NABI Muhammad merupakan
sosok pemimpin yang hingga hari ini diakuai dan dihormati banyak manusia. Bahkan
kepempinan manusia sempurkan ini telah banyak diakui para peneliti Barat. Sebut
saja Will Durant, Gustav Lebon, La Martin, Thomas Carlyle dan masih banyak yang
lain.
La Martin yang setelah meneliti kehidupan Nabi menyatakan,
“Muhammad adalah manusia di atas manusia dan di bawah Tuhan. Tak dapat diragukan
bahwa ia adalah utusan Tuhan.”
Bahkan Thomas Carlyle, cendekiawan
Inggris, mengritik orang Barat yang begitu saja meyakini kampanye buruk terhadap
nama besar Muhammad. “Diantara aib terbesar yang ada hari ini ialah bahwa
seorang cendekiawan menerima begitu saja ucapan seseorang yang mengatakan bahwa
Islam adalah bohong dan Muhammad adalah penipu.”
“Pandangan yang kokoh,
pemikiran-pemikiran yang lurus, kecerdasan, kecermatan, dan pengetahuannya akan
kemaslahatan umum, merupakan bukti-bukti nyata kepandaiannya. Kebutahurufannya
justru memberikan nilai positif yang sangat mengagumkan. Ia tidak pernah menukil
pandangan orang lain, dan ia tak pernah memperoleh setetes pun informasi dari
selain-Nya. Allah-lah yang telah mencurahkan pengetahuan dan hikmah kepada
manusia agung ini. Sejak-sejak hari-hari pertamanya, ia sudah dikenal sebagai
seorang pemuda yang cerdas, terpercaya dan jujur. Tak akan keluar dari mulutnya
suatu ucapan kecuali memberikan manfaat dan hikmah yang amat luas,”
katanya.
Sementara itu Gustav Lebon, cendekiawan Prancis, dalam bukunya
“Peradaban Islam dan Arab”, menulis, “Jika kita ingin kita ingin mengukur
kehebatan tokoh-tokoh besar dengan karya-karya dan hasil kerjanya, maka harus
kita katakan bahwa diantara seluruh tokoh sejarah, Nabi Islam adalah manusia
yang sangat agung dan ternama. Meskipun selama 20 tahun, penduduk Makkah
memusuhi Nabi sedemikian kerasnya, dan tak pernah berhenti mengganggu dan
menyakiti beliau, namun pada saat Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), beliau
menunjukkan puncak nilai kemanusiaan dan kepahlawanan dalam memperlakukan warga
Makkah. Beliau hanya memerintahkan agar patung-patung di sekitar dan di dalam
Ka’bah dibersihkan. Hal yang patut diperhatikan dalam kepribadian beliau ialah
bahwa sebagaimana tidak pernah takut menghadapi kegagalan, ketika memperoleh
kemenangan pun beliau tidak pernah menyombong dan tetap menunjukkan sikapnya
yang lurus.”
Bahkan Allah Subhanahu Wata’ala sendiri secara langsung
memuji dan mengatakan dalam Surah Al Ahzab ayat 21 yang artinya, “Sungguh
telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik…”
Sayangnya, kita lebih sosok Rasululah dari aspek ruhaniyaah dan spiritual
belum menyentuh sosok beliau sebagai pengelola pemerintahan dan suatu negara
hingga akhirnya beliau berhasil membangun bangunan negara yang baldatun
tayyibatun wa rabbun ghafuur. Surat Al Ahzab ayat 21 membuat kita kembali
teringat betapa keteladanan beliau meliputi semua aspek kehidupan. Semua tindak
tanduk dan tutur kata beliau merupakan teladan dan warisan yang teramat
berharga.
Rahasia keteladan Nabi dalam memimpin tentu saja karena
ditopang oleh empat sifat yang sudah tidak asing lagi:
Pertama,
shidiq yang artinya jujur. Kejujuran merupakan sikap utama dan harus
mendapat tempat semestinya pada diri seorang pemimpin. Dan Nabi Muhammad SAW
dikenal oleh masyarakatnya sebagai sosok yang jujur, jauh dari dusta. Kejujuran
membawa kepada kebaikan, kebaikan dalam segala hal, utamanya dalam memimpin
suatu bangsa dan masyarakat.
Kedua, amanah yang artinya
mampu menjalankan kepercayaan yang diemban di pundak secara profesional tanpa
mencederai kepercayaan yang sudah diberikan. Sikap amanah telah mengakar kuat
pada diri Rasululah bahkan semenjak di usia belia. Tidak ada yang menyangsikan
kejujuran seorang Muhammad kecil. Gelar amin (orang yang layak dipercaya)
disandingkan di belakang nama beliau, Muhammad Al-Amin.
Ketiga, tabligh yang berarti menyampaikan kebenaran dan
berani mengungkap kebatilan. Kepemimpinan beliau ditopang oleh sikap
transaparansi, keterbukaan, dan selalu bersuara dengan tuntunan Ilahi. Tak ayal
sikap terang-terangan beliau dalam mendakwahkan ajaran kebenaran dan memberangus
kemunkaran mengundang murka pentolan-pentolan Kaum Quraish.
