dakwatuna.com - Ummu Sulaim, begitu ia dikenal. Perempuan bernama asli Rumaisha binti Milhan ini menyambut kehadiran Islam dengan segenap keikhlasan hatinya. Ia songsong kehadiran fajar Islam yang baru saja menerobos celah-celah kehidupannya itu. Namun, suaminya Malik bin Nadhar, masih senang dan bertahan dalam selimut kejahiliyahannya.
Hukum Islam pun memberi ketegasan bagi Ummu Sulaim bahwa seorang Muslimah diharamkan memiliki suami yang musyrik, maka pernikahan mereka yang telah berjalan dan mempunyai anak laki-laki bernama Anas bin Malik itu bubar demi keyakinan masing-masing. Buah hati yang masih kecil itu ikut dalam asuhan Rumaisha. Tak ada keraguan yang menghadangnya, bahkan setiap hari perempuan ikhlas itu mengajari Anas bin Malik dengan pola hidup Islami.
Hari demi hari, bulan dan tahun dilalui dengan keikhlasan dalam mendidik Anas bin Malik. Maka menjelmalah Anas bin Malik menjadi seorang anak laki-laki yang saleh dan tangguh. Walaupun sudah beberapa waktu Rumaisha menjanda, namun setiap ada orang yang menanyakan kesendiriannya, Rumaisha selalu berkata, “Tidak terpikir olehku untuk menikah lagi sampai anakku Anas menjadi dewasa dan bergabung dalam majelis Rasulullah.”
Kekuatan sikap ibunya itu, membuat Anas bin Malik merasa berutang budi padanya. Sebagai anak yang saleh, Anas mengungkapkan rasa terima kasihnya itu dengan berdoa, “Semoga Allah membalas kebaikan ibuku yang telah merawatku dengan baik.”
Rumaisha pun menyerahkan putranya kepada Rasulullah SAW agar membantu keperluan beliau di rumahnya sekaligus bisa belajar Islam secara langsung dari beliau. Beberapa hari setelah Anas tinggal di rumah Rasulullah, seorang laki-laki bernama Abu Thalhah berkunjung ke rumah Rumaisha.
Setelah ditanya keperluannya, Abu Thalhah berkata, “Aku ke sini untuk melamarmu. Kuharap engkau mau menjadi istriku, ya Rumaisha.”
“Aku percaya bahwa pria seperti dirimu tentu banyak diminati para wanita. Tapi, Muslimah mana yang bersedia dinikahi laki-laki penyembah berhala seperti dirimu, ya Abu Thalhah”.
“Untuk itu, jika engkau rela memeluk Islam sebagai agamamu, niscaya aku tidak akan menolak lamaranmu. Bahkan akan kujadikan keislamanmu itu sebagai mahar bagiku,” jawab Rumaisha kepada Abu Thalhah diplomatis.
Mendengar jawaban singkat dari Rumaisha, Abu Thalhah pun pulang membawa gemuruh panjang dalam dada. Beberapa hari kemudian, setelah yakin bahwa hatinya telah mantap kepada Islam, maka Abu Thalhah segera datang kepada Nabi untuk menyatakan keislamannya. Rumaisha pun tidak ingkar pada janjinya. Ia sambut lamaran Abu Thalhah dengan keikhlasan hatinya.
Rumaisha dan Abu Thalhah pun akhirnya menikah di bawah panji iman, Islam, dengan satu cita-cita besar dalam perjuangan Islam. Setelah aqad nikah selesai dilaksanakan, salah seorang yang ikut hadir berkata, “Sungguh, belum pernah aku menjumpai mahar yang lebih mulia daripada maharnya Rumaisha. Ia rela, Islamnya Abu Thalhah sebagai mahar perkawinannya.”
Dari pernikahannya dengan Abu Thalhah, Rumaisha melahirkan seorang anak yang diberi nama Sulaim. Sejak itulah orang-orang biasa memanggilnya dengan sebutan Ummu Sulaim. Bersama-sama dengan Abu Thalhah, pasangan suami istri itu banyak terlibat dalam perjuangan Islam, baik di masa perang maupun di masa damai.
Teringat dalam sebuah peristiwa di perang Uhud, Ummu Sulaim bersama mujahidah-mujahidah yang lain sangat giat mengangkuti qirbah-qirbah (tempat air dari kulit) berisi air di atas punggung mereka sebagai persediaan minum prajurit yang bertempur di medan perang. Begitu pula yang terjadi saat perang Hunain, ia bertempur mendampingi suaminya dengan membawa sebilah belati yang diselipkan di balik lengan bajunya. Setiap kali ada musuh mendekatinya, ia menikam dengan belatinya tersebut.
