Di sebuah perusahaan rel kereta api ada seorang pegawai, namanya Nick. Dia sangat rajin bekerja, dan sangat bertanggung jawab, tetapi dia mempunyai satu kekurangan, yaitu dia tidak mempunyai harapan apapun terhadap hidupnya, dia melihat dunia ini dengan pandangan tanpa harapan sama sekali.
Pada suatu hari semua karyawan bergegas untuk merayakan ulang tahun bos mereka, semuanya pulang lebih awal dengan cepat sekali. Yang tidak sengaja terjadi adalah, Nick terkunci di sebuah mobil pengangkut es yang belum sempat dibetulkan. Nick berteriak, memukul pintu dengan keras, semua orang di kantor sudah pergi merayakan ulang tahun bosnya, maka tidak ada yang mendengarnya.
Tangannya sudah merah kebengkak-bengkakan memukul pintu mobil itu, suaranya sudah serak akibat berteriak terus, tetapi tetap tidak ada orang yang mempedulikannya, akhirnya dia duduk di dalam sambil menghelakan nafas yang panjang. Semakin dia berpikir semakin dia merasa takut, dalam hatinya dia berpikir: Dalam mobil pengangkut es suhunya pasti di bawah 0 derajat, kalau dia tidak segera keluar dari situ, pasti akan matikedinginan. Dia terpaksa dengan tangan yang gemetar, mencari secarik kertas dan sebuah bolpen, menuliskan surat wasiatnya.
Keesokkan harinya, semua karyawan pun datang bekerja. Mereka membuka pintu mobil pengangkut es tersebut, dan sangat terkejut menemukan Nick yang terbaring di dalam. Mereka segera mengantarkan Nick untuk ditolong, tetapi dia sudah tidak bernyawa lagi.
Tetapi yang paling mereka kagetkan adalah, listrik mobil untuk menghidupkan mesin itu tidak dihubungkan, dalam mobil yang besar itu juga ada cukup oksigen untuknya, yang paling mereka herankan adalah suhu dalam mobil itu hanya 28 derajat saja, tetapi Nick malah mati “kedinginan” !!
Nick bukanlah mati karena suhu dalam mobil terlalu rendah, dia mati dalam titik es di dalam hatinya. Dia sudah menghakimi dirinya sebuah hukuman mati, bagaimana dapat hidup terus?
Percaya dalam diri sendiri adalah sebuah perasaan hati. Orang yang mempunyai rasa percaya diri tidak akan langsung putus asa begitu saja, dia tidak akan langsung berubah sedih terhadap keadaan hidupnya yang jalan kurang lancar.
Tanyalah pada diri kita sendiri, apakah kita sendiri sering langsung memutuskan bahwa kita tidak mampu untuk mengerjakan suatu hal, sehingga kita kehilangan banyak kesempatan untuk menjadi sukses? Kehilangan banyak kesempatan untuk belajar mandiri? Untuk jadi lebih mengerti kehidupan ini?
Yang mempengaruhi semangat kamu bukanlah faktor-faktor dari luar, melainkan hatimu sendiri. Sebelum berusaha sudah dikalahkan oleh diri kita sendiri, biarpun ada banyak bantuan yang tertuju pada dirimu tetap tidak akan membantu.
http://inspiratif.blogdetik.com/motivatif/titik-es-dalam-hati/
Tuesday, November 30, 2010
Monday, November 29, 2010
Rumah di Surga
(Asyiah begitu menderita di dalam istana yang penuh dengan orang-orang yang bermaksiat sehingga dia menginginkan rumah di Surga)
Abdullah bin Abbas menceritakan, pada satu hari Rasulullah saw. menjelaskan mengenai empat garis di atas tanah, lalu Rasulullah saw. bertanya, "Apakah engkau mengetahui garis ini garis apa?" Maka para Shahabat pun menjawab, "Engkau lebih tahu wahai Rasulullah," maka Rasulullah saw. pun berkata, "sesungguhnya ini menggambarkan hanya ada empat wanita terbaik di dunia ini."
Khadijah binti Khawalid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asyiah binti Mazahim (istri Fir'aun).
Asyiah begitu lama menderita di bawah cengkraman Fir'aun yang kejam. Bersuamikan lelaki yang kejam tentu saja membuat siapapun wanita menjadi sangat menderita, walaupun kekejaman terhadap istri tidak digambarkan dalam kisah para Shahabiyah, (walau ada sebagian yang menceritakan bahwa akhirnya Asyiah syahid karena dibunuh dengan cara menariknya dengan empat ekor kuda dari segala penjuru atas perintah Fir'aun yang kejam).
Namun selama dalam kekuasaan Fir'aun, sikap kejamnya tidak ditunjukan pada Asyiah, bahkan Asiah membujuk Fir'aun untuk menerima Musa kecil dalam penjagaannya padahal ketika itu sedang diberlakukan undang-undang baru yaitu membunuh bayi lelaki di Mesir.
Namun kecintaan Fir'aun kepada Asyiah membuatnya mampu untuk bukan hanya membawanya namun juga memeliharanya, dan tanpa disadari Firaun, seorang musuh utamanya malah tinggal dalam rumahnya.
Penderitaan Asyiah yang bersuamikan berhala membuatnya menjadi istri yang taat diam di dalam rumah walaupun suaminya sangat kejam, tidak ada sedikitpun keinginan baginya untuk membalas kekejaman itu dengan memboikot, membentak-bentak, marah-marah ataupun kabur dari rumah, semua kekejaman yang dilakukan suaminya di depan matanya tiada terkira dilalui Asyiah dengan sabar, bertahun-tahun terperangkap dalam istana yang dingin tidak ada ketenangan dan keberkahan menyelimutinya.
Namun ditengah kepediahan Asyiah bersuamikan Fir'aun, Islam dan taqarrubilalallah-nya begitu membuatnya menjadi sosok tegar seorang wanita yang sangat beriman, sampai akhirnya tiada yang diminta kecuali satu, “Ya Allah, bangunkan aku rumah di Surga”.
Subhanallah permintaannya terlihat sangat sederhana namun begitu dalam dan penuh makna yaitu rumah di Surga, karena rumah di dunia rasanya sudah seperti di Neraka, dan wajarlah bila kesabaran dan kekuatan untuk memeluk erat Islam ditengah kekejaman Fir'aun menjadikan Asyiah sebagai salah satu wanita yang hidup di bukan era Rasulullah saw. Namun diakui sebagai salah satu wanita unggul selain Siti Maryam, Khadijah dan Fatimah.
Sanggupkah kita meniru Asyiah tetap taat kepada Allah dan tidak meninggalkan suami kita walau suami kita sekejam Fir’aun. Masya Allah, masih banyak yang harus kita pelajari dari para wanita mulia pendahulu kita. Wallahuallam.
http://www.eramuslim.com/akhwat/wanita-bicara/rumah-di-surga.htm
Abdullah bin Abbas menceritakan, pada satu hari Rasulullah saw. menjelaskan mengenai empat garis di atas tanah, lalu Rasulullah saw. bertanya, "Apakah engkau mengetahui garis ini garis apa?" Maka para Shahabat pun menjawab, "Engkau lebih tahu wahai Rasulullah," maka Rasulullah saw. pun berkata, "sesungguhnya ini menggambarkan hanya ada empat wanita terbaik di dunia ini."
Khadijah binti Khawalid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asyiah binti Mazahim (istri Fir'aun).
Asyiah begitu lama menderita di bawah cengkraman Fir'aun yang kejam. Bersuamikan lelaki yang kejam tentu saja membuat siapapun wanita menjadi sangat menderita, walaupun kekejaman terhadap istri tidak digambarkan dalam kisah para Shahabiyah, (walau ada sebagian yang menceritakan bahwa akhirnya Asyiah syahid karena dibunuh dengan cara menariknya dengan empat ekor kuda dari segala penjuru atas perintah Fir'aun yang kejam).
Namun selama dalam kekuasaan Fir'aun, sikap kejamnya tidak ditunjukan pada Asyiah, bahkan Asiah membujuk Fir'aun untuk menerima Musa kecil dalam penjagaannya padahal ketika itu sedang diberlakukan undang-undang baru yaitu membunuh bayi lelaki di Mesir.