Sebuah
delegasi datang menemui paman Nabi, Abu Thalib, untuk memberi tawaran
menggiurkan khusus untuk Nabi asal beliau menghentikan dakwahnya. Mereka,
pentolan Qurasih ini dicekam rasa ketakutan bahwa kedudukan, kewibawaan, dan
kekuasaannya akan tamat seiring laju perkembangan dakwah sang Nabi.
“Jika keponakanmu menginginkan kerajaan, kami siap mengangkatnya menjadi
raja; jika menginginkan harta, kami siap mengumpulkan harta sehingga tidak ada
yang terkaya kecuali Nabi; jika ia terkena gangguan jin, kami siap mencarikan
obat untuk menyembuhkanya; asalkan ia berhenti mendakwahkan Islam,” demikian
pernyataan tawaran itu.
Aspirasi delegasi Quraish disampikan oleh Abu
Thalib kepada Nabi. Nabi menyampaikan sebuah pernyataan tegas sembari memberi
ilustrasi indah yang memupuskan “mimpi” delegasi Quraish, “Demi Allah, jika
mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku
tidak akan meninggalkan (dakwah) ini, sampai Allah memenangkannya atau aku
hancur karenanya.”
Sifat Nabi berikutnya yang menjadi penopang
kepemimpinan beliau adalah fathanah. Fathanah adalah cerdas.
Kecerdasan atau berilmu mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin. Pemimpin harus
tahu bahwa setiap keputusan dan arahannya sesuai sasaran yang dituju. Karenanya,
dalam berdialog, berdiskusi, menyampaikan ajaran Allah, beliau selalu
mendasarkannya pada ilmu.
Tiga Nilai Moral
Empat penopang
kepemimpinan Nabi di atas melahirkan nilai-nilai moral yang adiluhung. Pijakan
moral sangat penting diunggah sebelum memutuskan suatu perkara. Dr. A. Ilyas
Ismail dalam sebuah tulisannya menyebutkan ada Tiga Sifat Moral yang harus ada
pada diri seorang pemimpin, seperti yang telah diajarakan sendiri oleh Rasul.
Sumber sifat moral itu merupakan intisari dari firman Allah Surah At-Taubah
128, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang
mukmin.”
Kata Ilyas Ismail, ayat tersebut mengandung tiga ajaran moral
bagi seseorang dalam memimpin yaitu, memiliki sense of crisis, sense of
achievement, dan kasih sayang.
Sense of crisis merupakan penjabaran dari ayat di atas, “a`zizun a`laihi ma a`nittum.” Seorang pemimpin harus tahu apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Rasa sakit seorang warganya menjadi rasa sakit bagi diri sosok pemimpin yang punya sifat empati.
Kebahagiaan rakyatnya menjadi kebahagiaan bagi dirinya. Empati, bisa mengetahui keadaan masyarakat yang dipimpin menjadi idaman setiap penduduk di negeri ini.
Akan tetapi, empati itu sering mampir pada momen tertentu: Pilkada, Pileg, Pilpres. Setelah semuanya berakhir, rakyat hanya terhibur oleh mimpi dan angan kosong belaka. Himpitan ekonomi, perut yang keroncongan, biaya sekolah yang melangit tak terjangkau, orang miskin yang “dilarang” sakit, menjadi pemandangan yang dengan mudah kita saksikan.
Suatu saat Sayidina Umar bin Khaththab pernah berujar yang ditujukan kepada semua orang yang diberi amanah sebuah jabatan, “Jika rakyatku kelaparan, Umar orang yang harus pertama kali merasakannya; jika rakyatku merasa kenyang, Umar orang yang harus terakhir merasakannya.” Sosok umar merupakan penerus sikap moral seorang pemimpin sejati, Nabi Muhammad.
Nabi Muhammad merupakan sosok pemimpin yang manakala ada bahaya mengancam atau segala hal yang tidak nyaman, beliau siap pasang badan dan berdiri di garis terdepan. Misalnya, setiap kali peperangan beliau selalu maju lebih dulu ketimbang sahabat-sahabat yang lain.
Tetapi, bila ada kenikmatan beliau mendahulukan orang lain. Contohnya, suatu kali beliau diundang oleh salah seorang sahabat untuk makan bersama. Yang diundang hanya beliau seorang karena si pengundang melihat Nabi dalam keadaan sangat lapar. Namun Nabi mengajak sahabat-sahabat yang duduk bersama beliau.
Tiba di rumah pengundang, Nabi mempersilakan para sahabat makan terlebih dahulu. Satu per satu sahabat melahap hidangan yang tersaji. Setelah itu barulah beliau yang makan. Berkat mukjizat beliau, makanan yang seharusnya hanya cukup satu orang bisa mencukupi banyak perut orang lain.
