Di antara kita paling sering mendengar murothal atau tilawah quran dari Syaikh ‘Abdurrahman Sudais hafizhohullah. Beliau adalah salah satu imam dan khotib Masjidil Haram, Makkah Al Mukarromah. Lihatlah suaranya begitu merdu dan lantunan qur’annya begitu syahdu. Beliau tidak hanya hafizh quran, namun beliau juga menjadi spesialis ilmu fiqih. Bagaimana cita-cita beliau di masa kecil? Berikut ceritanya.
Ketika Syaikh Sudais dalam usia anak-anak, ibunya selalu mengatakan padanya, “Wahai ‘Abdurrahman, hafalkanlah qur’an. Insya Allah engkau akan menjadi imam masjidil Harom.” Demikian dorongan motivasi dari ibunya agar Syaikh Sudais kecil bisa termotivasi menghafalkan qur’an.
Lalu setiap kali Syaikh Sudais kecil datang ke Masjidil Harom, ia melihat lebih dekat bagaimanakah tingkah laku imam di sana. Kemudian di pikirannya terbayang, apakah mungkin dia akan seperti itu (menjadi imam Masjidil Harom) dari hari ke hari?
Kemudian pikiran Syaikh Sudais kecil akhirnya terpancing. Dorongan dari ibunya tadi benar-benar memotivasinya. Lalu ia terbayang lagi dalam pikirannya, “Mungkinkah saya bisa menghafalkan qur’an tanpa ada yang keliru? Mungkinkah saya bisa melantunkan al qur’an tanpa membuat kesalahan?”
Akhirnya dengan karunia Allah, kita dapat lihat sendiri bagaimanakah bacaan beliau ketika memimpin shalat di Masjidil Harom. Lihatlah pula ketika beliau membaca ayat, hafalan beliau begitu kuat, tidak kita temukan cacat di sana-sini. Inilah fadhlullah, karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.[1]
***
Pelajaran dari kisah beliau di atas adalah:
1. Dorongan motivasi dari orang tua sangat mendorong sekali seorang anak bisa menjadi sholeh dan bisa menjadi penghafal qur’an.
2. Menghafalkan qur’an di masa kecil seperti seseorang begitu mudah mengukir di batu. Namun tidak ada kata terlambat untuk menghafal qur’an. Ada beberapa kisah nyata yang menunjukkan bahwa ada orang tua yang sudah berumur kepala lima (55 tahun) menghafalkan qur’an. Ada yang berumur 60 tahun juga menjadi hafizh qur’an. Itulah karunia Allah.
3. Untuk menghafalkan qur’an haruslah seseorang diberi motivasi bahwa Al Qur’an itu mudah untuk dihafal. Motivasi semacam ini akan membuat anak kecil atau yang lainnya semakin terdorong untuk menghafalkan qur’an, berbeda jika diberi motivasi sebaliknya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآَنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al Qomar: 17).
Semoga dengan taufik dan kemudahan dari Allah kita dapat menjadi bagian dari orang-orang yang menjadi hafizh qur’an secara sempurna. Jika kita selaku orang tua, jangan lupa memotivasi anak-anak kita untuk menghafalkan qur’an, karena itu akan meninggikan derajat anak kita di dunia dan akhirat, orang tua pun akan tertular kebaikannya. Jangan lupa iringi dengan do’a.
Wallahu waliyyut taufiq.
Riyadh-KSA, 29 Rabi’ul Awwal 1432 H (04/03/2011)
http://rumaysho.com/belajar-islam/teladan/3360-cita-cita-syaikh-sudais-menjadi-imam-masjidil-haram.html
Friday, May 27, 2011
Laksamana Cheng Ho: Muslim yang Gemar Memakmurkan Masjid
Laksamana Cheng Ho dikenal sebagai Muslim yang sangat taat dalam menjalankan ibadah. Tentu saja, keislamannya ini karena dilakukan dari lubuk hatinya yang terdalam.
Bagi Cheng Ho, bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat dinantikan. Bahkan, pada 7 Desember 1411, sesudah pelayarannya yang ke-3, laksamana kepercayaan kaisar Ming ini menyempatkan pulang ke kampungnya, Kunyang, untuk berziarah ke makam sang ayah. Ketika Ramadhan tiba, ia memilih menjalankan ibadah puasa di kampung halamannya.
Cheng Ho dilahirkan tahun 1371 M di sebuah Provinsi bernama Yunan yang ada di sebelah barat daya Cina. Nama kecilnya adalah Ma Ho atau Ma He. Namun, ia juga dikenal dengan sebutan Sam Bo, Sam Po, atau Ma San Po dalam dialek Fujian. Kadang, ada pula yang memanggil namanya dengan Zheng He atau Cheung Ho dalam dialek Kanton. Menurut beberapa riwayat, nama Muslimnya adalah Haji Mahmud Syams.
Laksamana agung ini adalah seorang Muslim yang sangat taat. Ia merupakan keturunan Cina dari Suku Hui. Ia dilahirkan sebagai anak kedua dari pasangan Ma Hazhi dan Wen, ibunya. Sebagai orang Hui-etnis Cina yang sebagian besar pemeluk Islam-Cheng Ho sejak kecil sudah memeluk agama Islam. Kakek dan ayahnya sudah menunaikan rukun haji. Konon, kata hazhi dalam dialek mandarin mengacu pada kata haji.
Dalam setiap kali melakukan pelayaran, para awak kapal yang beragama Islam juga senantiasa melaksanakan shalat secara berjamaah. Tercatat, beberapa tokoh Muslim yang pernah ikut adalah Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha’ban, dan Pu Heri. ”Kapal-kapalnya diisi dengan prajurit yang kebanyakan terdiri atas orang Islam,” tulis Buya Hamka dalam majalah Star Weekly.
Ma Huan dan Guo Chongli yang fasih berbahasa Arab dan Persia bertugas sebagai penerjemah. Sedangkan, Hassan yang juga pimpinan Masjid Tang Shi di Xian (Provinsi Shan Xi) berperan mempererat hubungan diplomasi Tiongkok dengan negeri-negeri Islam. Hassan juga bertugas memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan dalam rombongan ekspedisi, misalnya dalam melaksanakan penguburan jenazah di laut atau memimpin shalat hajat ketika armadanya diserang badai.
Cheng Ho juga dikenal sangat peduli dengan kemakmuran masjid. Tahun 1413, dia merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430, ia memugar Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar. Pemugaran masjid mendapat bantuan langsung dari kaisar.
Konon, pada ekspedisi terakhir (1431-1433), ia sempat menunaikan ibadah haji sebagai pelengkap menjadi seorang Muslim sejati. Sebagai seorang Muslim, ia juga selalu mengandalkan diplomasi damai dalam setiap pelayarannya. Hamka mengatakan, ”senjata alat pembunuh tidak banyak dalam kapal itu, yang banyak adalah ‘senjata budi’ yang akan dipersembahkan kepada raja-raja yang diziarahi.” (Budi Raharjo/Berbagai sumber/RoL)
http://www.dakwatuna.com/2010/08/7003/laksamana-cheng-ho-muslim-yang-gemar-memakmurkan-masjid/
Bagi Cheng Ho, bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat dinantikan. Bahkan, pada 7 Desember 1411, sesudah pelayarannya yang ke-3, laksamana kepercayaan kaisar Ming ini menyempatkan pulang ke kampungnya, Kunyang, untuk berziarah ke makam sang ayah. Ketika Ramadhan tiba, ia memilih menjalankan ibadah puasa di kampung halamannya.
Cheng Ho dilahirkan tahun 1371 M di sebuah Provinsi bernama Yunan yang ada di sebelah barat daya Cina. Nama kecilnya adalah Ma Ho atau Ma He. Namun, ia juga dikenal dengan sebutan Sam Bo, Sam Po, atau Ma San Po dalam dialek Fujian. Kadang, ada pula yang memanggil namanya dengan Zheng He atau Cheung Ho dalam dialek Kanton. Menurut beberapa riwayat, nama Muslimnya adalah Haji Mahmud Syams.
Laksamana agung ini adalah seorang Muslim yang sangat taat. Ia merupakan keturunan Cina dari Suku Hui. Ia dilahirkan sebagai anak kedua dari pasangan Ma Hazhi dan Wen, ibunya. Sebagai orang Hui-etnis Cina yang sebagian besar pemeluk Islam-Cheng Ho sejak kecil sudah memeluk agama Islam. Kakek dan ayahnya sudah menunaikan rukun haji. Konon, kata hazhi dalam dialek mandarin mengacu pada kata haji.
Dalam setiap kali melakukan pelayaran, para awak kapal yang beragama Islam juga senantiasa melaksanakan shalat secara berjamaah. Tercatat, beberapa tokoh Muslim yang pernah ikut adalah Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha’ban, dan Pu Heri. ”Kapal-kapalnya diisi dengan prajurit yang kebanyakan terdiri atas orang Islam,” tulis Buya Hamka dalam majalah Star Weekly.
Ma Huan dan Guo Chongli yang fasih berbahasa Arab dan Persia bertugas sebagai penerjemah. Sedangkan, Hassan yang juga pimpinan Masjid Tang Shi di Xian (Provinsi Shan Xi) berperan mempererat hubungan diplomasi Tiongkok dengan negeri-negeri Islam. Hassan juga bertugas memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan dalam rombongan ekspedisi, misalnya dalam melaksanakan penguburan jenazah di laut atau memimpin shalat hajat ketika armadanya diserang badai.
Cheng Ho juga dikenal sangat peduli dengan kemakmuran masjid. Tahun 1413, dia merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430, ia memugar Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar. Pemugaran masjid mendapat bantuan langsung dari kaisar.
Konon, pada ekspedisi terakhir (1431-1433), ia sempat menunaikan ibadah haji sebagai pelengkap menjadi seorang Muslim sejati. Sebagai seorang Muslim, ia juga selalu mengandalkan diplomasi damai dalam setiap pelayarannya. Hamka mengatakan, ”senjata alat pembunuh tidak banyak dalam kapal itu, yang banyak adalah ‘senjata budi’ yang akan dipersembahkan kepada raja-raja yang diziarahi.” (Budi Raharjo/Berbagai sumber/RoL)
http://www.dakwatuna.com/2010/08/7003/laksamana-cheng-ho-muslim-yang-gemar-memakmurkan-masjid/
Malaikat Singgah di Kamarku
Ketika shalat Ashar, aku repot menimbang buku tuntunan shalat di satu tangan, sementara tangan yang lain memperbaiki letak kerudungku yang melorot, sambil mulutku terus komat-kamit mencoba menyuarakan doa-doa dalam bahasa Arab, tiba-tiba saja kamarku yang temaram berubah menjadi terang benderang. Aku terkesima dan takjub. Segera aku telepon sahabat Muslimahku dari Irlandia, dan dengan spontan aku berteriak, “Baru saja ada malaikat-malaikat masuk ke kamarku.” Saat itulah aku mantap menjadi muslim.
Subhanallah, Allah menunjukkan betapa manisnya cahaya yang didapatnya setelah melalui usaha yang cukup keras. Tidak mudah, tapi akhirnya Allah menunjukkan rasa kasih sayangnya terhadap seorang hamba. Allah menghendaki sinar terang hatinya setelah sekian lama dinantikan. Betapa ini adalah anugerah kebahagiaan yang tak terlupakan. Cahaya hangat itu akhirnya merasuk hingga terasa dalam aliran darah.
Old Vic Theatre School di Bristol, Inggris, merupakan sebuah tempat yang sangat penting bagi hidup Rafiqa Basel. Pertama, tempat itu mempertemukan dirinya dengan keramahan kaum muslimin, padahal bertahun-tahun pencitraan buruk tentang mereka mengendap di kepalanya. Kedua, di tempat itu pulalah dia melakukan sebuah keputusan besar, menjadi muslimah.
Ayahnya meninggalkan tanah kelahirannya di Jerman saat masih kecil, sementara ibunya meninggalkan Inggris di usia 20-an. Mereka bertemu dan menikah di Afrika Selatan, tempat Rafiqa Basel lahir dan tumbuh.
Pada tahun 1987, Rafiqa Basel datang ke Old Vic Theatre School di Bristol. Sebuah kota dan kabupaten (county) di Inggris serta salah satu dari dua pusat administratif Inggris Barat Daya. Bristol adalah kota terpadat ke-8 di Inggris dan ke-11 di Britania Raya. Dulunya merupakan kota terbesar Inggris ke-2 setelah London, sampai pertumbuhan pesat Liverpool, Manchester dan Birmingham, pada 1780-an.
Rafiqa Basel mempelajari desain, sebelum kemudian bekerja di Mercury Theatre di Colchester. “Kehidupan berteater memang menggairahkan, tapi tanpa aturan-aturan moral sama sekali. Aku seakan hanyut tenggelam dan diombang-ambing kesana kemari. Aku sadari bahwa teater bukanlah lingkungan yang membuatku merasa nyaman. Kegelisahan itu kini kusadari merupakan tanda pencarianku akan sebuah sistem nilai alternatif, yang lebih terkait dengan spiritualitasku.” Tulis Rafiqa dalam surat kepada temannya Aisya.
Pada 1996 dia memutuskan untuk mengambil basic course bidang kesusastraan di London. Saat itulah dirinya mulai banyak bergaul akrab dengan sejumlah Muslim dari Aljazair dan Moroko, dan menyadari bahwa ada sesuatu dalam diri mereka yang tak dimilikinya. Rafiqa betah sekali menghabiskan waktu bersama mereka, menyiapkan makanan lalu mengobrol panjang lebar.
“Pada saat ini pulalah aku merasakan ketertarikan yang sangat kuat akan Islam. Kuputuskan untuk mulai belajar dan membaca sebanyak mungkin. Aku terlalu takut untuk mencoba masuk ke dalam masjid atau mengenakan kerudung, karena itu kucari buku-buku tentang Islam. Aku juga beruntung dapat berkenalan dengan seorang Muslimah dari Irlandia yang sudah 15 tahun lamanya memeluk Islam.”
Inilah pertama kalinya aku bertemu dengan seorang Muslim. Setelah bertemu dengan beberapa orang Muslim lain, lambat laun aku menyadari betapa aku tidak mengenal Islam dan umatnya. Banyak hal yang kuketahui tentang Islam saat aku remaja ternyata keliru, tetapi aku memang tak tahu-menahu soal Islam. Aku menjadi ingin mengenal agama tersebut karena sikap baik kaum Muslim yang menarik hatiku; demikian pula ketulusan dan shalat kaum Muslim. Gagasan tentang sebuah agama yang membimbing kita dalam setiap aspek kehidupan memang merupakan sesuatu yang tengah kucari.
Tak akan pernah kulupakan pembicaraan dengannya lewat telepon pada suatu hari di tahun 1998. Kami tengah membuat janji untuk bertemu. “Jangan terkejut kalau nanti kita ketemu ya, karena saya pakai jilbaab, baju panjang,” ujarnya. Aku takut sekali sebenarnya, tapi kupaksakan diriku untuk terus datang. Nyatanya, dengan ramahnya ia mengajakku masuk ke rumahnya, yang kuingat terasa penuh ketenteraman dan kedamaian. Aku ingat ketika itu pikiran yang terlintas di benakku adalah. “Ya, inilah sesuatu yang ingin kukenal lebih banyak.”
Pada Ramadhan di bulan Desember 1998 itu, aku merasa bahwa aku semakin dekat dengan suatu keputusan terpenting dalam hidupku. Tetapi aku juga sadar bahwa memeluk Islam ibaratnya one-way ticket. Aku tidak bisa main-main. Karena itulah kuputuskan untuk berpuasa sebulan penuh lamanya dan membeli sebuah buku kecil, tuntunan shalat. Beberapa kenalanku bersikap skeptis, dan memberitahuku bahwa karena aku bukan Muslim maka semua puasa dan shalatku tidak akan diterima.
Aku terus membaca, sampai dua bulan kemudian sahabatku mengajak pergi ke masjid. Sungguh saat yang sangat mendebarkan hati, namun juga ditandai keyakinan yang berbisik dalam hatiku. “Ya, aku akan baik-baik saja.” Berdesak-desak kami masuk ke ruang kerja Imam di Masjid Regent’s Park, London, untuk mendengarkan penjelasannya. Di hadapan sejumlah sisters, aku menangis. Pada hari itu, di bulan Mei 1999, aku mengucapkan syahadat. Aku kini seorang Muslimah.
Keyakinanku sudah begitu kuat hingga aku terus dengan niatku dan berpuasa sebulan penuh. Di pertengahan Ramadhan itu aku juga mencoba shalat lima waktu sehari. Kugelar sajadah dan kuteteskan air mata bahagia serta syukurku. Nafas yang begitu berat terasa ringan dengan iringan dzikir dan tasbih yang keluar dari mulutku. Aku telah menemukan hidupku yang sesungguhnya.
Namun itu pulalah yang menandai dimulainya sebuah perjalanan yang sungguh tidak mudah. Ini juga yang, belakangan kuketahui, dialami banyak sekali mualaf. Segala sesuatu terasa luar biasa saat kita berjalan menuju Islam, namun begitu kita bersyahadat, mulailah ujian-ujian berat menghadang. Keajaiban yang indah yang kutemukan sebelumnya kini terasa jauh dan tak teraba, dan aku tak tahu bagaimana harus mempertahankannya, padahal aku juga tahu bahwa keragu-raguan yang kini timbul di benakku dapat berarti dosa.
Pada saat itu aku belum mengenakan kerudung, dan meskipun aku sadar bahwa itu suatu hal yang harus kulakukan, aku mesti berhadapan dengan tekanan begitu besar agar segera mulai memakainya. Maka aku mulai berkerudung saat belajar mengaji. Nyatanya, perlahan-lahan aku mulai terbiasa. Meski pekerjaan memaksaku bertemu dengan banyak klien, atau tetap dapat berhijab karena itu adalah hakku sebagai Muslim di Inggris.
Aku pun tak menghadapi masalah dalam menyelesaikan banyak pekerjaan akibat pilihanku untuk mengenakan jilbab. Secara umum, aku tidak didiskriminasikan di kampus, meski harus menatap muka dan bersikap formal terhadap rekan sekerja. Menurutku, kebanyakan orang menghargai apa yang aku yakini. Hanya keluargaku saja yang menghadapi persoalan berat, sebab aku adalah anak mereka. Dan pria tak habis pikir mengapa aku menolak untuk menjabat tangan mereka.
Islam benar-benar telah mengubahku. Kini, aku tak ragu lagi terhadap tujuan hidup di dunia ini dan bahwa aku tengah menempuh jalan yang lurus. Sebelumnya aku sungguh-sungguh tak pernah tahu, dan kini aku merasa tenteram bersama Islam. Kehendak Tuhan sangatlah berarti bagiku dan aku memiliki keyakinan tentang dari mana asalku.
Islam juga memperbaiki hidupku sebagai seorang perempuan. Sebab, akhirnya aku tahu bahwa kaum pria Muslim yang shalih jauh lebih menghargai kaum perempuan dibandingkan dengan kebiasaan yang ada di kalangan masyarakat Barat, tempat aku dibesarkan. Aku merasa istimewa menjadi seorang perempuan. Sebelumnya aku merasa kurang bersyukur menjadi seorang perempuan karena menurutku hidupku akan lebih mudah seandainya aku menjadi seorang lelaki. Sebab, sebagai seorang perempuan aku dulu benar-benar dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk bekerja sepenuh waktu; merawat rumah tangga, memasak, mencuci, dan merasa tak pernah cocok dengan semua peran itu. Sebagai Muslimah, aku merasa lebih bebas untuk memperhatikan diri, memilih jalan yang benar-benar selaras dengan sifatku, membuat orang lain menerima hal itu, dan merasa tak ada masalah menjadi seorang perempuan – seperti pulang ke rumah. Memeluk agama Islam serasa pulang ke rumah.
Di tempatku kuliah saat ini, di Central Saint Martins, London. Selama empat tahun ini hanya ada satu Muslimah lain yang berhijab. Tetapi orang-orang di sini memperlakukanku dengan hormat dan menghargai prinsip-prinsip yang mempengaruhi hasil karya seniku. Dalam Islam, bekerja adalah ibadah, dan seni hanya diciptakan untuk menyembah Allah.
Sampai kini keluargaku masih tinggal di Afrika Selatan, namun kami secara teratur bersilaturahim. Aku juga baru mengetahui bahwa karena proses keislamanku demikian perlahan dan bertahap, keluargaku sudah lama menyadari perubahan ini. Malahan, ayah ibuku mengunjungi seorang pendeta dan menanyakan tentang “agama Islam yang terus menerus dibicarakan anak kami.” Si pendeta menjawab, “Tidak usah cemas. Itu bukan semacam agama aneh… anakmu tidak akan terkena bahaya (karena memeluk Islam).” Sekarang ini aku dapat dengan bebas mendiskusikan Islam dengan anggota-anggota keluargaku.
Aku menemukan Islam karena melihat pancaran kasih sayang pada diri sejumlah muslim yang kutemui, maka inilah pula jalan dakwah yang kupilih—mengajak orang kepada Islam dengan kasih sayang. Insya Allah. Keluarga dan teman-temanku sudah melihat sendiri bahwa aku telah menemukan kedamaian, dan kalau aku bisa menunjukkan hal ini kepada mereka, maka aku yakin mereka pun akan mencari pengetahuan dan jalan mereka menuju Islam.
Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi
http://www.dakwatuna.com/2007/08/221/malaikat-singgah-di-kamarku/
Subhanallah, Allah menunjukkan betapa manisnya cahaya yang didapatnya setelah melalui usaha yang cukup keras. Tidak mudah, tapi akhirnya Allah menunjukkan rasa kasih sayangnya terhadap seorang hamba. Allah menghendaki sinar terang hatinya setelah sekian lama dinantikan. Betapa ini adalah anugerah kebahagiaan yang tak terlupakan. Cahaya hangat itu akhirnya merasuk hingga terasa dalam aliran darah.
Old Vic Theatre School di Bristol, Inggris, merupakan sebuah tempat yang sangat penting bagi hidup Rafiqa Basel. Pertama, tempat itu mempertemukan dirinya dengan keramahan kaum muslimin, padahal bertahun-tahun pencitraan buruk tentang mereka mengendap di kepalanya. Kedua, di tempat itu pulalah dia melakukan sebuah keputusan besar, menjadi muslimah.
Ayahnya meninggalkan tanah kelahirannya di Jerman saat masih kecil, sementara ibunya meninggalkan Inggris di usia 20-an. Mereka bertemu dan menikah di Afrika Selatan, tempat Rafiqa Basel lahir dan tumbuh.
Pada tahun 1987, Rafiqa Basel datang ke Old Vic Theatre School di Bristol. Sebuah kota dan kabupaten (county) di Inggris serta salah satu dari dua pusat administratif Inggris Barat Daya. Bristol adalah kota terpadat ke-8 di Inggris dan ke-11 di Britania Raya. Dulunya merupakan kota terbesar Inggris ke-2 setelah London, sampai pertumbuhan pesat Liverpool, Manchester dan Birmingham, pada 1780-an.
Rafiqa Basel mempelajari desain, sebelum kemudian bekerja di Mercury Theatre di Colchester. “Kehidupan berteater memang menggairahkan, tapi tanpa aturan-aturan moral sama sekali. Aku seakan hanyut tenggelam dan diombang-ambing kesana kemari. Aku sadari bahwa teater bukanlah lingkungan yang membuatku merasa nyaman. Kegelisahan itu kini kusadari merupakan tanda pencarianku akan sebuah sistem nilai alternatif, yang lebih terkait dengan spiritualitasku.” Tulis Rafiqa dalam surat kepada temannya Aisya.
