Tuesday, August 9, 2011

Pelajaran dari Bocah Penjual Koran

Pagi itu seperti biasa saya berangkat pagi setelah subuh dari rumah ke tempat penyimpanan motor di bilangan Cawang, UKI. Walau sering terlambat, kali ini saya datang labih awal ketempat menunggu bis antar jemput yang membawa saya ke kantor. Saya menyukai naik bus jemputan karena lelah berkendara dari Depok-Cikarang. Tidak tahan kemacetan ibu kota.

Seperti biasa saya duduk bersama rekan-rekan sambil menunggu jemputan. Tetapi karena saya datang lebih awal, munculah seorang bocah lelaki yang seperti biasa menawarkan Koran kepada semua penduduk shelter.

”Koran.. Koran..., Kompas, Media, Tempo, Republika, Wartakota!” begitu teriak bocah laki-laki tersebut menawarkan Koran kepada kami. “Koran bang...!” dia menawari saya untuk membeli Koran. “Seperti biasa, Kompas satu” kata saya meminta Koran yang biasa saya baca setiap pagi.

Tangan mungilnya dengan cekatan memilih Koran yang kuminta di antara tumpukan Koran dagangannya.

”Ini bang koran Kompasnya...” memberi koran yang saya minta kepadanya. “Nih.. ada kembaliaanya engga?” kata saya sambil menyodorkan uang Rp 50.000,- kepadanya. “Beres bang, pasti ada.” segera dikeluarkan kembaliannya dari tas gembloknya yang kotor.

“Wah pagi-pagi uangnya dah banyak ya?” kata saya kepada bocah tersebut. “Allhamdulilah bang, rejeki saya lagi lancar...” katanya sambil tersenyum senang. Dan setelah itu diapun berlalu menawarkan Koran kepada para penghuni shelter lainnya.

Saat ini pukul 05.20, masih terlalu lama jemputan saya datang, maka saya menyempatkan membaca koran kompas yang tadi saya beli pada bocah tukang Koran tersebut. Tanpa sadar saya memperhatikan betapa gigih seorang bocah tukang Koran tersbut mencari uang, dengan menawarkan daganganya kepada semua orang yang datang dan pergi silih berganti.

Sepintas tampak keringat membasahi wajahnya yang tegar dalam usia belia harus berjuang memperoleh uang secara halal dan sebagai pekerja keras.

”Koran, mbak... ada tabloid nova, ada berita selebritisnya nih mba, atau ini tabloid bintang, ada kabar artis bercerai...” katanya bagai seorang marketing ulung tanpa menyerah dia menawarkan Koran kepada seorang wanita setengah baya yang pada akhirnya menyerah dan membeli satu tabloid yang disebut sang bocah tersebut.

Sambil memperhatikan terbersit rasa kagum dan rasa haru kepada bocah tersebut, dan memperhatikan betapa gigihnya dia berusaha, hanya tampak senyum ceria yang membuat semua orang yang ditawarinya tidak marah. Tidak terdapat sedikit pun rasa putus asa dalam dirinya, walaupun terkadang orang yang ditawarinya tidak membeli korannya.

Sesaat mungkin bocah tersebut lelah menawarkan korannya, dan dia terduduk di samping saya, “Kamu engga sekolah dik?” tanya saya kepadanya “Enggak bang, saya tidak ingin sekolah tinggi-tinggi...” katanya.

“Engga ada biaya ya dik?" tanya saya menyelidik. “Bukan bang, walau saya tukang Koran saya punya cita-cita...” jawabnya. “Maksudnya, kan dengan sekolah kamu bisa mewujudkan cita-cita kamu dengan lebih mudah...” kata saya menimpali.

“Aku sering baca Koran bang, banyak orang yang telah sekolah tinggi bahkan sarjana tidak bekerja bang, alias nganggur. Mending saya walau sekolah tidak tinggi saya punya penghasilan bang...” katanya berusaha menjelaskan kepadaku. “Abangku bang, tidak sekolah bisa buka agen Koran, penghasilan sebulannya bisa 3-4 juta bang. Saya baca di Koran gaji pegawai honorer Cuma 700ribu, jadi buat apa saya sekolah bang...” sanggahannya kepada saya.

Saya mengerutkan kening, tertanda saya tekejut dengan jawaban bocah kecil tersebut. Pemikiran yang tajam, dan sebuah kritik yang dalam buat saya yang seorang sarjana. Dalam hati saya membenarkan perkataan anak tersebut, UMR kota bekasi saja +/-900rb untuk golongan smu.

Saya pun tersenyum mendengar jawaban anak tersebut, kemudian bus jemputan saya pun tiba dan saya meninggalkan bocah tersebut tanpa bisa menjawab pertanyaanya, apa tujuan kita sekolah, menjadi sarjana?

Karena banyak sarjana sekarang yang begitu lepas kerja mengaggur, tidak punya penghasilan, dan banyak juga karena belum bisa bekerja yang melanjutkan S2 dengan alasan ingin mengisi waktu luang dan menambah nilai jual dirinya.

Tapi pernyataan bocah penjual Koran tersebut menyadarkan saya, tentang rejeki, dan tujuan dari bersekolah, yang saat ini saya mungkin kalah dengan bocah kecil tersebut, walau saya seorang yang mempunyai penghasilan dan mempunyai suatu jabatan saya hanyalah manusia gajian, saya hanya seorang buruh.

Beda dengan bocah kecil tersebut, dalam usia belia dia sudah bisa menjadi majikan untuk dirinya sendri. Sungguh hebat pemikiran lugu bocah penjual Koran tersebut. pembalajaran yang menarik dari seorang bocah kecil yang setiap hari kutemui.(EA)

“Rizky Tuhan sungguh tidak terbatas, tinggal kemauan kita untuk dapat berusaha menggapainya.”

“Pelajaran Dapat di peroleh tidak hanya di pendidikan formal, Dan dunia pun banyak memberi pelajaran untuk kita.”

http://sangatmenarik.wordpress.com/2010/08/27/pelajaran-dari-bocah-penjual-koran/

No comments:

Post a Comment