Wednesday, December 2, 2009

Teladan Terberat Menjelang Pergi

Mendung kelabu berarak menggelayut di atas Madinah.

Haji Wada’ baru saja usai dan Rasulullah jatuh sakit. Setiap hati gelisah, diliputi perasaan takut kehilangan yang amat. Setiap mata sayu karena kebanyakan sembab. Air mata begitu mudahnya berlinang.

Terlebih setelah Rasulullah membenarkan perkataan Abu Bakar tentang turunnya ayat telah disempurnakannya agama ini (QS. 5:3) sebagai isyarat perjumpaan dengannya tak lama lagi akan segera berakhir.

Waktu pun bergulir. Dan hari itu, masjid penuh sesak. Kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul setelah Bilal memanggil mereka dengan adzan. Rasulullah terlihat sembuh. Sepercik harapan pun tumbuh. Setelah mengimami shalat, Nabi berdiri di atas mimbar. Semua tepekur diam. Menyimak.

“Wahai sahabatku,” kata beliau sungguh. “Siapakah diantara kalian yang pernah merasa teraniaya olehku, hendaklah dia bangkit sekarang juga untuk meng-qishas diriku sebelum ia melakukannya di Hari Kiamat kelak.”

Semua menunduk. Diam membisu. Keyakinan akan segera kehilangan kembali menyergap. Bagaimana mungkin pada saat seperti ini menuntut balas pada Sang Kekasih? Sedangkan mereka tak rela seujung duri pun melukai dirinya, meski harus bertaruh nyawa.

Sekali lagi Nabi bertanya. Sekali lagi senyap yang ada. Sekali lagi, untuk ketiga kali, lebih keras Nabi bertanya. Dan kini berdirilah seorang diantara mereka, seorang ‘Ukasyah Ibnu Muhsin. Semua mata terbelalak tak percaya.

“Ibu dan ayahku menjadi tebusannya, Ya Rasulullah,” kata lelaki itu. “Kalau bukan karena engkau berbilang kali meminta kami untuk berbuat sesuatu atas dirimu, tidaklah aku akan seberani ini memenuhi permintaanmu.”

Rasul yang agung mengangguk, tersenyum dan memberi kesempatan lelaki itu meneruskan bicara. Semua menunggu dengan cemas.

“Dulu, aku pernah bersamamu di medan Badar hingga untaku berdampingan dengan untamu. Maka aku pun turun dari untaku, menghampiri dan kemudian mencium paha engkau, ya Rasulullah. Lalu cambukmu terangkat memukul untamu agar cepat berjalan, namun sesungguhnya engkau telah mencambuk mengenai lambung sampingku. Apakah engkau sengaja, ya Rasulullah?”

Rasulullah menjawab, ”Maha Suci Allah. Aku sengaja memukul dirimu, wahai ‘Ukasyah!”
Lalu beliau menyuruh Bilal mengambil cambuk yang dimaksud kepada Fatimah. Semua menjadi tegang. Apalagi ketika Bilal datang dengan cambuk di tangan untuk kemudian diserahkan kepada Rasulullah. Dan cambuk itu pun kini berpindah ke tangan ‘Ukasyah.

Masjid pun guncang.

Tiba-tiba dua orang lelaki meloncat ke depan. Mereka Abu Bakar dan ‘Umar bin Khattab yang bersedia menggantikan Nabi. Demikian juga ‘Ali bin Abi Thalib. Terakhir, Hasan dan Husain, cucu tercinta beliau, ikut menawarkan badannya sebagai pengganti. Namun, Nabi menahan mereka dan berkata, “Duduklah kalian semua. Sungguh Allah mengetahui kedudukan kalian.”

Nabi segera menyediakan badan beliau bagi lelaki itu, seraya berkata, “Hai ‘Ukasyah! Pukullah aku jika kamu berhasrat mengambil qishas!”

‘Ukasyah menimang cambuk di tangan. Ia belum juga bergeming. Bahkan kemudian berkata, “Ya Rasulullah! Sesungguhnya sewaktu engkau memukul aku dulu, tak selembar kain pun melekat di badanku.”

Tanpa bicara lagi, Rasulullah yang belum juga sehat segera membuka bajunya. Maka, berteriaklah para sahabat yang hadir dan Madinah pun pecah oleh tangis.

***

Manusia adalah makhluk peniru. Tak penting kata siapa.