Pada 1996 dia memutuskan untuk mengambil basic course bidang kesusastraan di London. Saat itulah dirinya mulai banyak bergaul akrab dengan sejumlah Muslim dari Aljazair dan Moroko, dan menyadari bahwa ada sesuatu dalam diri mereka yang tak dimilikinya. Rafiqa betah sekali menghabiskan waktu bersama mereka, menyiapkan makanan lalu mengobrol panjang lebar.
“Pada saat ini pulalah aku merasakan ketertarikan yang sangat kuat akan Islam. Kuputuskan untuk mulai belajar dan membaca sebanyak mungkin. Aku terlalu takut untuk mencoba masuk ke dalam masjid atau mengenakan kerudung, karena itu kucari buku-buku tentang Islam. Aku juga beruntung dapat berkenalan dengan seorang Muslimah dari Irlandia yang sudah 15 tahun lamanya memeluk Islam.”
Inilah pertama kalinya aku bertemu dengan seorang Muslim. Setelah bertemu dengan beberapa orang Muslim lain, lambat laun aku menyadari betapa aku tidak mengenal Islam dan umatnya. Banyak hal yang kuketahui tentang Islam saat aku remaja ternyata keliru, tetapi aku memang tak tahu-menahu soal Islam. Aku menjadi ingin mengenal agama tersebut karena sikap baik kaum Muslim yang menarik hatiku; demikian pula ketulusan dan shalat kaum Muslim. Gagasan tentang sebuah agama yang membimbing kita dalam setiap aspek kehidupan memang merupakan sesuatu yang tengah kucari.
Tak akan pernah kulupakan pembicaraan dengannya lewat telepon pada suatu hari di tahun 1998. Kami tengah membuat janji untuk bertemu. “Jangan terkejut kalau nanti kita ketemu ya, karena saya pakai jilbaab, baju panjang,” ujarnya. Aku takut sekali sebenarnya, tapi kupaksakan diriku untuk terus datang. Nyatanya, dengan ramahnya ia mengajakku masuk ke rumahnya, yang kuingat terasa penuh ketenteraman dan kedamaian. Aku ingat ketika itu pikiran yang terlintas di benakku adalah. “Ya, inilah sesuatu yang ingin kukenal lebih banyak.”
Pada Ramadhan di bulan Desember 1998 itu, aku merasa bahwa aku semakin dekat dengan suatu keputusan terpenting dalam hidupku. Tetapi aku juga sadar bahwa memeluk Islam ibaratnya one-way ticket. Aku tidak bisa main-main. Karena itulah kuputuskan untuk berpuasa sebulan penuh lamanya dan membeli sebuah buku kecil, tuntunan shalat. Beberapa kenalanku bersikap skeptis, dan memberitahuku bahwa karena aku bukan Muslim maka semua puasa dan shalatku tidak akan diterima.
Aku terus membaca, sampai dua bulan kemudian sahabatku mengajak pergi ke masjid. Sungguh saat yang sangat mendebarkan hati, namun juga ditandai keyakinan yang berbisik dalam hatiku. “Ya, aku akan baik-baik saja.” Berdesak-desak kami masuk ke ruang kerja Imam di Masjid Regent’s Park, London, untuk mendengarkan penjelasannya. Di hadapan sejumlah sisters, aku menangis. Pada hari itu, di bulan Mei 1999, aku mengucapkan syahadat. Aku kini seorang Muslimah.
Keyakinanku sudah begitu kuat hingga aku terus dengan niatku dan berpuasa sebulan penuh. Di pertengahan Ramadhan itu aku juga mencoba shalat lima waktu sehari. Kugelar sajadah dan kuteteskan air mata bahagia serta syukurku. Nafas yang begitu berat terasa ringan dengan iringan dzikir dan tasbih yang keluar dari mulutku. Aku telah menemukan hidupku yang sesungguhnya.
Namun itu pulalah yang menandai dimulainya sebuah perjalanan yang sungguh tidak mudah. Ini juga yang, belakangan kuketahui, dialami banyak sekali mualaf. Segala sesuatu terasa luar biasa saat kita berjalan menuju Islam, namun begitu kita bersyahadat, mulailah ujian-ujian berat menghadang. Keajaiban yang indah yang kutemukan sebelumnya kini terasa jauh dan tak teraba, dan aku tak tahu bagaimana harus mempertahankannya, padahal aku juga tahu bahwa keragu-raguan yang kini timbul di benakku dapat berarti dosa.
Pada saat itu aku belum mengenakan kerudung, dan meskipun aku sadar bahwa itu suatu hal yang harus kulakukan, aku mesti berhadapan dengan tekanan begitu besar agar segera mulai memakainya. Maka aku mulai berkerudung saat belajar mengaji. Nyatanya, perlahan-lahan aku mulai terbiasa. Meski pekerjaan memaksaku bertemu dengan banyak klien, atau tetap dapat berhijab karena itu adalah hakku sebagai Muslim di Inggris.
Aku pun tak menghadapi masalah dalam menyelesaikan banyak pekerjaan akibat pilihanku untuk mengenakan jilbab. Secara umum, aku tidak didiskriminasikan di kampus, meski harus menatap muka dan bersikap formal terhadap rekan sekerja. Menurutku, kebanyakan orang menghargai apa yang aku yakini. Hanya keluargaku saja yang menghadapi persoalan berat, sebab aku adalah anak mereka. Dan pria tak habis pikir mengapa aku menolak untuk menjabat tangan mereka.
Islam benar-benar telah mengubahku. Kini, aku tak ragu lagi terhadap tujuan hidup di dunia ini dan bahwa aku tengah menempuh jalan yang lurus. Sebelumnya aku sungguh-sungguh tak pernah tahu, dan kini aku merasa tenteram bersama Islam. Kehendak Tuhan sangatlah berarti bagiku dan aku memiliki keyakinan tentang dari mana asalku.
Islam juga memperbaiki hidupku sebagai seorang perempuan. Sebab, akhirnya aku tahu bahwa kaum pria Muslim yang shalih jauh lebih menghargai kaum perempuan dibandingkan dengan kebiasaan yang ada di kalangan masyarakat Barat, tempat aku dibesarkan. Aku merasa istimewa menjadi seorang perempuan. Sebelumnya aku merasa kurang bersyukur menjadi seorang perempuan karena menurutku hidupku akan lebih mudah seandainya aku menjadi seorang lelaki. Sebab, sebagai seorang perempuan aku dulu benar-benar dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk bekerja sepenuh waktu; merawat rumah tangga, memasak, mencuci, dan merasa tak pernah cocok dengan semua peran itu. Sebagai Muslimah, aku merasa lebih bebas untuk memperhatikan diri, memilih jalan yang benar-benar selaras dengan sifatku, membuat orang lain menerima hal itu, dan merasa tak ada masalah menjadi seorang perempuan – seperti pulang ke rumah. Memeluk agama Islam serasa pulang ke rumah.
Di tempatku kuliah saat ini, di Central Saint Martins, London. Selama empat tahun ini hanya ada satu Muslimah lain yang berhijab. Tetapi orang-orang di sini memperlakukanku dengan hormat dan menghargai prinsip-prinsip yang mempengaruhi hasil karya seniku. Dalam Islam, bekerja adalah ibadah, dan seni hanya diciptakan untuk menyembah Allah.
Sampai kini keluargaku masih tinggal di Afrika Selatan, namun kami secara teratur bersilaturahim. Aku juga baru mengetahui bahwa karena proses keislamanku demikian perlahan dan bertahap, keluargaku sudah lama menyadari perubahan ini. Malahan, ayah ibuku mengunjungi seorang pendeta dan menanyakan tentang “agama Islam yang terus menerus dibicarakan anak kami.” Si pendeta menjawab, “Tidak usah cemas. Itu bukan semacam agama aneh… anakmu tidak akan terkena bahaya (karena memeluk Islam).” Sekarang ini aku dapat dengan bebas mendiskusikan Islam dengan anggota-anggota keluargaku.
Aku menemukan Islam karena melihat pancaran kasih sayang pada diri sejumlah muslim yang kutemui, maka inilah pula jalan dakwah yang kupilih—mengajak orang kepada Islam dengan kasih sayang. Insya Allah. Keluarga dan teman-temanku sudah melihat sendiri bahwa aku telah menemukan kedamaian, dan kalau aku bisa menunjukkan hal ini kepada mereka, maka aku yakin mereka pun akan mencari pengetahuan dan jalan mereka menuju Islam.
Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi
http://www.dakwatuna.com/2007/08/221/malaikat-singgah-di-kamarku/
Tuesday, May 24, 2011
Anger Management ala Rasulullah SAW
Siapakah orang yang paling kuat itu? siapakah para pemenang itu? Nabi Muhammad SAW mempunyai versi sendiri tentang hal ini. Dalam sebuah hadis diriwayatkan ”Orang yang yang paling kuat bukanlah orang yang dapat mengalahkan orang lain dengan kekuatannya, tetapi orang yang mampu mengendalikan amarahnya.” (HR Bukhari)
Apabila seseorang mampu mengendalikan kemarahan, maka bisa dipastikan orang tersebut sangat istimewa. Pernahkah kita mendengar kisah Nabi Muhammad yang murka akibat dilecehkan? Bahkan ketika dengan rutin beliau dilempari kotoran oleh seorang Yahudi, dan kemudian si Yahudi lama menghilang karena sakit, Nabiullah pergi menjenguknya tanpa amarah sedikitpun di dalam dada.
Pun ketika beliau sedang shalat dan diserang oleh seseorang yang membencinya, beliau memilih untuk meneruskan shalat dan bukan menyerang balik. Kontrol emosi manalagi yang lebih sempurna dari itu semua?
Seorang laki-laki pernah menghadap Nabi Muhammad dan meminta nasihat. Ia berkata, ”Nasihati aku.” Nabi SAW bersabda, ”Jangan mudah marah.” Orang itu berkata lagi beberapa kali dan Nabi bersabda, ”Jangan mudah marah.”
Mengapa Nabi Muhammad Saw meyarankan hal ini? Tentu bukan tanpa alasan. Dari sisi medis ternyata orang yang mudah marah gampang terkena penyakit. Di dalam darah orang marah terkandung banyak hormon adrenalin, hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal ini akan dilepaskan ke dalam darah ketika ada rangsangan emosi. Akibatnya adalah denyut jantung akan bertambah cepat dan tekanan darah meninggi, keadaan ini yang mengakibatkan penyakit mudah datang.
Subhanallah. ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya’:107)
Namun amarah adalah sangat manusiawi. Apabila amarah telah datang menghampiri, maka Islam menawarkan cara-cara menghadapinya:
Membaca Ta'awwudz
Rasulullah bersabda "Ada kalimat kalau diucapkan niscaya akan hilang kemarahan seseorang, yaitu "A'uudzu billah mina-syaithaani-r-rajiim" "Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk" (H.R. Bukhari Muslim).
Berwudlu
Rasulullah bersabda "Kemarahan itu itu dari setan, sedangkan syetan tercipta dari api, api hanya bisa padam dengan air, maka kalau kalian marah berwudlulah" (H.R. Abud Dawud).
Duduk
Dalam sebuah hadis dikatakan"Kalau kalian marah maka duduklah, kalau tidak hilang juga maka bertiduranlah" (HR Abu Dawud).
Diam
Dalam sebuah hadis dikatakan, "Ajarilah (orang lain), mudahkanlah, jangan mempersulit masalah, kalau kalian marah maka diamlah" (HR Ahmad).
Bersujud
Artinya shalat sunnah mininal dua rakaat. Dalam sebuah hadis dikatakan "Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat darah di lehernya? Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu, maka hendaklah ia menempelkan pipinya dengan tanah (sujud)." (HR Tirmidzi)
Dengan meneladani Rasulullah SAW, semoga kita diberi kekuatan untuk bisa mengelola energi negatif ini. Wallahualam
Oleh: Dwindria Dini
Penulis adalah sahabat Republika Online, Tinggal di Balikpapan
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/05/23/llnpm6-anger-management-ala-rasulullah-saw
Apabila seseorang mampu mengendalikan kemarahan, maka bisa dipastikan orang tersebut sangat istimewa. Pernahkah kita mendengar kisah Nabi Muhammad yang murka akibat dilecehkan? Bahkan ketika dengan rutin beliau dilempari kotoran oleh seorang Yahudi, dan kemudian si Yahudi lama menghilang karena sakit, Nabiullah pergi menjenguknya tanpa amarah sedikitpun di dalam dada.
Pun ketika beliau sedang shalat dan diserang oleh seseorang yang membencinya, beliau memilih untuk meneruskan shalat dan bukan menyerang balik. Kontrol emosi manalagi yang lebih sempurna dari itu semua?
Seorang laki-laki pernah menghadap Nabi Muhammad dan meminta nasihat. Ia berkata, ”Nasihati aku.” Nabi SAW bersabda, ”Jangan mudah marah.” Orang itu berkata lagi beberapa kali dan Nabi bersabda, ”Jangan mudah marah.”
Mengapa Nabi Muhammad Saw meyarankan hal ini? Tentu bukan tanpa alasan. Dari sisi medis ternyata orang yang mudah marah gampang terkena penyakit. Di dalam darah orang marah terkandung banyak hormon adrenalin, hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal ini akan dilepaskan ke dalam darah ketika ada rangsangan emosi. Akibatnya adalah denyut jantung akan bertambah cepat dan tekanan darah meninggi, keadaan ini yang mengakibatkan penyakit mudah datang.
Subhanallah. ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya’:107)
Namun amarah adalah sangat manusiawi. Apabila amarah telah datang menghampiri, maka Islam menawarkan cara-cara menghadapinya:
Membaca Ta'awwudz
Rasulullah bersabda "Ada kalimat kalau diucapkan niscaya akan hilang kemarahan seseorang, yaitu "A'uudzu billah mina-syaithaani-r-rajiim" "Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk" (H.R. Bukhari Muslim).
Berwudlu
Rasulullah bersabda "Kemarahan itu itu dari setan, sedangkan syetan tercipta dari api, api hanya bisa padam dengan air, maka kalau kalian marah berwudlulah" (H.R. Abud Dawud).
Duduk
Dalam sebuah hadis dikatakan"Kalau kalian marah maka duduklah, kalau tidak hilang juga maka bertiduranlah" (HR Abu Dawud).
Diam
Dalam sebuah hadis dikatakan, "Ajarilah (orang lain), mudahkanlah, jangan mempersulit masalah, kalau kalian marah maka diamlah" (HR Ahmad).
Bersujud
Artinya shalat sunnah mininal dua rakaat. Dalam sebuah hadis dikatakan "Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat darah di lehernya? Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu, maka hendaklah ia menempelkan pipinya dengan tanah (sujud)." (HR Tirmidzi)
Dengan meneladani Rasulullah SAW, semoga kita diberi kekuatan untuk bisa mengelola energi negatif ini. Wallahualam
Oleh: Dwindria Dini
Penulis adalah sahabat Republika Online, Tinggal di Balikpapan
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/05/23/llnpm6-anger-management-ala-rasulullah-saw
Thursday, May 19, 2011
Nasihat Rasulullah SAW
Dari Mu'adz bin Jabal R.A, ia berkata, "Pernah aku bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan. Pada suatu hari aku dekat sekali dengan beliau kala kami sama-sama menapakkan kaki. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, beritahulah aku tentang sesuatu perbuatan yang dapat menghantarkan aku masuk surga dan menjauhkan diriku dari neraka."
Beliau bersabda, "Kamu telah bertanya tentang sesuatu yang besar. Hal itu sangat mudah bagi orang yang dimudahkan Allah baginya. Hendaklah kamu menyembah Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan haji di Baitul Haram."
Kemudian beliau melanjutkan lagi, "Maukah kamu kutunjukkan pintu-pintu kebaikan?"
"Baik ya Rasulullah," kataku.
Beliau bersabda, "Puasa adalah surga. Shadaqah dapat memadamkan kesalahan sebagaimana air yang memadamkan api. Shalat yang didirikan seseorang di tengah malam adalah syi'ar orang-orang shaleh." Lalu beliau membaca ayat Al-Qur'an: "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo'a kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan."
Beliau bersabda lagi, "Maukah kamu kuberitahu tentang pangkal masalah, tonggak, dan yang paling tinggi kedudukannya?"
"Baiklah ya Rasulullah," kataku.
"Pangkal masalah adalah Islam. Tonggaknya adalah shalat, dan yang paling tinggi kedudukannya adalah jihad."
"Maukah kamu kuberitahu sendi dari semua itu?"
"Tahanlah ini atas dirimu," sabda beliau sambil menunjuk lidah.
"Wahai Rasulullah, bagaimana kita dapat melakukannya padahal kita berbicara dengan lidah?" kataku.
"Wahai Mu'adz, ibumu akan bersedih karena kematianmu. Apakah manusia menjerumuskan wajahnya ke dalam api atau berkata dengan dengusan hidungnya kecuali diakibatkan oleh lidahnya?"
http://www.indonesiaindonesia.com/f/32758-nasihat-rasulullah-saw/
Beliau bersabda, "Kamu telah bertanya tentang sesuatu yang besar. Hal itu sangat mudah bagi orang yang dimudahkan Allah baginya. Hendaklah kamu menyembah Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan haji di Baitul Haram."
Kemudian beliau melanjutkan lagi, "Maukah kamu kutunjukkan pintu-pintu kebaikan?"
"Baik ya Rasulullah," kataku.
Beliau bersabda, "Puasa adalah surga. Shadaqah dapat memadamkan kesalahan sebagaimana air yang memadamkan api. Shalat yang didirikan seseorang di tengah malam adalah syi'ar orang-orang shaleh." Lalu beliau membaca ayat Al-Qur'an: "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo'a kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan."
Beliau bersabda lagi, "Maukah kamu kuberitahu tentang pangkal masalah, tonggak, dan yang paling tinggi kedudukannya?"
"Baiklah ya Rasulullah," kataku.
"Pangkal masalah adalah Islam. Tonggaknya adalah shalat, dan yang paling tinggi kedudukannya adalah jihad."
"Maukah kamu kuberitahu sendi dari semua itu?"
"Tahanlah ini atas dirimu," sabda beliau sambil menunjuk lidah.
"Wahai Rasulullah, bagaimana kita dapat melakukannya padahal kita berbicara dengan lidah?" kataku.
"Wahai Mu'adz, ibumu akan bersedih karena kematianmu. Apakah manusia menjerumuskan wajahnya ke dalam api atau berkata dengan dengusan hidungnya kecuali diakibatkan oleh lidahnya?"
http://www.indonesiaindonesia.com/f/32758-nasihat-rasulullah-saw/
Cindy Claudia: Hidayah Dari Bulan dan Bintang
Allah SWT memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki. Begitulah yang terjadi pada diri Cindy Claudia Harahap, putri sulung dari musisi veteran Rinto Harahap. Saat usia belasan tahun, Cindy terombang-ambing hidup di tengah-tengah keluarga Muslim dan non-Muslim. Keluarga ayahnya non-Muslim sementara keluarga dari ibu beragama Islam. Suatu saat, sekitar tahun 1991, penyanyi kelahiran Jakarta, 5 April 1975 ini sedang tiduran tengah malam di atas rumput halaman asrama di Australia.
Saat itu, Cindy bersama sahabat karibnya yang juga artis papan atas Indonesia, Tamara Blezinsky, sedang menempuh pendidikan di St Brigidf College. Setiap hari mereka ngobrol karena hanya mereka berdua orang Indonesia. Mereka juga mempunyai kondisi yang sama tentang orang tua. Suatu malam Cindy benar-benar diperlihatkan keagungan Allah. Ketika memandang ke langit yang cerah terlihat bulan sabit yang bersebelahan dengan bintang yang indah sekali.
''Saya bilang sama Tamara, kayaknya saya pernah lihat ini di mana ya, kok bagus banget. Kayaknya lambang sesuatu, apa ya?'', kenang penyanyi dan pencipta lagu ini. Tamara menjawab kalau itu lambang masjid. ''Jangan-jangan ini petunjuk ya kalau kita harus ke masjid,'' jawab Cindy selanjutnya. Ia memang jarang sekali melihat masjid selama di Australia. Cindy pun berfikir dan mengajak Tamara masuk Islam.
''Suatu hari saya terpanggil untuk memeluk agama Islam,'' kata sulung tiga bersaudara. Setelah kembali ke Indonesia, Cindy dan Tamara pun lama berpisah. Saat kemudian bertemu di Jakarta, ternyata mereka sudah sama-sama menjadi mualaf. Pelantun tembang melankolis ini mengungkapkan inti dirinya masuk Islam lebih pada panggilan jiwa dan hati. Karena, lanjutnya, orang memeluk agama itu sesuatu yang tidak bisa dipaksakan, tergantung masing-masing orang.
Selain dari diri sendiri adakah pihak lain yang mempengaruhi? Cindy mengatakan selain mamanya juga Mas Thoriq (Thoriq Eben Mahmud, suaminya). Dari awal saat pacaran, Cindy banyak belajar tentang Islam dari Thoriq, laki-laki keturunan Mesir. Mereka sering berdiskusi dan Thoriq pun menjelaskan dengan bijaksana dan kesabaran. Menurut Cindy, Thoriq tidak pernah memaksanya bahkan dia sering membelikan buku-buku tentang Islam.
''Terkadang kayak anak TK dibelikan juga buku cerita yang bergambar. Tapi justru jadi tertarik, sampai akhirnya saya dibelikan Alquran dan benar-benar saya baca apa artinya,'' tutur artis yang menikah 4 juli 1998. Cindy melisankan Dua Kalimat Syahadat di hadapan seorang guru agama Islam SMA 34 Jakarta. ''Di sebuah tempat yang sangat sederhana, tepatnya di mushalla kecil sekolah itu, saya mulai memeluk Islam,'' katanya.
Dalam proses mempelajari Islam, istri mantan pilot Sempati ini mengakui tidak menghadapi banyak kendala yang berarti, cuma memang harus menyesuaikan diri. Cindy sudah terbiasa melihat ibadah keluarganya yang beragama Islam. Bahkan sebelum masuk Islam, ia sudah sering ikut-ikutan puasa.
Dalam belajar mengaji, Cindy mendatangkan ustad ke rumah. Pada awalnya memang ada kesulitan, tapi akhirnya bisa berjalan lancar. Cindy mengatakan, keluarganya sangat toleran terhadap agama karena pada dasarnya semua agama itu sama, mengajarkan yang baik hanya caranya yang berbeda-beda. ''Papa pernah bilang apapun agama yang saya putuskan untuk dianut itu terserah.
Yang penting dilaksanakan dengan sungguh-sungguh,'' ujar artis yang sedang syuting sinetron untuk Ramadhan mendatang. Sebelumnya, Cindy sempat berfikir menjadi Muslimah sepertinya repot sekali. Kalau mau masuk masjid untuk shalat, misalnya, harus wudhu dan harus pakai mukena dulu. ''Mau shalat saja harus repot. Apalagi ada bulan Ramadhan yang harus puasa.
Saya sempat berfikir kalau Islam agama yang repot,'' ujar ibu dua anak bernama Sabrina Aisya Putri dan Aprilia Omar Syarif ini. Setelah mempelajari Islam dengan benar, Cindy menyadari itulah kelebihan Islam bila dibandingkan dengan agama lain. ''Kalau kita hendak menghadap Allah, kita harus benar-benar dalam kondisi yang bersih.
