dakwatuna.com - Sudah cukup lama Bilal bin Rabah tak mengumandangkan adzan lagi, pasca meninggalnya orang yang ia cinta. Rasulullah SAW.
Hingga suatu ketika Khalifah Abu Bakar meminta Bilal untuk adzan. Mungkin sang Khalifah pun rindu, seperti halnya rindu para penduduk Madinah terhadap lantunan merdu suara adzan Bilal.
Bilal pun menjawab “Jika dahulu tuan memerdekakan saya untuk kepentingan tuan, maka saya bersedia adzan. Tapi jika dahulu tuan memerdekakan saya karena Allah SWT, maka izinkan saya melakukan apa yang saya mau.”
“Saya memerdekakan engkau karena Allah” jawab sang Khalifah.
Bilal bin Rabah adalah mantan budak Bani Umayyah yang telah Abu Bakar merdekakan. Tapi begitulah adanya cinta Bilal. Penolakannya terhadap pinta Abu Bakar dan tidak berkumandangnya lagi lantunan adzan dari lisannya pasca Rasul wafat, bukan karena ia tak cinta…
Suatu malam Bilal bermimpi bersua dengan Rasulullah. Dalam mimpinya, Rasul berkata padanya, “Wahai Bilal, lama sekali kita berpisah.aku rindu padamu.”
Kata-kata Rasulullah begitu padat dan sarat makna; “Aku rindu padamu”. Menggambarkan kerinduan yang begitu mendalam. Seakan tak ada lagi kata yang tepat untuk melukiskan rasa rindu Rasul selain kata rindu itu sendiri.
Bilal pun menjawab “Ya Rasulullah, saya juga rindu pada Tuan.”
Hati Bilal begitu bahagia tak terperi dapat memandang wajah teduh sang manusia agung yang sangat ia cinta.
Keesokan pagi, Bilal bercerita pada salah seorang sahabatnya perihal mimpi semalam. Dalam kurun waktu yang singkat, cerita itu telah menyebar ke seantero penjuru Madinah. Madinah pun kembali berselimut duka, seolah Rasul baru saja wafat. Setiap jiwa merasa rindu, ingin bernostalgia. Mengingat kembali hari-hari ketika mereka bersama sang Rasul, orang yang mereka cinta.
Para sahabat ingin obat kerinduan mereka menjadi paripurna. Maka para sahabat pun bersepakat meminta Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan. Awalnya Bilal menolak. Tapi karena bersikerasnya para sahabat meminta, akhirnya Bilal pun menyanggupinya.
Suara adzan Bilal terdengar begitu syahdu. Seluruh penduduk di sepenjuru Madinah pun khusyu’ berlinang air mata. Saat itu mereka membayangkan seolah Rasul ada, membersamai mereka. Obat rindu mereka paripurna-lah sudah…
Pasca peristiwa yang mengharu biru itu, Bilal memutuskan untuk hijrah. Syiria adalah tempat yang ia pilih. Hijrahnya Bilal karena ia ingin menjauh dari makam Rasul dengan keluar dari Madinah.
Bilal adalah salah seorang sahabat yang telah Rasul jamin masuk surga. Tapi begitulah adanya cinta Bilal. Hijrahnya ke Syiria untuk menjauh dari makam Rasul bukan karena ia tak cinta…
Ada sejumput pelajaran yang berharga dari aksi cinta dalam kisah Bilal;
Tak berkumandangnya bait-bait nada cinta dari lisan kita pada dia yang tercinta tapi belum jadi mahrom kita, bukan karena tak cinta… tapi karena kita harus menjaga cinta, agar tak ada yang tergores duka. Agar kita tak terluka…
Mungkin itu pula yang Bilal ingin lakukan, hingga ia tak mau lagi mengumandangkan ‘dawai cinta’ (adzan) pasca wafatnya orang yang ia cinta, Rasulullah. Hingga ia pun harus menahan lisannya yang mungkin sebenarnya pun rindu mengumandangkan ‘dawai cinta’. Karena ia tak ingin dirinya beserta penduduk Madinah tergores duka karena rindu pada Baginda Rasul…
Hijrahnya kita (menjauh) dari tempat di mana orang yang kita cinta berada, bukan karena tak cinta… Tapi karena kita harus menjaga cinta, agar kemurniannya terjaga. Karena ketika kita berada pada tempat atau ranah yang sama, mungkin akan terasa sangat sulit menjaga niat-niat kita. Khawatir jikalau niat kita akan mudah terkontaminasi oleh riya, sum’ah atau penyakit hati lainnya.
Bilal pun hijrah. Tapi hijrah Bilal pasti bukan karena tak cinta.., tapi karena ia tak kuasa menahan rasa cinta yang berbuah rindu hendak jumpa, yang semakin bergelayut manja pada relung jiwa. Rindu pada orang yang ia cinta, Rasul yang mulia…
Inilah sepenggal aksi ‘tutup mulut’ dan ‘walkout’ Bilal, yang ia lakukan agar tak tergores duka karena buah cinta menghadirkan rindu yang menghujam jiwa…
Tentulah kisah cinta Bilal jauh beda dengan cinta kita… Kisahnya serupa, tentang cinta. Tapi tak sama..
Cinta Bilal sungguh mulia, karena tertuju untuk insan mulia. Rasulullah SAW. Sedang cinta kita tertuju pada seorang pria yang belum tentu jodoh kita.