Namun kecintaan Fir'aun kepada Asyiah membuatnya mampu untuk bukan hanya membawanya namun juga memeliharanya, dan tanpa disadari Firaun, seorang musuh utamanya malah tinggal dalam rumahnya.
Penderitaan Asyiah yang bersuamikan berhala membuatnya menjadi istri yang taat diam di dalam rumah walaupun suaminya sangat kejam, tidak ada sedikitpun keinginan baginya untuk membalas kekejaman itu dengan memboikot, membentak-bentak, marah-marah ataupun kabur dari rumah, semua kekejaman yang dilakukan suaminya di depan matanya tiada terkira dilalui Asyiah dengan sabar, bertahun-tahun terperangkap dalam istana yang dingin tidak ada ketenangan dan keberkahan menyelimutinya.
Namun ditengah kepediahan Asyiah bersuamikan Fir'aun, Islam dan taqarrubilalallah-nya begitu membuatnya menjadi sosok tegar seorang wanita yang sangat beriman, sampai akhirnya tiada yang diminta kecuali satu, “Ya Allah, bangunkan aku rumah di Surga”.
Subhanallah permintaannya terlihat sangat sederhana namun begitu dalam dan penuh makna yaitu rumah di Surga, karena rumah di dunia rasanya sudah seperti di Neraka, dan wajarlah bila kesabaran dan kekuatan untuk memeluk erat Islam ditengah kekejaman Fir'aun menjadikan Asyiah sebagai salah satu wanita yang hidup di bukan era Rasulullah saw. Namun diakui sebagai salah satu wanita unggul selain Siti Maryam, Khadijah dan Fatimah.
Sanggupkah kita meniru Asyiah tetap taat kepada Allah dan tidak meninggalkan suami kita walau suami kita sekejam Fir’aun. Masya Allah, masih banyak yang harus kita pelajari dari para wanita mulia pendahulu kita. Wallahuallam.
http://www.eramuslim.com/akhwat/wanita-bicara/rumah-di-surga.htm
Sebelum Meninggal Dia Mengatakan, “Aku Mencium Bau Surga!”
Seorang Doktor bercerita kepadaku, “Pihak rumah sakit menghubungiku dan memberitahukan bahwa ada seorang pasien dalam keadaan kritis sedang dirawat. Ketika aku sampai, ternyata pasien tersebut adalah seorang pemuda yang sudah meninggal -semoga Allah merahmatinya-. Lantas bagaimana detail kisah wafatnya. Setiap hari puluhan bahkan ribuan orang meninggal. Namun bagaimana keadaan mereka ketika wafat? Dan bagaimana pula dengan akhir hidupnya?
Pemuda ini terkena peluru nyasar, dengan segera kedua orang tuanya -semoga Allah membalas kebaikan mereka- melarikannya ke rumah sakit militer di Riyadh. Di tengah perjalanan, pemuda itu menoleh kepada ibu bapaknya dan sempat berbicara. Tetapi apa yang ia katakan? Apakah ia menjerit dan mengerang sakit? Atau menyuruh agar segera sampai ke rumah sakit? Ataukah ia marah dan jengkel? Atau apa?
Orang tuanya mengisahkan bahwa anaknya tersebut mengatakan kepada mereka, ‘Jangan khawatir! Saya akan meninggal… tenanglah… sesungguhnya aku mencium bau surga.!’ Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan ia mengulang-ulang kalimat tersebut di hadapan pada dokter yang sedang merawat. Meskipun mereka berusaha berulang-ulang untuk menyelamatkannya, ia berkata kepada mereka, ‘Wahai saudara-saudara, aku akan mati, jangan kalian menyusahkan diri sendiri… karena sekarang aku mencium bau surga.’
Kemudian ia meminta kedua orang tuanya agar mendekat lalu mencium keduanya dan meminta maaf atas segala kesalahannya. Kemudian ia mengucapkan salam kepada saudara-saudaranya dan mengucapkan dua kalimat syahadat, ‘Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah. ‘ Ruhnya melayang kepada Sang Pencipta SWT.
Allahu Akbar… apa yang harus kukatakan dan apa yang harus aku komentari… semua kalimat tidak mampu terucap… dan pena telah kering di tangan… aku tidak kuasa kecuali hanya mengulang dan mengingat Firman Allah SWT, ‘Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.’ (Ibrahim: 27).
Tidak ada yang perlu dikomentari lagi.”
Ia melanjutkan kisahnya,
“Mereka membawanya untuk dimandikan. Maka ia dimandikan oleh saudara Dhiya’ di tempat memandikan mayat yang ada di rumah sakit tersebut. Petugas itu melihat beberapa keanehan yang terakhir. Sebagaimana yang telah ia ceritakan sesudah shalat Maghrib pada hari yang sama.
I. Ia melihat dahinya berkeringat. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang mukmin meninggal dengan dahi berkeringat.” Ini merupakan tanda-tanda Husnul Khatimah.
II. Ia katakan tangan jenazahnya lunak demikian juga pada persendiannya seakan-akan dia belum mati. Masih mempunyai panas badan yang belum pernah ia jumpai sebelumnya semenjak ia bertugas memandikan mayat. Padahal tubuh orang yang sudah meninggal itu dingin, kering dan kaku.
III. Telapak tangan kanannya seperti seorang yang membaca tasyahud yang mengacungkan jari telunjuknya mengisyaratkan ketauhidan dan persaksiaannya, sementara jari-jari yang lain ia genggam.
Subhanallah… sungguh indah kematian seperti ini. Kita bermohon semoga Allah menganugrahkan kita Husnul Khatimah.
Saudara-saudara tercinta… kisah belum selesai…
Saudara Dhiya’ bertanya kepada salah seorang pamannya, apa yang ia lakukan semasa hidupnya? Tahukah anda apa jawabannya?
Apakah anda kira ia menghabiskan malamnya dengan berjalan-jalan di jalan raya? Atau duduk di depan televisi untuk menyaksikan hal-hal yang ter-larang? Atau ia tidur pulas hingga terluput mengerjakan shalat? Atau sedang meneguk khamr, narkoba dan rokok? Menurut anda apa yang telah ia kerjakan? Mengapa ia dapatkan Husnul Khatimah yang aku yakin bahwa saudara pembaca pun mengidam-idamkannya; meninggal dengan mencium bau surga.
Ayahnya berkata, ‘Ia selalu bangun dan melaksanakan shalat malam sesanggupnya. Ia juga membangunkan keluarga dan seisi rumah agar dapat melaksanakan shalat Shubuh berjamaah. Ia gemar menghafal al-Qur’an dan termasuk salah seorang siswa yang berprestasi di SMU’.”
Aku katakan, “Maha benar Allah yang berfirman, ‘Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengam-pun lagi Maha Penyayang.’ (Fushshilat: 30-32).”
Dalam sebuah hadits yang terdapat dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Ada tujuh golongan orang yang akan mendapat naungan Allah pada hari tiada naungan selain dari naunganNya... di antaranya, seorang pemuda yang tumbuh dalam melakukan ketaatan kepada Allah.”
Dalam sebuah hadits shahih dari Anas bin an-Nadhr RA, ketika perang Uhud ia berkata, “Wah.. angin surga, sungguh aku telah mecium bau surga yang berasal dari balik gunung Uhud.”
(SUMBER: SERIAL KISAH TELADAN KARYA MUHAMMAD BIN SHALIH AL-QAHTHANI, PENERBIT DARUL HAQ, TELP.021-4701616 sebagai yang dinukil dari Qishash wa ‘Ibar karya Doktor Khalid al-Jabir)
sumber; www.alsofwah.or.id
Pemuda ini terkena peluru nyasar, dengan segera kedua orang tuanya -semoga Allah membalas kebaikan mereka- melarikannya ke rumah sakit militer di Riyadh. Di tengah perjalanan, pemuda itu menoleh kepada ibu bapaknya dan sempat berbicara. Tetapi apa yang ia katakan? Apakah ia menjerit dan mengerang sakit? Atau menyuruh agar segera sampai ke rumah sakit? Ataukah ia marah dan jengkel? Atau apa?