Bersih jiwa dan bersih diri,'' tuturnya. Cindy mengungkapkan, alangkah bahagianya kita sebagai umat Islam dikasih bulan ramadhan, di mana kita diberi kesempatan untuk membenahi diri. ''Menurut saya, bulan Ramadhan itu bulan bonus dan setiap tahun saya merasa kangen dengan Ramadhan''.
Selama ini Cindy selalu berusaha membagi waktu sebisa mungkin tidak meninggalkan ibadah. ''Kalau kita ada waktu ya ibadah harus dilakukan. Cuma saya tidak munafik, sebagai manusia masih harus berusaha agar ibadah tidak bolong dan tetap lancar,'' penyanyi yang sudah menelorkan enam album ini menuturkan. Ia mengakui bila jadwal syuting padat, ibadah shalat suka terlewatkan.
Tapi bila sedang berada di rumah, bersama suami menunaikan shalat jamaah. Cindy pun sejak dini memperkenalkan kepada anaknya kehidupan agama dengan memasukkan anak pertamanya ke TPA (Tempat Pendidikan Alquran) di masjid dekat rumah. Cindy mengisahkan beberapa bulan setelah menikah diberi hadiah pernikahan oleh mertua berupa umrah bersama suami.
Ia merasa sangat berkesan saat pertama melihat Ka'bah karena sebelumnya hanya disaksikan lewat televisi atau gambar saja. Waktu itu, Cindy berangkat umrah bulan Ramadhan dan ia sedang hamil enam bulan. Cindy mengaku justru bisa menunaikan ibadah puasa di sana yang tadinya di Jakarta tidak bisa puasa. ''Alhamdulillah, sampai di sana tidak ada kendala atau kejadian buruk apapun,'' kata penyanyi yang sedang mempersiapkan album bernuansa dakwah.
DATA PRIBADI
Nama: Cindy Claudia Harahap
Kelahiran: Jakarta, 5 April 1975
Nama ayah: Rinto Harahap
Anak: Sabrina Aisya Putri, Aprilia Omar Syarif, Suami: Thoriq Eben Mahmud
Menikah: 4 Juli 1998
Pendidikan: - High School, St Brigidf College, Australia - Universitas Indonesia Esa Unggul (sampai semester III)
Sinetron: - Bidadari yang Terluka
Album: - Aku Sayang Padamu - Berdua - Cuma Buat Kamu - Mengapa Sampai Berpisah - Salahkan Aku
(Penulis c12/Dokumentasi REPUBLIKA/30 Agustus 2002)
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/09/01/08/24876-cindy-claudia-hidayah-dari-bulan-dan-bintang
Saat itu, Cindy bersama sahabat karibnya yang juga artis papan atas Indonesia, Tamara Blezinsky, sedang menempuh pendidikan di St Brigidf College. Setiap hari mereka ngobrol karena hanya mereka berdua orang Indonesia. Mereka juga mempunyai kondisi yang sama tentang orang tua. Suatu malam Cindy benar-benar diperlihatkan keagungan Allah. Ketika memandang ke langit yang cerah terlihat bulan sabit yang bersebelahan dengan bintang yang indah sekali.
''Saya bilang sama Tamara, kayaknya saya pernah lihat ini di mana ya, kok bagus banget. Kayaknya lambang sesuatu, apa ya?'', kenang penyanyi dan pencipta lagu ini. Tamara menjawab kalau itu lambang masjid. ''Jangan-jangan ini petunjuk ya kalau kita harus ke masjid,'' jawab Cindy selanjutnya. Ia memang jarang sekali melihat masjid selama di Australia. Cindy pun berfikir dan mengajak Tamara masuk Islam.
''Suatu hari saya terpanggil untuk memeluk agama Islam,'' kata sulung tiga bersaudara. Setelah kembali ke Indonesia, Cindy dan Tamara pun lama berpisah. Saat kemudian bertemu di Jakarta, ternyata mereka sudah sama-sama menjadi mualaf. Pelantun tembang melankolis ini mengungkapkan inti dirinya masuk Islam lebih pada panggilan jiwa dan hati. Karena, lanjutnya, orang memeluk agama itu sesuatu yang tidak bisa dipaksakan, tergantung masing-masing orang.
Selain dari diri sendiri adakah pihak lain yang mempengaruhi? Cindy mengatakan selain mamanya juga Mas Thoriq (Thoriq Eben Mahmud, suaminya). Dari awal saat pacaran, Cindy banyak belajar tentang Islam dari Thoriq, laki-laki keturunan Mesir. Mereka sering berdiskusi dan Thoriq pun menjelaskan dengan bijaksana dan kesabaran. Menurut Cindy, Thoriq tidak pernah memaksanya bahkan dia sering membelikan buku-buku tentang Islam.
''Terkadang kayak anak TK dibelikan juga buku cerita yang bergambar. Tapi justru jadi tertarik, sampai akhirnya saya dibelikan Alquran dan benar-benar saya baca apa artinya,'' tutur artis yang menikah 4 juli 1998. Cindy melisankan Dua Kalimat Syahadat di hadapan seorang guru agama Islam SMA 34 Jakarta. ''Di sebuah tempat yang sangat sederhana, tepatnya di mushalla kecil sekolah itu, saya mulai memeluk Islam,'' katanya.
Dalam proses mempelajari Islam, istri mantan pilot Sempati ini mengakui tidak menghadapi banyak kendala yang berarti, cuma memang harus menyesuaikan diri. Cindy sudah terbiasa melihat ibadah keluarganya yang beragama Islam. Bahkan sebelum masuk Islam, ia sudah sering ikut-ikutan puasa.
Dalam belajar mengaji, Cindy mendatangkan ustad ke rumah. Pada awalnya memang ada kesulitan, tapi akhirnya bisa berjalan lancar. Cindy mengatakan, keluarganya sangat toleran terhadap agama karena pada dasarnya semua agama itu sama, mengajarkan yang baik hanya caranya yang berbeda-beda. ''Papa pernah bilang apapun agama yang saya putuskan untuk dianut itu terserah.
Yang penting dilaksanakan dengan sungguh-sungguh,'' ujar artis yang sedang syuting sinetron untuk Ramadhan mendatang. Sebelumnya, Cindy sempat berfikir menjadi Muslimah sepertinya repot sekali. Kalau mau masuk masjid untuk shalat, misalnya, harus wudhu dan harus pakai mukena dulu. ''Mau shalat saja harus repot. Apalagi ada bulan Ramadhan yang harus puasa.
Saya sempat berfikir kalau Islam agama yang repot,'' ujar ibu dua anak bernama Sabrina Aisya Putri dan Aprilia Omar Syarif ini. Setelah mempelajari Islam dengan benar, Cindy menyadari itulah kelebihan Islam bila dibandingkan dengan agama lain. ''Kalau kita hendak menghadap Allah, kita harus benar-benar dalam kondisi yang bersih.
Bersih jiwa dan bersih diri,'' tuturnya. Cindy mengungkapkan, alangkah bahagianya kita sebagai umat Islam dikasih bulan ramadhan, di mana kita diberi kesempatan untuk membenahi diri. ''Menurut saya, bulan Ramadhan itu bulan bonus dan setiap tahun saya merasa kangen dengan Ramadhan''.
Selama ini Cindy selalu berusaha membagi waktu sebisa mungkin tidak meninggalkan ibadah. ''Kalau kita ada waktu ya ibadah harus dilakukan. Cuma saya tidak munafik, sebagai manusia masih harus berusaha agar ibadah tidak bolong dan tetap lancar,'' penyanyi yang sudah menelorkan enam album ini menuturkan. Ia mengakui bila jadwal syuting padat, ibadah shalat suka terlewatkan.
Tapi bila sedang berada di rumah, bersama suami menunaikan shalat jamaah. Cindy pun sejak dini memperkenalkan kepada anaknya kehidupan agama dengan memasukkan anak pertamanya ke TPA (Tempat Pendidikan Alquran) di masjid dekat rumah. Cindy mengisahkan beberapa bulan setelah menikah diberi hadiah pernikahan oleh mertua berupa umrah bersama suami.
Ia merasa sangat berkesan saat pertama melihat Ka'bah karena sebelumnya hanya disaksikan lewat televisi atau gambar saja. Waktu itu, Cindy berangkat umrah bulan Ramadhan dan ia sedang hamil enam bulan. Cindy mengaku justru bisa menunaikan ibadah puasa di sana yang tadinya di Jakarta tidak bisa puasa. ''Alhamdulillah, sampai di sana tidak ada kendala atau kejadian buruk apapun,'' kata penyanyi yang sedang mempersiapkan album bernuansa dakwah.
DATA PRIBADI
Nama: Cindy Claudia Harahap
Kelahiran: Jakarta, 5 April 1975
Nama ayah: Rinto Harahap
Anak: Sabrina Aisya Putri, Aprilia Omar Syarif, Suami: Thoriq Eben Mahmud
Menikah: 4 Juli 1998
Pendidikan: - High School, St Brigidf College, Australia - Universitas Indonesia Esa Unggul (sampai semester III)
Sinetron: - Bidadari yang Terluka
Album: - Aku Sayang Padamu - Berdua - Cuma Buat Kamu - Mengapa Sampai Berpisah - Salahkan Aku
(Penulis c12/Dokumentasi REPUBLIKA/30 Agustus 2002)
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/09/01/08/24876-cindy-claudia-hidayah-dari-bulan-dan-bintang
Ketika Rasulullah Kecewa
Rasulullah SAW pernah mengutus Usamah bin Zaid untuk berperang ke daerah Huruqat. Ternyata penduduk di sana sudah mengetahui rencana kedatangan pasukan Islam, maka mereka pun melarikan diri. Namun Usamah menemukan seorang lelaki, dan lelaki itu langsung mengucapkan dua kalimat syahadat. Sayangnya ia tetap dipukul hingga meninggal.
Ketika hal itu diceritakan pada Nabi SAW, beliau bersabda, "Apa yang akan kau katakan (di akhirat nanti) terhadap orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadah". Usamah menjawab, "Wahai Rasulullah ia mengatakannya (bahwa ia berislam) karena takut dibunuh". Rasul menjawab, "Sudahkah kau robek dadanya hingga kau tahu untuk apa ia mengatakan hal itu, untuk menyelamatkan diri atau hal lainnya. Apa yang kau katakan (di akhirat nanti) terhadap orang yang telah mengucapkan syahadat." Beliau terus mengulanginya hingga Usamah berangan untuk tidak masuk Islam kecuali setelah hari itu (karena ketegasan Rasul dalam hal itu).
Imam Abu Daud RA menjadikan Hadis ini dalam bab alasan memerangi orang Musyrik. Hal ini menandakan bahwa siapa saja yang menampakkan keislamannya sekalipun hanya mengucapkan dua kalimat syahadat maka mereka harus diperlakukan seperti seorang Muslim dan tidak boleh mempermasalahkan keislamannya, karena manusia hanya menghukumi sesuatu yang nampak saja, adapun hal yang tak tampak maka kita harus menyerahkannya pada Allah SWT.
Kasus pemboman yang terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia kembali membuat reputasi Islam semakin buruk. Islam dipandang sebagai agama teroris dan anarkis. Hal ini dikarenakan pemahaman yang kurang tepat terhadap nash agama. Termasuk dalam memahami sumber kedua Islam, hadis.
Hadis lain yang juga sering salah dipahami diriwayatkan oleh Imam Bukhari RA dan Imam Muslim RA dari Sahabat Abdullah bin Umar RA: "Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, dan membayar zakat, lalu apabila mereka telah melaksanakan itu terjagalah darah dan harta mereka."
Dalam memahami hadis ini ada beberapa poin yang harus diperhatikan. Pertama, Hadis di atas menggunakan kata Uqâtil bukan kata Aqtul. Terdapat perbedaan yang sangat jauh ketika kita tidak bisa membedakan maksud kedua kata tersebut. Kata Uqâtil dalam bahasa Arab berarti mencurahkan seluruh kemampuan untuk mencegah musuh yang menyakiti kita, adapun kata Aqtul berarti membinasakan musuh (membunuh).
Kedua, kata an-nâas pada Hadis di atas bukan berarti seluruh manusia secara umum. Hal ini bisa dipahami kalau kita membandingkan dengan Hadis yang lain (Muqaronatul Al-Ahâdis), seperti yang diriwayatkan Imam Nasa'i dalam kitab Sunannya: "Allah memerintahkanku (Rasul) untuk memerangi orang Musyrik yang mengharamkan kebebasan beragama, memerintahkanku untuk memerangi mereka hingga agama Islam dapat tersebar luas dan tak ada seorangpun yang menghalangi orang lain (dalam memeluk agama), lalu setelah itu setiap manusia dapat menentukan pilihan agamanya masing-masing."
Dari sini jelas bahwa perintah perang hanya untuk orang kafir, itupun jikalau mereka membatasi kebebasan beragama. Mudah-mudahan kedua hadis di atas dapat membuka cara berfikir kita untuk lebih memahami Islam sebagai agama yang menjadi rahmat untuk seluruh alam. Allahu wa Rasuluhu 'alam.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/05/18/lld50u-kebebasan-beragama
Ketika hal itu diceritakan pada Nabi SAW, beliau bersabda, "Apa yang akan kau katakan (di akhirat nanti) terhadap orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadah". Usamah menjawab, "Wahai Rasulullah ia mengatakannya (bahwa ia berislam) karena takut dibunuh". Rasul menjawab, "Sudahkah kau robek dadanya hingga kau tahu untuk apa ia mengatakan hal itu, untuk menyelamatkan diri atau hal lainnya. Apa yang kau katakan (di akhirat nanti) terhadap orang yang telah mengucapkan syahadat." Beliau terus mengulanginya hingga Usamah berangan untuk tidak masuk Islam kecuali setelah hari itu (karena ketegasan Rasul dalam hal itu).
Imam Abu Daud RA menjadikan Hadis ini dalam bab alasan memerangi orang Musyrik. Hal ini menandakan bahwa siapa saja yang menampakkan keislamannya sekalipun hanya mengucapkan dua kalimat syahadat maka mereka harus diperlakukan seperti seorang Muslim dan tidak boleh mempermasalahkan keislamannya, karena manusia hanya menghukumi sesuatu yang nampak saja, adapun hal yang tak tampak maka kita harus menyerahkannya pada Allah SWT.
Kasus pemboman yang terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia kembali membuat reputasi Islam semakin buruk. Islam dipandang sebagai agama teroris dan anarkis. Hal ini dikarenakan pemahaman yang kurang tepat terhadap nash agama. Termasuk dalam memahami sumber kedua Islam, hadis.
Hadis lain yang juga sering salah dipahami diriwayatkan oleh Imam Bukhari RA dan Imam Muslim RA dari Sahabat Abdullah bin Umar RA: "Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, dan membayar zakat, lalu apabila mereka telah melaksanakan itu terjagalah darah dan harta mereka."
Dalam memahami hadis ini ada beberapa poin yang harus diperhatikan. Pertama, Hadis di atas menggunakan kata Uqâtil bukan kata Aqtul. Terdapat perbedaan yang sangat jauh ketika kita tidak bisa membedakan maksud kedua kata tersebut. Kata Uqâtil dalam bahasa Arab berarti mencurahkan seluruh kemampuan untuk mencegah musuh yang menyakiti kita, adapun kata Aqtul berarti membinasakan musuh (membunuh).
Kedua, kata an-nâas pada Hadis di atas bukan berarti seluruh manusia secara umum. Hal ini bisa dipahami kalau kita membandingkan dengan Hadis yang lain (Muqaronatul Al-Ahâdis), seperti yang diriwayatkan Imam Nasa'i dalam kitab Sunannya: "Allah memerintahkanku (Rasul) untuk memerangi orang Musyrik yang mengharamkan kebebasan beragama, memerintahkanku untuk memerangi mereka hingga agama Islam dapat tersebar luas dan tak ada seorangpun yang menghalangi orang lain (dalam memeluk agama), lalu setelah itu setiap manusia dapat menentukan pilihan agamanya masing-masing."
Dari sini jelas bahwa perintah perang hanya untuk orang kafir, itupun jikalau mereka membatasi kebebasan beragama. Mudah-mudahan kedua hadis di atas dapat membuka cara berfikir kita untuk lebih memahami Islam sebagai agama yang menjadi rahmat untuk seluruh alam. Allahu wa Rasuluhu 'alam.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/05/18/lld50u-kebebasan-beragama
Kisah Sahabat Nabi: Abdullah bin Mas'ud, Pemegang Rahasia Rasulullah
Tak berapa lama setelah memeluk Islam, Abdullah bin Mas'ud mendatangi Rasulullah dan memohon kepada beliau agar diterima menjadi pelayan beliau. Rasulullah pun menyetujuinya.
Sejak hari itu, Abdullah bin Mas'ud tinggal di rumah Rasulullah. Dia beralih pekerjaan dari penggembala domba menjadi pelayan utusan Allah dan pemimpin umat. Abdullah bin Mas'ud senantiasa mendampingi Rasulullah bagaikan layang-layang dan benangnya. Dia selalu menyertai kemana pun beliau pergi.
Dia membangunkan Rasulullah untuk shalat bila beliau tertidur, menyediakan air untuk mandi, mengambilkan terompah apabila beliau hendak pergi dan membenahinya apabila beliau pulang. Dia membawakan tongkat dan siwak Rasulullah, menutupkan pintu kamar apabila beliau hendak tidur.
Bahkan Rasulullah mengizinkan Abdullah memasuki kamar beliau jika perlu. Beliau memercayakan kepadanya hal-hal yang rahasia, tanpa khawatir rahasia tersebut akan terbuka. Karenanya, Abdullah bin Mas'ud dijuluki orang dengan sebutan "Shahibus Sirri Rasulullah" (pemegang rahasia Rasulullah).
Abdullah bin Mas'ud dibesarkan dan dididik dengan sempurna dalam rumah tangga Rasulullah. Karena itu tidak heran kalau dia menjadi seorang yang terpelajar, berakhlak tinggi, sesuai dengan karakter dan sifat-sifat yang dicontohkan Rasulullah kepadanya. Sampai-sampai orang mengatakan, karakter dan akhlak Abdullah bin Mas'ud paling mirip dengan akhlak Rasulullah.
Abdullah bin Mas'ud pernah berkata tentang pengetahuannya mengenai Kitabullah (Al-Qur'an) sebagai berikut, "Demi Allah, yang tiada Tuhan selain Dia. Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur'an, melainkan aku tahu di mana dan dalam situasi bagaimana diturunkan. Seandainya ada orang yang lebih tahu daripada aku, niscaya aku datang belajar kepadanya."
Abdullah bin Mas'ud tidak berlebihan dengan ucapannya itu. Kisah Umar bin Al-Khathab berikut memperkuat ucapannya. Pada suatu malam, Khalifah Umar sedang dalam perjalanan, ia bertemu dengan sebuah kabilah. Malam sangat gelap bagai tertutup tenda, menutupi pandangan setiap pengendara. Abdullah bin Mas'ud berada dalam kabilah tersebut. Khalifah Umar memerintahkan seorang pengawal agar menanyai kabilah.
"Hai kabilah, dari mana kalian?" teriak pengawal.
"Min fajjil 'amiq (dari lembah nan dalam)," jawab Abdullah.
"Hendak kemana kalian?"
"Ke Baitu Atiq (rumah tua, Ka'bah)," jawab Abdullah.
"Di antara mereka pasti ada orang alim," kata Umar.
Kemudian diperintahkannya pula menanyakan, "Ayat Al-Qur'an manakah yang paling ampuh?"
Abdullah menjawab, "Allah, tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya) tidak mengantuk dan tidak pula tidur..." (QS Al-Baqarah: 255).
"Tanyakan pula kepada mereka, ayat Al-Qur'an manakah yang lebih kuat hukumnya?" kata Umar memerintah.
Abdullah menjawab, "Sesungguhnya Allah memerintah kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang kamu dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (QS An-Nahl: 9).
"Tanyakan kepada mereka, ayat Al-Qur'an manakah yang mencakup semuanya!" perintah Umar.
Abdullah menjawab, "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan walaupun seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan walaupun sebesar dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya pula." (QS Al-Zalzalah: 8).
Demikian seterusnya, ketika Umar memerintahkan pengawal untuk bertanya tentang Al-Qur'an, Abdullah bin Mas'ud langsung menjawabnya dengan tegas dan tepat. Hingga pada akhirnya Khalifah Umar bertanya, "Adakah dalam kabilah kalian Abdullah bin Mas'ud?"
Jawab mereka, "Ya, ada!"
Abdullah bin Mas'ud bukan hanya sekedar qari' (ahli baca Al-Qur'an) terbaik, atau seorang yang sangat alim atau zuhud, namun ia juga seorang pemberani, kuat dan teliti. Bahkan dia seorang pejuang (mujahid) terkemuka. Dia tercatat sebagai Muslim pertama yang mengumandangkan Al-Qur'an dengan suara merdu dan lantang.
Pada suatu hari para sahabat Rasulullah berkumpul di Makkah. Mereka berkata, "Demi Allah, kaum Quraisy belum pernah mendengar ayat-ayat Al-Qur'an yang kita baca di hadapan mereka dengan suara keras. Siapa kira-kira yang dapat membacakannya kepada mereka?"
"Aku sanggup membacakannya kepada mereka dengan suara keras," kata Abdullah.
"Tidak, jangan kamu! Kami khawatir kalau kamu membacakannya. Hendaknya seseorang yang punya keluarga yang dapat membela dan melindunginya dari penganiayaan kaum Quraisy," jawab mereka.
"Biarlah, aku saja. Allah pasti melindungiku," kata Abdullah tak gentar.
Keesokan harinya, kira-kira waktu Dhuha, ketika kaum Quraisy sedang duduk-duduk di sekitar Ka'Baha Ad-Daulah. Abdullah bin Mas'ud berdiri di Maqam Ibrahim, lalu dengan suara lantang dan merdu dibacanya surah Ar-Rahman ayat 1-4.
Bacaan Abdullah yang merdu dan lantang itu kedengaran oleh kaum Quraisy di sekitar Ka'bah. Mereka terkesima saat mendengar dan merenungkan ayat-ayat Allah yang dibaca Abdullah. Kemudian mereka bertanya, "Apakah yang dibaca oleh Ibnu Ummi Abd (Abdullah bin Mas'ud)?"
"Sialan, dia membaca ayat-ayat yang dibawa Muhammad!" kata mereka begitu tersadar. Lalu mereka berdiri serentak dan memukuli Abdullah. Namun Abdullah bin Mas'ud meneruskan bacaannya hingga akhir surah. Ia lalu pulang menemui para sahabat dengan muka babak belur dan berdarah.
"Inilah yang kami khawatirkan terhadapmu," kata mereka.
"Demi Allah, kata Abdullah, "Bahkan sekarang musuh-musuh Allah itu semakin kecil di mataku. Jika kalian menghendaki, besok pagi aku akan baca lagi di hadapan mereka."
Abdullah bin Mas'ud hidup hingga masa Khalifah Utsman bin Affan memerintah. Ketika ia hampir meninggal dunia, Khalifah Utsman datang menjenguknya. "Sakit apakah yang kau rasakan, wahai Abdullah?" tanya khalifah.
"Dosa-dosaku," jawab Abdullah.
"Apa yang kau inginkan?"
"Rahmat Tuhanku."
"Tidakkah kau ingin supaya kusuruh orang membawa gaji-gajimu yang tidak pernah kau ambil selama beberapa tahun?" tanya Khalifah.
