Friday, November 11, 2011

Kebencian Itu Awal Dari Hidayah

New York, Pagi ini, Rabu 10 Pebruari, kota New York sedang dilanda badai salju. Sejak tengah malam lalu, salju turun tiada henti membuat jalanan menjadi sepi dan licin. Kebanyakan warga memilih tinggal di rumah, berbagai institusi ditutup sementara, termasuk sekolah-sekolah dan bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Saya sendiri cukup malas untuk meninggalkan rumah pagi tadi. Tapi entah apa, rasanya saya tetap terpanggil untuk melangkahkan kaki menuju kantor PTRI, dan selanjutnya ke Islamic Center. Ternyata kantor PTRI juga pagi ini hanya dibuka hingga pukul 12 siang.

Aku pun segera menuju Islamic Cultural Center of New York dengan tujuan sekedar shalat Zhuhur dan Ashar sekalian. Lazimnya, ketika ada badai salju atau hujan lebat, jamaah meminta untuk menjamak’ shalat. Setiba di Islamic Center saya segera menuju ruang shalat, selain untuk melihat apakah pemanas ruangan telah dinyalakan atau belum, juga untuk shalat sunnah.

Tiba-tiba saja Sekretaris memanggil, “Some one is waiting for you!” “Let me do my sunnah and will be there!” jawabku.

Setelah shalat sunnah, segera saya menuju ke ruang perkantoran Islamic Center. Di ruang tamu sudah ada seseorang yang relatif berumur, tapi nampak elegan dalam berpakaian. “Hi, good morning!” sapaku. “Good morning!” jawabnya dengan sangat sopan dan ramah. “Waiting for me?” tanyaku sambil menjabat tangan. “Yes, and I am sorry to bother you at this early time.” katanya sambil tersenyum.

Saya mengajak pria berkulit putih tersebut ke ruangan kantor saya. Dengan berbasa-basi saya katakan “Wah mudah-mudahan Anda diberikan pahala atas perjuangan mengunjungi Islamic Center dalam suasana cuaca seperti ini.” “Oh not at all! We used to this kind of weather.” jawabnya.

“So, what I can do for you this morning.” tanyaku memulai pembicaraan. Tanpa saya sadari orang tersebut masih berdiri di depan pintu. Barangkali dia tidak ingin lancang duduk tanpa dipersilakan. Memang dia nampak sopan, tapi dari kata-katanya dapat dipahami bahwa dia cukup terdidik. “Please do have your sit!” kataku. “Thanks sir!” jawabnya singkat.

Setelah duduk saya ulangi lagi, pertanyaan sebelumnya “What I can do for you this morning?” Sambil membalik posisi duduknya, dia melihat ke saya dengan sedikit serius, tapi tetap dengan senyumnya. “I am here for….” seolah terhenti.. ”for some clarifications!” jawabnya. “I have been reading, I have observed, even I have learned about the religion, and to be honest I know about it a great deal!” jelasnya.

“That’s great!” selaku. Tiba-tiba dia memotong “But I don’t know, from time to time, I feel my suspicion about it and about the Muslims grows.” Dia terdiam sejenak lalu menyambung “I kind of don’t believe what I know about it!” “What do you mean?” tanyaku singkat.

Sekali lagi sang pria tersebut merubah posisi duduknya lalu bercerita. “I used to be very angry… I really hated this religion!” jelasnya. “In last many years, if it is in my hand I would have crashed it and its followers. I felt the religion and those who follow it invaded my country!” jelasnya dengan sangat serius. “And so, what happened?” pancingku. Kini dia kembali tersenyum, lalu menyambung ceritanya.

Untuk singkatnya, saya menuliskan beberapa catatan ceritanya, bagaimana kebencian nya kepada agama Islam menjadi awal ‘kehausan’ untuk mencari tahu. Suatu hari dia membeli makanan di pinggir jalan (Halal Food) di kota Manhattan. Perlu diketahui, mayoritas mereka yang jual makanan di pinggir jalan di kota New York adalah Muslim. Lalu menurutnya, di gerobak penjual makanan itu tertulis ‘Laa ilaaha illa Allah-Muhammad Rasul Allah’ dalam bahasa Arab. Kebenciannya yang sangat kepada Islam membuatnya tidak bisa menahan diri untuk mengata-ngatai penjual makanan itu “Don’t turn people away from buying your food with that ….(bad word).” katanya sinis!
Tapi menurutnya lagi, sang penjual itu tidak menjawab dan hanya tersenyum, bahkan merespon dengan “Thank you for coming my friend!”

Singkatnya, menurut dia lagi, sikap penjual makanan itu selalu teringat di pikirannya. Bahkan sikap itu menjadikannya merasa bersalah, tapi pantang untuk datang meminta maaf. Ketidak-inginannya meminta maaf itu, katanya sekali lagi, karena kebencian nya kepada agama ini. “That really made me angry to my self, but really curious at the same time!” sambungnya.

“In the beginning, I was just googling some informations about the religion. Then listening to some lectures on Youtube (especially Hamzah Yusuf’s ones).” ceritanya. Setelah itu kemudian membeli beberapa buku karangan non Muslims, termasuk sejarah Rasul oleh Karen Amstrong, Shari’ah oleh John Esposito, dll.

“The more I learned, the more I feel being suspicious and confused!” heran nya. Saya kemudian memotong “Had you ever thought, why is that?” “I don’t know, but I think media factors!” jawabnya singkat. Tapi kemudian segera menyambung bahwa setiap kali dia melihat pemboman, pembunuhan, pengrusakan, dan bahkan beberapa aksi films, ada-ada saja Muslim yang terkait. “I really don’t know and confused, what kind of Islam these people are practicing?”