Orang tuanya mengisahkan bahwa anaknya tersebut mengatakan kepada mereka, ‘Jangan khawatir! Saya akan meninggal… tenanglah… sesungguhnya aku mencium bau surga.!’ Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan ia mengulang-ulang kalimat tersebut di hadapan pada dokter yang sedang merawat. Meskipun mereka berusaha berulang-ulang untuk menyelamatkannya, ia berkata kepada mereka, ‘Wahai saudara-saudara, aku akan mati, jangan kalian menyusahkan diri sendiri… karena sekarang aku mencium bau surga.’
Kemudian ia meminta kedua orang tuanya agar mendekat lalu mencium keduanya dan meminta maaf atas segala kesalahannya. Kemudian ia mengucapkan salam kepada saudara-saudaranya dan mengucapkan dua kalimat syahadat, ‘Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah. ‘ Ruhnya melayang kepada Sang Pencipta SWT.
Allahu Akbar… apa yang harus kukatakan dan apa yang harus aku komentari… semua kalimat tidak mampu terucap… dan pena telah kering di tangan… aku tidak kuasa kecuali hanya mengulang dan mengingat Firman Allah SWT, ‘Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.’ (Ibrahim: 27).
Tidak ada yang perlu dikomentari lagi.”
Ia melanjutkan kisahnya,
“Mereka membawanya untuk dimandikan. Maka ia dimandikan oleh saudara Dhiya’ di tempat memandikan mayat yang ada di rumah sakit tersebut. Petugas itu melihat beberapa keanehan yang terakhir. Sebagaimana yang telah ia ceritakan sesudah shalat Maghrib pada hari yang sama.
I. Ia melihat dahinya berkeringat. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang mukmin meninggal dengan dahi berkeringat.” Ini merupakan tanda-tanda Husnul Khatimah.
II. Ia katakan tangan jenazahnya lunak demikian juga pada persendiannya seakan-akan dia belum mati. Masih mempunyai panas badan yang belum pernah ia jumpai sebelumnya semenjak ia bertugas memandikan mayat. Padahal tubuh orang yang sudah meninggal itu dingin, kering dan kaku.
III. Telapak tangan kanannya seperti seorang yang membaca tasyahud yang mengacungkan jari telunjuknya mengisyaratkan ketauhidan dan persaksiaannya, sementara jari-jari yang lain ia genggam.
Subhanallah… sungguh indah kematian seperti ini. Kita bermohon semoga Allah menganugrahkan kita Husnul Khatimah.
Saudara-saudara tercinta… kisah belum selesai…
Saudara Dhiya’ bertanya kepada salah seorang pamannya, apa yang ia lakukan semasa hidupnya? Tahukah anda apa jawabannya?
Apakah anda kira ia menghabiskan malamnya dengan berjalan-jalan di jalan raya? Atau duduk di depan televisi untuk menyaksikan hal-hal yang ter-larang? Atau ia tidur pulas hingga terluput mengerjakan shalat? Atau sedang meneguk khamr, narkoba dan rokok? Menurut anda apa yang telah ia kerjakan? Mengapa ia dapatkan Husnul Khatimah yang aku yakin bahwa saudara pembaca pun mengidam-idamkannya; meninggal dengan mencium bau surga.
Ayahnya berkata, ‘Ia selalu bangun dan melaksanakan shalat malam sesanggupnya. Ia juga membangunkan keluarga dan seisi rumah agar dapat melaksanakan shalat Shubuh berjamaah. Ia gemar menghafal al-Qur’an dan termasuk salah seorang siswa yang berprestasi di SMU’.”
Aku katakan, “Maha benar Allah yang berfirman, ‘Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengam-pun lagi Maha Penyayang.’ (Fushshilat: 30-32).”
Dalam sebuah hadits yang terdapat dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Ada tujuh golongan orang yang akan mendapat naungan Allah pada hari tiada naungan selain dari naunganNya... di antaranya, seorang pemuda yang tumbuh dalam melakukan ketaatan kepada Allah.”
Dalam sebuah hadits shahih dari Anas bin an-Nadhr RA, ketika perang Uhud ia berkata, “Wah.. angin surga, sungguh aku telah mecium bau surga yang berasal dari balik gunung Uhud.”
(SUMBER: SERIAL KISAH TELADAN KARYA MUHAMMAD BIN SHALIH AL-QAHTHANI, PENERBIT DARUL HAQ, TELP.021-4701616 sebagai yang dinukil dari Qishash wa ‘Ibar karya Doktor Khalid al-Jabir)
sumber; www.alsofwah.or.id
Salah Satu Murid Para Malaikat
Muhammad bin al-Mudzaffar berkata, "Diriwayatkan kepada kami bahwa semula kedua orang tua Abu Mahfudz Ma’ruf bin Fairuz al-Kurkhi adalah orang Persia yang beragama Nasrani.
Keduanya menyerahkan pendidikan anaknya (Ma’ruf) sejak dini untuk belajar menulis kepada seorang alim. Suatu hari sang guru memberi pelajaran, katakan, 'Tuhan Bapa, Tuhan Anak, Dan Tuhan Ibu.' Ma’ruf membantah dengan mengatakan, 'Tuhan hanya satu.' Kemudian sang guru memukulnya.
Guru pun melanjutkan pengajarannya untuk mengucapkan seperti yang semula. Lagi-lagi Ma’ruf menolak, dia mengucap-kan, 'Tuhan itu satu.' Pada lain hari sang guru memukul dengan pukulan yang lebih keras, maka Ma’ruf pun melarikan diri.
Nampaknya kedua orang tua Ma’ruf tidak mampu lagi ber-sabar. Hampir-hampir keduanya berputus asa karena sangat kha-watir dengan pembangkangan Ma’ruf. Akhirnya kedua orangtua Ma’ruf berkata, 'Mudah-mudahan dia menemukan suatu agama yang berkenan di hatinya sehingga kita bisa turut memeluk agama itu.'
Ma’ruf, yang masih anak-anak itu terus berjalan mencari kebenaran sehingga bertemu dengan Ali bin Musa ar-Ridha, lalu menyatakan dirinya masuk Islam dihadapannya. Ia hidup dengan beliau dan membantu beliau dalam tempo yang tidak sebentar.
Tak berapa lama kemudian, ia minta izin kepada Ali bin Musa untuk pulang ke rumah orang tuanya. Ia tiba di rumah pada malam hari, setelah mengetuk pintu, orang tuanya ber-tanya, 'Siapa?' Ma’ruf menjawab, 'Saya!' Sebelum membuka pintu, orang tua Ma’ruf bertanya, 'Sekarang kamu memeluk agama apa?' Ma’ruf menjawab, 'Islam.' Kedua orang tuanya mempersi-lahkan masuk dan memeluk Islam. Allah telah berkenan me-ngumpulkan keluarga ini dalam agama Islam'."
Di antara riwayat yang sampai kepada kami adalah bahwa, "Ma’ruf mengajarkan agama yang dipeluknya dengan ucapan-ucapan yang tidak disukai kedua orang tuanya. Sehingga si Ibu berkata kepada sang ayah, 'Anakmu ini masih sangat kecil, tidak pantas berkata-kata demikian. Jalan pikirannya telah dirusak oleh sebagian umat Islam, sebaiknya ia dilarang keluar rumah saja. Keputusan ini lebih baik untuk anak kita.'
Beberapa hari ia disekap dalam kamar rumahnya. Namun sang ayah tidak tega, lalu melepasnya. Akan tetapi Ma’ruf malah kembali mengunci diri di dalam kamar. Ia tidak mau keluar sebe-lum kedua orang tuanya memaksa untuk keluar kamar, sampai-sampai sang ayah bertanya, 'Mau berapa lama lagi kamu akan mengunci diri dalam kamar?'
Ma’ruf menjawab, 'Ayah, sebenarnya ketika aku berada di dalam kamar ini, aku mendapatkan seseorang yang mampu memberi pencerahan yang ayah ibuku sangka bahwa dia meru-sak jalan hidupku dan berdampak buruk pada ayah ibu berdua.'
Ayah Ma’ruf bertanya, 'Siapa dia?'
Ma’ruf diam, tidak memberi jawaban. Sang Ayah marah kepada si Ibu, 'Ini gara-gara kamu! Anak kesayanganku jadi gila!' Sang ayah lalu membawa Ma’ruf pergi menemui seorang pendeta, untuk menceritakan kejadian tersebut dan agar pendeta bersedia menjampi dan mengobatinya.