Jika saja cinta mulia Bilal dapat ia manajemen dengan baik agar tak dirundung pilu, maka sudah sepatutnya cinta kita yang sangat semu dapat kita manage dengan baik agar tetap ridha Allah yang diharap, yang dituju…
Selamat belajar untuk me-manage cinta menjadi aksi nyata untuk meraih Ridha-Nya, di sepenggal episode cinta…
Bilal pun menjawab “Jika dahulu tuan memerdekakan saya untuk kepentingan tuan, maka saya bersedia adzan. Tapi jika dahulu tuan memerdekakan saya karena Allah SWT, maka izinkan saya melakukan apa yang saya mau.”
“Saya memerdekakan engkau karena Allah” jawab sang Khalifah.
Bilal bin Rabah adalah mantan budak Bani Umayyah yang telah Abu Bakar merdekakan. Tapi begitulah adanya cinta Bilal. Penolakannya terhadap pinta Abu Bakar dan tidak berkumandangnya lagi lantunan adzan dari lisannya pasca Rasul wafat, bukan karena ia tak cinta…
###
Kata-kata Rasulullah begitu padat dan sarat makna; “Aku rindu padamu”. Menggambarkan kerinduan yang begitu mendalam. Seakan tak ada lagi kata yang tepat untuk melukiskan rasa rindu Rasul selain kata rindu itu sendiri.
Bilal pun menjawab “Ya Rasulullah, saya juga rindu pada Tuan.”
Hati Bilal begitu bahagia tak terperi dapat memandang wajah teduh sang manusia agung yang sangat ia cinta.
Keesokan pagi, Bilal bercerita pada salah seorang sahabatnya perihal mimpi semalam. Dalam kurun waktu yang singkat, cerita itu telah menyebar ke seantero penjuru Madinah. Madinah pun kembali berselimut duka, seolah Rasul baru saja wafat. Setiap jiwa merasa rindu, ingin bernostalgia. Mengingat kembali hari-hari ketika mereka bersama sang Rasul, orang yang mereka cinta.
Para sahabat ingin obat kerinduan mereka menjadi paripurna. Maka para sahabat pun bersepakat meminta Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan. Awalnya Bilal menolak. Tapi karena bersikerasnya para sahabat meminta, akhirnya Bilal pun menyanggupinya.
Suara adzan Bilal terdengar begitu syahdu. Seluruh penduduk di sepenjuru Madinah pun khusyu’ berlinang air mata. Saat itu mereka membayangkan seolah Rasul ada, membersamai mereka. Obat rindu mereka paripurna-lah sudah…
Pasca peristiwa yang mengharu biru itu, Bilal memutuskan untuk hijrah. Syiria adalah tempat yang ia pilih. Hijrahnya Bilal karena ia ingin menjauh dari makam Rasul dengan keluar dari Madinah.
Bilal adalah salah seorang sahabat yang telah Rasul jamin masuk surga. Tapi begitulah adanya cinta Bilal. Hijrahnya ke Syiria untuk menjauh dari makam Rasul bukan karena ia tak cinta…
###
Tak berkumandangnya bait-bait nada cinta dari lisan kita pada dia yang tercinta tapi belum jadi mahrom kita, bukan karena tak cinta… tapi karena kita harus menjaga cinta, agar tak ada yang tergores duka. Agar kita tak terluka…
Mungkin itu pula yang Bilal ingin lakukan, hingga ia tak mau lagi mengumandangkan ‘dawai cinta’ (adzan) pasca wafatnya orang yang ia cinta, Rasulullah. Hingga ia pun harus menahan lisannya yang mungkin sebenarnya pun rindu mengumandangkan ‘dawai cinta’. Karena ia tak ingin dirinya beserta penduduk Madinah tergores duka karena rindu pada Baginda Rasul…
Hijrahnya kita (menjauh) dari tempat di mana orang yang kita cinta berada, bukan karena tak cinta… Tapi karena kita harus menjaga cinta, agar kemurniannya terjaga. Karena ketika kita berada pada tempat atau ranah yang sama, mungkin akan terasa sangat sulit menjaga niat-niat kita. Khawatir jikalau niat kita akan mudah terkontaminasi oleh riya, sum’ah atau penyakit hati lainnya.
Bilal pun hijrah. Tapi hijrah Bilal pasti bukan karena tak cinta.., tapi karena ia tak kuasa menahan rasa cinta yang berbuah rindu hendak jumpa, yang semakin bergelayut manja pada relung jiwa. Rindu pada orang yang ia cinta, Rasul yang mulia…
###
Inilah sepenggal aksi ‘tutup mulut’ dan ‘walkout’ Bilal, yang ia lakukan agar tak tergores duka karena buah cinta menghadirkan rindu yang menghujam jiwa…
Tentulah kisah cinta Bilal jauh beda dengan cinta kita… Kisahnya serupa, tentang cinta. Tapi tak sama..
Cinta Bilal sungguh mulia, karena tertuju untuk insan mulia. Rasulullah SAW. Sedang cinta kita tertuju pada seorang pria yang belum tentu jodoh kita.
Jika saja cinta mulia Bilal dapat ia manajemen dengan baik agar tak dirundung pilu, maka sudah sepatutnya cinta kita yang sangat semu dapat kita manage dengan baik agar tetap ridha Allah yang diharap, yang dituju…
Selamat belajar untuk me-manage cinta menjadi aksi nyata untuk meraih Ridha-Nya, di sepenggal episode cinta…
Oleh: Anisa Prasetyo Ningsih
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/08/22453/sekelumit-aksi-di-sepenggal-episode-cinta/#ixzz24o5tasta
No comments:
Post a Comment