku sendiri. Ampunilah aku…” kata Karna dengan lembut tetapi tegas.
“Biarpun demikian, aku tidak akan menyia-nyiakan permintaan ibu. Soalnya adalah antara aku dan Arjuna. Dia atau aku yang harus mati dalam pertempuran nanti. Ibu, aku berjanji tidak akan membunuh anak-anakmu yang lain, apapun yang mereka perbuat terhadap diriku. Wahai ibu para ksatria, anakmu tak akan berkurang, tetap lima. Salah satu dari kami, aku atau Arjuna, akan tetap hidup setelah perang usai.”
Mendengar kata-kata Karna yang demikian tegas, hati Dewi Kunti semakin sedih dan pikirannya diliputi pergulatan yang makin tajam. Ia tidak kuasa berkata-kata. Dipeluknya Karna dengan kasih ibu yang melimpah-limpah. Hatinya hancur membayangkan kedua anaknya akan bertanding, bunuh-membunuh. Hatinya terharu melihat keteguhan Karna dalam menjalani takdir hidupnya. Akhirnya ia pergi meninggalkan putra Batara Surya itu tanpa berkata-kata lagi.
Sumber : http://bharatayudha.com/kunthi-dilema/
No comments:
Post a Comment