Sang pendeta bertanya kepada Ma’ruf, 'Siapakah yang dia maksud merusak jalan pikiranmu sehingga berdampak buruk kepada kedua orang tuamu?'
Ma’ruf menjawab, 'Hati kecilku! Dia senantiasa merenungkan siapa yang telah menciptakan langit dan bumi juga memikirkan mengapa bisa demikian indah!'
Sang pendeta bertanya lagi, 'Kalau begitu, bagaimana menu-rut pendapatmu wahai Ma’ruf mengenai renunganmu itu?'
Ma’ruf menjawab, 'Menurutku, di sana hanya ada satu Dzat yang mampu mengatur seluruh alam raya ini, tidak boleh ada seorang pun yang menyerupai Dzat itu. Sebab sekiranya ada tentu ia ingin berbuat seperti yang telah diperbuatnya.'
Pendeta berkata, 'Kalau demikian, tetaplah kamu di situ, sebentar lagi aku datang menemuimu.'
Kemudian pendeta kembali ke biaranya untuk mengambil tinta dan pena. Ia mengajukan beberapa pertanyaan kepada Ma’ruf, lalu menulis jawabannya. Selanjutnya pendeta berkata kepada Fairuz (ayah Ma’ruf), 'Wahai Fairuz, Sekiranya engkau berkata kepadaku bahwa anak ini adalah anakku, tentu aku akan mengatakan bahwa dia adalah salah satu murid para Malaikat.'
Fairuz bersama anaknya pulang dengan perasaan bahagia.
Ma’ruf berkata, 'Peristiwa ini kemudian aku ceritakan ke-pada guruku Ali bin Musa ar-Ridha, beliau pun berkomentar, 'Memang kamu salah satu murid para Malaikat'." (Anba’ Nujabail Abna’, hal. 185-187.)
Diposting oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim, dinukil dari, “99 Kisah Orang Shalih"
(http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkisah&id=233)
Keduanya menyerahkan pendidikan anaknya (Ma’ruf) sejak dini untuk belajar menulis kepada seorang alim. Suatu hari sang guru memberi pelajaran, katakan, 'Tuhan Bapa, Tuhan Anak, Dan Tuhan Ibu.' Ma’ruf membantah dengan mengatakan, 'Tuhan hanya satu.' Kemudian sang guru memukulnya.
Guru pun melanjutkan pengajarannya untuk mengucapkan seperti yang semula. Lagi-lagi Ma’ruf menolak, dia mengucap-kan, 'Tuhan itu satu.' Pada lain hari sang guru memukul dengan pukulan yang lebih keras, maka Ma’ruf pun melarikan diri.
Nampaknya kedua orang tua Ma’ruf tidak mampu lagi ber-sabar. Hampir-hampir keduanya berputus asa karena sangat kha-watir dengan pembangkangan Ma’ruf. Akhirnya kedua orangtua Ma’ruf berkata, 'Mudah-mudahan dia menemukan suatu agama yang berkenan di hatinya sehingga kita bisa turut memeluk agama itu.'
Ma’ruf, yang masih anak-anak itu terus berjalan mencari kebenaran sehingga bertemu dengan Ali bin Musa ar-Ridha, lalu menyatakan dirinya masuk Islam dihadapannya. Ia hidup dengan beliau dan membantu beliau dalam tempo yang tidak sebentar.
Tak berapa lama kemudian, ia minta izin kepada Ali bin Musa untuk pulang ke rumah orang tuanya. Ia tiba di rumah pada malam hari, setelah mengetuk pintu, orang tuanya ber-tanya, 'Siapa?' Ma’ruf menjawab, 'Saya!' Sebelum membuka pintu, orang tua Ma’ruf bertanya, 'Sekarang kamu memeluk agama apa?' Ma’ruf menjawab, 'Islam.' Kedua orang tuanya mempersi-lahkan masuk dan memeluk Islam. Allah telah berkenan me-ngumpulkan keluarga ini dalam agama Islam'."
Di antara riwayat yang sampai kepada kami adalah bahwa, "Ma’ruf mengajarkan agama yang dipeluknya dengan ucapan-ucapan yang tidak disukai kedua orang tuanya. Sehingga si Ibu berkata kepada sang ayah, 'Anakmu ini masih sangat kecil, tidak pantas berkata-kata demikian. Jalan pikirannya telah dirusak oleh sebagian umat Islam, sebaiknya ia dilarang keluar rumah saja. Keputusan ini lebih baik untuk anak kita.'
Beberapa hari ia disekap dalam kamar rumahnya. Namun sang ayah tidak tega, lalu melepasnya. Akan tetapi Ma’ruf malah kembali mengunci diri di dalam kamar. Ia tidak mau keluar sebe-lum kedua orang tuanya memaksa untuk keluar kamar, sampai-sampai sang ayah bertanya, 'Mau berapa lama lagi kamu akan mengunci diri dalam kamar?'
Ma’ruf menjawab, 'Ayah, sebenarnya ketika aku berada di dalam kamar ini, aku mendapatkan seseorang yang mampu memberi pencerahan yang ayah ibuku sangka bahwa dia meru-sak jalan hidupku dan berdampak buruk pada ayah ibu berdua.'
Ayah Ma’ruf bertanya, 'Siapa dia?'
Ma’ruf diam, tidak memberi jawaban. Sang Ayah marah kepada si Ibu, 'Ini gara-gara kamu! Anak kesayanganku jadi gila!' Sang ayah lalu membawa Ma’ruf pergi menemui seorang pendeta, untuk menceritakan kejadian tersebut dan agar pendeta bersedia menjampi dan mengobatinya.
Sang pendeta bertanya kepada Ma’ruf, 'Siapakah yang dia maksud merusak jalan pikiranmu sehingga berdampak buruk kepada kedua orang tuamu?'
Ma’ruf menjawab, 'Hati kecilku! Dia senantiasa merenungkan siapa yang telah menciptakan langit dan bumi juga memikirkan mengapa bisa demikian indah!'
Sang pendeta bertanya lagi, 'Kalau begitu, bagaimana menu-rut pendapatmu wahai Ma’ruf mengenai renunganmu itu?'
Ma’ruf menjawab, 'Menurutku, di sana hanya ada satu Dzat yang mampu mengatur seluruh alam raya ini, tidak boleh ada seorang pun yang menyerupai Dzat itu. Sebab sekiranya ada tentu ia ingin berbuat seperti yang telah diperbuatnya.'
Pendeta berkata, 'Kalau demikian, tetaplah kamu di situ, sebentar lagi aku datang menemuimu.'
Kemudian pendeta kembali ke biaranya untuk mengambil tinta dan pena. Ia mengajukan beberapa pertanyaan kepada Ma’ruf, lalu menulis jawabannya. Selanjutnya pendeta berkata kepada Fairuz (ayah Ma’ruf), 'Wahai Fairuz, Sekiranya engkau berkata kepadaku bahwa anak ini adalah anakku, tentu aku akan mengatakan bahwa dia adalah salah satu murid para Malaikat.'
Fairuz bersama anaknya pulang dengan perasaan bahagia.
Ma’ruf berkata, 'Peristiwa ini kemudian aku ceritakan ke-pada guruku Ali bin Musa ar-Ridha, beliau pun berkomentar, 'Memang kamu salah satu murid para Malaikat'." (Anba’ Nujabail Abna’, hal. 185-187.)
Diposting oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim, dinukil dari, “99 Kisah Orang Shalih"
(http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkisah&id=233)
Agar Allah tak Membuka Aib Kita
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-- Suatu hari Rasulullah SAW naik ke atas mimbar dan menyeru dengan suara yang tinggi, "Janganlah kalian menyakiti kaum Muslim, janganlah menjelekkan mereka, janganlah mencari-cari aurat mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat saudara sesama Muslim, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan, siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walaupun ia berada di tengah tempat tinggalnya." (dari Abdullah bin 'Umar)
Syekh Mahmud al-Mishri dalam kitabnya Mausu'ah min Akhlaqir-Rasul mengungkapkan, di zaman sekarang ini sulit untuk menemukan orang yang dapat dipercaya dalam menjaga rahasia. Kebanyakan manusia -kecuali manusia yang mendapat pertolongan Allah- tak dapat menjaga rahasia orang lain. Padahal, membuka aib orang lain termasuk bagian dari khianat.