Dia kembali berbicara panjang, seolah menyampaikan ceramah kepada saya tentang ‘jurang besar’ antara ilmu tentang Islam yang dia pahami dan berbagai perangai yang dia lihat dari beberapa Muslim selama ini. Di satu sisi, dia kagum dengan sikap penjual makanan tadi. Tapi di satu sisi, dia marah dengan sikap beberapa orang Islam yang justru melakukan berbagai (apa yang disebutnya sebagai) ‘kejahatan atas nama Islam’. “And so, which side will I be, if one day I will be a Muslim?” tanyanya pada dirinya sendiri.

Setelah selesai, saya kemudian memulai mengambil kendali. “First, congratulations!” kataku singkat. Dia nampak bingung dengan ucapan saya itu.

Segera saya sambung “You have been a real American!” Dia tersenyum tapi masih belum paham.

“Americans are those when don’t know they inquire.” jelasku. “I think your anger is well understandable. Firstly, because you don’t know and the remedy to that is to seek and inquire. Second, the media factors and the remedy to that is to clarify. And I think you did both.” jelasku.

Saya kemudian mengajak dia mendiskusikan berbagai hal. Mulai dari sejarah peperangan, terorisme, pembunuhan, pengrusakan, dari dulu hingga sekarang. Dan sebaliknya, bagaimana Islam telah memainkan peranan besar dalam membangun peradaban manusia.

“Throughout our human’s history, what you are seeing these days are not surprising and new’. How many lives have been taken, properties have been destroyed, home damaged?” tanyaku. “And from the beginning of Prophet Muhammad preached this religion in the 7th century in Arabia, up to this day….how many wars and killings that have been Muslims as perpetrators?” tanyaku lagi.

Dia nampak hanya geleng-geleng kepala dengan contoh-contoh yang saya berikan. Dari Hitler, Stalin, Perang Dunia I dan II, Hiroshima dan Nagasaki , dst. Berapa di antara mereka yang terbunuh, dan siapa yang melakukan? Peperangan di Irak, berapa yang terbunuh ketika jet-jet Amerika men drop bom di perkampungan-perkampungan? Siapa mayoritas tentara Amerika?

Kemudian, pernahkah dilakukan studi secara dekat, untuk mengetahui apakah benar bahwa pemboman, pembunuhan, pengrusakan yang dilakukan oleh beberapa Muslim selama ini, walau atas nama Islam, memang justified by Islam? Dan benarkah bahwa memang motif nya karena memperjuangkan Islam dan Muslims, atau karena memang Islam dan Muslims adalah jembatan menuju kepada ‘interest tertentu?’, ceritaku panjang lebar.
Tanpa terasa, waktu adzan Zhuhur telah tiba. “Sorry, that is what we call adzan or the call to pray.” jelasku. Saya diam sejenak, dia juga nampak diam mendengarkan adzan dari Sheikh Farahat, muadzin yang baru diterima sebagai pegawai di Islamic Center. Suara tamatan Al-Azhar ini memang sangat indah.

Setelah adzan, saya kembali menyambung pembicaraan. Saat ini kita membicarakan berbagai ke tidak adilan yang terjadi di berbagai belahan dunia, dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Secara ekonomi hanya segelintir yang menikmati kue alam, secara politik ada pemaksaan sistemik kepada negara lain, dan seterusnya.
“With all this, and by no way to say that killings, especially when we come to the lives of innocents and civilians, are justified in the name of struggling for justice.” lanjutku.

Tapi karena waktu sangat singkat, saya bertanya “What do you think? Is there any thing that you do object to?” pancingku. Dia nampak diam, tapi tersenyum dan mencoba berbicara.

“You are right!” katanya singkat. “I have been unfair to my own self! My association of Islam to behavior of some Muslims is completely unfair.”

“You got the point, sir!” jawabku singkat. “Now, I have to leave you for a while. I need to pray!” kataku sambil meminta maaf.

Tiba-tiba saja dia melihat saya dengan sedikit serius. Kali ini tanpa senyum dan berkata “What should I do to be a Muslim?” tanyanya. “Are you serious?” tanyaku. “Yes!” jawabnya singkat. “Follow me!” ajak ku.

Saya ajak dia ke ruang wudhu, mengajarinya berwudhu, lalu ke ruang shalat. Sambil menunggu waktu iqamat, saya menyampaikan kepadanya, “What I am going to do is leading you in declaring your new faith by what we call shahadah. And it is to testify that there is no god worthy to be worship by Allah and Muhammad is His Messenger.” jelasku seraya mengingatkan apa yang pernah dia lihat dahulu di gerobak penjual makanan itu.

Sebelum iqamat dimulai saya ajak, Peter Scott, nama pria tersebut ke depan jamaah dan menuntunnya mengucapkan “Asy-hadu anlaa ilaaha illa Allah wa asy-hadu anna Muhammadan Rasul Allah.” seraya diikuti gema takbir sekitar 200-an jamaah shalat Zhuhur hari ini.

“Peter, you are a Muslim, like others here today, nothing in you is less. In fact, you are better then us because you chose to be, not only born into it and follow it.” jelasku sambil meminta untuk mengikuti gerakan-gerakan shalat sebisanya, tapi dengan konsentrasi.

Allahu Akbar! Semoga Peter selalu dijaga dan dijadikan pejuang di jalan-Nya!

Oleh: M. Syamsi Ali, M.A.
New York, 10 Pebruari 2010
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2010/02/5589/kebencian-itu-awal-dari-hidayah/#ixzz1czQnie5w

No comments:

Post a Comment