TEMPO Interaktif, Makassar - Nama Zulkifli Syukur semakin dikenal seantero Indonesia sebagai bek yang tangguh. Berkat andilnya, Timnas Indonesia mampu mempertahankan kemangan 1-0 atas Filipina di babak Semifinal Pertama Piala AFF yang berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 16 Desember lalu.
Saat itu Filipina nyaris menyamakan kedudukan di menit ke-73. Beruntung palang pintu Indonesia kelahiran Makassar 3 Mei 1984 ini berhasil menghalau bola lewat sundulan kepalanya. Tapi siapa sangka Zulkifli sewaktu kecil menjadi tukang cuci piring di warung coto Makassar. Ini dikisahkan tante Zulkifli bernama, Hajah Nursiah, 72 tahun.
Sepeninggal ayahnya, M Syukur, beberapa tahun yang lalu, Zul pun tinggal bersama Nursiah sampai usia belasan tahun. Soalnya ibunya, Hajah Mardiyana, tinggal di Timika-Papua.
Hobi bermain bola anak keempat dari lima bersaudara ini sudah terlihat di usia delapan tahun. Kala itu pemain Arema Indonesia ini masih duduk dibangku kelas 3 Sekolah Dasar Negeri Sudirman.
Sehabis pulang sekolah, kenang Nursiah dia langsung bermain bola. Biasanya main depan rumah atau main dilapangan Hasanuddin dan Karebosi. “Saya biasa larang kalau main bola. Karena bajunya pasti kotor dan hari-hari dicuci. Waktu itu kami tidak tahu kalau ternyata main bola bisa menghasilkan,” ucap Nursiah dengan mata berkaca-kaca kepada Tempo, Rabu (22/12) lalu.
Wanita paruh baya ini menambahkan, walau dilarang, Zul tetap ongotot bermain bola. Bahkan ia rela kerja serabutan untuk membeli sepatu demi hobbinya itu. “Dia (Zul) pernah kerja jadi tukang cuci piring di warung coto Makassar dekat rumah, tukang parkir, dan kerja selokan. Semua itu dilakukannya untuk beli sepatu. Dan sungguh kami tidak tahu,” jelasnya.
Dimata dia, Zul merupakan anak yang ulet dan disiplin, apapun yang dikerjakan agar bisa menghasilkan uang. Karena dia sendiri mengaku, kehidupan ekonomi saat itu hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Setelah Zul memasuki remaja, dia pun masuk ke klub lokal Persim Maros. Bakatnyanya pun sudah terasa hingga PSM pun meliriknya. Setahun di skuad Pasukan Ramang selanjutnya ke Bontang, Persim Minahasa dan Arema Indonesia.
Di Arema lah Zul mulai dikenal, hingga dipanggil masuk di timnasional membela Indonesia diajang bergengsi sepakbola Internasional. “Sejak kejuaraan ini digelar, sebelum tampil dia pasti menelpon kerumah. Saya pun mendoakannya. Supaya dia bisa konsen main dan Indonesia menang,” tuturnya.
Paman Zul, Haji Muh Gazali, 65 tahun, adalah mantan pengurus PSM era 90-an. Ia mengatakan, kalau Zul sudah menelpon, keluarga pun langsung menggelar nonton bareng dirumah ini. “Harapan kami sekeluarga, menghadapi Malaysia dipartai Final di Leg Pertama pada 26 Desember, Zul bisa bermain tenang, perbaiki kondisi dan jangan terpancing emosi,” bebernya.
Di rumah bercat putih-ungu berlantai dua berukuran kecil inilah, Zul tinggal. Kini rumah tersebut dihiasi poster berukuran besar. Terlihat Zul berpose dengan timnas lainnya.
Sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6485480
(http://www.facebook.com/#!/notes/kumpulan-kisah-nyata-pemberi-inspirasi-dan-motivasi-hidup/kisah-zulkifli-syukur-menjadi-pemain-timnas-garuda/182670795095238)
No comments:
Post a Comment