Thursday, January 6, 2011

Biarkan Aku Yang Terluka

Tidak terlalu berlebihan kiranya apabila Bung Karno mendapat julukan Putera Sang Fajar, secara awam dapat saya katakana bahwa Bung Karno merupakan sosok yang membawa bangsa ini menuju fajar kemerdekaan.

Seluruh kekuatan bangsa ini ada dalam genggaman Bung Karno, merah kata Bung Karno maka merelah seluruh Indonesia, hitam kata Bung Karno maka hitamlah Indonesia. Perkataan Bung Karno serta ajaran yang disampaikan akan menjadi isi kepala seluruh bangsa Indonesia.

Melihat dari latar belakang diatas maka yang ada dalam fikiran kita adalah: Bung Karno akan menggenggam Indonesia samapai saatnya dia menghadap Sang Pencipta. Pengangkatan Bung Karno sebagai Presiden seumur hidup tentunya melanggar Undang-Undang, tetapi dianggap sebuah kebenaran terutama oleh masyarakat kalangan bawah. Namun demikian sejarah telah menentukan sesuatu yang berbeda, dimana akal dan perkiraan manusia tidak lagi mampu memegang serta menjadi sutradara jalannya sebuah sejarah.

Tulisan yang sangat singkat ini sedikit memberi gambaran betapa pedihnya sayatan pedang sejarah.

Tak lama setelah mosi tidak percaya Parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dan MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam. Bung Karno dengan wajah sedih membaca surat pengusiran itu. Ia sama sekali tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya.

Wajah-wajah tentara yang diperintahkan Suharto untuk mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. “Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang."

Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. “Mana kakak-kakakmu?” kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata “Mereka pergi ke rumah Ibu.” Rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru.

Bung Karno berkata lagi, "Mas Guruh, Bapak sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu... Jangan kamu ambil lukisan atau hal lain itu punya negara.” Kata Bung Karno, lalu ia pergi ke ruang depan dan mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia.

Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan ia maklum, ajudan itu sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. “Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun. Lukisan-lukisan itu, souvenir, dan macam-macam barang itu milik negara”.

Semua ajudan menangis Bung Karno mau pergi, “Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan?” salah satu ajudan hampir berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno. “Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda kita jelas hidungnya beda dengan hidung kita, perang dengan bangsa sendiri tidak.. lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara”.

Beberapa orang dari dapur berlarian saat tau Bung Karno mau pergi, mereka bilang “Pak kami tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya...” Bung Karno tertawa “Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga hari itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa.”

Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang seorang perwira suruhan Orde Baru. “Pak, bapak harus segera meninggalkan tempat ini..” Beberapa tentara sudah memasuki beberapa ruangan. Dalam pikiran Bung Karno yang ia takuti adalah bendera pusaka. Ia masuk ke dalam ruang membungkus bendera pusaka dengan kertas koran lalu ia masukkan bendera itu ke dalam baju yang dikenakannya di dalam kaos oblong. Bung Karno merasa bendera pusaka itu tidak akan dirawat oleh rezim ini dengan benar.

Bung Karno lalu menoleh pada ajudannya Saelan. “Aku pergi dulu...” kata Bung Karno hanya dengan mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang hitam. “Bapak tidak berpakaian dulu...?” Bung Karno mengibaskan tangannya, ia terburu-buru. Dan keluar dari Istana dengan naik mobil VW kodok ia minta diantarkan ke rumah Ibu Fatmawati di Sriwijaya, Kebayoran.

Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia sudah meminta agar Bendera Pusaka itu dirawat hato-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun yang tumbuh di halaman. Kadang-kadang ia memegang dadanya, ia sakit ginjal parah namun obat-obatan yang biasanya diberikan tidak kunjung diberikan.

Hanya beberapa minggu Bung Karno di Sriwijaya tiba-tiba datang satu truk tentara ke rumah Sriwijaya.

Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri yang orang Bali untuk jalan-jalan. Saat melihat duku Bung Karno bilang “Aku pengen duku, Tri. Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang...”

Nitri yang uangnya juga sedikit ngelihat dompetnya, ia cukup uang untuk beli duku. Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata “Pak, bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil.”

Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke Bung Karno “Mau pilih mana Pak, manis-manis nih..!” kata Tukang Duku dengan logat betawi. Bung Karno berkata “Coba kamu cari yang enak..” Tukang Duku-nya merasa sangat akrab dengan suara itu dan dia berteriak “Lha itu kan suara Bapak... Bapak... Bapak...” Tukang Duku berlari ke teman-temannya pedagang, “Ada Pak Karno... ada Pak Karno!” serentak banyak orang di pasar mengelilingi Bung Karno. Bung Karno tertawa tapi dalam hati ia takut orang ini akan jadi sasaran tentara karena disangka mereka akan mendukung Bung Karno. “Tri cepat jalan...”

Mendengar Bung Karno sering keluar rumah maka tentara dengan cepat memerintahkan Bung Karno diasingkan. Di Bogor dia diasingkan ke Istana Batu Tulis dan dirawat oleh ....... Dokter Hewan.

Kenyataan tragis yang dialami oleh Bung karno merupakan gambaran tragis kondisi politik dan sistim alih kekuasaan di Indonesia. Bung Karno telah memberikan seluruh catatan hidupnya untuk kebangkitan Bangsa Indonesia, walau pada akhirnya di Indonesia pula Bung Karno di campakkan.

Dikutip dari http://penasoekarno.wordpress.com/page/13/

No comments:

Post a Comment