Monday, May 2, 2011

Iselyus Uda, Misionaris Bermimpi Bertemu Rasulullah saw

Nama saya Iselyus Uda, istri saya Maria Juana. Lima belas tahun saya menjadi penginjil di Kalimantan Tengah sampai akhirnya saya bertemu dengan seorang laki-laki dalam suatu mimpi.

Tidak pernah terbayang kalau kelak saya akan menginjakkan kaki di tanah haram yang dirindukan umat Islam. Bahkan tak pernah terpikir saya akan memeluk agama Islam yang tadinya saya benci. Sebab, sejak kecil saya dan istri biasa hidup di lingkungan adat yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam.

Dulu, suku Dayak dikenal sebagai pengayau tengkorak manusia. Memburu kepala musuh, baik sesama suku maupun suku lain, merupakan pilar utama budaya dan kepercayaan kami lantaran kepala yang baru dipenggal sangat penting bagi terciptanya kesejahteraan seisi kampung. Sementara tengkorak lama makin luntur kekuatan magisnya. Untuk itu, dibutuhkan perburuan terus menerus yang menyebabkan sering terjadinya peperangan, baik antar suku ataupun dengan masyarakat luar.

Jasa Penginjil

Sebetulnya agama Islam sudah tersiar di tanah Jawa sejak abad 15, terutama di Kutai dalam wilayah kerajaan Hindu Mulawarman yang kini termasuk Provinsi Kalimantan Timur. Namun masyarakat Dayak tidak tertarik untuk menganut agama Islam karena kami dilarang beternak babi atau berburu celeng dan memakan dagingnya. Islam juga melarang umat-nya memelihara anjing. Padahal, babi dan anjing sudah menyatu dengan kehidupan kami dan tidak mungkin terpisahkan dari upacara adat dan ritus-ritus nenek moyang.

Tak seorangpun penganjur Islam yang pernah memberitahu adanya keringanan-keringanan tentang najis anjing dan babi, serta tidak terlalu memaksa seseorang yang baru bersyahadat agar segera dikhitan. Seakan keringanan itu sengaja disembunyikan. Yang kami ketahui, kalau memeluk agama Islam kami harus meninggalkan adat-istiadat neneng moyang. Sedikit saja menyimpang dan tetap melaksanakan tradisi nenek moyang, kabarnya kami akan dituduh musyrik dan masuk neraka. Bukankah itu menyakitkan dan mengerikan?

Berbeda dengan sikap penginjil, baik dari kalangan Katolik maupun Protestan. Mereka datang berduyun-duyun membawa hadiah, ilmu dan pengetahuan baru yang dapat mengubah cara hidup kami tanpa mengharubiru adat istiadat dan ritual nenek moyang. Mereka merambah ke kawasan kawasan terpencil, perang antar suku tidak pernah terjadi lagi berkat jerih payah mereka. Kebiasaan mengayau kepala manusia sudah lama kami tinggalkan, juga agama asli. Dan hal itu terjadi tanpa memusnahkan upacara adat dan tradisi.

Misionaris Yang Sukses

Sungguh mereka banyak berbuat untuk suku Dayak, termasuk saya dan keluarga, yang sebagai pengikut Yesus dan Bunda Maria, segala kebutuhan hidup kami selalu dipenuhi, oleh karena itu, untuk menanggung delapan orang anak dan seorang istri, saya tidak pernah mengeluh walaupun saya hanya sebagai penginjil Katolik.

Sudah tak terhitung banyaknya penduduk yang dapat saya ajak masuk gereja. Apalagi sejak saya dianugerahi amanat memimpin umat Katolik di desa Bangkaloleh gereja Sampit. Makin menggebu-gebu semangat saya untuk mengibarkan panji-panji sang juru selamat dan menegakkan palang salib di berbagai penjuru. Saya tanamkan iman Kristiani kepada masyarakat kecamatan Danau Sembuluh tanpa pandang bulu. Malah cita-cita saya tidak saja menasranikan rakyat Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur, melainkan juga seluruh pelosok Provinsi Kalimantan Tengah.