"Aku tidak membutuhkannya," kata Abdullah.
"Bukankah kau mempunyai anak-anak yang harus hidup layak sepeninggalmu?" tanya Utsman.
"Aku tidak khawatir, jawab Abdullah, "Aku menyuruh mereka membaca surah Al-Waqi'ah setiap malam. Karena aku mendengar Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang membaca surah Al-Waqi'ah setiap malam, dia tidak akan ditimpa kemiskinan selama-lamanya!"
Pada suatu malam yang hening, Abdullah bin Mas'ud pun berangkat menghadap Tuhannya dengan tenang.
Redaktur: cr01
Sumber: 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/05/19/llfmky-kisah-sahabat-nabi-abdullah-bin-masud-pemegang-rahasia-rasulullah
Sejak hari itu, Abdullah bin Mas'ud tinggal di rumah Rasulullah. Dia beralih pekerjaan dari penggembala domba menjadi pelayan utusan Allah dan pemimpin umat. Abdullah bin Mas'ud senantiasa mendampingi Rasulullah bagaikan layang-layang dan benangnya. Dia selalu menyertai kemana pun beliau pergi.
Dia membangunkan Rasulullah untuk shalat bila beliau tertidur, menyediakan air untuk mandi, mengambilkan terompah apabila beliau hendak pergi dan membenahinya apabila beliau pulang. Dia membawakan tongkat dan siwak Rasulullah, menutupkan pintu kamar apabila beliau hendak tidur.
Bahkan Rasulullah mengizinkan Abdullah memasuki kamar beliau jika perlu. Beliau memercayakan kepadanya hal-hal yang rahasia, tanpa khawatir rahasia tersebut akan terbuka. Karenanya, Abdullah bin Mas'ud dijuluki orang dengan sebutan "Shahibus Sirri Rasulullah" (pemegang rahasia Rasulullah).
Abdullah bin Mas'ud dibesarkan dan dididik dengan sempurna dalam rumah tangga Rasulullah. Karena itu tidak heran kalau dia menjadi seorang yang terpelajar, berakhlak tinggi, sesuai dengan karakter dan sifat-sifat yang dicontohkan Rasulullah kepadanya. Sampai-sampai orang mengatakan, karakter dan akhlak Abdullah bin Mas'ud paling mirip dengan akhlak Rasulullah.
Abdullah bin Mas'ud pernah berkata tentang pengetahuannya mengenai Kitabullah (Al-Qur'an) sebagai berikut, "Demi Allah, yang tiada Tuhan selain Dia. Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur'an, melainkan aku tahu di mana dan dalam situasi bagaimana diturunkan. Seandainya ada orang yang lebih tahu daripada aku, niscaya aku datang belajar kepadanya."
Abdullah bin Mas'ud tidak berlebihan dengan ucapannya itu. Kisah Umar bin Al-Khathab berikut memperkuat ucapannya. Pada suatu malam, Khalifah Umar sedang dalam perjalanan, ia bertemu dengan sebuah kabilah. Malam sangat gelap bagai tertutup tenda, menutupi pandangan setiap pengendara. Abdullah bin Mas'ud berada dalam kabilah tersebut. Khalifah Umar memerintahkan seorang pengawal agar menanyai kabilah.
"Hai kabilah, dari mana kalian?" teriak pengawal.
"Min fajjil 'amiq (dari lembah nan dalam)," jawab Abdullah.
"Hendak kemana kalian?"
"Ke Baitu Atiq (rumah tua, Ka'bah)," jawab Abdullah.
"Di antara mereka pasti ada orang alim," kata Umar.
Kemudian diperintahkannya pula menanyakan, "Ayat Al-Qur'an manakah yang paling ampuh?"
Abdullah menjawab, "Allah, tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya) tidak mengantuk dan tidak pula tidur..." (QS Al-Baqarah: 255).
"Tanyakan pula kepada mereka, ayat Al-Qur'an manakah yang lebih kuat hukumnya?" kata Umar memerintah.
Abdullah menjawab, "Sesungguhnya Allah memerintah kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang kamu dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (QS An-Nahl: 9).
"Tanyakan kepada mereka, ayat Al-Qur'an manakah yang mencakup semuanya!" perintah Umar.
Abdullah menjawab, "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan walaupun seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan walaupun sebesar dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya pula." (QS Al-Zalzalah: 8).
Demikian seterusnya, ketika Umar memerintahkan pengawal untuk bertanya tentang Al-Qur'an, Abdullah bin Mas'ud langsung menjawabnya dengan tegas dan tepat. Hingga pada akhirnya Khalifah Umar bertanya, "Adakah dalam kabilah kalian Abdullah bin Mas'ud?"
Jawab mereka, "Ya, ada!"
Abdullah bin Mas'ud bukan hanya sekedar qari' (ahli baca Al-Qur'an) terbaik, atau seorang yang sangat alim atau zuhud, namun ia juga seorang pemberani, kuat dan teliti. Bahkan dia seorang pejuang (mujahid) terkemuka. Dia tercatat sebagai Muslim pertama yang mengumandangkan Al-Qur'an dengan suara merdu dan lantang.
Pada suatu hari para sahabat Rasulullah berkumpul di Makkah. Mereka berkata, "Demi Allah, kaum Quraisy belum pernah mendengar ayat-ayat Al-Qur'an yang kita baca di hadapan mereka dengan suara keras. Siapa kira-kira yang dapat membacakannya kepada mereka?"
"Aku sanggup membacakannya kepada mereka dengan suara keras," kata Abdullah.
"Tidak, jangan kamu! Kami khawatir kalau kamu membacakannya. Hendaknya seseorang yang punya keluarga yang dapat membela dan melindunginya dari penganiayaan kaum Quraisy," jawab mereka.
"Biarlah, aku saja. Allah pasti melindungiku," kata Abdullah tak gentar.
Keesokan harinya, kira-kira waktu Dhuha, ketika kaum Quraisy sedang duduk-duduk di sekitar Ka'Baha Ad-Daulah. Abdullah bin Mas'ud berdiri di Maqam Ibrahim, lalu dengan suara lantang dan merdu dibacanya surah Ar-Rahman ayat 1-4.
Bacaan Abdullah yang merdu dan lantang itu kedengaran oleh kaum Quraisy di sekitar Ka'bah. Mereka terkesima saat mendengar dan merenungkan ayat-ayat Allah yang dibaca Abdullah. Kemudian mereka bertanya, "Apakah yang dibaca oleh Ibnu Ummi Abd (Abdullah bin Mas'ud)?"
"Sialan, dia membaca ayat-ayat yang dibawa Muhammad!" kata mereka begitu tersadar. Lalu mereka berdiri serentak dan memukuli Abdullah. Namun Abdullah bin Mas'ud meneruskan bacaannya hingga akhir surah. Ia lalu pulang menemui para sahabat dengan muka babak belur dan berdarah.
"Inilah yang kami khawatirkan terhadapmu," kata mereka.
"Demi Allah, kata Abdullah, "Bahkan sekarang musuh-musuh Allah itu semakin kecil di mataku. Jika kalian menghendaki, besok pagi aku akan baca lagi di hadapan mereka."
Abdullah bin Mas'ud hidup hingga masa Khalifah Utsman bin Affan memerintah. Ketika ia hampir meninggal dunia, Khalifah Utsman datang menjenguknya. "Sakit apakah yang kau rasakan, wahai Abdullah?" tanya khalifah.
"Dosa-dosaku," jawab Abdullah.
"Apa yang kau inginkan?"
"Rahmat Tuhanku."
"Tidakkah kau ingin supaya kusuruh orang membawa gaji-gajimu yang tidak pernah kau ambil selama beberapa tahun?" tanya Khalifah.
"Aku tidak membutuhkannya," kata Abdullah.
"Bukankah kau mempunyai anak-anak yang harus hidup layak sepeninggalmu?" tanya Utsman.
"Aku tidak khawatir, jawab Abdullah, "Aku menyuruh mereka membaca surah Al-Waqi'ah setiap malam. Karena aku mendengar Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang membaca surah Al-Waqi'ah setiap malam, dia tidak akan ditimpa kemiskinan selama-lamanya!"
Pada suatu malam yang hening, Abdullah bin Mas'ud pun berangkat menghadap Tuhannya dengan tenang.
Redaktur: cr01
Sumber: 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/05/19/llfmky-kisah-sahabat-nabi-abdullah-bin-masud-pemegang-rahasia-rasulullah
Belas Kasih
Di India utara ada sebuah desa yang memiliki kondisi alam kurang bersahabat, membuat desa hidup dalam kemiskinan. Untuk mencari makanan sehari-hari penuh dengan perjuangan. Semua orang ingin mengubah keadaan tapi tidak ada yang tahu bagaimana melakukannya.
Tidak jauh dari desa tersebut ada sebuah jalan antar kota. Karena kondisi jalan jelek, banyak mobil dan truck yang jatuh disana. Suatu hari sebuah truk penuh dengan makanan kaleng terguling ke pinggir jalan dan kaleng-kaleng berserakan di mana-mana. Karena sopir terluka, dia menumpang kendaraan menuju ke rumah sakit dan meninggalkan makanan kaleng berserakan di tanah. Ketika penduduk desa menemukan makanan kaleng "gratis", mereka membawanya pulang. Selama beberapa hari setelah kecelakaan itu, setiap keluarga memiliki makanan kaleng di meja makan malam mereka.
"Keberuntungan" Ini mengilhami para penduduk desa. Sebagai pepatah lama mengatakan, "Bertahan dengan apa saja yang ada di dekat, baik itu gunung atau danau." Sekarang penduduk desa berpikir bahwa mereka bisa hidup dari jalan raya tersebut. Mereka mulai sering pergi ke jalan raya, berharap menemukan truk rusak dan penuh makanan.
Tapi kecelakaan tidak terjadi sesering yang mereka inginkan. Hanya melihat truk makanan datang dan pergi, penduduk desa kecewa tidak mendapatkan apa-apa. Suatu hari, seseorang datang dengan ide yang cerdik. Mereka pergi ke jalan dengan sekop dan cangkul, dan menggali banyak lubang di malam hari. Tak lama kemudian, lebih dan lebih banyak mobil dan truk pecah ban di sana. Karena jalan yang buruk, truk-truk melaju sangat lambat menghindari terjadinya kecelakaan. Penduduk desa kemudian dengan mudah mengikuti dan mencuri beberapa barang di truk.
Lambat laun, keadaan semakin memburuk. Awalnya, mereka mencuri makanan hanya untuk konsumsi mereka sendiri. Sekarang mereka mulai mengambil barang-barang lain dan menjualnya di pasar. Akhirnya, pencurian berubah menjadi murni perampokan. Jalan dekat desa menjadi bagian paling berbahaya di sepanjang jalan raya tersebut. Setiap bulan, polisi menerima beberapa laporan tentang perampokan. Suatu hari, polisi menangkap dua penduduk desa saat mereka merampok sebuah truk dan memenjarakan mereka.
Penahanan itu tidak membuat penduduk desa lainnya jera. Mereka menjadi lebih licik dalam melakukan kejahatan ini. Mereka mengorganisasi diri mereka dan menugaskan orang-orang untuk mengawasi polisi. Setelah perampokan, mereka menyembunyikan barang atau mengubah kemasan sehingga polisi tidak bisa menemukan bukti. Pemerintah lokal mencoba berbagai cara menghentikan tindak kejahatan ini. Karena penduduk sudah terbiasa dengan cara hidup seperti ini, perampokan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Selama satu musim dingin, karena reputasi desa, banyak pengemudi truk menghindari jalan desa dengan memilih jalan memutar. Hasilnya, penduduk desa tidak mendapat apa-apa selama beberapa hari berturut-turut. Suatu hari, sebuah truk penuh dengan pati fosfat lewat. Pati fosfat adalah digunakan untuk industri dan beracun. Para penduduk desa kebanyakan tidak berpendidikan, dan menurut mereka, pati adalah makanan yang bisa dimasak dengan berbagai cara. Jadi, mereka menghadang truk, dan sebagaian meloncat ke atas truk dan mengambil lebih dari 20 kantong.
Pengemudi yang masih muda ini menghentikan truk dan mengejar para perampok. Penduduk desa lainnya mengambil kesempatan ini, mereka membongkar semua kantong-kantong pati yang tersisa. Ketika pengemudi pergi ke desa, ia memohon kepada penduduk desa untuk mengembalikan pati tersebut. Saat ini, semua penduduk desa sudah menyembunyikannya dan tak seorang pun mengaku sebagai pencuri. Permohonan pengemudi ini tidak mendapat perhatian. Akhirnya, ia mengatakan kepada penduduk desa bahwa pati tersebut tidak dapat dimakan dan ini hanya dipakai untuk industri. Orang bisa meninggal jika mereka memakannya, jadi bagi penduduk desa ini adalah tidak bermanfaat. Pengemudi mengatakan kepada mereka kebenaran, tetapi penduduk tidak percaya kepadanya. Bagaimanapun, pati itu kelihatan dan rasanya persis sama seperti pati biasa yang bisa dimakan.
Pengemudi menjadi sangat takut ketika penduduk desa tidak percaya kepadanya. Dia ingin melaporkan kejadian tersebut kepada polisi, tetapi ia juga khawatir seseorang akan memakan pati dan mati. Walaupun ia tidak akan bertanggung jawab atas kematian siapa pun, dia tidak mau seseorang meninggal karena suatu kesalahan bodoh. Dia pergi dari pintu ke pintu untuk memberitahu orang-orang kebenaran, bahkan ia berlutut dan berkata: "Saya tidak peduli tentang pati itu bahkan jika Anda tidak mengembalikannya, hal yang terburuk bukan pada kerugian ekonomi saya. tapi saya memohon kepada Anda untuk tidak memakannya, karena jika tidak, anda akan meninggal. "
Melihat desakan pengemudi itu, beberapa penduduk desa mulai ragu akan diri mereka sendiri. Seseorang memberi makan ayam dengan pati tersebut dan ayam mati dalam beberapa menit. Pengemudi itu mengatakan kebenaran! Penduduk desa terkejut, dan hati mereka sangat tersentuh. Mereka telah mencuri barang-barang pengemudi ini dan seharusnya pengemudi itu membenci mereka. Bahkan jika mereka mati karena pati beracun, mereka merasa pantas mendapatkanya. Namun pengemudi ingin menyelamatkan nyawa mereka yang sangat buruk, dia bahkan memohon dengan berlutut kepada mereka . Ini semacam rasa cinta dan belas kasih, serta kerendahan hati membuat penduduk desa merasa malu.
Penduduk desa mengembalikan semua pati ke truk. Sejak hari itu, orang-orang di desa tidak pernah merampok truk lagi. Ketika seseorang tergoda untuk mencuri, yang lain akan berkata: "Pikirkan tentang orang baik. Kita merampok dia, tetapi ia menyelamatkan hidup kita. Apakah kita masih ingin melakukan hal buruk ini? Apakah kita benar-benar jahat?"
Sekarang jalan dekat desa ini menjadi aman kembali. Setelah semua upaya-upaya penegakan hukum dan persuasi pemerintah gagal, pengemudi muda dengan belas kasih mengubah segalanya.
Kebiasaan orang-orang dapat diubah jika kita tahu bagaimana mendekati mereka. Belas kasih dapat bangkit dalam diri orang jika itu dilakukan dengan tepat. Ada belas kasih dalam hati setiap orang, tetapi satu-satunya cara untuk beresonansi dengan hal tersebut adalah melalui belas kasih. Jika kita ingin orang lain menjadi baik, kita yang pertama menunjukkan rasa belas kasih kepada mereka. Tidak peduli seberapa jahatnya orang itu, belas kasihnya dapat dibangkitkan dan ia dapat membuang pikiran pikiran jahatnya. Kami percaya setiap orang memiliki belas kasih dalam hatinya, dan jika kita semua mampu menunjukkan kepada orang lain, dunia akan menjadi tempat yang indah.
Sumber : ERA BARU
by Setitik Embun Inspirasi on Monday, March 7, 2011 at 9:02pm
Tidak jauh dari desa tersebut ada sebuah jalan antar kota. Karena kondisi jalan jelek, banyak mobil dan truck yang jatuh disana. Suatu hari sebuah truk penuh dengan makanan kaleng terguling ke pinggir jalan dan kaleng-kaleng berserakan di mana-mana. Karena sopir terluka, dia menumpang kendaraan menuju ke rumah sakit dan meninggalkan makanan kaleng berserakan di tanah. Ketika penduduk desa menemukan makanan kaleng "gratis", mereka membawanya pulang. Selama beberapa hari setelah kecelakaan itu, setiap keluarga memiliki makanan kaleng di meja makan malam mereka.
"Keberuntungan" Ini mengilhami para penduduk desa. Sebagai pepatah lama mengatakan, "Bertahan dengan apa saja yang ada di dekat, baik itu gunung atau danau." Sekarang penduduk desa berpikir bahwa mereka bisa hidup dari jalan raya tersebut. Mereka mulai sering pergi ke jalan raya, berharap menemukan truk rusak dan penuh makanan.
Tapi kecelakaan tidak terjadi sesering yang mereka inginkan. Hanya melihat truk makanan datang dan pergi, penduduk desa kecewa tidak mendapatkan apa-apa. Suatu hari, seseorang datang dengan ide yang cerdik. Mereka pergi ke jalan dengan sekop dan cangkul, dan menggali banyak lubang di malam hari. Tak lama kemudian, lebih dan lebih banyak mobil dan truk pecah ban di sana. Karena jalan yang buruk, truk-truk melaju sangat lambat menghindari terjadinya kecelakaan. Penduduk desa kemudian dengan mudah mengikuti dan mencuri beberapa barang di truk.
Lambat laun, keadaan semakin memburuk. Awalnya, mereka mencuri makanan hanya untuk konsumsi mereka sendiri. Sekarang mereka mulai mengambil barang-barang lain dan menjualnya di pasar. Akhirnya, pencurian berubah menjadi murni perampokan. Jalan dekat desa menjadi bagian paling berbahaya di sepanjang jalan raya tersebut. Setiap bulan, polisi menerima beberapa laporan tentang perampokan. Suatu hari, polisi menangkap dua penduduk desa saat mereka merampok sebuah truk dan memenjarakan mereka.
Penahanan itu tidak membuat penduduk desa lainnya jera. Mereka menjadi lebih licik dalam melakukan kejahatan ini. Mereka mengorganisasi diri mereka dan menugaskan orang-orang untuk mengawasi polisi. Setelah perampokan, mereka menyembunyikan barang atau mengubah kemasan sehingga polisi tidak bisa menemukan bukti. Pemerintah lokal mencoba berbagai cara menghentikan tindak kejahatan ini. Karena penduduk sudah terbiasa dengan cara hidup seperti ini, perampokan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Selama satu musim dingin, karena reputasi desa, banyak pengemudi truk menghindari jalan desa dengan memilih jalan memutar. Hasilnya, penduduk desa tidak mendapat apa-apa selama beberapa hari berturut-turut. Suatu hari, sebuah truk penuh dengan pati fosfat lewat. Pati fosfat adalah digunakan untuk industri dan beracun. Para penduduk desa kebanyakan tidak berpendidikan, dan menurut mereka, pati adalah makanan yang bisa dimasak dengan berbagai cara. Jadi, mereka menghadang truk, dan sebagaian meloncat ke atas truk dan mengambil lebih dari 20 kantong.
Pengemudi yang masih muda ini menghentikan truk dan mengejar para perampok. Penduduk desa lainnya mengambil kesempatan ini, mereka membongkar semua kantong-kantong pati yang tersisa. Ketika pengemudi pergi ke desa, ia memohon kepada penduduk desa untuk mengembalikan pati tersebut. Saat ini, semua penduduk desa sudah menyembunyikannya dan tak seorang pun mengaku sebagai pencuri. Permohonan pengemudi ini tidak mendapat perhatian. Akhirnya, ia mengatakan kepada penduduk desa bahwa pati tersebut tidak dapat dimakan dan ini hanya dipakai untuk industri. Orang bisa meninggal jika mereka memakannya, jadi bagi penduduk desa ini adalah tidak bermanfaat. Pengemudi mengatakan kepada mereka kebenaran, tetapi penduduk tidak percaya kepadanya. Bagaimanapun, pati itu kelihatan dan rasanya persis sama seperti pati biasa yang bisa dimakan.
Pengemudi menjadi sangat takut ketika penduduk desa tidak percaya kepadanya. Dia ingin melaporkan kejadian tersebut kepada polisi, tetapi ia juga khawatir seseorang akan memakan pati dan mati. Walaupun ia tidak akan bertanggung jawab atas kematian siapa pun, dia tidak mau seseorang meninggal karena suatu kesalahan bodoh. Dia pergi dari pintu ke pintu untuk memberitahu orang-orang kebenaran, bahkan ia berlutut dan berkata: "Saya tidak peduli tentang pati itu bahkan jika Anda tidak mengembalikannya, hal yang terburuk bukan pada kerugian ekonomi saya. tapi saya memohon kepada Anda untuk tidak memakannya, karena jika tidak, anda akan meninggal. "
Melihat desakan pengemudi itu, beberapa penduduk desa mulai ragu akan diri mereka sendiri. Seseorang memberi makan ayam dengan pati tersebut dan ayam mati dalam beberapa menit. Pengemudi itu mengatakan kebenaran! Penduduk desa terkejut, dan hati mereka sangat tersentuh. Mereka telah mencuri barang-barang pengemudi ini dan seharusnya pengemudi itu membenci mereka. Bahkan jika mereka mati karena pati beracun, mereka merasa pantas mendapatkanya. Namun pengemudi ingin menyelamatkan nyawa mereka yang sangat buruk, dia bahkan memohon dengan berlutut kepada mereka . Ini semacam rasa cinta dan belas kasih, serta kerendahan hati membuat penduduk desa merasa malu.
Penduduk desa mengembalikan semua pati ke truk. Sejak hari itu, orang-orang di desa tidak pernah merampok truk lagi. Ketika seseorang tergoda untuk mencuri, yang lain akan berkata: "Pikirkan tentang orang baik. Kita merampok dia, tetapi ia menyelamatkan hidup kita. Apakah kita masih ingin melakukan hal buruk ini? Apakah kita benar-benar jahat?"
Sekarang jalan dekat desa ini menjadi aman kembali. Setelah semua upaya-upaya penegakan hukum dan persuasi pemerintah gagal, pengemudi muda dengan belas kasih mengubah segalanya.
Kebiasaan orang-orang dapat diubah jika kita tahu bagaimana mendekati mereka. Belas kasih dapat bangkit dalam diri orang jika itu dilakukan dengan tepat. Ada belas kasih dalam hati setiap orang, tetapi satu-satunya cara untuk beresonansi dengan hal tersebut adalah melalui belas kasih. Jika kita ingin orang lain menjadi baik, kita yang pertama menunjukkan rasa belas kasih kepada mereka. Tidak peduli seberapa jahatnya orang itu, belas kasihnya dapat dibangkitkan dan ia dapat membuang pikiran pikiran jahatnya. Kami percaya setiap orang memiliki belas kasih dalam hatinya, dan jika kita semua mampu menunjukkan kepada orang lain, dunia akan menjadi tempat yang indah.
Sumber : ERA BARU
by Setitik Embun Inspirasi on Monday, March 7, 2011 at 9:02pm
Kebesaran Jiwa Seorang Ibu
Sebuah kisah nyata yang patut dibaca dan direnungkan berkali-kali betapa baiknya ibunda kita dan bagaimana besarnya pengorbanan ibunda kita.
