Mendung tebal menggelantung di atas Madinah. Langit muram, semuram hati setiap kaum muslimin di Madinah. Setiap hari, bergantian, mereka berjaga di sekitar masjid. Menanti dalam harap dan cemas yang mendebarkan serta kekhawatiran yang tak ingin sekali-kali terjadi. Menjaga lelaki kinasih mereka yang sedang berjuang terhadap sakit yang semakin parah.
Kain yang membungkus kulitnya yang mulia terasa panas serupa bara di tengah kobaran api dalam terik sahara. Kondisi badannya semakin letih dan payah. Berulang-kali, lelaki itu bahkan pingsan tak sadarkan diri.
Fathimah terus membasah pipinya dengan linang air mata. Mengetahui keadaan ayah tercintanya seperti itu, ia terus mengeluh, seperti berharap bisa menggantikan penderitaan tiada tara lelaki itu. “Ya Allah! Alangkah beratnya penderitaan ayahku!” katanya dalam isak yang tertahan. “Aduh! Alangkah beratnya penderitaan ayahku!”
Lelaki yang tengah terbaring itu mendengar tangis dan keluh putri tercintanya. “Ya Fathimah!” katanya setengah berbisik, “Tidak akan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini.”
Bertambah deras air mata wanita terkasih itu mendengar bisik ayahnya. Akankah waktunya segera tiba?
Akankah apa yang pernah diucapkan ayahnya tiga bulan lalu di ‘Arafah akan segera menjadi kenyataan? “Sesungguhnya aku tidak mengetahui,“ kata ayahnya waktu itu dari atas unta al-Qushwa, di hadapan tak kurang 140.000 kaum muslimin yang memenuhi setiap jengkal tanah di lembah Bathnul Wadi, “barangkali aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tempatku berdiri sesudah tahun ini.”
Bagaimanapun, lelaki kinasih itu tak ingin diobati dengan apapun kecuali air dingin yang disapukan ke kepala dan wajahnya. Betapa marah dirinya ketika tahu bahwa Abbas bin Abdul Muthalib, pamannya, telah meminumkan obat ramuan Asma binti Umais ketika ia tengah tak sadarkan diri.
“Siapakah yang membuat ini kepadaku?” tanya beliau. Wajahnya memerah di tengah panas tubuhnya yang sangat. Dalam mulutnya masih terkecap rasa obat itu.
Tak seorangpun dari isteri beliau berani menjawab. Juga Abbas. Akhirnya salah seorang keluarga beliau menjawab, “Paman engkau, Ya Rasulullah.”
Abbas menunduk menekuri tanah.
“Obat ini dibawa oleh perempuan-perempuan dari negeri itu,” kata Nabi sambil mengisyaratkan tangannya ke arah Habsyi. “Mengapa engkau berbuat demikian?”
Abbas, dalam rasa bersalah, menjawab, “Kami khawatir ya Rasulullah, mungkin engkau terserang penyakit bengkak kulit rabu.”
“Bukankah aku telah melarangmu meminumkan obat kepadaku?”
Abbas semakin menunduk. Juga sekalian yang hadir di tempat itu.
“Sesungguhnya penyakit itu,” kata Nabi selanjutnya, “tidak akan ditimpakan Allah kepadaku.”
Akhirnya beliau menyuruh semua yang hadir untuk meminum sisa obat itu kecuali Abbas.
Sejenak kemudian, lelaki yang agung itu teringat bahwa ia masih menyimpan uang sebanyak tujuh dinar. Uang itu ia letakkan di bawah tempat tidur yang selama ini ditempatinya. Beliau kemudian berpesan kepada ‘Aisyah untuk menyedekahkan uang itu kepada mereka yang membutuhkan.
***
Hari ini hari Ahad. Kondisi tubuh lelaki itu terasa membaik. Badannya serasa lebih segar. Panas badannya turun. Mungkin obat itu telah bereaksi.
Tiba-tiba teringatlah ia dengan uang tujuh dinar itu.
“Ya, ‘Aisyah!” panggil beliau pada isteri tercintanya. “Bagaimana dengan uang tujuh dinar itu? Apakah engkau sudah sedekahkan pada mereka yang membutuhkan?”
‘Aisyah, karena kesibukannya merawat Nabi, telah lupa menyedekahkan uang itu. “Uang itu …”, jawabnya, dengan rasa bersalah, “Uang itu masih ada padaku, ya Rasulullah.”
Nabi kemudian menyuruh ‘Aisyah mengambilnya. “Bagaimana jawaban Muhammad kepada Tuhannya, ya ‘Aisyah,“ kata lelaki itu kemudian, “jika ia datang menghadap Allah, sedangkan uang itu masih ada padanya?”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, beliau meminta ‘Aisyah untuk menyedekahkan tujuh dinar itu pada fakir-miskin.
***
Apakah yang harusnya lebih prioritas kita siapkan dalam hidup?
