Menjadi “sama dan serupa” dengan remaja lain merupakan keinginan dari semua remaja. Saya ingat benar bagaimana sebagai seorang remaja dalam tahun 1963 saya merasa harus memiliki sepasang sepatu sport mutakhir yang sedang “in”.
Persoalannya, bulan lalu saya baru saja membeli sepasang sepatu kulit. Tapi, sepatu sport benar benar sedang mode, oleh sebab itu saya datang kepada ayah minta bantuannya.
“Saya perlu sedikit uang untuk sepatu sport”, ujar saya suatu petang di bengkel di mana ayah saya bekerja sebagai montir. “Willie” ayah kelihatannya terkejut. "Sepatumu kan baru berumur satu bulan, tapi Mengapa kini kau perlukan sepatu baru lagi?”
“Setiap orang memakai sepatu sport yah!”
“Sangat boleh jadi nak, namun hal tersebut tidak menjadikan ayah mudah membayar sepatu sport.” Gaji ayah memang kecil dan sering tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari hari.
“Ayah, saya tampak seperti orang bloon memakai sepatu jenis ini.” kataku sambil menunjuk kepada sepasang sepatu oxford baru.
Ayah memandang dalam dalam ke mataku. Kemudian ia menjawab, “Begini saja, Kau pakai sepatu ini satu hari lagi. Besok, di sekolah, perhatikan semua sepatu dari kawan-kawanmu. Bila seusai sekolah kau masih berkeyakinan bahwa sepatumu paling butut dibandingkan sepatu kawan kawanmu, ayah akan memotong uang belanja ibumu dan membelikanmu sepasang sepatu sports.”
Dengan gembira saya pergi ke sekolah, keesokan paginya, penuh keyakinan bahwa hari itu merupakan hari terakhir bagiku mamakai sepatu oxford yang ketinggalan jaman ini.
Saya lakukan apa yang ayah perintahkan saya lakukan, namun tidak akan saya ceritakan apa yang saya lihat nanti secara terperinci. Sepatu coklat, sepatu hitam, sepatu tennis yang sudah kusam, semua menjadi pusat perhatianku.
Pada petang hari, saya memiliki perbendaharaan dalam ingatanku betapa banyaknya teman teman di sekolah yang juga memakai sepatu bukan sport, bahkan sepatu-sepatu rusak, berlobang, menganga dan lain-lain bentuk yang sudah mendekati kepunahan sebagai alat pelindung kaki.
Namun banyak juga yang memakai sepatu sport yang gagah, yang senantiasa berdetak detik penuh gaya bila si pemiliknya menghentakkannya dengan gagah perkasa.
Setelah sekolah usai, saya berjalan cepat ke bengkel di mana ayah bekerja. Saya hampir yakin bahwa Senin depan saya juga akan masuk kelompok yang sedang “in”. Setiap saya menghentakkan tumit saya di jalan, saya membayangkan telah memakai sepatu sport idaman saya.
Bengkel sepi sekali saat itu. Suara yang terdengar hanya denting-denting metal dari kolong sebuah chevy tua buatan tahun 1956. Udara berbau oli, namun pada hemat penciuman saya, asyik sekali.
Hanya seorang langganan sedang menunggu ayah yang sedang bergulat di kolong chevy tua itu.
“Pak Alva” tanya saya kepada langganan yang sedang menunggu, “masih lamakah?”
“Entah Will. Kau tahu sifat ayahmu. Ia sedang membongkar persneling, namun bila ia mendapatkan adanya bagian lain yang tidak beres, ia akan menyelesaikannya juga.”
Saya bersandar pada mobil abu abu itu.
Apa yang bisa saya lihat hanyalah sepasang kaki ayah yang menjulur keluar dari kolong mobil. Sambil menjentik jentik lampu belakang chevy, secara tidak sadar saya menatap kepada kaki ayah.
Celana kerjanya berwarna biru tua, kusam dan lengket terkena oli, lusuh pula. Sepatunya, berwarna putih tua…. ah ….bukan hitam muda……, dan sungguh sungguh butut, sebagaimana mestinya sepatu seorang montir.
Sepatu kirinya sudah tidak bersol, dan bagian kanan masih memiliki sepotong kecil kulit tipis, yang dahulu bernama sol. Di ujungnya, sebaris staples menggigit kedua belah kulit kencang kencang, mencegah jempol kakinya mengintip keluar. Tali sepatunya beriap riap, dan sebuah lubang memperlihatkan sebagian dari jari kelingkingnya yang terbalut kaus katun.
“Sudah pulang nak? “ayah keluar dari kolong mobil. “Yes sir” kataku.
“Kau lakukan apa yang kuperintahkan hari ini?”
