Wednesday, August 15, 2012

Kerisauan Khalid bin Walid Sebelum Wafat

Saudaraku, siapa di antara kita yang tak mengenal Khalid bin Walid ra. Panglima besar kaum muslimin di masa Nabi saw dan dua khalifah sesudahnya; Abu Bakar dan Umar ra. Semua peperangan yang ia pimpin, dapat meraih kemenangan dengan izin Allah Swt. Segudang prestasi kepahlawanan mampu dia torehkan dalam hidupnya.

Di masa Umar ra, bahkan popularitas Khalid melebihi sang khalifah. Sehingga wajar jika seorang ibu yang sedang menimang-nimang anaknya ia berucap, “Jadilah kamu seperti Khalid.”

Umar ra melihat fenomena ini merupakan penyakit berbahaya yang harus segera diterapi. Tiada pengkultusan kepada seseorang sehebat apa pun dirinya. Sehingga di sebuah peperangan, Umar ra mencopot Khalid dari jabatan panglima perang dan menggantinya dengan Abu Ubaidah bin Jarrah. Hal ini dilakukannya untuk menyelamatkan umat agar tidak mengkultuskan Khalid. Tentu Umar tidak mengganti sosok Khalid dengan sahabat biasa. Tapi dia adalah sahabat yang luar biasa. Di mana Rasul saw pernah menggelarinya dengan “Aminu hadzihil ummah” kepercayaan umat ini.

Dan benarlah tak lama setelah itu Abu Ubaidah menjadi idola baru bagi umat. Semua peperangan yang dikendalikannya mengalami kemenangan besar.

Saudaraku,
Dalam bukunya “Tharaif wa mawaqif min at tarikh al Islami”, Hasan Zakaria Falaifil pernah menulis;
Khalid bin Walid ra wafat tahun 21 H, dalam usia kurang dari 55 tahun. Menjelang wafat ada hal yang merisaukan hatinya.

Apa yang merisaukannya saudaraku?
Ia terkenang dengan anak-anaknya yang berjumlah 40 orang yang tidak menemaninya kala itu. Seluruhnya menghadap Allah swt di masa hidupnya karena terjangkit penyakit kolera. Ia tidak melihat apapun di rumahnya, selain kudanya, budak laki-lakinya dan peralatan perangnya. Setelah mendengar kabar ini, Umar ra bertutur, “Sungguh ia benar-benar pejuang sejati yang menggetarkan musuh. Ia seorang panglima perang yang tangguh.”

Saudaraku..
Dalam hidup pasti kita pernah risau. Ada yang bernuansa positif dan tidak sedikit yang bermuatan negatif. Dan justru risau itu menandakan bahwa detak jatung kehidupan kita masih ada.

Apa yang dirasakan Khalid dari rasa sepi ditinggal pergi oleh orang-orang dekat; istri dan anak-anaknya merupakan bentuk risau yang positif. Terlebih detik-detik di ambang kematian, adalah satu keadaan yang sangat mendambakan kehadiran mereka. Juga terbayang di benak sahabat ini, setelah kepergiannya maka para kekasihnya tak dapat memandikan, menyalatkan jenazahnya dan memakamkannya.

Dan yang paling merisaukannya adalah bahwa cita-cita hidupnya meraih mati syahid di medan perang tak terwujud di alam realita.

Saudaraku..
Buah pelajaran yang dapat kita petik dari kisah ini adalah:
Risau yang memotivasi kita untuk selalu mengukir prestasi mulia di hadapan-Nya adalah warna risau yang terpuji. Kita risau dengan status belum terdaftar di KUA pada usia lebih dari 25 tahun, adalah risau yang positif. Karena hal itu akan memupuk semangat kita untuk menyempurnakan agama sesegera mungkin. Risau karena belum mampu menyelesaikan hafalan al Qur’an di usia 38 tahun. Itu juga merupakan warna risau yang mulia. Sebab ia dapat menjaga semangat agar tak luntur untuk menghafal kalamullah. Tapi jika kita risau lantaran gagal membangun menara bisnis, atau terjatuh dari puncak popularitas, atau cinta terhadap lawan jenis yang tak bersambut dan seterusnya yang menyebabkan kita meratap dan terpuruk dalam kesedihan yang berkepanjangan. Maka hal itu sudah barang tentu masuk dalam bab putus asa dari rahmat Allah Swt, yang merupakan bibit dari kekufuran.

Para sahabat, rata-rata memiliki banyak keturunan. Jika Khalid bin Walid ra memiliki 40 anak, maka Anas bin Malik lebih banyak dari itu. Disebutkan bahwa anak cucunya yang berkumpul saat khataman al Qur’an di rumahnya lebih dari 100 orang.

Anak adalah investasi bagi orang tua, baik di dunia maupun di akherat. Itu artinya semakin banyak kita memiliki keturunan, semakin banyak pula investasi kita. Terlebih Nabi saw pernah memberikan garansi, bahwa siapa yang memiliki tiga orang puteri. Ia berikan sandang, pangan dan mendidiknya dengan baik, maka ia akan terhalang dari sengatan api neraka, sebagaimana yang tersebut dalam riwayat Ibnu Majah. Maka sungguh ironi jika ada orang yang cukup dan bahkan bangga dapat membatasi anak keturunannya dengan dua anak saja.

Membiasakan diri untuk memberikan penghargaan, pujian, kesaksian yang baik terhadap orang yang shalih, menularkan keshalihan kepada orang lain, berjuang di jalan Allah dan berkiprah untuk melayani umat. Baik di masa hidupnya atau sepeninggalnya. Seperti perkataan Umar ra perihal Khalid bin Walid ra.

Memelihara kesehatan dan kebugaran tubuh agar tak terjangkit penyakit menular dan berbahaya semisal kolera dan seterusnya.

Bersilaturahim kepada orang-orang shalih, terutama generasi terbaik umat ini yakni para sahabat. Hal ini terwujud dengan menelusuri sirah mereka. Karena dengan membaca sirah mereka seolah-olah kita telah berkunjung dan bertatap muka dengan mereka.

Saudaraku..
Apa yang membuat kita risau hari ini? Wallahu a’lam bishawab.

Sumber: Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)

No comments:

Post a Comment