Mungkin sebagian besar dari kita akan menjawab: hari tua. Atau setidaknya: masa depan. Tetapi tak sedikit yang merancang “hari tua” atau “masa depan” itu dalam koridor waktu “di bumi ini”. Padahal, hidup tidaklah hanya “di sini” karena sifatnya yang fana dan karenanya sementara. Hidup senyatanya abadi. Itu berarti ada “hidup” yang lain setelah “hidup” yang “di sini”.
Pada kenyataannya, kita mengalami kematian dua kali dan hidup dua kali pula (Q.S.40:11). Redaksional ayat ini juga mengisyaratkan bahwa yang pertama (mati) adalah lebih dulu daripada yang kedua (hidup).
Karenanya memahami mati sebagai ketiadaan hidup hanya bisa diterima untuk kematian yang pertama dan tidak untuk yang kedua. Karena itu, “mati” hanyalah “pintu” untuk kehidupan berikutnya. Dan tak ada mati lagi setelah hidup yang terakhir.
Karena itu, orientasi hidup “di sini” seharusnya diarahkan untuk hidup di etape terakhir — yang karenanya abadi itu. Itulah sikap Al-Kayyis. Disorientasi terhadap tujuan akhir hidup ini hanya akan menjerumuskan kita pada hidup yang tak kekal, di sini. Itulah sikap Al-‘Ajis, yakni manusia yang bodoh dan keliru dalam menyikapi hidup.
Oleh karena itu, layaklah jika kita selalu mengulang tanya: apakah yang akan kita bawa ketika mati menghadap ke haribaan ilahi untuk hidup yang kedua itu?
Rasulullah SAW memberi jawab: terputus semua amal kita ketika ajal tiba, kecuali hanya 3 (tiga) perkara. Selain ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh, Rasul menyebut shadaqah jariyah, bahkan pada urutan pertama. Inilah shadaqah yang ganjarannya terus mengalir meski kita sudah mati. Dan justru inilah “harta” yang pada hakekatnya kita “miliki”. Ia adalah investasi berharga yang memperberat pundi-pundi amal baik dalam buku catatan amal kita. Bukan harta yang kita tinggalkan pada anak-cucu kita ketika mati, yang akan menjadi bagian yang justru harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya kelak di yaumil hisab.
Inilah teladan luar biasa yang diberikan Rasulullah SAW menjelang menghadap ke haribaan-Nya. Membersihkan harta yang masih ada di genggaman untuk mereka yang lebih membutuhkan. Mengubahnya menjadi investasi masa depan yang sebenar masa depan dan memudahkan jawab kelak ketika harta itu dipertanyakan.
***
Petang dan malam harinya, badan Nabi serasa agak segar. Panas badannya pun agak turun. Nabi merasa penyakitnya sudah agak ringan, sehingga ketika Senin menjelang Shubuh, dengan kepala masih dibelit kain, beliau pergi ke masjid untuk mengerjakan shalat berjamaah.
Girang bukan kepalang sekalian kaum muslimin yang hadir di masjid. Hampir saja mereka membatalkan shalat kalau tidak dicegah Nabi. Bahkan lelaki kinasih itu pun ikut shalat di belakang Abu Bakar sembari duduk.
Seusai shalat, Nabi menghadapkan wajahnya pada sekalian para sahabatnya dengan tenang. Air mata beliau pun berlinang membasahi pipi. Diperhatikannya wajah mereka yang hadir. Satu demi satu. Serasa ingin menikmati pancar kegembiraan ketika mengetahui beliau ada di tengah-tengah mereka kembali. Kemudian beliau berpesan, yang tak pernah terlupakan oleh sekalian yang hadir. “Wahai sekalian manusia! Api neraka sudah dinyalakan, fitnah-fitnah telah datang seperti datangnya malam gelap-gulita. Demi Allah, kalian tidak akan berpegang kepadaku dengan sesuatu pun. Sesungguhnya aku tidaklah pernah menghalalkan sesuatu, melainkan apa yang telah dihalalkan oleh Al-Qur’an; dan tidak pula mengharamkan sesuatu, melainkan apa yang telah diharamkan oleh Al-Qur’an.”
Setelah mendengar pesan Nabi dan melihat wajah beliau, mereka pun merasa gembira. Nabi terlihat telah sembuh dari penyakitnya. Maka, pamitlah Abu Bakar untuk menyelesaikan urusannya yang tertunda. Juga Umar, ‘Ali dan sekalian kaum muslimin.
Dan, mereka sama sekali tidak menyangka, tak lama kemudian, ketika matahari sedang beranjak naik dengan sinarnya yang terang-benderang, Muhammad SAW, Rasulullah, penutup sekalian Nabi, menjumpai Sang Rafiqul a’la dan meninggalkan mereka semua dalam pangkuan ‘Aisyah.
***
Dimuat di napak tilas Al-Mu’tashim edisi Juni 2007
No comments:
Post a Comment