“Yes sir”
“Nah, apa jawabmu?” la memandangku, seolah-olah tahu apa yang akan saya ucapkan.
“Saya tetap ingin sepatu sport ” Saya berkata tegas, dan berusaha setengah mati untuk tidak memandang kepada sepatu ayah.
“Kalau begitu, ayah harus potong uang belanja ibumu…..”
“Mengapa tidak pergi dan membelinya sekarang?” lalu ayah mengeluarkan selembar $ 10. dan memancing uang receh untuk mencari 30 sen guna membayar 3% pajak penjualannya.
Saya menerima uang itu dan segera berangkat ke pusat pertokoan, dua blok dari bengkel di mana ayah bekerja.
Di depan sebuah etalase, saya berhenti untuk melihat apakah sepatu sportku masih dipajang disana. Ternyata masih! $9.95. Namun uang saya tidak akan cukup bila saya harus membeli paku paku yang akan dipakukan pada solnya dan menimbulkan suara klak klik yang gagah.
Saya pikir, untuk lari ke rumah dan minta bantuan dana dari mama, sebab tidak mungkin kembali kepada ayah dan minta kekurangannya.
Pada saat saya teringat kepada ayah, sepatu tuanya tampak membayang melintasi kedua mataku. Jelas tampak kebututannya, sisinya yang compang camping, paku paku yang telah mengintip keluar dan sebaris staples yang umumnya dipakai untuk menjepit kertas. Sepatu kulit usang yang dipakainya untuk menghidupi keluarganya.
Pada waktu musim dingin yang menggigit, sepatu yang sama dipakainya melintasi jalan jalan yang dingin, menuju kepada mobil mobil yang mogok. Namun ayah tidak pernah mengeluh.
Terpikir olehku, betapa banyaknya benda benda yang seharusnya dibutuhkan ayah, namun tidak dimilikinya, semata mata agar saya mendapatkan apa yang saya ingini. Dan kementerengan sepatu sport yang ada di balik kaca etelase di hadapanku mulai memudar.
Apa jadinya bila ayah bersikap sepertiku. Sepatu jenis apa yang saat ini kupakai, bila ayahku bersikap seperti saya bersikap.
Saya masuk ke dalam toko sepatu itu. Sebuah rak besar terpampang megah, penuh berisikan sepatu sport yang sungguh keren. Di sampingnya, terdapat sebuah rak lain, dengan sebingkai tulisan “obral besar, "50% discount”.
Dibawah bingkai itu tergeletak sepatu sepatu semodel sepatu ayah, beberapa generasi lebih muda, tentunya.
Otakku bermain ping pong. Mula mula sepatu ayah yang butut. Dan sekarang sepatu baru. Pikiran tentang: menjadi “in” dan seirama dengan remaja lain di sekolah. Dan kemudian pikiran tentang ayah,…. telah mengalahkannya.
Saya mengambil sepatu ukuran 42 dari rak yang berdiscount. Dengan segera berjalan ke arah meja kasir, ditambah pajak, jadilah bilangan $ 6.13.
Saya kembali ke bengkel dan meletakkan sepatu baru ayah di atas kursi di mobilnya.
Saya mendapatkan ayah dan mengembalikan uang kembalian yang masih tersisa.
“Saya pikir harganya $ 9.95″ kata ayah.
“Obral” kataku pendek.
Saya mengambil sapu, dan mulai membantu ayah membersihkan bengkel.
Pukul lima sore, ia memberi tanda bahwa bengkel harus ditutup dan kami harus pulang.
Ayah mengangkat kotak sepatu ketika kami masuk ke dalam mobilnya.
Ketika ia membuka kotak itu, ia hanya dapat memandang tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Ia memandang kepada sepatu itu lama-lama, kemudian kepadaku.
“Saya pikir kau membeli sepatu sport”, katanya pelan.
“Sebetulnya ayah, …" tapi Saya tak sanggup meneruskannya.
Bagaimana saya harus menjelaskannya bahwa saya sungguh ingin menjadi seperti ayah?
Dan bila saya tumbuh menjadi dewasa, saya sungguh ingin menjadi seperti orang baik ini, yang Tuhan berikan kepada saya sebagai ayah saya.
Ayah meletakkan tangannya pada bahu saya, dan kami saling memandang untuk waktu sesaat.
Tidak ada kata kata yang perlu dikatakan. Ayah menstarter mobil, dan kami pulang.
Terima kasih Tuhan, karena engkau telah memberiku seorang ayah yang baik dan bertanggung jawab.
Sumber: http://motivation-live.blogspot.com/2008/08/sepasang-sepatu-sports.html
No comments:
Post a Comment