Dalam hadis di atas, Rasulullah menegaskan bahwa menutupi aib dan menjaga rahasia termasuk keutamaan. Nabi SAW menganjurkan agar umatnya senantiasa saling memelihara rahasia dan menutupi aib saudaranya agar dapat hidup bermasyarakat dalam ketenangan, kedamaian, juah dari keresahan, kedengkian, serta balas dendam.
Namun, kita sering melalaikan peringatan ini. Kita kerap kali bermain-main dengan aib. Kita lupa kalau suatu saat Allah SWT pun akan membukakan aib kita tanpa bisa ditolak. Sesungguhnya, ketika membuka aib orang lain, sama dengan memberitahukan aib kita sendiri.
Padahal, dengan menutup aib orang lain, Allah akan menutup aib kita, baik di dunia maupun akhirat. Rasulullah bersabda, "Tidaklah Allah menutup aib seorang hamba di dunia, melainkan nanti di hari kiamat Allah juga akan menutup aibnya".
Aib merupakan sesuatu yang diasosiasikan buruk, tidak terpuji, dan negatif. Manusia tidak bisa lari dengan menutup diri terhadap kekurangannya. Manusia harus berintrospeksi dan menghisab diri sendiri untuk memperbaikinya. Umar bin Khattab berpesan, "Hisablah dirimu sebelum diri kamu sendiri dihisab, dan timbanglah amal perbuatanmu sebelum perbuatanmu ditimbang."
Dalam hidup, kita terkadang terlupakan dengan aib-aib sendiri yang begitu menggunung karena begitu seringnya memikirkan aib orang lain. Kita juga sering lupa untuk bersyukur bahwa Allah telah menjaga aib-aib kita. Sesungguhnya, manusia bukanlah apa-apa jika semua aibnya dibukakan di depan mata orang lain.
Red: Budi Raharjo
Rep: Oleh Encep Dulwahab
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/11/28/149340-agar-allah-tak-membuka-aib-kita
Syekh Mahmud al-Mishri dalam kitabnya Mausu'ah min Akhlaqir-Rasul mengungkapkan, di zaman sekarang ini sulit untuk menemukan orang yang dapat dipercaya dalam menjaga rahasia. Kebanyakan manusia -kecuali manusia yang mendapat pertolongan Allah- tak dapat menjaga rahasia orang lain. Padahal, membuka aib orang lain termasuk bagian dari khianat.
Dalam hadis di atas, Rasulullah menegaskan bahwa menutupi aib dan menjaga rahasia termasuk keutamaan. Nabi SAW menganjurkan agar umatnya senantiasa saling memelihara rahasia dan menutupi aib saudaranya agar dapat hidup bermasyarakat dalam ketenangan, kedamaian, juah dari keresahan, kedengkian, serta balas dendam.
Namun, kita sering melalaikan peringatan ini. Kita kerap kali bermain-main dengan aib. Kita lupa kalau suatu saat Allah SWT pun akan membukakan aib kita tanpa bisa ditolak. Sesungguhnya, ketika membuka aib orang lain, sama dengan memberitahukan aib kita sendiri.
Padahal, dengan menutup aib orang lain, Allah akan menutup aib kita, baik di dunia maupun akhirat. Rasulullah bersabda, "Tidaklah Allah menutup aib seorang hamba di dunia, melainkan nanti di hari kiamat Allah juga akan menutup aibnya".
Aib merupakan sesuatu yang diasosiasikan buruk, tidak terpuji, dan negatif. Manusia tidak bisa lari dengan menutup diri terhadap kekurangannya. Manusia harus berintrospeksi dan menghisab diri sendiri untuk memperbaikinya. Umar bin Khattab berpesan, "Hisablah dirimu sebelum diri kamu sendiri dihisab, dan timbanglah amal perbuatanmu sebelum perbuatanmu ditimbang."
Dalam hidup, kita terkadang terlupakan dengan aib-aib sendiri yang begitu menggunung karena begitu seringnya memikirkan aib orang lain. Kita juga sering lupa untuk bersyukur bahwa Allah telah menjaga aib-aib kita. Sesungguhnya, manusia bukanlah apa-apa jika semua aibnya dibukakan di depan mata orang lain.
Red: Budi Raharjo
Rep: Oleh Encep Dulwahab
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/11/28/149340-agar-allah-tak-membuka-aib-kita
Friday, November 26, 2010
Titip Ibuku ya Allah...!
http://tausyiah275.blogsome.com/2007/06/16/bacaan-di-akhir-pekan-titip-ibuku-ya-allah/
“Nak, bangun… udah adzan subuh. Sarapanmu udah ibu siapin di meja…”
Tradisi ini sudah berlangsung 20 tahun, sejak pertama kali aku bisa mengingat.
Kini usiaku sudah kepala 3 dan aku jadi seorang karyawan disebuah perusahaan tambang, tapi kebiasaan Ibu tak pernah berubah.
“Ibu sayang… ga usah repot-repot Bu, aku dan adik-adikku udah dewasa” pintaku pada Ibu pada suatu pagi.
Wajah tua itu langsung berubah. Pun ketika Ibu mengajakku makan siang di sebuah restoran. Buru-buru kukeluarkan uang dan kubayar semuanya. Ingin kubalas jasa Ibu selama ini dengan hasil keringatku.
Raut sedih itu tak bisa disembunyikan. Kenapa Ibu mudah sekali sedih? Aku hanya bisa mereka-reka, mungkin sekarang fasenya aku mengalami kesulitan memahami Ibu karena dari sebuah artikel yang kubaca... Orang yang lanjut usia bisa sangat sensitive dan cenderung untuk bersikap kanak-kanak... Tapi entahlah...
Niatku ingin membahagiakan malah membuat Ibu sedih.
Seperti biasa, Ibu tidak akan pernah mengatakan apa-apa
Suatu hari kuberanikan diri untuk bertanya, “Bu, maafin aku kalau telah menyakiti perasaan Ibu. Apa yang bikin Ibu sedih?” Kutatap sudut-sudut mata Ibu, ada genangan air mata di sana.
Terbata-bata Ibu berkata, ”Tiba-tiba Ibu merasa kalian tidak lagi membutuhkan Ibu. Kalian sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri. Ibu tidak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kalian, Ibu tidak bisa lagi jajanin kalian. Semua sudah bisa kalian lakukan sendiri.”
Ah, Ya Allah, ternyata buat seorang Ibu... bersusah payah melayani putra-putrinya adalah sebuah kebahagiaan. Satu hal yang tak pernah kusadari sebelumnya.
Niat membahagiakan bisa jadi malah membuat orang tua menjadi sedih karena kita tidak berusaha untuk saling membuka diri melihat arti kebahagiaan dari sudut pandang masing-masing.
Diam-diam aku bermuhasabah... Apa yang telah kupersembahkan untuk Ibu dalam usiaku sekarang? Adakah Ibu bahagia dan bangga pada putera putrinya?
Ketika itu kutanya pada Ibu, Ibu menjawab, ”Banyak sekali nak kebahagiaan yang telah kalian berikan pada Ibu. Kalian tumbuh sehat dan lucu ketika bayi adalah kebahagiaan. Kalian berprestasi di sekolah adalah kebanggaan buat Ibu. Kalian berprestasi di pekerjaan adalah kebanggaan buat Ibu. Setelah dewasa, kalian berprilaku sebagaimana seharusnya seorang hamba, itu kebahagiaan buat Ibu. Setiap kali binar mata kalian mengisyaratkan kebahagiaan di situlah kebahagiaan orang tua.”
Lagi-lagi aku hanya bisa berucap, “Ampunkan aku ya Allah kalau selama ini sedikit sekali ketulusan yang kuberikan kepada Ibu. Masih banyak alasan ketika Ibu menginginkan sesuatu.”
Betapa sabarnya Ibuku melalui liku-liku kehidupan. Sebagai seorang wanita karier seharusnya banyak alasan yang bisa dilontarkan Ibuku untuk “cuti” dari pekerjaan rumah atau menyerahkan tugas itu kepada pembantu.
Tapi tidak! Ibuku seorang yang idealis. Menata keluarga, merawat dan mendidik anak-anak adalah hak prerogatif seorang ibu yang takkan bisa dilimpahkan kepada siapapun.