Kejadian ini terjadi di sebuah kota kecil di Taiwan, tahun berapaan udah lupa. Dan sempat dipublikasikan lewat media cetak dan electronic. Ada seorang pemuda bernama Abe (bukan nama sebenarnya). Dia anak yg cerdas, rajin dan cukup cool. Setidaknya itu pendapat cewe2 yang kenal dia. Baru beberapa tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta, dia sudah dipromosikan ke posisi manager. Gajinya pun lumayan. Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kantor.
Tipe orangnya yang humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat banyak teman2 kantor senang bergaul dengan dia, terutama dari kalangan cewe2 jomblo. Bahkan putri owner perusahaan tempat ia bekerja juga menaruh perhatian khusus pada Abe.
Di rumahnya ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali. Sebagian kepalanya botak dan kulit kepala terlihat seperti borok yang baru mengering. Rambutnya hanya tinggal sedikit di bagian kiri dan belakang. Tergerai seadanya sebatas pundak. Mukanya juga cacat seperti luka bakar. Wanita tua ini betul2 seperti monster yang menakutkan. Ia jarang keluar rumah bahkan jarang keluar dari kamarnya kalau tidak ada keperluan penting.
Wanita tua ini tidak lain adalah Ibu kandung Abe. Walau demikian, sang Ibu selalu setia melakukan pekerjaan rutin layaknya ibu rumah tangga lain yang sehat. Membereskan rumah, pekerjaan dapur, cuci-mencuci (pakai mesin cuci) dan lain-lain. Juga selalu memberikan perhatian yang besar kepada anak satu2-nya Abe. Namun Abe adalah seorang pemuda normal layaknya anak muda lain. Kondisi Ibunya yang cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk mengakuinya.
Setiap kali ada teman atau kolega business yang bertanya siapa wanita cacat dirumahnya, Abe selalu menjawab wanita itu adalah pembantu yang ikut Ibunya dulu sebelum meninggal. "Dia tidak punya saudara, jadi saya tampung, kasihan." jawab Abe. Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang Ibu. Tentu saja ibunya sedih sekali. Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah pahit dalam hidupnya. Ia semakin jarang keluar dari kamarnya, takut anaknya sulit untuk menjelaskan pertanyaan mengenai dirinya.
Hari demi hari kemurungan sang Ibu kian parah. Suatu hari ia jatuh sakit cukup parah. Tidak kuat bangun dari ranjang. Abe mulai kerepotan mengurusi rumah, menyapu, mengepel, cuci pakaian, menyiapkan segala keperluan sehari-hari yang biasanya di kerjakan oleh Ibunya. Ditambah harus menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu sebelum dan setelah pulang kerja (di Taiwan sulit sekali cari pembantu, kalaupun ada mahal sekali). Hal ini membuat Abe jadi BT (bad temper) dan uring-uringan di rumah.
Pada saat ia mencari sesuatu dan mengacak-acak lemari ibunya, Abe melihat sebuah box kecil. Di dalam box hanya ada sebuah foto dan potongan koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti dugaan Abe. Foto berukuran postcard itu tampak seorang wanita cantik. Potongan koran usang memberitakan tentang seorang wanita berjiwa pahlawan yang telah menyelamatkan anaknya dari musibah kebakaran. Dengan memeluk erat anaknya dalam dekapan, menutup dirinya dengan sprei kasur basah menerobos api yang sudah mengepung rumah.
Sang wanita menderita luka bakar cukup serius sedang anak dalam dekapannya tidak terluka sedikitpun. Walau sudah usang, Abe cukup dewasa untuk mengetahui siapa wanita cantik di dalam foto dan siapa wanita pahlawan yang dimaksud dalam potongan koran itu. Dia adalah Ibu kandung Abe. Wanita yang sekarang terbaring sakit tak berdaya.
Spontan air mata Abe menetes keluar tanpa bisa dibendung. Dengan menggenggam foto dan koran usang tersebut, A be langsung bersujud disamping ranjang sang Ibu yang terbaring. Sambil menahan tangis ia meminta maaf dan memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini. Sang ibupun ikut menangis, terharu dengan ketulusan hati anaknya. "Yang sudah, sudah nak, Ibu sudah maafkan. Jangan di ungkit lagi." Setelah sembuh, Abe bahkan berani membawa Ibunya belanja ke supermarket.
Walau menjadi pusat perhatian banyak orang, Abe tetap cuek bebek. Kemudian peristiwa ini menarik perhatian kuli tinta (wartawan). Dan membawa kisah ini ke dalam media cetak dan elektronik.
sumber: unknown
by Setitik Embun Inspirasi on Tuesday, March 15, 2011 at 7:01pm
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150109782446218#!/note.php?note_id=10150101331146218
Kejadian ini terjadi di sebuah kota kecil di Taiwan, tahun berapaan udah lupa. Dan sempat dipublikasikan lewat media cetak dan electronic. Ada seorang pemuda bernama Abe (bukan nama sebenarnya). Dia anak yg cerdas, rajin dan cukup cool. Setidaknya itu pendapat cewe2 yang kenal dia. Baru beberapa tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta, dia sudah dipromosikan ke posisi manager. Gajinya pun lumayan. Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kantor.
Tipe orangnya yang humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat banyak teman2 kantor senang bergaul dengan dia, terutama dari kalangan cewe2 jomblo. Bahkan putri owner perusahaan tempat ia bekerja juga menaruh perhatian khusus pada Abe.
Di rumahnya ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali. Sebagian kepalanya botak dan kulit kepala terlihat seperti borok yang baru mengering. Rambutnya hanya tinggal sedikit di bagian kiri dan belakang. Tergerai seadanya sebatas pundak. Mukanya juga cacat seperti luka bakar. Wanita tua ini betul2 seperti monster yang menakutkan. Ia jarang keluar rumah bahkan jarang keluar dari kamarnya kalau tidak ada keperluan penting.
Wanita tua ini tidak lain adalah Ibu kandung Abe. Walau demikian, sang Ibu selalu setia melakukan pekerjaan rutin layaknya ibu rumah tangga lain yang sehat. Membereskan rumah, pekerjaan dapur, cuci-mencuci (pakai mesin cuci) dan lain-lain. Juga selalu memberikan perhatian yang besar kepada anak satu2-nya Abe. Namun Abe adalah seorang pemuda normal layaknya anak muda lain. Kondisi Ibunya yang cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk mengakuinya.
Setiap kali ada teman atau kolega business yang bertanya siapa wanita cacat dirumahnya, Abe selalu menjawab wanita itu adalah pembantu yang ikut Ibunya dulu sebelum meninggal. "Dia tidak punya saudara, jadi saya tampung, kasihan." jawab Abe. Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang Ibu. Tentu saja ibunya sedih sekali. Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah pahit dalam hidupnya. Ia semakin jarang keluar dari kamarnya, takut anaknya sulit untuk menjelaskan pertanyaan mengenai dirinya.
Hari demi hari kemurungan sang Ibu kian parah. Suatu hari ia jatuh sakit cukup parah. Tidak kuat bangun dari ranjang. Abe mulai kerepotan mengurusi rumah, menyapu, mengepel, cuci pakaian, menyiapkan segala keperluan sehari-hari yang biasanya di kerjakan oleh Ibunya. Ditambah harus menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu sebelum dan setelah pulang kerja (di Taiwan sulit sekali cari pembantu, kalaupun ada mahal sekali). Hal ini membuat Abe jadi BT (bad temper) dan uring-uringan di rumah.
Pada saat ia mencari sesuatu dan mengacak-acak lemari ibunya, Abe melihat sebuah box kecil. Di dalam box hanya ada sebuah foto dan potongan koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti dugaan Abe. Foto berukuran postcard itu tampak seorang wanita cantik. Potongan koran usang memberitakan tentang seorang wanita berjiwa pahlawan yang telah menyelamatkan anaknya dari musibah kebakaran. Dengan memeluk erat anaknya dalam dekapan, menutup dirinya dengan sprei kasur basah menerobos api yang sudah mengepung rumah.
Sang wanita menderita luka bakar cukup serius sedang anak dalam dekapannya tidak terluka sedikitpun. Walau sudah usang, Abe cukup dewasa untuk mengetahui siapa wanita cantik di dalam foto dan siapa wanita pahlawan yang dimaksud dalam potongan koran itu. Dia adalah Ibu kandung Abe. Wanita yang sekarang terbaring sakit tak berdaya.
Spontan air mata Abe menetes keluar tanpa bisa dibendung. Dengan menggenggam foto dan koran usang tersebut, A be langsung bersujud disamping ranjang sang Ibu yang terbaring. Sambil menahan tangis ia meminta maaf dan memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini. Sang ibupun ikut menangis, terharu dengan ketulusan hati anaknya. "Yang sudah, sudah nak, Ibu sudah maafkan. Jangan di ungkit lagi." Setelah sembuh, Abe bahkan berani membawa Ibunya belanja ke supermarket.
Walau menjadi pusat perhatian banyak orang, Abe tetap cuek bebek. Kemudian peristiwa ini menarik perhatian kuli tinta (wartawan). Dan membawa kisah ini ke dalam media cetak dan elektronik.
sumber: unknown
by Setitik Embun Inspirasi on Tuesday, March 15, 2011 at 7:01pm
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150109782446218#!/note.php?note_id=10150101331146218
Tak Selalu Terlihat Sebagaimana Adanya
Dua orang malaikat berkunjung ke rumah sebuah keluarga kaya. Keluarga itu sangat kasar dan tidak mengijinkan kedua malaikat itu bermalam di ruang tamu yang ada di rumahnya. Malaikat tersebut ditempatkan pada sebuah kamar berukuran kecil yang ada
di basement.
Ketika malaikat itu hendak tidur, malaikat yang lebih tua melihat bahwa dinding basement itu retak. Kemudian malaikat itu memperbaikinya sehingga retak pada dinding basement itu lenyap.
Ketika malaikat yang lebih muda bertanya mengapa ia melakukan hal itu, malaikat yang lebih tua menjawab, “Sesuatu tidak selalu terlihat sebagaimana adanya”.
Malam berikutnya, kedua malaikat itu beristirahat di rumah satu keluarga petani miskin tetapi sangat ramah. Setelah membagi sedikit makanan yang petani itu punyai, petani itu mempersilahkan kedua malaikat untuk istirahat di tempat tidurnya.
Ketika matahari terbit keesokkan harinya, malaikat menemukan bahwa petani itu dan isterinya sedang menangis sedih karena sapi mereka yang merupakan sumber pendapatan satu-satunya bagi mereka terbaring mati.
Malaikat yang lebih muda merasa geram. Ia bertanya kepada malaikat yang lebih tua, “Mengapa kau membiarkan hal ini terjadi? Keluarga yang pertama memiliki segalanya, tapi engkau menolong menambalkan dindingnya yang retak. Keluarga ini hanya memiliki sedikit tetapi walaupun demikian mereka bersedia membaginya dengan kita. Mengapa engkau membiarkan sapinya mati?”
Malaikat yang lebih tua menjawab, “Sesuatu tidak selalu terlihat sebagaimana adanya”.
“Ketika kita bermalam di basement, aku melihat ada emas tersimpan di lubang dalam dinding itu. Karena pemilik rumah sangat tamak dan tidak bersedia membagi hartanya, aku menutup dinding itu agar ia tidak menemukan emas itu.”
“Tadi malam ketika kita tidur di ranjang petani ini, malaikat maut datang untuk mengambil nyawa isterinya. Aku memberikan sapinya agar malaikat maut tidak jadi mengambil isterinya.”
“Sesuatu tidak selalu terlihat sebagaimana adanya”.
Kadang-kadang itulah yang kita rasakan ketika kita berpikir bahwa sesuatu tidak seharusnya terjadi. Jika kita mempunyai iman, kita hanya perlu percaya sepenuhnya bahwa semua hal yang terjadi adalah demi kebaikan kita.
Kita mungkin tidak menyadari hal itu sampai saatnya tiba….
http://emersontpl07.blogspot.com/2008/11/sesuatu-tidak-selalu-kelihatan.html
di basement.
Ketika malaikat itu hendak tidur, malaikat yang lebih tua melihat bahwa dinding basement itu retak. Kemudian malaikat itu memperbaikinya sehingga retak pada dinding basement itu lenyap.
Ketika malaikat yang lebih muda bertanya mengapa ia melakukan hal itu, malaikat yang lebih tua menjawab, “Sesuatu tidak selalu terlihat sebagaimana adanya”.
Malam berikutnya, kedua malaikat itu beristirahat di rumah satu keluarga petani miskin tetapi sangat ramah. Setelah membagi sedikit makanan yang petani itu punyai, petani itu mempersilahkan kedua malaikat untuk istirahat di tempat tidurnya.
Ketika matahari terbit keesokkan harinya, malaikat menemukan bahwa petani itu dan isterinya sedang menangis sedih karena sapi mereka yang merupakan sumber pendapatan satu-satunya bagi mereka terbaring mati.
Malaikat yang lebih muda merasa geram. Ia bertanya kepada malaikat yang lebih tua, “Mengapa kau membiarkan hal ini terjadi? Keluarga yang pertama memiliki segalanya, tapi engkau menolong menambalkan dindingnya yang retak. Keluarga ini hanya memiliki sedikit tetapi walaupun demikian mereka bersedia membaginya dengan kita. Mengapa engkau membiarkan sapinya mati?”
Malaikat yang lebih tua menjawab, “Sesuatu tidak selalu terlihat sebagaimana adanya”.
“Ketika kita bermalam di basement, aku melihat ada emas tersimpan di lubang dalam dinding itu. Karena pemilik rumah sangat tamak dan tidak bersedia membagi hartanya, aku menutup dinding itu agar ia tidak menemukan emas itu.”
“Tadi malam ketika kita tidur di ranjang petani ini, malaikat maut datang untuk mengambil nyawa isterinya. Aku memberikan sapinya agar malaikat maut tidak jadi mengambil isterinya.”
“Sesuatu tidak selalu terlihat sebagaimana adanya”.
Kadang-kadang itulah yang kita rasakan ketika kita berpikir bahwa sesuatu tidak seharusnya terjadi. Jika kita mempunyai iman, kita hanya perlu percaya sepenuhnya bahwa semua hal yang terjadi adalah demi kebaikan kita.
Kita mungkin tidak menyadari hal itu sampai saatnya tiba….
http://emersontpl07.blogspot.com/2008/11/sesuatu-tidak-selalu-kelihatan.html
Asal Mula Telaga Biru
Di belahan bumi Halmahera Utara tepatnya di wilayah Galela dusun Lisawa, di tengah ketenangan hidup dan jumlah penduduk yang masih jarang (hanya terdiri dari beberapa rumah atau dadaru), penduduk Lisawa tersentak gempar dengan ditemukannya air yang tiba-tiba keluar dari antara bebatuan hasil pembekuan lahar panas. Air yang tergenang itu kemudian membentuk sebuah telaga. Airnya bening kebiruan dan berada di bawah rimbunnya pohon beringin. Kejadian ini membuat bingung penduduk. Mereka bertanya-tanya dari manakah asal air itu? Apakah ini berkat ataukah pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Apa gerangan yang membuat fenomena ini terjadi?
Berita tentang terbentuknya telaga pun tersiar dengan cepat. Apalagi di daerah itu tergolong sulit air. Berbagai cara dilakukan untuk mengungkap rasa penasaran penduduk. Upacara adat digelar untuk menguak misteri timbulnya telaga kecil itu. Penelusuran lewat ritual adat berupa pemanggilan terhadap roh-roh leluhur sampai kepada penyembahan Jou Giki Moi atau Jou maduhutu (Allah yang Esa atau Allah Sang Pencipta) pun dilakukan.
Acara ritual adat menghasilkan jawaban “Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu” (Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air).
Dolodolo (kentongan) pun dibunyikan sebagai isyarat agar semua penduduk dusun Lisawa berkumpul. Mereka bergegas untuk datang dan mendengarkan hasil temuan yang akan disampaikan oleh sang Tetua adat. Suasana pun berubah menjadi hening. Hanya bunyi desiran angin dan desahan nafas penduduk yang terdengar.
Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya “Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak berada di rumah”. Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya. Dari jumlah yang tidak banyak itu mudah diketahui bahwa ada dua keluarga yang kehilangan anggotanya. Karena enggan menyebutkan nama kedua anak itu, mereka hanya menyapa dengan panggilan umum orang Galela yakni Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong). Sepintas kemudian, mereka bercerita perihal kedua anak itu.
Majojaru sudah dua hari pergi dari rumah dan belum juga pulang. Sanak saudara dan sahabat sudah dihubungi namun belum juga ada kabar beritanya. Dapat dikatakan bahwa kepergian Majojaru masih misteri. Kabar dari orang tua Magohiduuru mengatakan bahwa anak mereka sudah enam bulan pergi merantau ke negeri orang namun belum juga ada berita kapan akan kembali.
Majojaru dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Di saat Magohiduuru pamit untuk pergi merantau, keduanya sudah berjanji untuk tetap sehidup-semati. Sejatinya, walau musim berganti, bulan dan tahun berlalu tapi hubungan dan cinta kasih mereka akan sekali untuk selamanya. Jika tidak lebih baik mati dari pada hidup menanggung dusta.
Enam bulan sejak kepergian Magohiduuru, Majojaru tetap setia menanti. Namun, badai rupanya menghempaskan bahtera cinta yang tengah berlabuh di pantai yang tak bertepi itu.
Kabar tentang Magohiduuru akhirnya terdengar di dusun Lisawa. Bagaikan tersambar petir disiang bolong Majojaru terhempas dan jatuh terjerembab. Dirinya seolah tak percaya ketika mendengar bahwa Magohiduuru so balaeng deng nona laeng. Janji untuk sehidup-semati seolah menjadi bumerang kematian.
Dalam keadaan yang sangat tidak bergairah Majojaru mencoba mencari tempat berteduh sembari menenangkan hatinya. Ia pun duduk berteduh di bawah pohon Beringin sambil meratapi kisah cintanya.
Air mata yang tak terbendung bagaikan tanggul dan bendungan yang terlepas, airnya terus mengalir hingga menguak, tergenang dan menenggelamkan bebatuan tajam yang ada di bawah pohon beringin itu. Majojaru akhirnya tenggelam oleh air matanya sendiri.
Telaga kecil pun terbentuk. Airnya sebening air mata dan warnanya sebiru pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga yang mereka namakan Telaga Biru.
(Legenda Rakyat Halmahera Utara diceritakan kembali oleh Theo S. Sosebeko)
sumber: www.halmaherautara.com
http://legendakita.wordpress.com/2007/11/02/asal-mula-telaga-biru/
Berita tentang terbentuknya telaga pun tersiar dengan cepat. Apalagi di daerah itu tergolong sulit air. Berbagai cara dilakukan untuk mengungkap rasa penasaran penduduk. Upacara adat digelar untuk menguak misteri timbulnya telaga kecil itu. Penelusuran lewat ritual adat berupa pemanggilan terhadap roh-roh leluhur sampai kepada penyembahan Jou Giki Moi atau Jou maduhutu (Allah yang Esa atau Allah Sang Pencipta) pun dilakukan.
Acara ritual adat menghasilkan jawaban “Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu” (Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air).
Dolodolo (kentongan) pun dibunyikan sebagai isyarat agar semua penduduk dusun Lisawa berkumpul. Mereka bergegas untuk datang dan mendengarkan hasil temuan yang akan disampaikan oleh sang Tetua adat. Suasana pun berubah menjadi hening. Hanya bunyi desiran angin dan desahan nafas penduduk yang terdengar.
Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya “Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak berada di rumah”. Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya. Dari jumlah yang tidak banyak itu mudah diketahui bahwa ada dua keluarga yang kehilangan anggotanya. Karena enggan menyebutkan nama kedua anak itu, mereka hanya menyapa dengan panggilan umum orang Galela yakni Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong). Sepintas kemudian, mereka bercerita perihal kedua anak itu.
Majojaru sudah dua hari pergi dari rumah dan belum juga pulang. Sanak saudara dan sahabat sudah dihubungi namun belum juga ada kabar beritanya. Dapat dikatakan bahwa kepergian Majojaru masih misteri. Kabar dari orang tua Magohiduuru mengatakan bahwa anak mereka sudah enam bulan pergi merantau ke negeri orang namun belum juga ada berita kapan akan kembali.
Majojaru dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Di saat Magohiduuru pamit untuk pergi merantau, keduanya sudah berjanji untuk tetap sehidup-semati. Sejatinya, walau musim berganti, bulan dan tahun berlalu tapi hubungan dan cinta kasih mereka akan sekali untuk selamanya. Jika tidak lebih baik mati dari pada hidup menanggung dusta.
Enam bulan sejak kepergian Magohiduuru, Majojaru tetap setia menanti. Namun, badai rupanya menghempaskan bahtera cinta yang tengah berlabuh di pantai yang tak bertepi itu.
Kabar tentang Magohiduuru akhirnya terdengar di dusun Lisawa. Bagaikan tersambar petir disiang bolong Majojaru terhempas dan jatuh terjerembab. Dirinya seolah tak percaya ketika mendengar bahwa Magohiduuru so balaeng deng nona laeng. Janji untuk sehidup-semati seolah menjadi bumerang kematian.
Dalam keadaan yang sangat tidak bergairah Majojaru mencoba mencari tempat berteduh sembari menenangkan hatinya. Ia pun duduk berteduh di bawah pohon Beringin sambil meratapi kisah cintanya.
Air mata yang tak terbendung bagaikan tanggul dan bendungan yang terlepas, airnya terus mengalir hingga menguak, tergenang dan menenggelamkan bebatuan tajam yang ada di bawah pohon beringin itu. Majojaru akhirnya tenggelam oleh air matanya sendiri.
Telaga kecil pun terbentuk. Airnya sebening air mata dan warnanya sebiru pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga yang mereka namakan Telaga Biru.
(Legenda Rakyat Halmahera Utara diceritakan kembali oleh Theo S. Sosebeko)
sumber: www.halmaherautara.com
http://legendakita.wordpress.com/2007/11/02/asal-mula-telaga-biru/
Sejarah Hidup Muhammad SAW: Baiat Aqabah
Permusuhan Quraisy terhadap Muhammad SAW dan kaum Muslimin semakin keras. Rasanya tak ada lagi harapan bagi Rasulullah untuk mendapat dukungan kabilah-kabilah sesudah mereka menolaknya dengan cara yang tidak baik. Rasulullah merasa bahwa tiada seorang pun dari Quraisy yang dapat diharapkan diajak kepada kebenaran.
Meskipun beliau merasa berbesar hati karena adanya Hamzah dan Umar, dan meskipun yakin, bahwa Quraisy tidak akan terlalu membahayakan mengingat adanya pertahanan pihak keluarganya dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, tapi beliau melihat bahwa risalah Allah itu akan terhenti hanya pada suatu lingkaran pengikutnya saja. Mereka yang terdiri dari orang-orang yang masih lemah dan sedikit sekali jumlahnya, hampir-hampir saja punah atau tergoda meninggalkan agamanya kalau tidak segera datang kemenangan dan pertolongan Allah. Hal ini berjalan cukup lama.
Apabila musim ziarah tiba, orang-orang dari segenap jazirah Arab berkumpul lagi di Makkah, Rasululah mulai menemui kabilah-kabilah itu. Diajaknya mereka memahami kebenaran agama yang dibawanya. Tidak peduli apakah kabilah-kabilah tidak mau menerima ajakannya atau akan mengusirnya secara kasar.