Sementara sifat moral berikutnya adalah sense of achievement. Menurut Ilyas Ismail, sifat ini merupakan penjabaran dari bunyi ayat Allah dalam surat yang sama, “harisyun a`laikum.” Artinya seorang pemimpin dalam mengemban ide dan gagasan harus benar-benar bertujuan memajukan masyarakat dan warga negaranya.
Pemimpin yang harisyun a`laikum adalah pemimpin yang mendahulukan kepentingan orang banyak jauh mengalahkan kepentingan pribadi, partai, dan kelompoknya. Salah satu potret indahnya ada pada seorang sahabat, sepupu sekaligus menantu Nabi, Imam Ali bin Abi Thalib.
Suatu hari, Aqil, saudara Ali, meminta harta lebih dari haknya karena anak-anaknya sedang menderita. Kata Ali, “Datanglah nanti malam, engkau akan kuberi sesuatu.” Malam itu Aqil datang. Lalu Ali berkata: “Hanya ini saja untukmu.” Aqil segera mengulurkan tangannya untuk menerima pemberian Ali. Tiba-tiba ia menjerit. Ternyata ia sedang memegang besi yang menyala. Dengan tenang Ali berkata, “Itu besi yang dibakar api dunia, bagaimana kelak aku dan engkau dibelenggu dengan rantai jahannam?”
Sayangnya, di negeri berharap adanya pemimpin berjiwa sense of achievement belum menjelma menjadi sebuah kenyataan. Tengok saja kasus busung lapar, bunuh diri karena kemiskinan, memakan nasi aking, padahal negeri kita kaya akan sumber daya alam. Dalam UU pasal 34 disebutkan bahwa orang miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara. Mungkinkah hal itu terjadi karena bunyi pasalnya telah berubah menjadi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran segelintir orang"?
Keberpihakan pada masyarakat dari pemimpin negeri ini laksana jauh panggang dari api. Sumber daya alam diekslploitasi sedemikian rupa, perusahaan-perusahaan menjadi tuan di negeri kita sementara kita menjadi pelayan di negeri sendiri. Akibatnya, angka kemiskinan merangkak naik, rakyat menjerit, sementara pejabatanya asyik dengan tingkah pola yang menjijikkan: biaya dinas yang dimanipulasi, korupsi yang merajai bumi pertiwi, arah pembangunan yang tidak jelas juntrungannya.
Ketiga, masih kata Ilyas, adalah pengasih dan penyayang yang merupakan penjabaran dari ra`ufun rahiim. Kasih sayang perlu dimiliki oleh semua orang, dalam hal ini, seorang pemimpin. Dengan kasih sayangnya, pemimpin mampu bersimpati dan memberikan empati, dan mengulurkan tangan.
Dengan kasih sayang, seorang pemimpin akan berkeliling untuk melihat satu per satu keadaan rakyatnya. Adakah di antara mereka yang kekurangan gizi, sakit tapi tak mampu berobat, terlilit hutan yang tak sanggup dibayar, sehingga pemimpin itu menjadi orang pertama yang selalu merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya.
Seorang pemimpin hendaknya menjadi pengembala yang melayani rakyatnya untuk mencapai tujuan mereka dan memenuhi kebutuhannya. Dia harus bisa melayani bukan minta dilayani. Mari kita simak kata-kata seorang penyair tentang junjungan kita, Nabi Muhammad SAW:
“Jika engkau menyayang, maka engkau (laksana) ibu dan ayah.”
Dengan melihat sejarah dan cacatan masa lalu Nabiullah Muhammad, pemimpin seperti SBY tentunya tidak perlu memasang iklan besar-besar di pelbagai media untuk meningkatkan elaktibilitas, popularitas, dan memperbaiki citranya yang belakangan sangat terpuruk karena hantaman kasus korupsi di tubuh partai yang telah mengantarkannya menjadi RI 1 dua kali berturut-turut. Cukuplah beliau meneladani ajaran moral Nabi dalam memimpin, rakyat dan kita semua akan mencintai dan mendukungnya. Akankah sejarah berulang dengan SBY bertindak layaknya Umar bin Khathtab, Ali bin Abi Thalib, atau pemimpin yang malah tumbang di tangan rakyatnya sendiri? Sejarah akan menjawab.
Keteladanan Rasulullah Muhammad menjadi referensi yang sejalan dengan ruang dan waktu, dimanapun seseorang berada pada sebuah zaman. Uswah, keteladanan beliau adalah sebuah jalan yang terang, bersih dari dusta, pengkhianatan, kebodohan, jauh dari sikap hiprokit. Siapa saja yang memimpin suatu negeri tanpa bersendikan teladan nabi, pasti jauh dari kebaikan dan kesejahteraan.*
Oleh: Ali Akbar bin Agil
Pengasuh Majlis Ta`lim dan Ratib Al-Haddad, Malang-Jawa Timur
No comments:
Post a Comment