Pukul 3 dinihari Ibu bangun dan membangunkan kami untuk tahajud. Menunggu subuh Ibu ke dapur menyiapkan sarapan sementara aku dan adik-adik sering tertidur lagi...
Ah, maafkan kami Ibu... 18 jam sehari sebagai “pekerja” seakan tak pernah membuat Ibu lelah... Sanggupkah aku ya Allah ?
”Nak... bangun nak, udah azan subuh... sarapannya udah Ibu siapin dimeja..”
Kali ini aku lompat segera... kubuka pintu kamar dan kurangkul Ibu sehangat mungkin, kuciumi pipinya yang mulai keriput, kutatap matanya lekat-lekat dan kuucapkan,
”Terimakasih Ibu, aku beruntung sekali memiliki Ibu yang baik hati, ijinkan aku membahagiakan Ibu..."
Kulihat binar itu memancarkan kebahagiaan... Cintaku ini milikmu,Ibu... Aku masih sangat membutuhkanmu... Maafkan aku yang belum bisa menjabarkan arti kebahagiaan buat dirimu..
Sahabat.. tidak selamanya kata sayang harus diungkapkan dengan kalimat ”aku sayang padamu...”, namun begitu, Rasulullah menyuruh kita untuk menyampaikan rasa cinta yang kita punya kepada orang yang kita cintai karena Allah.
Ayo kita mulai dari orang terdekat yang sangat mencintai kita... Ibu dan ayah walau mereka tak pernah meminta dan mungkin telah tiada.
Percayalah... kata-kata itu akan membuat mereka sangat berarti dan bahagia.
Wallaahua’lam
“Ya Allah, cintai Ibuku, beri aku kesempatan untuk bisa membahagiakan Ibu, dan jika saatnya nanti Ibu Kau panggil, panggillah dalam keadaan khusnul khatimah. Ampunilah segala dosa-dosanya dan sayangilah ia sebagaimana ia menyayangi aku selagi aku kecil. Titip Ibuku ya Allah...”
“Nak, bangun… udah adzan subuh. Sarapanmu udah ibu siapin di meja…”
Tradisi ini sudah berlangsung 20 tahun, sejak pertama kali aku bisa mengingat.
Kini usiaku sudah kepala 3 dan aku jadi seorang karyawan disebuah perusahaan tambang, tapi kebiasaan Ibu tak pernah berubah.
“Ibu sayang… ga usah repot-repot Bu, aku dan adik-adikku udah dewasa” pintaku pada Ibu pada suatu pagi.
Wajah tua itu langsung berubah. Pun ketika Ibu mengajakku makan siang di sebuah restoran. Buru-buru kukeluarkan uang dan kubayar semuanya. Ingin kubalas jasa Ibu selama ini dengan hasil keringatku.
Raut sedih itu tak bisa disembunyikan. Kenapa Ibu mudah sekali sedih? Aku hanya bisa mereka-reka, mungkin sekarang fasenya aku mengalami kesulitan memahami Ibu karena dari sebuah artikel yang kubaca... Orang yang lanjut usia bisa sangat sensitive dan cenderung untuk bersikap kanak-kanak... Tapi entahlah...
Niatku ingin membahagiakan malah membuat Ibu sedih.
Seperti biasa, Ibu tidak akan pernah mengatakan apa-apa
Suatu hari kuberanikan diri untuk bertanya, “Bu, maafin aku kalau telah menyakiti perasaan Ibu. Apa yang bikin Ibu sedih?” Kutatap sudut-sudut mata Ibu, ada genangan air mata di sana.
Terbata-bata Ibu berkata, ”Tiba-tiba Ibu merasa kalian tidak lagi membutuhkan Ibu. Kalian sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri. Ibu tidak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kalian, Ibu tidak bisa lagi jajanin kalian. Semua sudah bisa kalian lakukan sendiri.”
Ah, Ya Allah, ternyata buat seorang Ibu... bersusah payah melayani putra-putrinya adalah sebuah kebahagiaan. Satu hal yang tak pernah kusadari sebelumnya.
Niat membahagiakan bisa jadi malah membuat orang tua menjadi sedih karena kita tidak berusaha untuk saling membuka diri melihat arti kebahagiaan dari sudut pandang masing-masing.
Diam-diam aku bermuhasabah... Apa yang telah kupersembahkan untuk Ibu dalam usiaku sekarang? Adakah Ibu bahagia dan bangga pada putera putrinya?
Ketika itu kutanya pada Ibu, Ibu menjawab, ”Banyak sekali nak kebahagiaan yang telah kalian berikan pada Ibu. Kalian tumbuh sehat dan lucu ketika bayi adalah kebahagiaan. Kalian berprestasi di sekolah adalah kebanggaan buat Ibu. Kalian berprestasi di pekerjaan adalah kebanggaan buat Ibu. Setelah dewasa, kalian berprilaku sebagaimana seharusnya seorang hamba, itu kebahagiaan buat Ibu. Setiap kali binar mata kalian mengisyaratkan kebahagiaan di situlah kebahagiaan orang tua.”
Lagi-lagi aku hanya bisa berucap, “Ampunkan aku ya Allah kalau selama ini sedikit sekali ketulusan yang kuberikan kepada Ibu. Masih banyak alasan ketika Ibu menginginkan sesuatu.”
Betapa sabarnya Ibuku melalui liku-liku kehidupan. Sebagai seorang wanita karier seharusnya banyak alasan yang bisa dilontarkan Ibuku untuk “cuti” dari pekerjaan rumah atau menyerahkan tugas itu kepada pembantu.
Tapi tidak! Ibuku seorang yang idealis. Menata keluarga, merawat dan mendidik anak-anak adalah hak prerogatif seorang ibu yang takkan bisa dilimpahkan kepada siapapun.
Pukul 3 dinihari Ibu bangun dan membangunkan kami untuk tahajud. Menunggu subuh Ibu ke dapur menyiapkan sarapan sementara aku dan adik-adik sering tertidur lagi...
Ah, maafkan kami Ibu... 18 jam sehari sebagai “pekerja” seakan tak pernah membuat Ibu lelah... Sanggupkah aku ya Allah ?
”Nak... bangun nak, udah azan subuh... sarapannya udah Ibu siapin dimeja..”
Kali ini aku lompat segera... kubuka pintu kamar dan kurangkul Ibu sehangat mungkin, kuciumi pipinya yang mulai keriput, kutatap matanya lekat-lekat dan kuucapkan,
”Terimakasih Ibu, aku beruntung sekali memiliki Ibu yang baik hati, ijinkan aku membahagiakan Ibu..."
Kulihat binar itu memancarkan kebahagiaan... Cintaku ini milikmu,Ibu... Aku masih sangat membutuhkanmu... Maafkan aku yang belum bisa menjabarkan arti kebahagiaan buat dirimu..
Sahabat.. tidak selamanya kata sayang harus diungkapkan dengan kalimat ”aku sayang padamu...”, namun begitu, Rasulullah menyuruh kita untuk menyampaikan rasa cinta yang kita punya kepada orang yang kita cintai karena Allah.
Ayo kita mulai dari orang terdekat yang sangat mencintai kita... Ibu dan ayah walau mereka tak pernah meminta dan mungkin telah tiada.
Percayalah... kata-kata itu akan membuat mereka sangat berarti dan bahagia.
Wallaahua’lam
“Ya Allah, cintai Ibuku, beri aku kesempatan untuk bisa membahagiakan Ibu, dan jika saatnya nanti Ibu Kau panggil, panggillah dalam keadaan khusnul khatimah. Ampunilah segala dosa-dosanya dan sayangilah ia sebagaimana ia menyayangi aku selagi aku kecil. Titip Ibuku ya Allah...”
Dalai Lama Bertutur Tentang Islam, Apa Katanya?
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/11/26/149038-dalai-lama-bertutur-tentang-islam-apa-katanya
REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI-- Dalai Lama memuji Islam sebagai salah satu agama besar dunia. Menurutnya, spirit Islam yang sesungguhnya adalah pertempuran melawan energi negatif dalam diri sendiri -- ia menyebutnya sebagai jihad sejati -- pada setiap umatnya.
Ia menyatakan hal itu saat berpidato usai menerima gelar kehormatan doktor bidang sastra dari Universitas Jamia Millia Islamia di New Delhi, India. Pemimpin spiritual Tibet ini mengatakan beberapa elemen telah menyelewengkan ajaran dan membawa nama buruk kepada Islam.