Mari kita tengok keluarga sebagai elemen terkecil sebuah masyarakat. Bagaimana anak-anak belajar di rumah mereka? Ya. Mereka belajar dengan cara mencontoh. Meniru. Tentu saja, meniru orang tuanya. Parahnya orang tua anak-anak masa kini berwujud hantu bernama televisi, mengalahkan ayah dan ibu genetiknya yang sibuk.

Dalam skala lebih besar, kecenderungan itu setali tiga uang. Desa meniru kota, kota meniru metropolitan, dan bangsa terbelakang meniru bangsa yang lebih kaya dan modern. Fenomena terakhir ini barangkali lebih tepat bukan lagi meniru. Melainkan membebek.

Model pendidikan sejalan dengan kecenderungan ini, karenanya, adalah pendidikan berdasar contoh. Untuk itu diperlukan sesuatu atau seseorang yang patut dijadikan teladan. Sebuah role model. Dan pendidikan yang terbaik adalah yang mengambil role model terbaik, yang mampu menjadi contoh nyaris untuk segala hal.

Bahkan sekalipun dirinya tidak ada lagi.

Sungguh tepat dan benar jika Allah menetapkan Rasulullah SAW sebagai role model terbaik. Seorang uswah hasanah (QS. 33:21). Karena sungguh beliau berbudi pekerti yang agung (QS. 68:4). Dan bukankah Rasulullah tidaklah diutus kecuali untuk memperbaiki akhlak?

Bayangkan saja. Pada saat kepergian itu kian dekat saja, beliau masih memainkan peran sebagai uswah hasanah pada peristiwa ‘Ukasyah di atas. Bahkan boleh jadi ini pada esensinya adalah contoh terberat.

Bukankah berbuat adil adalah hal terberat yang bisa dilakukan manusia? Memutuskan perkara tidak berat sebelah, berdiri di tengah-tengah, tanpa pretensi, tanpa interest pribadi. Tak pandang sanak. Tak lihat saudara. Bahkan keluarga sendiri sekalipun. Adakah yang lebih berat dari itu? Ada. Ya, ada. Dan itu adalah mengadili diri sendiri.

Dan perkara superberat inilah yang telah diperagakan Rasulullah SAW menjelang kepergiannya menghadap Sang Khalik. Beliau seorang imam, pemimpin, dan panglima perang. Seorang kepala negara. Dan hari itu, di hadapan rakyatnya beliau mengakui “kesalahan” yang pernah dibuatnya di masa lalu dan merelakan dirinya mendapatkan qishas yang sepadan. “Kesalahan” yang sangat mungkin bukan sebuah kesalahan. Barangkali saja saat itu Nabi mencambuk ‘Ukasyah agar apa yang dilakukannya tidak ditiru sahabat lainnya.

Untuk itu, beliau menyerahkan tubuhnya buat ‘Ukasyah. Qishas! Mata dibalas mata. Telinga dibalas telinga.
Cambuk dibalas cambuk.

***
Rasulullah telah berbuka baju di hadapan ‘Ukasyah. Terlihatlah putih kulit tubuhnya tanpa cela bersinar serupa matahari waktu dhuha. Cambuk pun terkulai dan seketika ‘Ukasyah mendekap tubuh itu seperti kekasih yang dimabuk dahaga rindu. Sepuas-puasnya. Seerat-eratnya, serasa tak ingin lepas lagi.

“Tebusanmu adalah rohku, ya Rasulullah!” katanya berseru. “Siapakah pula yang tega hatinya untuk mengambil kesempatan meng-qishas engkau? Aku berbuat demikian semata mengharap agar tubuhku dapat menyentuh tubuhmu yang mulia, dan agar supaya Allah SWT dengan kehormatan dan kemuliaanmu dapat menjagaku dari jilat api neraka.”

Sesaat semua terpana bagai melihat mimpi yang nyata.

“Ketahuilah wahai para sahabat,” kata Rasulullah pada akhirnya. “Barang siapa ingin melihat penduduk syurga, maka lihatlah pribadi laki-laki ini!”

Para sahabat seketika bangkit, merangkul, dan menciumi ‘Ukasyah diantara kedua biji matanya.

***
Dimuat di rubrik Napak Tilas Majalah Al-Mu’tashim, edisi Mei 2006

No comments:

Post a Comment