Tiga tahun saya menebarkan ayat-ayat Injil di mimbar gereja dan di berbagai persekutuan doa di desa Bangkal dan desa-desa lainnya. Kemudian saya dipercaya pula untuk mengumandangkan misi gereja di kecamatan Cempaga sejak tahun 1978. Berkat kegigihan saya, hingga hampir segenap waktu saya tersita oleh kegiatan pelayanan rohani, bahkan saya berhasil mengajak umat dan semua pihak untuk bersama-sama membangun gereja yang cukup besar lengkap dengan asramanya.

Keyakinan Fatamorgana

Dua tahun saya bekerja, memeras tenaga dan pikiran demi kejayaan agama Katolik melalui gereja yang saya dirikan. Sungguh bangga hati saya, sungguh mantap kaki saya. Namun dibalik kepuasan batin itu ada sesuatu yang terngiang-ngiang jauh di dasar sanubari saya. Entah mengapa dan darimana datangnya tuntutan itu, tidak pernah terungkap sama sekali. Yakni tanda tanya yang tak mampu saya jawab meskipun telah saya gali lewat firman-firman suci. Apakah betul jalan saya berasal dari Tuhan? Tidak kelirukah keyakinan saya itu?

Kebimbangan tersebut betul-betul sangat menyiksa hidup saya dan mengusik ketentraman batin. Seolah ada sebuah lubang pada diri saya yang tidak mampu saya tutupi, malah saya rasa makin lama makin dalam dan lebar. Ya Tuhan, kalau Engkau Maha Kuasa dan Maha Penyayang, tunjukkanlah kebenaran yang sempurna?? demikian ratap saya tiap malam tatkala suasana sedang lengang dan kesunyian sedang mencekam sambil saya genggam rosario --kalung salib-- erat-erat.

Saya menggapai-gapai bagaikan hampir tenggelam di tengah-tengah samudera kehampaan. Saya berteriak nyaring di tengah gurun kesunyian. Saya merasa ditinggalkan sendirian dalam sebuah lorong gelap dan pengap setelah seberkas cahaya yang tadinya saya jadikan pedoman kian buram dan hampir padam. Saya merindukan sinar terang yang tidak menipu saya dengan bercak-bercak fatamorgana. Saya mendambakan jalan lurus menuju haribaan Tuhan yang sejati dan hakiki.

Mimpi yang menakjubkan

Tiba-tiba, pada suatu malam menjelang akhir Oktober 1980, ketika kesibukan untuk mengabarkan Injil mencapai puncaknya, saya didatangi mimpi yang sangat aneh. Seorang lelaki berjenggot rapi mengunjungi saya antara tidur dan jaga. Pundak saya ditepuk dan tangan kanan saya ditariknya. Saya menoleh, betapa takjub saya melihat sosok manusia yang begitu tampan dalam usia bayanya.

Berpakaian serba putih dengan rambut berombak tertutup selembar kain halus yang juga berwarna putih, ia tampak sangat agung dan anggun. Saya merasa damai oleh pandangan dan senyumnya. Dituntunnya saya menjelajahi hamparan tanah yang tandus menuju sebuah gurun pasir yang luas dan gersang. Anehnya, meskipun matahari terik membakar, saya justru merasakan kesejukan yang indah dan menawan, seolah gumpalan awan besar menaungi kami berdua.

Ketika tiba di suatu tempat yang asing dan sakral, ia mempersilakan saya masuk, saya melihat ribuan manusia bergerak mengelilingi sebuah bangunan berbentuk kubus sambil berlari-lari kecil, di antara mereka ada yang sedang bersujud dengan khusyu’, banyak pula yang berebutan mencium batu hitam kebiruan yang menempel di dinding kubus itu, begitu saya datang, kerumunan manusia tadi menyibakkan diri memberikan kesempatan kepada saya untuk memeluk dan mencium batu berkilat itu sepuas hati. Amboi, alangkah harumnya, alangkah tenteramnya jiwa saya.

Setelah itu ia mengarak saya bersama berbagai awan ke tempat lain yang pemandangannya amat berbeda, tetapi suasananya sama, penuh keagungan, saya bertanya, ”Bangunan apa yang teduh ini?”