"Aku membela Islam," kata Dalai Lama. "Kita seharusnya tidak menyamaratakan Islam karena beberapa orang yang nakal. Orang semacam itu juga ada di kalangan umat Hindu, Yahudi Kristen, Budha, dan semua agama."
"Islam adalah salah satu agama yang sangat penting selama berabad-abad, di masa lalu, sekarang dan masa depan, itu adalah harapan jutaan orang," katanya. "Sebagian Muslim di negeri ini (India) mengatakan kepada saya bahwa Islam harus memperluas cinta dan kasih sayang kepada semua makhluk. Dan itu memang inti ajaran Islam."
Jika seseorang menciptakan pertumpahan darah mereka bukan Muslim, katanya dan menambahkan. "Makna jihad adalah perjuangan dalam diri kita terhadap semua emosi negatif seperti kemarahan, kebencian, dan nafsu lain yang menimbulkan masalah di masyarakat "
Dia mengatakan meskipun ia menerima gelar kehormatan serupa dari berbagai universitas di seluruh dunia, ia sangat terhormat untuk menerima itu dari lembaga Islam terkenal di India. Jamia Millia Islamia, sebuah universitas yang didanai pemerintah pusat telah berumur 90 tahun dan merupakan universitas India pertama yang memberikan gelar kehormatan pada pemimpin spiritual agama lain.
Toleransi agama dan perdamaian adalah pesan yang menggema dalam acara ini. Penganugerahan penghargaan diberikan oleh Wakil Rektor universitas, Najeeb Jung, di hadapan Menteri Pembangunan Sumber Daya Manusia, Kapil Sibal, dan ribuan civitas akademika universitas itu.
"Saya merasa sangat terhormat untuk mendapatkan gelar ini dari universitas Islam. Salah satu perhatian utama saya adalah kerukunan beragama," kata Dalai Lama setelah menerima gelar.
Dalai Lama memberikan pesan agar para mahasiswa menciptakan abad ke-21 sebagai abad perdamaian. "Abad ke-20 adalah abad pertumpahan darah, tapi tidak ada yang dicapai dari pertumpahan darah itu. Abad ke-21 harus menjadi abad yang damai dan Anda semua yang akan bentuk itu," katanya menambahkan bahwa pendidikan harus bersama-sama dengan moral dan etika untuk mencapai tujuan ini.
Najeeb Jung dalam acara yang sama mengatakan Dalai Lama adalah salah satu tokoh terbesar dialog antar-agama dan pewaris sejati dari ajaran Mahatma Gandhi tentang perdamaian dan anti-kekerasan.
"Jika ada orang yang telah berdiri dengan kekuatan persuasi non-kekerasan dalam dunia kontemporer, yang telah memulihkan iman kita dalam relevansi kritik moral, itu adalah Yang Mulia," kata Jung sambil berpaling ke arah Dalai Lama.
Red: Siwi Tri Puji B
Sumber: IANS
REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI-- Dalai Lama memuji Islam sebagai salah satu agama besar dunia. Menurutnya, spirit Islam yang sesungguhnya adalah pertempuran melawan energi negatif dalam diri sendiri -- ia menyebutnya sebagai jihad sejati -- pada setiap umatnya.
Ia menyatakan hal itu saat berpidato usai menerima gelar kehormatan doktor bidang sastra dari Universitas Jamia Millia Islamia di New Delhi, India. Pemimpin spiritual Tibet ini mengatakan beberapa elemen telah menyelewengkan ajaran dan membawa nama buruk kepada Islam.
"Aku membela Islam," kata Dalai Lama. "Kita seharusnya tidak menyamaratakan Islam karena beberapa orang yang nakal. Orang semacam itu juga ada di kalangan umat Hindu, Yahudi Kristen, Budha, dan semua agama."
"Islam adalah salah satu agama yang sangat penting selama berabad-abad, di masa lalu, sekarang dan masa depan, itu adalah harapan jutaan orang," katanya. "Sebagian Muslim di negeri ini (India) mengatakan kepada saya bahwa Islam harus memperluas cinta dan kasih sayang kepada semua makhluk. Dan itu memang inti ajaran Islam."
Jika seseorang menciptakan pertumpahan darah mereka bukan Muslim, katanya dan menambahkan. "Makna jihad adalah perjuangan dalam diri kita terhadap semua emosi negatif seperti kemarahan, kebencian, dan nafsu lain yang menimbulkan masalah di masyarakat "
Dia mengatakan meskipun ia menerima gelar kehormatan serupa dari berbagai universitas di seluruh dunia, ia sangat terhormat untuk menerima itu dari lembaga Islam terkenal di India. Jamia Millia Islamia, sebuah universitas yang didanai pemerintah pusat telah berumur 90 tahun dan merupakan universitas India pertama yang memberikan gelar kehormatan pada pemimpin spiritual agama lain.
Toleransi agama dan perdamaian adalah pesan yang menggema dalam acara ini. Penganugerahan penghargaan diberikan oleh Wakil Rektor universitas, Najeeb Jung, di hadapan Menteri Pembangunan Sumber Daya Manusia, Kapil Sibal, dan ribuan civitas akademika universitas itu.
"Saya merasa sangat terhormat untuk mendapatkan gelar ini dari universitas Islam. Salah satu perhatian utama saya adalah kerukunan beragama," kata Dalai Lama setelah menerima gelar.
Dalai Lama memberikan pesan agar para mahasiswa menciptakan abad ke-21 sebagai abad perdamaian. "Abad ke-20 adalah abad pertumpahan darah, tapi tidak ada yang dicapai dari pertumpahan darah itu. Abad ke-21 harus menjadi abad yang damai dan Anda semua yang akan bentuk itu," katanya menambahkan bahwa pendidikan harus bersama-sama dengan moral dan etika untuk mencapai tujuan ini.
Najeeb Jung dalam acara yang sama mengatakan Dalai Lama adalah salah satu tokoh terbesar dialog antar-agama dan pewaris sejati dari ajaran Mahatma Gandhi tentang perdamaian dan anti-kekerasan.
"Jika ada orang yang telah berdiri dengan kekuatan persuasi non-kekerasan dalam dunia kontemporer, yang telah memulihkan iman kita dalam relevansi kritik moral, itu adalah Yang Mulia," kata Jung sambil berpaling ke arah Dalai Lama.
Red: Siwi Tri Puji B
Sumber: IANS
Thursday, November 25, 2010
Kematian Bisa Diundur
Oleh Yusuf Mansur
Kematian memang di tangan Allah. Maka ada satu hal yang bisa membuat kematian menjadi sesuatu yang bisa ditunda, yaitu kemauan bersedekah, kemauan berbagi dan peduli.
SUATU hari, Malaikat Kematian mendatangi Nabiyallah Ibrahim, dan bertanya, “Siapa anak muda yang tadi mendatangimu wahai Ibrahim?”
“Yang anak muda tadi maksudnya?” tanya Ibrahim. “Itu sahabat sekaligus muridku.”
“Ada apa dia datang menemuimu?”
“Dia menyampaikan bahwa dia akan melangsungkan pernikahannya besok pagi.”
“Wahai Ibrahim, sayang sekali, umur anak itu tidak akan sampai besok pagi.” Habis berkata seperti itu, Malaikat Kematian pergi meninggalkan Nabiyallah Ibrahim.
Hampir saja Nabiyallah Ibrahim tergerak untuk memberitahu anak muda tersebut, untuk menyegerakan pernikahannya malam ini, dan memberitahu tentang kematian anak muda itu besok. Tapi langkahnya terhenti. Nabiyallah Ibrahim memilih kematian tetap menjadi rahasia Allah.
Esok paginya, Nabiyallah Ibrahim ternyata melihat dan menyaksikan bahwa anak muda tersebut tetap bisa melangsungkan pernikahannya.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun, Nabiyallah Ibrahim malah melihat anak muda ini panjang umurnya.
Hingga usia anak muda ini 70 tahun, Nabiyallah Ibrahim bertanya kepada Malaikat Kematian, apakah dia berbohong tempo hari sewaktu menyampaikan bahwa anak muda itu umurnya tidak akan sampai besok pagi? Malaikat Kematian menjawab bahwa dirinya memang akan mencabut nyawa anak muda tersebut, tapi Allah menahannya.