Tiba giliran tahun berikutnya, bulan-bulan suci pun datang bersama datangnya musim ziarah ke Makkah, dan ke tempat itu datang pula duabelas orang penduduk Yatsrib. Mereka bertemu dengan Nabi SAW di Aqabah. Di tempat inilah mereka menyatakan baiat atau ikrar kepada Rasulullah, yang kemudian dikenal dengan sebutan Baiat Aqabah Pertama. Mereka berikrar kepada Rasulullah untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak mengumpat dan memfitnah, baik di depan atau di belakang. Dan tidak menolak berbuat kebaikan.
Rasulullah kemudian menugaskan Mush'ab bin Umair supaya membacakan Al-Qur'an kepada mereka, mengajarkan Islam serta seluk-beluk hukum agama. Setelah adanya baiat ini Islam makin tersebar di Yatsrib. Mush'ab bertugas memberikan pelajaran agama di kalangan Muslimin Aus dan Khazraj.
Pada 622 M, jamaah haji dari Yatsrib jumlahnya banyak sekali, terdiri dari 75 orang, 73 pria dan dua wanita. Mengetahui kedatangan mereka ini, Rasulullah berniat akan mengadakan baiat lagi, tidak terbatas hanya pada seruan kepada Islam seperti selama ini, melainkan lebih jauh dari itu. Baiat ini hendaknya menjadi suatu pakta persekutuan. Dengan demikian kaum Muslimin dapat mempertahankan diri; pukulan dibalas dengan pukulan, serangan dengan serangan. Rasulullah lalu mengadakan pertemuan rahasia dengan pemimpin-pemimpin mereka.
Setelah ada kesediaan mereka, dijanjikannya pertemuan itu akan diadakan di Aqabah pada tengah malam. Peristiwa ini oleh kaum Muslimin Yatsrib tetap dirahasiakan dari kaum musyrik yang datang bersama-sama mereka. Sesampai di gunung Aqabah, mereka semua mendaki lereng-lereng gunung tersebut, kemudian menunggu kedatangan Rasul SAW.
Rasulullah pun datang bersama pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib, yang pada waktu itu belum memeluk Islam. Setelah masing-masing pihak menyatakan kesediaan berbaiat, mereka kemudian mengulurkan tangan dan menyatakan baiat kepada Rasulullah. Selesai baiat, Rasulullah berkata kepada mereka, "Pilihlah dua belas orang pemimpin dari kalangan tuan-tuan yang akan menjadi penanggung jawab masyarakatnya!"
Mereka lalu memilih sembilan orang dari Khazraj dan tiga orang dari Aus. Kemudian kepada pemimpin-pemimpin itu Nabi berkata, "Tuan-tuan adalah penanggung jawab masyarakat tuan-tuan seperti pertanggung jawaban pengikut-pengikut Isa bin Maryam. Terhadap masyarakat saya, sayalah yang bertanggungjawab."
Dalam ikrar kedua ini mereka berkata, "Kami berikrar, mendengar dan setia di waktu suka dan duka, di waktu bahagia dan sengsara. Kami hanya akan berkata yang benar di mana saja kami berada. Dan kami tidak takut kritik siapa pun atas jalan Allah ini."
Peristiwa ini selesai pada tengah malam di celah gunung Aqabah, jauh dari masyarakat ramai, atas dasar kepercayaan bahwa hanya Allah yang mengetahui keadaan mereka.
Dengan adanya Baiat Aqabah ini, pintu harapan akan menang jadi terbuka di depan Muhammad SAW dan pengikut-pengikutnya. Setidak-tidaknya harapan kebebasan menyebarkan agama, serta menyerang berhala-berhala dan penyembah-penyembahnya. Rasulullah meminta para sahabatnya supaya menyusul kaum Anshar ke Yatsrib. Hanya saja, ketika meninggalkan Makkah hendaknya mereka
berpencar agar tidak menimbulkan kepanikan.
Mulailah kaum Muslimin melakukan hijrah secara sendiri-sendiri atau kelompok-kelompok kecil. Akan tetapi hal itu rupanya sudah diketahui oleh pihak Quraisy. Mereka segera bertindak, berusaha mengembalikan kaum Muslimin ke Makkah untuk kemudian dibujuk supaya kembali kepada kepercayaan mereka. Kalau mereka menolak, akan disiksa dan dianiaya.
Berturut-turut kaum Muslimin hijrah ke Yatsrib, sedang Rasulullah tetap berada di tempatnya. Tak ada yang tahu, apakah beliau akan tetap tinggal di tempatnya atau akan hijrah juga. Apabila Rasulullah masih tinggal di Makkah dan berusaha meninggalkan tempat itu, maka pihak Quraisy masih merasa terancam oleh adanya tindakan pihak Yatsrib dalam membela Nabi SAW.
Jadi tak ada jalan keluar bagi Quraisy selain membunuhya. Dengan begitu mereka lepas dari malapetaka yang terus-menerus itu. Tetapi kalau mereka membunuhnya, tentu keluarga Hasyim dan keluarga Muthalib akan menuntut balas. Maka pecahlah perang saudara di Makkah, dan suatu bencana yang sangat mereka takuti juga akan datang dari pihak Yatsrib.
Sumber: Sejarah Hidup Muhammad oleh Muhammad Husain Haekal
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/05/19/llf0pb-sejarah-hidup-muhammad-saw-baiat-aqabah
Meskipun beliau merasa berbesar hati karena adanya Hamzah dan Umar, dan meskipun yakin, bahwa Quraisy tidak akan terlalu membahayakan mengingat adanya pertahanan pihak keluarganya dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, tapi beliau melihat bahwa risalah Allah itu akan terhenti hanya pada suatu lingkaran pengikutnya saja. Mereka yang terdiri dari orang-orang yang masih lemah dan sedikit sekali jumlahnya, hampir-hampir saja punah atau tergoda meninggalkan agamanya kalau tidak segera datang kemenangan dan pertolongan Allah. Hal ini berjalan cukup lama.
Apabila musim ziarah tiba, orang-orang dari segenap jazirah Arab berkumpul lagi di Makkah, Rasululah mulai menemui kabilah-kabilah itu. Diajaknya mereka memahami kebenaran agama yang dibawanya. Tidak peduli apakah kabilah-kabilah tidak mau menerima ajakannya atau akan mengusirnya secara kasar.
Tiba giliran tahun berikutnya, bulan-bulan suci pun datang bersama datangnya musim ziarah ke Makkah, dan ke tempat itu datang pula duabelas orang penduduk Yatsrib. Mereka bertemu dengan Nabi SAW di Aqabah. Di tempat inilah mereka menyatakan baiat atau ikrar kepada Rasulullah, yang kemudian dikenal dengan sebutan Baiat Aqabah Pertama. Mereka berikrar kepada Rasulullah untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak mengumpat dan memfitnah, baik di depan atau di belakang. Dan tidak menolak berbuat kebaikan.
Rasulullah kemudian menugaskan Mush'ab bin Umair supaya membacakan Al-Qur'an kepada mereka, mengajarkan Islam serta seluk-beluk hukum agama. Setelah adanya baiat ini Islam makin tersebar di Yatsrib. Mush'ab bertugas memberikan pelajaran agama di kalangan Muslimin Aus dan Khazraj.
Pada 622 M, jamaah haji dari Yatsrib jumlahnya banyak sekali, terdiri dari 75 orang, 73 pria dan dua wanita. Mengetahui kedatangan mereka ini, Rasulullah berniat akan mengadakan baiat lagi, tidak terbatas hanya pada seruan kepada Islam seperti selama ini, melainkan lebih jauh dari itu. Baiat ini hendaknya menjadi suatu pakta persekutuan. Dengan demikian kaum Muslimin dapat mempertahankan diri; pukulan dibalas dengan pukulan, serangan dengan serangan. Rasulullah lalu mengadakan pertemuan rahasia dengan pemimpin-pemimpin mereka.
Setelah ada kesediaan mereka, dijanjikannya pertemuan itu akan diadakan di Aqabah pada tengah malam. Peristiwa ini oleh kaum Muslimin Yatsrib tetap dirahasiakan dari kaum musyrik yang datang bersama-sama mereka. Sesampai di gunung Aqabah, mereka semua mendaki lereng-lereng gunung tersebut, kemudian menunggu kedatangan Rasul SAW.
Rasulullah pun datang bersama pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib, yang pada waktu itu belum memeluk Islam. Setelah masing-masing pihak menyatakan kesediaan berbaiat, mereka kemudian mengulurkan tangan dan menyatakan baiat kepada Rasulullah. Selesai baiat, Rasulullah berkata kepada mereka, "Pilihlah dua belas orang pemimpin dari kalangan tuan-tuan yang akan menjadi penanggung jawab masyarakatnya!"
Mereka lalu memilih sembilan orang dari Khazraj dan tiga orang dari Aus. Kemudian kepada pemimpin-pemimpin itu Nabi berkata, "Tuan-tuan adalah penanggung jawab masyarakat tuan-tuan seperti pertanggung jawaban pengikut-pengikut Isa bin Maryam. Terhadap masyarakat saya, sayalah yang bertanggungjawab."
Dalam ikrar kedua ini mereka berkata, "Kami berikrar, mendengar dan setia di waktu suka dan duka, di waktu bahagia dan sengsara. Kami hanya akan berkata yang benar di mana saja kami berada. Dan kami tidak takut kritik siapa pun atas jalan Allah ini."
Peristiwa ini selesai pada tengah malam di celah gunung Aqabah, jauh dari masyarakat ramai, atas dasar kepercayaan bahwa hanya Allah yang mengetahui keadaan mereka.
Dengan adanya Baiat Aqabah ini, pintu harapan akan menang jadi terbuka di depan Muhammad SAW dan pengikut-pengikutnya. Setidak-tidaknya harapan kebebasan menyebarkan agama, serta menyerang berhala-berhala dan penyembah-penyembahnya. Rasulullah meminta para sahabatnya supaya menyusul kaum Anshar ke Yatsrib. Hanya saja, ketika meninggalkan Makkah hendaknya mereka
berpencar agar tidak menimbulkan kepanikan.
Mulailah kaum Muslimin melakukan hijrah secara sendiri-sendiri atau kelompok-kelompok kecil. Akan tetapi hal itu rupanya sudah diketahui oleh pihak Quraisy. Mereka segera bertindak, berusaha mengembalikan kaum Muslimin ke Makkah untuk kemudian dibujuk supaya kembali kepada kepercayaan mereka. Kalau mereka menolak, akan disiksa dan dianiaya.
Berturut-turut kaum Muslimin hijrah ke Yatsrib, sedang Rasulullah tetap berada di tempatnya. Tak ada yang tahu, apakah beliau akan tetap tinggal di tempatnya atau akan hijrah juga. Apabila Rasulullah masih tinggal di Makkah dan berusaha meninggalkan tempat itu, maka pihak Quraisy masih merasa terancam oleh adanya tindakan pihak Yatsrib dalam membela Nabi SAW.
Jadi tak ada jalan keluar bagi Quraisy selain membunuhya. Dengan begitu mereka lepas dari malapetaka yang terus-menerus itu. Tetapi kalau mereka membunuhnya, tentu keluarga Hasyim dan keluarga Muthalib akan menuntut balas. Maka pecahlah perang saudara di Makkah, dan suatu bencana yang sangat mereka takuti juga akan datang dari pihak Yatsrib.
Sumber: Sejarah Hidup Muhammad oleh Muhammad Husain Haekal
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/05/19/llf0pb-sejarah-hidup-muhammad-saw-baiat-aqabah
Winner vs Loser
The Winner is always part of the answer;
The Loser is always part of the problem.
The Winner is always has a program;
The Loser always has an excuse.
The Winner says, "Let me do it for you.";
The Loser says; "That is not my job."
The Winner sees an answer for every problem;
The Loser sees a problem for every answer.
The Winner says, "It may be difficult but it is possible.";
The Loser says, "It may be possible but it is too difficult."
When a Winner makes a mistake, he says, "I was wrong.";
When a Loser makes a mistake, he says, "It wasn't my fault."
A Winner makes commitments;
A Loser makes promises.
Winners have dreams;
Loser have schemes.
Winners say, "I must do something.";
Losers say, "Something must be done."
Winners are a part of the team;
Losers are apart from the team.
Winners see the gain;
Losers see the pain.
Winners see possibilities;
Losers see problems.
Winners believe in win/win;
Losers believe for them to win someone has to lose.
Winners see the potential;
Losers see the past.
Winners are like a thermostat;
Losers are like thermometers.
Winners choose what they say;
Losers say what they choose.
Winners use hard arguments but soft words;
Losers use soft arguments but hard words.
Winners stand firm on values but compromise on petty things;
Losers stand firm on petty things but compromise on values.
Winners follow the philosophy of empathy: "Don't do to others what you would not want them to do to you.";
Losers follow the philosophy, "Do it to others before they do it to you."
Winners make it happen;
Losers let it happen.
http://www.inspirationalstories.com/10/1004.html
The Loser is always part of the problem.
The Winner is always has a program;
The Loser always has an excuse.
The Winner says, "Let me do it for you.";
The Loser says; "That is not my job."
The Winner sees an answer for every problem;
The Loser sees a problem for every answer.
The Winner says, "It may be difficult but it is possible.";
The Loser says, "It may be possible but it is too difficult."
When a Winner makes a mistake, he says, "I was wrong.";
When a Loser makes a mistake, he says, "It wasn't my fault."
A Winner makes commitments;
A Loser makes promises.
Winners have dreams;
Loser have schemes.
Winners say, "I must do something.";
Losers say, "Something must be done."
Winners are a part of the team;
Losers are apart from the team.
Winners see the gain;
Losers see the pain.
Winners see possibilities;
Losers see problems.
Winners believe in win/win;
Losers believe for them to win someone has to lose.
Winners see the potential;
Losers see the past.
Winners are like a thermostat;
Losers are like thermometers.
Winners choose what they say;
Losers say what they choose.
Winners use hard arguments but soft words;
Losers use soft arguments but hard words.
Winners stand firm on values but compromise on petty things;
Losers stand firm on petty things but compromise on values.
Winners follow the philosophy of empathy: "Don't do to others what you would not want them to do to you.";
Losers follow the philosophy, "Do it to others before they do it to you."
Winners make it happen;
Losers let it happen.
http://www.inspirationalstories.com/10/1004.html
Wednesday, May 18, 2011
Hasrat, Komitmen dan Keberanian
Namanya Hani. Hani Irmawati. Ia adalah gadis pemalu, berusia 17 tahun. Tinggal di rumah berkamar dua bersama dua saudara dan orangtuanya. Ayahnya adalah penjaga gedung dan ibunya pembantu rumah tangga. Pendapatan tahunan mereka, tidak setara dengan biaya kuliah sebulan di Amerika.
Pada suatu hari, dengan baju lusuh, ia berdiri sendirian di tempat parkir sebuah sekolah internasional. Sekolah itu mahal, dan tidak menerima murid Indonesia. Ia menghampiri seorang guru yang mengajar bahasa Inggris di sana. Sebuah tindakan yang membutuhkan keberanian besar untuk ukuran gadis Indonesia.
“Aku ingin kuliah di Amerika,” tuturnya, terdengar hampir tak masuk akal. Membuat sang guru tercengang, ingin menangis mendengar impian gadis belia yang bagai pungguk merindukan bulan.
Untuk beberapa bulan berikutnya, Hani bangun setiap pagi pada pukul lima dan naik bis kota ke SMU-nya. Selama satu jam perjalanan itu, ia belajar untuk pelajaran biasa dan menyiapkan tambahan pelajaran bahasa Inggris yang didapatnya dari sang guru sekolah internasional itu sehari sebelumnya. Lalu pada jam empat sore, ia tiba di kelas sang guru. Lelah, tapi siap belajar.
“Ia belajar lebih giat daripada kebanyakan siswa ekspatriatku yang kaya-kaya,” tutur sang guru. “Semangat Hani meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan bahasanya, tetapi aku makin patah semangat.”
Hani tak mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa dari universitas besar di Amerika. Ia belum pernah memimpin klub atau organisasi, karena di sekolahnya tak ada hal-hal seperti itu. Ia tak memiliki pembimbing dan nilai tes standar yang mengesankan, karena tes semacam itu tak ada.
Namun, Hani memiliki tekad lebih kuat daripada murid mana pun.
“Maukah Anda mengirimkan namaku?” pintanya untuk didaftarkan sebagai penerima beasiswa.
“Aku tak tega menolak. Aku mengisi pendaftaran, mengisi setiap titik-titik dengan kebenaran yang menyakitkan tentang kehidupan akademisnya, tetapi juga dengan pujianku tentang keberanian dan kegigihannya,” ujar sang guru.
“Kurekatkan amplop itu dan mengatakan kepada Hani bahwa peluangnya untuk diterima itu tipis, mungkin nihil.”
Pada minggu-minggu berikutnya, Hani meningkatkan pelajarannya dalam bahasa Inggris. Seluruh tes komputerisasi menjadi tantangan besar bagi seseorang yang belum pernah menyentuh komputer. Selama dua minggu ia belajar bagian-bagian komputer dan cara kerjanya.
Lalu, tepat sebelum Hani ke Jakarta untuk mengambil TOEFL, ia menerima surat dari asosiasi beasiswa itu.
“Inilah saat yang kejam. Penolakan,” pikir sang guru.
Sebagai upaya mencoba mempersiapkannya untuk menghadapi kekecewaan, sang guru lalu membuka surat dan mulai membacakannya: Ia diterima! Hani diterima
….
“Akhirnya aku menyadari bahwa akulah yang baru memahami sesuatu yang sudah diketahui Hani sejak awal : bukan kecerdasan saja yang membawa sukses, tapi juga hasrat untuk sukses, komitmen untuk bekerja keras, dan keberanian untuk percaya akan dirimu sendiri,” tutur sang guru menutup kisahnya.
Kisah Hani ini diungkap oleh sang guru bahasa Inggris itu, Jamie Winship, dan dimuat di buku “Chicken Soup for the College Soul”, yang edisi Indonesianya telah diterbitkan.
Tentu kisah ini tidak dipandang sebagai kisah biasa oleh Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Kimberly Kirberger, dan Dan Clark. Ia terpilih diantara lebih dari delapan ribu kisah lainnya. Namun, bukan ini yang membuatnya istimewa.
Yang istimewa, Hani menampilkan sosoknya yang berbeda. Ia punya tekad. Tekad untuk maju. Maka, sebagaimana diucapkan Tommy Lasorda, “Perbedaan antara yang mustahil dan yang tidak mustahil terletak pada tekad seseorang.”
Anda memilikinya?
Sumber: Disadur dari Chicken Soup for the College Soul by Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Kimberly Kirberger, and Dan Clark
by Cucuk Radosha
http://www.facebook.com/satyadharma.mohammad#!/?filter=[fb]unread&page=2&sk=messages&tid=1430576771873
Pada suatu hari, dengan baju lusuh, ia berdiri sendirian di tempat parkir sebuah sekolah internasional. Sekolah itu mahal, dan tidak menerima murid Indonesia. Ia menghampiri seorang guru yang mengajar bahasa Inggris di sana. Sebuah tindakan yang membutuhkan keberanian besar untuk ukuran gadis Indonesia.
“Aku ingin kuliah di Amerika,” tuturnya, terdengar hampir tak masuk akal. Membuat sang guru tercengang, ingin menangis mendengar impian gadis belia yang bagai pungguk merindukan bulan.
Untuk beberapa bulan berikutnya, Hani bangun setiap pagi pada pukul lima dan naik bis kota ke SMU-nya. Selama satu jam perjalanan itu, ia belajar untuk pelajaran biasa dan menyiapkan tambahan pelajaran bahasa Inggris yang didapatnya dari sang guru sekolah internasional itu sehari sebelumnya. Lalu pada jam empat sore, ia tiba di kelas sang guru. Lelah, tapi siap belajar.
“Ia belajar lebih giat daripada kebanyakan siswa ekspatriatku yang kaya-kaya,” tutur sang guru. “Semangat Hani meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan bahasanya, tetapi aku makin patah semangat.”
Hani tak mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa dari universitas besar di Amerika. Ia belum pernah memimpin klub atau organisasi, karena di sekolahnya tak ada hal-hal seperti itu. Ia tak memiliki pembimbing dan nilai tes standar yang mengesankan, karena tes semacam itu tak ada.
Namun, Hani memiliki tekad lebih kuat daripada murid mana pun.
“Maukah Anda mengirimkan namaku?” pintanya untuk didaftarkan sebagai penerima beasiswa.
“Aku tak tega menolak. Aku mengisi pendaftaran, mengisi setiap titik-titik dengan kebenaran yang menyakitkan tentang kehidupan akademisnya, tetapi juga dengan pujianku tentang keberanian dan kegigihannya,” ujar sang guru.
“Kurekatkan amplop itu dan mengatakan kepada Hani bahwa peluangnya untuk diterima itu tipis, mungkin nihil.”
Pada minggu-minggu berikutnya, Hani meningkatkan pelajarannya dalam bahasa Inggris. Seluruh tes komputerisasi menjadi tantangan besar bagi seseorang yang belum pernah menyentuh komputer. Selama dua minggu ia belajar bagian-bagian komputer dan cara kerjanya.
Lalu, tepat sebelum Hani ke Jakarta untuk mengambil TOEFL, ia menerima surat dari asosiasi beasiswa itu.
“Inilah saat yang kejam. Penolakan,” pikir sang guru.
Sebagai upaya mencoba mempersiapkannya untuk menghadapi kekecewaan, sang guru lalu membuka surat dan mulai membacakannya: Ia diterima! Hani diterima
….
“Akhirnya aku menyadari bahwa akulah yang baru memahami sesuatu yang sudah diketahui Hani sejak awal : bukan kecerdasan saja yang membawa sukses, tapi juga hasrat untuk sukses, komitmen untuk bekerja keras, dan keberanian untuk percaya akan dirimu sendiri,” tutur sang guru menutup kisahnya.
Kisah Hani ini diungkap oleh sang guru bahasa Inggris itu, Jamie Winship, dan dimuat di buku “Chicken Soup for the College Soul”, yang edisi Indonesianya telah diterbitkan.
Tentu kisah ini tidak dipandang sebagai kisah biasa oleh Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Kimberly Kirberger, dan Dan Clark. Ia terpilih diantara lebih dari delapan ribu kisah lainnya. Namun, bukan ini yang membuatnya istimewa.
Yang istimewa, Hani menampilkan sosoknya yang berbeda. Ia punya tekad. Tekad untuk maju. Maka, sebagaimana diucapkan Tommy Lasorda, “Perbedaan antara yang mustahil dan yang tidak mustahil terletak pada tekad seseorang.”
Anda memilikinya?
Sumber: Disadur dari Chicken Soup for the College Soul by Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Kimberly Kirberger, and Dan Clark
by Cucuk Radosha
http://www.facebook.com/satyadharma.mohammad#!/?filter=[fb]unread&page=2&sk=messages&tid=1430576771873
Ilmu dari Seorang Pencuri
Abu Hurairah r.a. pernah ditugaskan oleh Rasulullah S.A.W untuk menjaga gudang zakat di bulan Ramadhan. Tiba-tiba muncullah seseorang, lalu mencuri segenggam makanan. Namun kepintaran Hurairah memang patut dipuji, pencuri itu kemudian berhasil ditangkapnya.