Ia menjawab,”ni yang dinamakan Masjid Nabawi.”

Sebagai penginjil saya pernah mengenal istilah itu, sebab mempelajari agama-agama lain adalah modal untuk membeberkan kebenaran kami dan membongkar kelemahan mereka. Oleh karena itu saya terkejut, mengapa saya dibawa kemari?

”Gundukan tanah yang ditengah itu untuk apa” kembali saya bertanya,

”Itu makam Nabi Muhammad.” sahutnya.

Mendengar penjelasan itu sayapun makin kaget. Nabi Muhammad adalah pembawa ajaran Islam, ada hubungan apa dengan saya sampai saya diajaknya berziarah ke situ? meski beribu kebingungan menyemak di hati, sekonyong-konyong, tanpa dimintanya saya bersimpuh di depan kuburan yang sederhana itu, Air mata saya menetes. Saya terharu walaupun tidak tahu kenapa.

Betapa mulianya pemimpin kaum Muslimin itu yang pengikutnya ratusan juta orang, tetapi makamnya begitu bersahaja, yang ajarannya ditaati umatnya, namun kematiannya tidak boleh diratapi. Saya terpana sangat lama sehingga tatkala saya sadar kembali, lelaki yang mengantar saya tadi telah menghilang ke dalam kuburan itu.

Panggilan hati

Saya ceritakan mimpi ini kepada istri dan anak-anak, mereka terkesima, istri saya berkaca-kaca, saya tidak mengerti apa sebabnya. Barulah pada malam harinya, ketika kami cuma berdua, ia berkata, ”Saya yakin itu bukan sekedar mimpi. Itu panggilan. Dan kita berdosa kepada Tuhan bila tidak mau mendatangi panggilan-Nya.”

”Maksudmu?” saya tidak paham akan maksud istri saya.

"Kita tanya kepada orang yang ahli agama Islam. Siapakah lelaki baya yang mengajak abang itu, dan apa makna mimpi itu. Kalau memang benar merupakan panggilan Tuhan, berarti kita harus masuk Islam,” jawab istri saya tanpa ragu-ragu.

Sayalah yang justru dilanda kebimbangan, terombang-ambing dalam iman Kristiani yang makin goyah. Apalagi tiap kali teringat akan salah satu surah al-Qur’an yang pernah saya pelajari, "Tuhanmu adalah Allah yang Maha Tunggal, Yang Tidak Beranak dan Tidak Diperanakkan."

Saya ingin lari menghindari dengungan batin itu, namun keyakinan saya tak cukup kuat untuk menahan deburan ayat-ayat suci al-Qur’an. Untungnya pada tahun 1983 gereja Sampit memindahkan saya ke Medan di desa Resettlement untuk mengobarkan semangat Injil pada masyarakat setempat, saya terima dengan setengah hati sebab semangat Injil saya sedang meluntur ke titik paling rawan. Anehnya, saya merasa bahagia menerima keadaan itu, lebih-lebih ucapan istri saya yang tak pernah lenyap dari pendengaran saya. "Kalau mimpi itu merupakan panggilan Tuhan, kita berdosa jika tidak mendatangi-Nya. Kita harus masuk Islam."

Masuk Islam

Akhirnya, awal Maret 1990 saya sekeluarga mengunjungi KUA Mentawa Baru Ketapang, sesudah lebih dulu mendapat penjelasan dari seseorang yang saya percayai memiliki pengetahuan mendalam tentang agama Islam. Ia mengatakan bahwa lelaki dalam mimpi saya adalah Nabi Muhammad saw.

Diterangkannya lebih lanjut bahwa tidak semua orang, termasuk kaum Muslimin, bisa memperoleh kehormatan bertemu dengan Nabi saw dalam mimpi. Dia meyakinkan saya bahwa mimpi itu bukan dusta, bukan kembang tidur. Sebab, Iblis tak sanggup menyerupai Nabi saw walaupun ia bisa menyamar sebagai Malaikat.