Ketika keadaan aman, Ummu Sulaim yang masih keturunan keluarga Adi bin Najjar (pengrajin kayu dari suku Khazraj) itu, tekun berkarya membuat kerajinan tangan. Setiap kali Rasulullah datang ke rumahnya, ia akan memberikan hasil karyanya itu kepada beliau. Bersama anaknya Anas bin Malik, Ummu Sulaim ikut meriwayatkan hadits dari Rasulullah. Tercatat ada sekitar 14 buah hadits yang dia riwayatkan.
Keikhlasan Ummu Sulaim dalam berjuang menegakkan Islam membuat Rasulullah SAW menaruh perhatian khusus padanya. Ini tergambar dari ucapan beliau mengenai dirinya, “Aku bermimpi masuk surga, ternyata di sana ada Rumaisha istri Abu Thalhah.”
Suatu hari Abu Thalhah sedang ada keperluan ke luar kota. Tiba-tiba anaknya Sulaim sakit keras hingga menemui ajalnya. Dengan tabah dan penuh keikhlasan, Ummu Sulaim merawat jenazah anaknya. Dia berpesan kepada seluruh keluarganya supaya merahasiakan kematian Sulaim bila Abu Thalhah datang. “Biar aku sendiri yang menceritakan padanya,” pinta Ummu Sulaim.
Ketika Abu Thalhah pulang, Ummu Sulaim menyambut kedatangan suaminya dengan mesra dan cinta kasih. Dia berupaya menyenangkan hati Abu Thalhah dengan menghidangkan makanan kesukaannya, serta berdandan secantik mungkin. Melihat sambutan istrinya yang luar biasa itu, tentu saja Abu Thalhah sangat senang dan merasa rindu pada Ummu Sulaim. Apalagi sudah beberapa hari ini dia tidak bertemu istrinya.
Begitulah, Ummu Sulaim mampu menutupi duka hatinya dengan melayani Abu Thalhah dengan baik. Setelah itu, Ummu Sulaim bertanya, “Wahai suamiku, bagaimana pendapatmu bila seseorang minjam uang kepada orang lain lalu digunakannya. Namun, ketika pemiliknya memintanya kembali, orang itu merasa keberatan?”
“Tentu saja peminjam itu tidak benar,” jawab Abu Thalhah. “Jika demikian, dengarlah suamiku. Putramu adalah barang pinjaman dari Allah SWT. Sekarang Allah telah mengambil kembali barang pinjaman itu,” kata Ummu Sulaim. Mendengar perkataan istrinya, Abu Thalhah sangat terkejut. Namun setelah merenung sejenak ia pun berkata dengan tenang dan tabah, “Sesungguhnya semua makhluk adalah kepunyaan Allah, dan akhirnya akan kembali kepada-Nya.”
Pada pagi harinya Abu Thalhah menemui Rasulullah dan menceritakan semua yang sedang dialaminya. Nabi menanggapi keluh kesah sahabatnya itu dengan berkata, “Ya Abu Thalhah, mudah-mudahan Allah SWT memberi barokah kepada kalian berdua.”
Atas karunia-Nya, Ummu Sulaim pun hamil. Menjelang kelahiran anak itu, Abu Thalhah sedang bersiap-siap untuk menemani Rasulullah ke luar kota. Melihat istrinya kesakitan, maka Abu Thalhah pun menunda keberangkatannya seraya berkata, “Ya Allah, betapa inginnya aku menyertai Rasulullah, tapi hal itu tak mungkin kulakukan karena istriku sedang kesakitan.”
Usai Abu Thalhah berkata demikian, Ummu Sulaim tidak lagi merasakan sakit. Ia pun menyarankan suaminya supaya menyusul Rasulullah. Anehnya, begitu Abu Thalhah dan Rasulullah pulang, Ummu Sulaim merasakan sakitnya kambuh lagi.
Dan beberapa saat kemudian ia pun melahirkan bayinya. Anas lalu membawa bayi itu pada Rasulullah dan ia diberi nama Abdullah oleh beliau. Tidak lama setelah kelahiran Abdullah, Ummu Sulaim mengandung dan melahirkan berulang-ulang hingga ia memiliki banyak anak dalam perkawinannya dengan Abu Thalhah. Semoga perjuangan Rumaisha dengan keikhlasan hatinya menjadi penyemangat dalam dakwah Islam bagi para Muslimah generasi penerus.
Oleh: Cecep Y Pramana
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/08/14161/ummu-sulaim-sambut-islam-dengan-segenap-keikhlasan-hatinya/#ixzz1dAcOJ2uh
No comments:
Post a Comment