"Akan aku adukan kamu kepada Rasulullah S.A.W," gertak Abu Hurairah.
Bukan main takutnya pencuri itu mendengar ancaman Abu Hurairah, hingga kemudian ia pun merengek-rengek : "Saya ini orang miskin, keluarga tanggungan saya banyak, sementara saya sangat memerlukan makanan."
Maka pencuri itu pun dilepaskan. Bukankah zakat itu pada akhirnya akan diberikan kepada fakir miskin? Hanya saja, cara memang keliru. Mestinya jangan keliru.
Keesokan harinya, Abu Hurairah melaporkan kepada Rasulullah S.A.W. Maka bertanyalah beliau : "Apa yang dilakukan kepada tawananmu semalam, ya Abu Hurairah?"
Ia mengeluh, "Ya Rasulullah, bahwa ia orang miskin, keluarganya banyak dan sangat memerlukan makanan," jawab Abu Hurairah. Lalu diterangkan pula olehnya, bahwa ia kasihan kepada pencuri itu, lalu dilepaskannya.
"Bohong dia," kata Nabi : "Padahal nanti malam ia akan datang lagi."
Kerana Rasulullah S.A.W berkata begitu, maka penjagaannya diperketat, dan kewaspadaan pun ditingkatkan. Dan benar juga, pencuri itu kembali lagi, lalu mengambil makanan seperti kemarin. Dan kali ini ia pun tertangkap.
"Akan aku adukan kamu kepada Rasulullah S.A.W," ancam Abu Hurairah, sama seperti kelmarin. Dan pencuri itu pun sekali lagi meminta ampun : "Saya orang miskin, keluarga saya banyak. Saya berjanji esok tidak akan kembali lagi."
Kasihan juga rupanya Abu Hurairah mendengar keluhan orang itu, dan kali ini pun ia kembali dilepaskan. Pada paginya, kejadian itu dilaporkan kepada Rasulullah S.A.W, dan beliau pun bertanya seperti kemarin. Dan setelah mendapat jawaban yang sama, sekali lagi Rasulullah menegaskan : "Pencuri itu bohong, dan nanti malam ia akan kembali lagi."
Malam itu Abu Hurairah berjaga-jaga dengan kewaspadaan dan kepintaran penuh. Mata, telinga dan perasaannya dipasang baik-baik. Diperhatikannya dengan teliti setiap gerak-geri disekelilingnya sudah dua kali ia dibohongi oleh pencuri. Jika pencuri itu benar-benar datang seperti diperkatakan oleh Rasulullah dan ia berhasil menangkapnya, ia telah bertekad tidak akan melepaskannya sekali lagi. Hatinya sudah tidak sabar lagi menunggu-nunggu datangnya pencuri jahanam itu. Ia kesal. Kenapa pencuri kemarin itu dilepaskan begitu sahaja sebelum diseret ke hadapan Rasulullah S.A.W? Kenapa mahu saja ia ditipu olehnya? "Awas!" katanya dalam hati. "Kali ini tidak akan kuberikan ampun."
Malam semakin larut, jalanan sudah sepi, ketika tiba-tiba muncul sesosok bayangan yang datang menghampiri longgokan makanan yang dia jaga. "Nah, benar juga, ia datang lagi," katanya dalam hati. Dan tidak lama kemudian pencuri itu telah bertekuk lutut di hadapannya dengan wajah ketakutan. Diperhatikannya benar-benar wajah pencuri itu. Ada semacam kepura-puraan pada gerak-gerinya.
"Kali ini kau pastinya kuadukan kepada Rasulullah. Sudah dua kali kau berjanji tidak akan datang lagi ke mari, tapi ternyata kau kembali juga."
"Lepaskan saya," pencuri itu memohon. Tapi, dari tangan Abu Hurairah yang menggenggam erat-erat dapat difahami, bahwa kali ini ia tidak akan dilepaskan lagi.
Maka dengan rasa putus asa ahirnya pencuri itu berkata : "Lepaskan saya, akan saya ajari tuan beberapa kalimat yang sangat berguna."
"Kalimat-kalimat apakah itu?" Tanya Abu Hurairah dengan rasa ingin tahu.
"Bila tuan hendak tidur, bacalah ayat Kursi : Allaahu laa Ilaaha illaa Huwal-Hayyul Qayyuuumu.. Dan seterusnya sampai akhir ayat. Maka tuan akan selalu dipelihara oleh Allah, dan tidak akan ada syaitan yang berani mendekati tuan sampai pagi."
Maka pencuri itu pun dilepaskan oleh Abu Hurairah. Agaknya naluri keilmuannya lebih menguasai jiwanya sebagai penjaga gudang.
Dan keesokan harinya, ia kembali menghadap Rasulullah S.A.W untuk melaporkan pengalamannya yang luar biasa tadi malam. Ada seorang pencuri yang mengajarinya kegunaan ayat Kursi.
"Apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam?" tanya Rasul sebelum Abu Hurairah sempat menceritakan segalanya.
"Ia mengajariku beberapa kalimat yang katanya sangat berguna, lalu ia saya lepaskan," jawab Abu Hurairah.
"Kalimat apakah itu?" tanya Nabi.
Katanya : "Kalau kamu tidur, bacalah ayat Kursi : Allaahu laa Ilaaha illaa Huwal-Hayyul Qayyuuumu.. Dan seterusnya sampai akhir ayat. Dan ia katakan pula : "Jika engkau membaca itu, maka engkau akan selalu dijaga oleh Allah, dan tidak akan didekati syaitan hingga pagi hari."
Menanggapi cerita Abu Hurairah, Nabi S.A.W berkata, "Pencuri itu telah berkata benar, sekalipun sebenarnya ia tetap pendusta."
Kemudian Nabi S.A.W bertanya pula : "Tahukah kamu, siapa sebenarnya pencuri yang bertemu denganmu tiap malam itu?"
"Entahlah." Jawab Abu Hurairah.
"Itulah syaitan."
http://www.indonesiaindonesia.com/f/917-ayat-kursi-menjelang-tidur/
"Akan aku adukan kamu kepada Rasulullah S.A.W," gertak Abu Hurairah.
Bukan main takutnya pencuri itu mendengar ancaman Abu Hurairah, hingga kemudian ia pun merengek-rengek : "Saya ini orang miskin, keluarga tanggungan saya banyak, sementara saya sangat memerlukan makanan."
Maka pencuri itu pun dilepaskan. Bukankah zakat itu pada akhirnya akan diberikan kepada fakir miskin? Hanya saja, cara memang keliru. Mestinya jangan keliru.
Keesokan harinya, Abu Hurairah melaporkan kepada Rasulullah S.A.W. Maka bertanyalah beliau : "Apa yang dilakukan kepada tawananmu semalam, ya Abu Hurairah?"
Ia mengeluh, "Ya Rasulullah, bahwa ia orang miskin, keluarganya banyak dan sangat memerlukan makanan," jawab Abu Hurairah. Lalu diterangkan pula olehnya, bahwa ia kasihan kepada pencuri itu, lalu dilepaskannya.
"Bohong dia," kata Nabi : "Padahal nanti malam ia akan datang lagi."
Kerana Rasulullah S.A.W berkata begitu, maka penjagaannya diperketat, dan kewaspadaan pun ditingkatkan. Dan benar juga, pencuri itu kembali lagi, lalu mengambil makanan seperti kemarin. Dan kali ini ia pun tertangkap.
"Akan aku adukan kamu kepada Rasulullah S.A.W," ancam Abu Hurairah, sama seperti kelmarin. Dan pencuri itu pun sekali lagi meminta ampun : "Saya orang miskin, keluarga saya banyak. Saya berjanji esok tidak akan kembali lagi."
Kasihan juga rupanya Abu Hurairah mendengar keluhan orang itu, dan kali ini pun ia kembali dilepaskan. Pada paginya, kejadian itu dilaporkan kepada Rasulullah S.A.W, dan beliau pun bertanya seperti kemarin. Dan setelah mendapat jawaban yang sama, sekali lagi Rasulullah menegaskan : "Pencuri itu bohong, dan nanti malam ia akan kembali lagi."
Malam itu Abu Hurairah berjaga-jaga dengan kewaspadaan dan kepintaran penuh. Mata, telinga dan perasaannya dipasang baik-baik. Diperhatikannya dengan teliti setiap gerak-geri disekelilingnya sudah dua kali ia dibohongi oleh pencuri. Jika pencuri itu benar-benar datang seperti diperkatakan oleh Rasulullah dan ia berhasil menangkapnya, ia telah bertekad tidak akan melepaskannya sekali lagi. Hatinya sudah tidak sabar lagi menunggu-nunggu datangnya pencuri jahanam itu. Ia kesal. Kenapa pencuri kemarin itu dilepaskan begitu sahaja sebelum diseret ke hadapan Rasulullah S.A.W? Kenapa mahu saja ia ditipu olehnya? "Awas!" katanya dalam hati. "Kali ini tidak akan kuberikan ampun."
Malam semakin larut, jalanan sudah sepi, ketika tiba-tiba muncul sesosok bayangan yang datang menghampiri longgokan makanan yang dia jaga. "Nah, benar juga, ia datang lagi," katanya dalam hati. Dan tidak lama kemudian pencuri itu telah bertekuk lutut di hadapannya dengan wajah ketakutan. Diperhatikannya benar-benar wajah pencuri itu. Ada semacam kepura-puraan pada gerak-gerinya.
"Kali ini kau pastinya kuadukan kepada Rasulullah. Sudah dua kali kau berjanji tidak akan datang lagi ke mari, tapi ternyata kau kembali juga."
"Lepaskan saya," pencuri itu memohon. Tapi, dari tangan Abu Hurairah yang menggenggam erat-erat dapat difahami, bahwa kali ini ia tidak akan dilepaskan lagi.
Maka dengan rasa putus asa ahirnya pencuri itu berkata : "Lepaskan saya, akan saya ajari tuan beberapa kalimat yang sangat berguna."
"Kalimat-kalimat apakah itu?" Tanya Abu Hurairah dengan rasa ingin tahu.
"Bila tuan hendak tidur, bacalah ayat Kursi : Allaahu laa Ilaaha illaa Huwal-Hayyul Qayyuuumu.. Dan seterusnya sampai akhir ayat. Maka tuan akan selalu dipelihara oleh Allah, dan tidak akan ada syaitan yang berani mendekati tuan sampai pagi."
Maka pencuri itu pun dilepaskan oleh Abu Hurairah. Agaknya naluri keilmuannya lebih menguasai jiwanya sebagai penjaga gudang.
Dan keesokan harinya, ia kembali menghadap Rasulullah S.A.W untuk melaporkan pengalamannya yang luar biasa tadi malam. Ada seorang pencuri yang mengajarinya kegunaan ayat Kursi.
"Apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam?" tanya Rasul sebelum Abu Hurairah sempat menceritakan segalanya.
"Ia mengajariku beberapa kalimat yang katanya sangat berguna, lalu ia saya lepaskan," jawab Abu Hurairah.
"Kalimat apakah itu?" tanya Nabi.
Katanya : "Kalau kamu tidur, bacalah ayat Kursi : Allaahu laa Ilaaha illaa Huwal-Hayyul Qayyuuumu.. Dan seterusnya sampai akhir ayat. Dan ia katakan pula : "Jika engkau membaca itu, maka engkau akan selalu dijaga oleh Allah, dan tidak akan didekati syaitan hingga pagi hari."
Menanggapi cerita Abu Hurairah, Nabi S.A.W berkata, "Pencuri itu telah berkata benar, sekalipun sebenarnya ia tetap pendusta."
Kemudian Nabi S.A.W bertanya pula : "Tahukah kamu, siapa sebenarnya pencuri yang bertemu denganmu tiap malam itu?"
"Entahlah." Jawab Abu Hurairah.
"Itulah syaitan."
http://www.indonesiaindonesia.com/f/917-ayat-kursi-menjelang-tidur/
Malaikat Kecilku, Tolong Ajarkanku Tentang Arti Sebuah KASIH...
Sebuah cerita yang sangat mengharukan.. betapa Kasih Sayang dari seorang sahabat kecil ditunjukkan dengan sebuah empati tulus dan pengorbanan..
Istriku berkata kepada aku yang sedang baca koran, “Berapa lama lagi kamu baca koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan.”
Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku satu-satunya, namanya Sindu, tampak ketakutan air matanya mengalir. Di depannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu asam/yogurt (nasi khas India = curd rice). Sindu anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibu dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice akan ada “cooling effect” pada tubuh.
Aku mengambil mangkok dan berkata: “Sindu sayang, demi ayah, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti ibumu akan teriak-teriak sama ayah.”
Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Sindu mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya dan berkata:
“Boleh ayah, akan aku makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok, tapi semuanya akan aku habiskan, tapi aku akan minta…” agak ragu2 sejenak… “….akan minta sesuatu sama ayah bila habis semua nasinya. Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaanku? ”
Aku menjawab: “Oh, pasti sayang”.
Sindu: “Betul ayah?”
“Yah pasti..” sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah mudaan dan lembut sebagai tanda setuju.
Sindu juga mendesak ibunya untuk janji hal yang sama, istriku menepuk tangan. Sindu yang merengek sambil berkata tanpa emosi, "Janji?"
“janji” kata istriku.
Aku sedikit khawatir dan berkata: “Sindu, jangan minta komputer atau barang-barang lain yang mahal yah, karena ayah saat ini tidak punya uang.”
Sindu: “Jangan khawatir, Sindu tidak minta barang2 mahal kok.”
Kemudian Sindu dengan perlahan-lahan dan kelihatannya sangat menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi susu asam itu. Dalam hatiku aku marah sama istri dan ibuku yang memaksa Sindu untuk makan sesuatu yang tidak disukainya..
Setelah Sindu melewati penderitaannya, dia mendekatiku dengan mata penuh harap dan semua perhatian (aku, istriku dan juga ibuku) tertuju kepadanya.
Ternyata Sindu mau kepalanya digundulin pada hari Minggu!
Istriku spontan berkata: “Permintaan gila, anak perempuan dibotakin, tidak mungkin!”
Juga ibuku menggerutu jangan terjadi dalam keluarga kita, dia terlalu banyak nonton TV. Dan program2 TV itu sudah merusak kebudayaan kita.
Aku coba membujuk: “Sindu, kenapa kamu tidak minta hal yang lain kami semua akan sedih melihatmu botak.”
Tapi Sindu tetap dengan pilihannya: “Tidak ada ‘yah, tak ada keinginan lain.”
Aku coba memohon kepada Sindu: “Tolonglah... kenapa kamu tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami!”
Sindu, dengan menangis, berkata: “Ayah sudah melihat bagaimana menderitanya aku menghabiskan nasi susu asam itu dan ayah sudah berjanji untuk memenuhi permintaan aku. Kenapa ayah sekarang mau menarik perkataan Ayah sendiri? Bukankah Ayah sudah mengajarkan pelajaran moral, bahwa kita harus memenuhi janji kita terhadap seseorang apapun yang terjadi seperti Raja Harishchandra (raja India jaman dahulu kala) untuk memenuhi janjinya raja rela memberikan tahta, kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya sendiri.”
Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku: “Janji kita harus ditepati..”
Secara serentak istri dan ibuku berkata: - “Apakah aku sudah gila?”
Aku: “Tidak, kalau kita menjilat ludah sendiri, dia tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Sindu permintaanmu akan kami penuhi.”
***
Dengan kepala botak, wajah Sindu nampak bundar dan matanya besar dan bagus.
Hari Senin aku mengantarnya ke sekolah, sekilas aku melihat Sindu botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku sambil tersenyum aku membalas lambaian tangannya.
Tiba-tiba seorang anak laki-laki keluar dari mobil sambil berteriak: “Sindu, tolong tunggu saya.”
Yang mengejutkanku ternyata kepala anak laki-laki itu botak, aku berpikir mungkin “botak” model jaman sekarang.
Tanpa memperkenalkan dirinya, seorang wanita keluar dari mobil dan berkata: “Anak anda, Sindu, benar-benar hebat. Anak laki-laki yang jalan bersama-sama dia sekarang, Harish, adalah anak saya, dia menderita kanker leukemia.”
Wanita itu berhenti berkata-kata, sejenak aku melihat air matanya mulai meleleh dipipinya: “Bulan lalu Harish tidak masuk sekolah, karena chemotherapy kepalanya menjadi botak, jadi dia tidak mau pergi ke sekolah takut diejek oleh teman-teman sekelasnya. Nah, minggu lalu Sindu datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi. Hanya, saya betul-betul tidak menyangka kalau Sindu mau mengorbankan rambutnya yang indah untuk anakku Harish. Tuan dan istri tuan sungguh diberkati Tuhan, mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.”
Aku berdiri terpaku dan tidak terasa air mataku meleleh. Malaikat kecilku, tolong ajarkanku tentang arti sebuah kasih!
by Setitik Embun Inspirasi on Thursday, March 17, 2011 at 4:21pm
http://www.facebook.com/notes.php?id=391729301453&s=40#!/note.php?note_id=10150109782446218
Istriku berkata kepada aku yang sedang baca koran, “Berapa lama lagi kamu baca koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan.”
Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku satu-satunya, namanya Sindu, tampak ketakutan air matanya mengalir. Di depannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu asam/yogurt (nasi khas India = curd rice). Sindu anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibu dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice akan ada “cooling effect” pada tubuh.
Aku mengambil mangkok dan berkata: “Sindu sayang, demi ayah, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti ibumu akan teriak-teriak sama ayah.”
Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Sindu mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya dan berkata:
“Boleh ayah, akan aku makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok, tapi semuanya akan aku habiskan, tapi aku akan minta…” agak ragu2 sejenak… “….akan minta sesuatu sama ayah bila habis semua nasinya. Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaanku? ”
Aku menjawab: “Oh, pasti sayang”.
Sindu: “Betul ayah?”
“Yah pasti..” sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah mudaan dan lembut sebagai tanda setuju.
Sindu juga mendesak ibunya untuk janji hal yang sama, istriku menepuk tangan. Sindu yang merengek sambil berkata tanpa emosi, "Janji?"
“janji” kata istriku.
Aku sedikit khawatir dan berkata: “Sindu, jangan minta komputer atau barang-barang lain yang mahal yah, karena ayah saat ini tidak punya uang.”
Sindu: “Jangan khawatir, Sindu tidak minta barang2 mahal kok.”
Kemudian Sindu dengan perlahan-lahan dan kelihatannya sangat menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi susu asam itu. Dalam hatiku aku marah sama istri dan ibuku yang memaksa Sindu untuk makan sesuatu yang tidak disukainya..
Setelah Sindu melewati penderitaannya, dia mendekatiku dengan mata penuh harap dan semua perhatian (aku, istriku dan juga ibuku) tertuju kepadanya.
Ternyata Sindu mau kepalanya digundulin pada hari Minggu!
Istriku spontan berkata: “Permintaan gila, anak perempuan dibotakin, tidak mungkin!”
Juga ibuku menggerutu jangan terjadi dalam keluarga kita, dia terlalu banyak nonton TV. Dan program2 TV itu sudah merusak kebudayaan kita.
Aku coba membujuk: “Sindu, kenapa kamu tidak minta hal yang lain kami semua akan sedih melihatmu botak.”
Tapi Sindu tetap dengan pilihannya: “Tidak ada ‘yah, tak ada keinginan lain.”
Aku coba memohon kepada Sindu: “Tolonglah... kenapa kamu tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami!”
Sindu, dengan menangis, berkata: “Ayah sudah melihat bagaimana menderitanya aku menghabiskan nasi susu asam itu dan ayah sudah berjanji untuk memenuhi permintaan aku. Kenapa ayah sekarang mau menarik perkataan Ayah sendiri? Bukankah Ayah sudah mengajarkan pelajaran moral, bahwa kita harus memenuhi janji kita terhadap seseorang apapun yang terjadi seperti Raja Harishchandra (raja India jaman dahulu kala) untuk memenuhi janjinya raja rela memberikan tahta, kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya sendiri.”
Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku: “Janji kita harus ditepati..”
Secara serentak istri dan ibuku berkata: - “Apakah aku sudah gila?”
Aku: “Tidak, kalau kita menjilat ludah sendiri, dia tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Sindu permintaanmu akan kami penuhi.”
***
Dengan kepala botak, wajah Sindu nampak bundar dan matanya besar dan bagus.
Hari Senin aku mengantarnya ke sekolah, sekilas aku melihat Sindu botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku sambil tersenyum aku membalas lambaian tangannya.
Tiba-tiba seorang anak laki-laki keluar dari mobil sambil berteriak: “Sindu, tolong tunggu saya.”
Yang mengejutkanku ternyata kepala anak laki-laki itu botak, aku berpikir mungkin “botak” model jaman sekarang.
Tanpa memperkenalkan dirinya, seorang wanita keluar dari mobil dan berkata: “Anak anda, Sindu, benar-benar hebat. Anak laki-laki yang jalan bersama-sama dia sekarang, Harish, adalah anak saya, dia menderita kanker leukemia.”
Wanita itu berhenti berkata-kata, sejenak aku melihat air matanya mulai meleleh dipipinya: “Bulan lalu Harish tidak masuk sekolah, karena chemotherapy kepalanya menjadi botak, jadi dia tidak mau pergi ke sekolah takut diejek oleh teman-teman sekelasnya. Nah, minggu lalu Sindu datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi. Hanya, saya betul-betul tidak menyangka kalau Sindu mau mengorbankan rambutnya yang indah untuk anakku Harish. Tuan dan istri tuan sungguh diberkati Tuhan, mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.”
Aku berdiri terpaku dan tidak terasa air mataku meleleh. Malaikat kecilku, tolong ajarkanku tentang arti sebuah kasih!
by Setitik Embun Inspirasi on Thursday, March 17, 2011 at 4:21pm
http://www.facebook.com/notes.php?id=391729301453&s=40#!/note.php?note_id=10150109782446218
Pembeli Istimewa
Pada suatu hari, ketika Jepang belum semakmur sekarang, datanglah seorang peminta-minta ke sebuah toko kue yang mewah dan bergengsi untuk membeli manju (kue Jepang yang terbuat dari kacang hijau dan berisi selai). Bukan main terkejutnya si pelayan melihat pelanggan yang begitu jauh sederhana di tokonya yang mewah dan bergengsi itu. Karena itu dengan terburu-buru ia membungkus manju itu. Tapi belum lagi ia sempat menyerahkan manju itu kepada si pengemis, muncullah si pemilik toko berseru, “Tunggu, biarkan saya yang menyerahkannya.” Seraya berkata begitu, diserahkannya bungkusan itu kepada si pengemis.
Si pengemis memberikan pembayarannya. Sembari menerima pembayaran dari tangan si pengemis, ia membungkuk hormat dan berkata, “Terima kasih atas kunjungan anda.”
Setelah si pengemis berlalu, si pelayan bertanya pada si pemilik toko, “Mengapa harus anda sendiri yang menyerahkan kue itu? Anda sendiri belum pernah melakukan hal itu pada pelanggan mana pun. Selama ini saya dan kasirlah yang melayani pembeli.”
Si pemilik toko itu berkata, “Saya mengerti mengapa kau heran. Semestinya kita bergembira dan bersyukur atas kedatangan pelanggan istimewa tadi. Aku ingin langsung menyatakan terima kasih. Bukankah yang selalu datang adalah pelanggan biasa, namun kali ini lain.”
“Mengapa lain,” tanya pelayan.