Itulah yang kian memantapkan tekad saya sekeluarga untuk memeluk ajaran Islam, maka dengan bimbingan Mahali, BA, kami mengucapkan dua kalimah syahadat disaksikan oleh para pendahulu kami, Arkenus Rembang dan Budiman Rahim, dari Kantor Departemen Agama Sampit. Nama saya Iselyus Uda diganti dengan Muhammad Taufik; istri saya menjadi Siti Khadijah. Begitu pula ke-delapan anak saya yang memperoleh nama baru yang diambilkan dari al-Qur’an.

Sepulang dari upacara persaksian itu dada saya terasa sangat lapang dan dunia makin benderang. Tengah malam saya mengangkat kedua tangan dan menggumam, "Ya Tuhan, terpujilah nama-Mu, telah datang Kerajaan-Mu, kami bersyukur kepada-Mu, ya Allah, untuk anugerah kebenaran ini."

Menebus mimpi

Sejak hari paling bahagia itu saya mulai berangan-angan, kapankah pemandangan dalam mimpi saya dulu itu bisa terwujud. Saya merindukan tanah suci tempat kelahiran Nabi dan tempat makamnya, yaitu Makkah dan Madinah. Tanpa kuasa Allah SWT, rasanya mustahil terlaksana mengingat ekonomi saya tidak secerah semasa menjadi penginjil, akan tetapi saya tidak mengeluh.

Memang pada segi materi terjadi penurunan, tetapi dari segi yang lain kehidupan kami bertambah makmur, sejahtera dan penuh berkah. Kekurangan kami sedikit, kami anggap biasa, itulah ujian iman. Materi bukanlah segala-galanya yang penting anak-anak dapat melanjutkan sekolah mereka dan kebutuhan sehari-hari kami tercukupi. Adapun hidup lebih bukanlah tujuan utama. Buat kami sudah puas dengan kaya di hati dan rezeki yang halal.

Saya tidak tahu apakah keikhlasan itu diterima Tuhan, ataukah lantaran sudah tertulis dalam takdir-Nya bahwa saya sekeluarga harus menjadi muslim dan muslimat yang kuat. Peristiwa yang terjadi dua pekan setelah kami masuk Islam membuat saya makin bersyukur kepada Allah SWT, yaitu ketika Kakandepag Kotawaringin Timur, Drs. H. Wahyudi A. Ghani, bertamu ke rumah saya di Desa Resettlement. Ia tidak hanya bertandang, tetapi mengantarkan tebusan mimpi.

Ia mengabarkan bahwa Menteri Agama, H. Munawir Syadzali, MA, menaruh simpati kepada saya dan berkenan memberangkatkan kami suami istri untuk menjalani ibadah umrah. Subhanallah, alangkah Akbarnya Engkau, alangkah luas kasih sayang Engkau. Sungguh saya tidak mampu menggoreskan pena atau menggerakkan lidah guna menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan saya.

Tidak bisa lain yang menggugah hati Menteri Agama, pasti Allah Yang Maha Kuasa. Tanpa
kehendak-Nya mana mungkin seorang menteri memperhatikan seorang warga desa terpencil di Kalimantan Tengah ini, padahal kegiatannya selaku menteri tidak kepalang sibuknya. Saya dan istri langsung sujud syukur di hadapan Allah SWT. Kamipun berangkat ketanah suci tahun 1991.

Akhirnya, kami kesampaian mewujudkan pemandangan dalam mimpi dengan melaksanakan thawaf mengelilingi Ka’bah, menunaikan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, serta berziarah ke makam Nabi Muhammad saw.

Agaknya doa kami di tempat-tempat mustajab di Makkah dan Madinah mulai dikabulkan-Nya. Sekembalinya dari tanah suci ada seorang hartawan yang tidak ingin disebut namanya, mewakafkan sebidang tanah kepada saya. Saya berniat menghabiskan sisa umur saya untuk menebus dosa-dosa pada masa silam tatkala lima belas tahun lamanya saya bekerja keras memurtadkan umat Islam dan merayu banyak orang agar mengikuti keyakinan saya kala itu. Ihdinashshirathal mustaqim.

Sumber: Seperti dituturkan M. Taufik kepada Musthafa Di kutip dari Majalah Sabili, dari www.alislahonline.com.

1 comment: