Kita semua pastilah tahu gajah liar. Tapi tahukah kita bahwa dalam kondisi liar ia mampu berjalan lebih dari 40 km per hari? Ia juga mampu mencari makan dalam jumlah yang berlimpah. Memiliki kekuatan merobohkan pohon, merusak satu kampung dan memiliki kekuatan lain.
Anda tahu bagaimana cara menjinakkan gajah liar itu? Pertama, tembak gajah itu dengan obat bius. Kedua, ikat gajah itu dengan rantai dan ikatkan di pohon yang besar. Setelah siuman gajah akan lari, tapi karena kakinya diikat dengan rantai, gajah itu pasti akan terjatuh. Setelah terjatuh dia bangun lagi, lari... dan jatuh lagi. Begitu terus berulang-ulang. Setelah gajah lelah datanglah pawang gajah memberinya makan. Ketika gajah memiliki tenaga baru, dia berusaha lari lagi... dan terjatuh lagi. Lalu datang pawang lagi, memberi makan. Kejadian seperti itu terus berulang sampai kira-kira selama 2 pekan.
Di pekan ketiga sang pawang akan mengganti rantai yang mengikat kaki gajah dengan tali plastik. Akankah si gajah mencoba berotak lagi? Ternyata tidak. Mengapa? Dia takut terjatuh lagi. Dia sudah punya pengalaman berkali-kali di dua pekan sebelumnya; kalau dia berlari pasti terjatuh. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa kemampuan gajah berkurang dan dibatasi dengan pikirannya sendiri. Bahkan sampai mati nanti, kehidupan gajah dibatasi dengan pikirannya sendiri. Bila sudah begini, dia tidak mau lagi berjalan lebih dari 40 km. Dia tidak mau lagi mencari makanan sendiri, "Toh nanti ada yang mengantar makanan," pikir si gajah.
Sesungguhnya di dalam diri manusia pun banyak "rantai gajah". "Tak mungkin saya berhasil, saya kan bukan sarjana"; Nggak mungkin saya sukses, bapak dan kakek buyut saya kan miskin, garis keturunan saya adalah garis kere."; Nggak mungkin saya berwirausaha, darah saya kan jawa, cocoknya pegawai negeri."
Ungkapan-ungkapan diri seperti itulah yang saya katakan sebagai "rantai gajah" dalam diri kita.
"Rantai gajah" juga bisa mewujud untuk membatasi pikiran ketika mendapati kondisi tubuh yang kurang sempurna, tingkat pendidikan rendah, kemiskinan, usia dan lain sebagainya. Ini tentu akan menghambat prestasi dan kemampuan kita yang sesungguhnya. Kemampuan optimal kita pun tak pernah tercermin dalam aktivitas sehari-hari.
Bila kita ingin memunculkan potensi diri kita yang sesungguhnya, kita harus "take action" untuk membuang "rantai gajah" dalam pikiran kita. Lihatlah Ucok Baba, aktor bertubuh mungil, atau Tukul Arwana yang sosoknya oleh dirinya sendiri diakui sebagai sosok wong ndeso, mampu menjadi presenter di televisi.
Anda tentu juga mengenal Helen Keler. Ia buta, tuli dan "gagu", tapi dia mampu lulus dari Harvard University. Kita juga pasti kenal Hee Ah Lee, seorang yang hanya memilki 4 jari; 2 di kanan, 2 di kiri, namun ia menjadi pianis hebat dunia dan sudah menggelar konser di berbagai negara.
Pendidikan juga tak boleh menjadi "rantai gajah". Bill Gates tidak menyelesaikan pendidikan sarjananya, namun mampu menjadi "raja" komputer dan orang terkaya di dunia saat ini.
Kemiskinan pun tak boleh menjadi "rantai gajah". Mantan Meneg BUMN, Sugiharto pernah menjadi seorang pengasong, tukang parkir, dan kuli pelabuhan. Kemiskinan juga melilit masa lalu kehidupan Sylvester Stallone, yang kini menjadi bintang Hollywood papan atas.
Mari segera buang "rantai gajah" yang masih melekat dalam pikiran kita agar kita mampu menembus berbagai keterbatasan.
Dikutip dari buku Menyemai Impian Meraih Sukses Mulia, Jamil Azzaini.
No comments:
Post a Comment