“Hampir semua dari pelanggan kita adalah orang kaya. Bagi mereka, membeli kue di tempat kita sudah merupakan hal biasa. Tapi orang tadi pasti sudah begitu merindukan manju kita sehingga mungkin ia sudah berkorban demi mendapatkan manju itu. Saya tahu, manju itu sangat panting baginya. Karena itu saya memutuskan ia layak dilayani oleh pemilik toko sendiri. Itulah mengapa aku melayaninya,” demikian penjelasan sang pemilik toko.
~~~
Konosuke Matsushita, pemilik perusahaan Matsushita Electric yang terkemuka itu, menutup cerita tadi dengan renungan bahwa setiap pelanggan berhak mendapatkan penghargaan yang sama. Nilai seorang pelanggan bukanlah ditentukan oleh prestise pribadinya atau besarnya pesanan yang dilakukan. Seorang usahawan sejati mendapatkan sukacita dan di sinilah ia harus meletakkan nilainya.
(Dikutip dari artikel, Konosuke Matsushita, Food For Thought)
kiriman dari Giorgio Chiellini
by Setitik Embun Inspirasi on Thursday, April 7, 2011 at 2:56pm
http://www.facebook.com/notes.php?id=391729301453#!/note.php?note_id=10150119309966218
Si pengemis memberikan pembayarannya. Sembari menerima pembayaran dari tangan si pengemis, ia membungkuk hormat dan berkata, “Terima kasih atas kunjungan anda.”
Setelah si pengemis berlalu, si pelayan bertanya pada si pemilik toko, “Mengapa harus anda sendiri yang menyerahkan kue itu? Anda sendiri belum pernah melakukan hal itu pada pelanggan mana pun. Selama ini saya dan kasirlah yang melayani pembeli.”
Si pemilik toko itu berkata, “Saya mengerti mengapa kau heran. Semestinya kita bergembira dan bersyukur atas kedatangan pelanggan istimewa tadi. Aku ingin langsung menyatakan terima kasih. Bukankah yang selalu datang adalah pelanggan biasa, namun kali ini lain.”
“Mengapa lain,” tanya pelayan.
“Hampir semua dari pelanggan kita adalah orang kaya. Bagi mereka, membeli kue di tempat kita sudah merupakan hal biasa. Tapi orang tadi pasti sudah begitu merindukan manju kita sehingga mungkin ia sudah berkorban demi mendapatkan manju itu. Saya tahu, manju itu sangat panting baginya. Karena itu saya memutuskan ia layak dilayani oleh pemilik toko sendiri. Itulah mengapa aku melayaninya,” demikian penjelasan sang pemilik toko.
~~~
Konosuke Matsushita, pemilik perusahaan Matsushita Electric yang terkemuka itu, menutup cerita tadi dengan renungan bahwa setiap pelanggan berhak mendapatkan penghargaan yang sama. Nilai seorang pelanggan bukanlah ditentukan oleh prestise pribadinya atau besarnya pesanan yang dilakukan. Seorang usahawan sejati mendapatkan sukacita dan di sinilah ia harus meletakkan nilainya.
(Dikutip dari artikel, Konosuke Matsushita, Food For Thought)
kiriman dari Giorgio Chiellini
by Setitik Embun Inspirasi on Thursday, April 7, 2011 at 2:56pm
http://www.facebook.com/notes.php?id=391729301453#!/note.php?note_id=10150119309966218
Kitalah Sang Penentu Atas Hidup Kita, Bukan Orang Lain
Dua orang ibu memasuki toko pakaian dan berniat hendak membeli baju seragam anaknya. Ternyata pemilik tokonya lagi bad mood sehingga tidak melayani dengan baik, malah terkesan buruk, tidak sopan dengan muka cemberut.
Ibu pertama jelas jengkel menerima layanan yang buruk seperti itu. Yang mengherankan, ibu kedua tetap enjoy, bahkan bersikap sopan kepada penjualnya.
Ibu pertama bertanya, “Mengapa Ibu bersikap demikian sopan pada penjual menyebalkan itu?”
Lantas dijawab, “Mengapa aku harus mengizinkan dia menentukan caraku dalam bertindak ? Kitalah sang penentu atas hidup kita, bukan orang lain.”
"Tapi ia melayani dengan buruk sekali," bantah Ibu pertama.
"Itu masalah dia. Kalau dia mau bad mood, tidak sopan, melayani dengan buruk dan sebagainya, toh tidak ada kaitannya dengan kita. Kalau kita sampai terpengaruh, berarti kita membiarkan dia mengatur dan menentukan hidup kita, padahal kitalah yang bertanggung jawab atas diri kita," jelas Ibu kedua.
Tindakan kita kerap dipengaruhi oleh tindakan orang lain kepada kita. Kalau orang melakukan hal buruk, kita akan membalasnya dengan hal yang lebih buruk lagi. Dan sebaliknya.
Kalau orang tidak sopan, kita akan lebih tidak sopan lagi. Kalau orang lain pelit terhadap kita, kita yang semula pemurah tiba jadinya sedemikian pelit kalau harus berurusan dengan orang tersebut. Ini berarti tindakan kita dipengaruhi oleh tindakan orang lain.
Kalau direnungkan, sebenarnya betapa tidak arifnya tindakan kita. Mengapa untuk berbuat baik saja, harus menunggu diperlakukan dengan baik oleh orang lain dulu?
Jagalah suasana hati sendiri, jangan biarkan sikap buruk orang lain menentukan cara kita bertindak! Kitalah sang penentu yang sesungguhnya!
I'm an ACTOR, not reactor.
sumber: unknown
by Setitik Embun Inspirasi on Monday, May 9, 2011 at 7:44am.
http://www.facebook.com/notes.php?id=391729301453#!/note.php?note_id=10150174787421218
Ibu pertama jelas jengkel menerima layanan yang buruk seperti itu. Yang mengherankan, ibu kedua tetap enjoy, bahkan bersikap sopan kepada penjualnya.
Ibu pertama bertanya, “Mengapa Ibu bersikap demikian sopan pada penjual menyebalkan itu?”
Lantas dijawab, “Mengapa aku harus mengizinkan dia menentukan caraku dalam bertindak ? Kitalah sang penentu atas hidup kita, bukan orang lain.”
"Tapi ia melayani dengan buruk sekali," bantah Ibu pertama.
"Itu masalah dia. Kalau dia mau bad mood, tidak sopan, melayani dengan buruk dan sebagainya, toh tidak ada kaitannya dengan kita. Kalau kita sampai terpengaruh, berarti kita membiarkan dia mengatur dan menentukan hidup kita, padahal kitalah yang bertanggung jawab atas diri kita," jelas Ibu kedua.
Tindakan kita kerap dipengaruhi oleh tindakan orang lain kepada kita. Kalau orang melakukan hal buruk, kita akan membalasnya dengan hal yang lebih buruk lagi. Dan sebaliknya.
Kalau orang tidak sopan, kita akan lebih tidak sopan lagi. Kalau orang lain pelit terhadap kita, kita yang semula pemurah tiba jadinya sedemikian pelit kalau harus berurusan dengan orang tersebut. Ini berarti tindakan kita dipengaruhi oleh tindakan orang lain.
Kalau direnungkan, sebenarnya betapa tidak arifnya tindakan kita. Mengapa untuk berbuat baik saja, harus menunggu diperlakukan dengan baik oleh orang lain dulu?
Jagalah suasana hati sendiri, jangan biarkan sikap buruk orang lain menentukan cara kita bertindak! Kitalah sang penentu yang sesungguhnya!
I'm an ACTOR, not reactor.
sumber: unknown
by Setitik Embun Inspirasi on Monday, May 9, 2011 at 7:44am.
http://www.facebook.com/notes.php?id=391729301453#!/note.php?note_id=10150174787421218
Kisah Jenderal Sudirman, Saat Dibimbing KH. Busyro Syuhada
Panglima Besar Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh penting yang pernah dimiliki negeri ini. Dia pejuang dan pemimpin teladan bangsa. Pribadinya teguh pada prinsip, keyakinan dan selalu mengedepankan kepentingan rakyat dan bangsa di atas kepentingan pribadinya.
Sudirman lahir pada 1916 di desa Bodas, Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah. Sebelum memasuki dunia kemiliteran, Sudirman berlatar belakang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan aktif kepanduan Hizbul Wathan. Sejarah mencatat, ketika berusia 31 tahun dia sudah menyandang pangkat jenderal. Meski saat itu menderita sakit paru-paru, tetapi dia terus bergerilya melawan penjajah.
Apa sesungguhnya yang membuat Sudirman memiliki keteguhan dan prinsip kuat dalam hidupnya sehingga dia memiliki nama harum di negeri ini?
“Sudirman mendapat didikan seorang ulama pada masanya. Inilah yang membuatnya memiliki keteguhan dalam berjuang. Meskipun dia menderita sakit paru-paru dan harus ditandu, tetapi semangat juangnya tinggi,” ujar H. Abdul Malik kepada saya di kediamannya di Palimanan, Cirebon.
KH. Busyro Syuhada
Dikisahkan, sekitar 50 km dari Kota Purbalingga, ada seorang ulama bernama Kyai Haji Busyro Syuhada. Sang ulama memiliki sebuah pesantren di desa Binorong, Banjarnegara. Selain dikenal sebagai ulama, Kyai Busyro juga seorang pendekar pencak silat (ketika itu istilahnya pencak ragawi dan batin).
Sebagaimana umumnya pesantren, para santri diajarkan ilmu agama dan beladiri pencak. Pencak silatnya dikenal dengan nama Aliran Banjaran yang intinya memadukan ilmu batin dan ilmu dhohir. Dikemudian hari pencak silat yang dirintis Kyai Busyro Syuhada menjadi cikal bakal perguruan silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah.
Suatu hari, Sudirman berkunjung ke pesantren Kyai Busyro di Banjarnegara. Dia bermaksud silaturrahmi. Saat itu Sudirman masih menjalankan pekerjaan sebagai guru di Cilacap. Pada pertemuan itu, tiba-tiba saja Kyai Busyro menangkap suatu firasat saat berhadapan dengan Sudirman.
“Kyai Busyro menyarankan agar Sudirman tinggal sementara waktu di pesantren. Dia ingin agar Sudirman mau menjadi muridnya. Kyai Busyro tidak menjelaskan alasan sesungguhnya,” ujar H. Abdul Malik.
Tentu saja Sudirman terkejut mendengar saran Kyai Busyro Syuhada. Tetapi dia menyambut dengan antusias. Bagaimanapun juga, saran dan nasehat seorang ulama tentu baik dan pasti ada alasan-alasan khusus yang tidak dapat diungkapkan.
Selanjutnya Sudirman nyantri di pesantren asuhan Kyai Busyro Syuhada. Saat itu usia Sudirman sekitar 25 tahun. Selama menjadi santri, Sudirman diperlakukan khusus oleh Kyai Busyro. Bahkan terkesan diistimewakan. Semua keperluan Sudirman menyangkut urusan apa saja, termasuk urusan makan dan minum selalu disiapkan.
Kyai Busyro sengaja menyediakan seorang pelayan khusus untuk murid spesialnya itu. Pelayan itu masih keponakan Kyai Busyro sendiri yang bernama Amrullah. Saat itu usia Amrullah lebih muda 5 tahun dibandingkan Sudirman. Amrullah adalah ayah kandung Abdul Malik.
“Ayah saya menceritakan seputar bagaimana Kyai Busyro menggembleng Sudirman. Di lingkungan keluarga besar kami, kisah ini sebenarnya sudah umum diketahui,”kata Abdul Malik.
Menurutnya, gemblengan terhadap Sudirman sepintas memiliki kemiripan pola didikan silat dalam film Mandarin, seperti: Shaolin Temple. Murid dilatih ilmu silat dan juga disuruh melakukan olahraga yang menguras fisik.
Namun demikian, Sudirman diharuskan berpuasa dan saat tengah malam melakukan shalat sunnah secara rutin.
“Bagaimana sebenarnya bentuk didikan secara fisik?” Tanya saya.
“Salah satu cerita yang pernah saya dengar, meskipun dalam keadaan berpuasa, Sudirman diperintahkan melakukan pekerjaan keras memotong beberapa pohon yang ada di dekat pesantren. Batang-batang pohon itu kemudian diseretnya. Lalu dimasukkan ke dalam kolam atau empang. Pekerjaan itu dilakukan sendirian tanpa dibantu siapapun. Setelah matahari terbenam, batang pohon itu harus dikeluarkan lagi dari kolam,” Jawab Abdul Malik.
Abdul Malik menambahkan, saat Sudirman berbuka puasa dan sahur, Amrullah bertugas menyediakan makanan dan minuman.
Di samping itu, Kyai Busyro juga memberi amalan zikir atau hizib khusus kepada Sudirman untuk dibaca setiap harinya. Secara hampir bersamaan, hizib ini juga diamalkan Amrullah (kelak Amrullah menjadi ulama di Wonosobo, Jawa Tengah).
Pada tahun 1942, Kyai Busyro meninggal dunia. Melihat kenyataan itu, Sudirman memutuskan kembali ke kampung halamannya di Purbalingga. Namun tidak berapa lama kemudian balatentara Jepang mulai menjajah Indonesia.
Seolah sudah menjadi takdirnya, Sudirman segera mengikuti pendidikan militer di Bogor bergabung dengan tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Begitu tamat pendidikan, Sudirman menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Sesudah TKR (Tentara Keamanan Rakyat) terbentuk, Sudirman diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas.
Pada puncaknya, Sudirman menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI pertama dan termuda) hingga beliau wafat pada 29 Januari 1950.
“Apa yang saya katakan tadi hanya sepenggal cerita saja. Sebenarnya kisah gemblengan Kyai Busyro kepada Sudirman cukup banyak. Tetapi intinya, Sudirman mendapat bimbingan khusus dari seorang ulama pada masanya. Inilah yang membuatnya berhasil menjadi pemimpin,” ujar Abdul Malik.
Kisah Gaib
Pada saat Sudirman bergerilya, banyak kisah-kisah mistis seputar perjuangannya. Dikisahkan, musuh selalu gagal memburunya. Bahkan Sudirman pernah luput dari tangan musuh yang hanya berjarak sekitar 10-20 meter. Andaikata saat itu penyakitnya kambuh dan membuatnya batuk-batuk, pastilah musuh akan mendengar dan menangkapnya.
Tetapi atas Kebesaran Tuhan, pada detik yang genting itu penyakitnya tidak kambuh. Sungguh aneh tidak ada satupun musuh yang melihat Sudirman bersembunyi diantara rumput alang-alang yang pendek.
Di sisi lain, wibawa dan kharisma Sudirman terpancar kuat dari ekspresi wajah dan tubuhnya. Meskipun saat itu tubuhnya kurus, lemah dan harus ditandu, tetapi seluruh jajaran angkatan perang patuh di bawah komandonya. Semua ini merupakan hasil disiplin yang diperoleh dari gurunya.
Sejarah juga mencatat, saat ibukota Republik yang berada di Yogyakarta direbut Belanda, Presiden dan Wakil Presiden ditawan. Dikisahkan, ketika itu Sukarno sempat menyuruh Sudirman meletakkan senjata, tetapi Sudirman menolak dan memutuskan bergerilya.
Sungguh suatu sikap berani yang ditunjukkan Sudirman. Dia melawan atasan untuk tujuan yang jauh lebih mulia.
Demikian sekelumit kisah perjuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Kita patut menghormati dan meneladaninya.
Sebelum menutup perbincangan, Abdul Malik juga mengemukakan bahwa salah seorang keponakan Kyai Busyro Syuhada saat ini menjadi ketua Komisi Yudisial, H. Busyro Muqoddas.
http://gus7.wordpress.com/2010/05/10/sekilas-kisah-jenderal-sudirman-saat-dibimbing-ulama-kh-busyro-syuhada/
Sudirman lahir pada 1916 di desa Bodas, Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah. Sebelum memasuki dunia kemiliteran, Sudirman berlatar belakang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan aktif kepanduan Hizbul Wathan. Sejarah mencatat, ketika berusia 31 tahun dia sudah menyandang pangkat jenderal. Meski saat itu menderita sakit paru-paru, tetapi dia terus bergerilya melawan penjajah.
Apa sesungguhnya yang membuat Sudirman memiliki keteguhan dan prinsip kuat dalam hidupnya sehingga dia memiliki nama harum di negeri ini?
“Sudirman mendapat didikan seorang ulama pada masanya. Inilah yang membuatnya memiliki keteguhan dalam berjuang. Meskipun dia menderita sakit paru-paru dan harus ditandu, tetapi semangat juangnya tinggi,” ujar H. Abdul Malik kepada saya di kediamannya di Palimanan, Cirebon.
KH. Busyro Syuhada
Dikisahkan, sekitar 50 km dari Kota Purbalingga, ada seorang ulama bernama Kyai Haji Busyro Syuhada. Sang ulama memiliki sebuah pesantren di desa Binorong, Banjarnegara. Selain dikenal sebagai ulama, Kyai Busyro juga seorang pendekar pencak silat (ketika itu istilahnya pencak ragawi dan batin).
Sebagaimana umumnya pesantren, para santri diajarkan ilmu agama dan beladiri pencak. Pencak silatnya dikenal dengan nama Aliran Banjaran yang intinya memadukan ilmu batin dan ilmu dhohir. Dikemudian hari pencak silat yang dirintis Kyai Busyro Syuhada menjadi cikal bakal perguruan silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah.
Suatu hari, Sudirman berkunjung ke pesantren Kyai Busyro di Banjarnegara. Dia bermaksud silaturrahmi. Saat itu Sudirman masih menjalankan pekerjaan sebagai guru di Cilacap. Pada pertemuan itu, tiba-tiba saja Kyai Busyro menangkap suatu firasat saat berhadapan dengan Sudirman.
“Kyai Busyro menyarankan agar Sudirman tinggal sementara waktu di pesantren. Dia ingin agar Sudirman mau menjadi muridnya. Kyai Busyro tidak menjelaskan alasan sesungguhnya,” ujar H. Abdul Malik.
Tentu saja Sudirman terkejut mendengar saran Kyai Busyro Syuhada. Tetapi dia menyambut dengan antusias. Bagaimanapun juga, saran dan nasehat seorang ulama tentu baik dan pasti ada alasan-alasan khusus yang tidak dapat diungkapkan.
Selanjutnya Sudirman nyantri di pesantren asuhan Kyai Busyro Syuhada. Saat itu usia Sudirman sekitar 25 tahun. Selama menjadi santri, Sudirman diperlakukan khusus oleh Kyai Busyro. Bahkan terkesan diistimewakan. Semua keperluan Sudirman menyangkut urusan apa saja, termasuk urusan makan dan minum selalu disiapkan.
Kyai Busyro sengaja menyediakan seorang pelayan khusus untuk murid spesialnya itu. Pelayan itu masih keponakan Kyai Busyro sendiri yang bernama Amrullah. Saat itu usia Amrullah lebih muda 5 tahun dibandingkan Sudirman. Amrullah adalah ayah kandung Abdul Malik.
“Ayah saya menceritakan seputar bagaimana Kyai Busyro menggembleng Sudirman. Di lingkungan keluarga besar kami, kisah ini sebenarnya sudah umum diketahui,”kata Abdul Malik.
Menurutnya, gemblengan terhadap Sudirman sepintas memiliki kemiripan pola didikan silat dalam film Mandarin, seperti: Shaolin Temple. Murid dilatih ilmu silat dan juga disuruh melakukan olahraga yang menguras fisik.
Namun demikian, Sudirman diharuskan berpuasa dan saat tengah malam melakukan shalat sunnah secara rutin.
“Bagaimana sebenarnya bentuk didikan secara fisik?” Tanya saya.
“Salah satu cerita yang pernah saya dengar, meskipun dalam keadaan berpuasa, Sudirman diperintahkan melakukan pekerjaan keras memotong beberapa pohon yang ada di dekat pesantren. Batang-batang pohon itu kemudian diseretnya. Lalu dimasukkan ke dalam kolam atau empang. Pekerjaan itu dilakukan sendirian tanpa dibantu siapapun. Setelah matahari terbenam, batang pohon itu harus dikeluarkan lagi dari kolam,” Jawab Abdul Malik.
Abdul Malik menambahkan, saat Sudirman berbuka puasa dan sahur, Amrullah bertugas menyediakan makanan dan minuman.
Di samping itu, Kyai Busyro juga memberi amalan zikir atau hizib khusus kepada Sudirman untuk dibaca setiap harinya. Secara hampir bersamaan, hizib ini juga diamalkan Amrullah (kelak Amrullah menjadi ulama di Wonosobo, Jawa Tengah).
Pada tahun 1942, Kyai Busyro meninggal dunia. Melihat kenyataan itu, Sudirman memutuskan kembali ke kampung halamannya di Purbalingga. Namun tidak berapa lama kemudian balatentara Jepang mulai menjajah Indonesia.
Seolah sudah menjadi takdirnya, Sudirman segera mengikuti pendidikan militer di Bogor bergabung dengan tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Begitu tamat pendidikan, Sudirman menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Sesudah TKR (Tentara Keamanan Rakyat) terbentuk, Sudirman diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas.
Pada puncaknya, Sudirman menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI pertama dan termuda) hingga beliau wafat pada 29 Januari 1950.
“Apa yang saya katakan tadi hanya sepenggal cerita saja. Sebenarnya kisah gemblengan Kyai Busyro kepada Sudirman cukup banyak. Tetapi intinya, Sudirman mendapat bimbingan khusus dari seorang ulama pada masanya. Inilah yang membuatnya berhasil menjadi pemimpin,” ujar Abdul Malik.
Kisah Gaib
Pada saat Sudirman bergerilya, banyak kisah-kisah mistis seputar perjuangannya. Dikisahkan, musuh selalu gagal memburunya. Bahkan Sudirman pernah luput dari tangan musuh yang hanya berjarak sekitar 10-20 meter. Andaikata saat itu penyakitnya kambuh dan membuatnya batuk-batuk, pastilah musuh akan mendengar dan menangkapnya.
Tetapi atas Kebesaran Tuhan, pada detik yang genting itu penyakitnya tidak kambuh. Sungguh aneh tidak ada satupun musuh yang melihat Sudirman bersembunyi diantara rumput alang-alang yang pendek.
Di sisi lain, wibawa dan kharisma Sudirman terpancar kuat dari ekspresi wajah dan tubuhnya. Meskipun saat itu tubuhnya kurus, lemah dan harus ditandu, tetapi seluruh jajaran angkatan perang patuh di bawah komandonya. Semua ini merupakan hasil disiplin yang diperoleh dari gurunya.
Sejarah juga mencatat, saat ibukota Republik yang berada di Yogyakarta direbut Belanda, Presiden dan Wakil Presiden ditawan. Dikisahkan, ketika itu Sukarno sempat menyuruh Sudirman meletakkan senjata, tetapi Sudirman menolak dan memutuskan bergerilya.
Sungguh suatu sikap berani yang ditunjukkan Sudirman. Dia melawan atasan untuk tujuan yang jauh lebih mulia.
Demikian sekelumit kisah perjuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Kita patut menghormati dan meneladaninya.
Sebelum menutup perbincangan, Abdul Malik juga mengemukakan bahwa salah seorang keponakan Kyai Busyro Syuhada saat ini menjadi ketua Komisi Yudisial, H. Busyro Muqoddas.
http://gus7.wordpress.com/2010/05/10/sekilas-kisah-jenderal-sudirman-saat-dibimbing-ulama-kh-busyro-syuhada/
Subscribe to:
Posts (Atom)