“Apa gerangan yang membuat Allah menahan tanganmu untuk tidak mencabut nyawa anak muda tersebut, dulu?”
“Wahai Ibrahim, di malam menjelang pernikahannya, anak muda tersebut menyedekahkan separuh dari kekayaannya. Dan ini yang membuat Allah memutuskan untuk memanjangkan umur anak muda tersebut, hingga engkau masih melihatnya hidup.”
Saudara-saudaraku, pembaca “Kajian WisataHati” di manapun Anda berada, kematian memang di tangan Allah. Justru karena itu, memajukan dan memundurkan kematian adalah hak Allah. Dan Allah memberitahu lewat kalam Rasul-Nya, Muhammad SAW bahwa sedekah itu bisa memanjangkan umur. Jadi, bila disebut bahwa ada sesuatu yang bisa menunda kematian, itu adalah… sedekah.
Maka, tengoklah kanan-kiri Anda, lihat-lihatlah sekeliling Anda. Bila Anda menemukan ada satu-dua kesusahan tergelar, maka sesungguhnya Andalah yang butuh pertolongan. Karena siapa tahu kesusahan itu digelar Allah untuk memperpanjang umur Anda. Tinggal apakah Anda bersedia menolongnya atau tidak. Bila bersedia, maka kemungkinan besar memang Allah akan memanjangkan umur Anda.
Saudara-saudaraku sekalian, tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan ajalnya akan sampai. Dan, tidak seseorang pun yang mengetahui dalam kondisi apa ajalnya tiba. Maka mengeluarkan sedekah bukan saja akan memperpanjang umur, melainkan juga memungkinkan kita meninggal dalam keadaan baik. Bukankah sedekah akan mengundang cintanya Allah? Sedangkan kalau seseorang sudah dicintai oleh Allah, maka tidak ada masalahnya yang tidak diselesaikan, tidak ada keinginannya yang tidak dikabulkan, tidak ada dosanya yang tidak diampunkan, dan tidak ada nyawa yang dicabut dalam keadaan husnul khatimah.
Mudah-mudahan Allah berkenan memperpanjang umur, sehingga kita semua berkesempatan untuk mengejar ampunan Allah dan mengubah segala kelakuan kita, sambil mempersiapkan kematian datang.
Sampai ketemu di pembahasan berikutnya. Insya Allah, kita masih membahas “sedikit tentang menunda umur, tapi kaitannya dengan kesulitan-kesulitan hidup yang kita hadapi".
Salam, Yusuf Mansur.
Salam Wisata Hati.
“Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan” (An-Nisaa: 78)
disadur dari http://tausyiah275.blogsome.com/2006/12/29/manfaat-sedekah/
Kematian memang di tangan Allah. Maka ada satu hal yang bisa membuat kematian menjadi sesuatu yang bisa ditunda, yaitu kemauan bersedekah, kemauan berbagi dan peduli.
SUATU hari, Malaikat Kematian mendatangi Nabiyallah Ibrahim, dan bertanya, “Siapa anak muda yang tadi mendatangimu wahai Ibrahim?”
“Yang anak muda tadi maksudnya?” tanya Ibrahim. “Itu sahabat sekaligus muridku.”
“Ada apa dia datang menemuimu?”
“Dia menyampaikan bahwa dia akan melangsungkan pernikahannya besok pagi.”
“Wahai Ibrahim, sayang sekali, umur anak itu tidak akan sampai besok pagi.” Habis berkata seperti itu, Malaikat Kematian pergi meninggalkan Nabiyallah Ibrahim.
Hampir saja Nabiyallah Ibrahim tergerak untuk memberitahu anak muda tersebut, untuk menyegerakan pernikahannya malam ini, dan memberitahu tentang kematian anak muda itu besok. Tapi langkahnya terhenti. Nabiyallah Ibrahim memilih kematian tetap menjadi rahasia Allah.
Esok paginya, Nabiyallah Ibrahim ternyata melihat dan menyaksikan bahwa anak muda tersebut tetap bisa melangsungkan pernikahannya.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun, Nabiyallah Ibrahim malah melihat anak muda ini panjang umurnya.
Hingga usia anak muda ini 70 tahun, Nabiyallah Ibrahim bertanya kepada Malaikat Kematian, apakah dia berbohong tempo hari sewaktu menyampaikan bahwa anak muda itu umurnya tidak akan sampai besok pagi? Malaikat Kematian menjawab bahwa dirinya memang akan mencabut nyawa anak muda tersebut, tapi Allah menahannya.
“Apa gerangan yang membuat Allah menahan tanganmu untuk tidak mencabut nyawa anak muda tersebut, dulu?”
“Wahai Ibrahim, di malam menjelang pernikahannya, anak muda tersebut menyedekahkan separuh dari kekayaannya. Dan ini yang membuat Allah memutuskan untuk memanjangkan umur anak muda tersebut, hingga engkau masih melihatnya hidup.”
Saudara-saudaraku, pembaca “Kajian WisataHati” di manapun Anda berada, kematian memang di tangan Allah. Justru karena itu, memajukan dan memundurkan kematian adalah hak Allah. Dan Allah memberitahu lewat kalam Rasul-Nya, Muhammad SAW bahwa sedekah itu bisa memanjangkan umur. Jadi, bila disebut bahwa ada sesuatu yang bisa menunda kematian, itu adalah… sedekah.
Maka, tengoklah kanan-kiri Anda, lihat-lihatlah sekeliling Anda. Bila Anda menemukan ada satu-dua kesusahan tergelar, maka sesungguhnya Andalah yang butuh pertolongan. Karena siapa tahu kesusahan itu digelar Allah untuk memperpanjang umur Anda. Tinggal apakah Anda bersedia menolongnya atau tidak. Bila bersedia, maka kemungkinan besar memang Allah akan memanjangkan umur Anda.
Saudara-saudaraku sekalian, tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan ajalnya akan sampai. Dan, tidak seseorang pun yang mengetahui dalam kondisi apa ajalnya tiba. Maka mengeluarkan sedekah bukan saja akan memperpanjang umur, melainkan juga memungkinkan kita meninggal dalam keadaan baik. Bukankah sedekah akan mengundang cintanya Allah? Sedangkan kalau seseorang sudah dicintai oleh Allah, maka tidak ada masalahnya yang tidak diselesaikan, tidak ada keinginannya yang tidak dikabulkan, tidak ada dosanya yang tidak diampunkan, dan tidak ada nyawa yang dicabut dalam keadaan husnul khatimah.
Mudah-mudahan Allah berkenan memperpanjang umur, sehingga kita semua berkesempatan untuk mengejar ampunan Allah dan mengubah segala kelakuan kita, sambil mempersiapkan kematian datang.
Sampai ketemu di pembahasan berikutnya. Insya Allah, kita masih membahas “sedikit tentang menunda umur, tapi kaitannya dengan kesulitan-kesulitan hidup yang kita hadapi".
Salam, Yusuf Mansur.
Salam Wisata Hati.
“Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan” (An-Nisaa: 78)
disadur dari http://tausyiah275.blogsome.com/2006/12/29/manfaat-sedekah/
Wednesday, November 24, 2010
Keihklasan Pak Suyatno
Based on True Story..
Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yang sudah senja bahkan sudah mendekati malam, pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit. Istrinya juga sudah tua, mereka menikah sudah lebih 32 tahun.
Mereka dikarunia 4 orang anak disinilah awal cobaan menerpa, setelah istrinya melahirkan anak ke empat tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Itu terjadi selama 2 tahun. Menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang, lidahnya pun sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Setiap hari pak suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya ke atas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya di depan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian.
Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum, untunglah tempat usaha pak Suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang. Sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa-apa saja yang dia alami seharian.
Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, pak suyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur.
Rutinitas ini dilakukan pak Suyatno lebih kurang 25 tahun, dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hati mereka, sekarang anak-anak mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yang masih kuliah.
Pada suatu hari ke empat anak suyatno berkumpul di rumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masing-masing dan pak Suyatno memutuskan ibu mereka dia yg merawat. Yang dia inginkan hanya satu, semua anaknya berhasil.
Dengan kalimat yang cukup hati-hati anak yang sulung berkata, "Pak, kami ingin
sekali merawat ibu. Semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak. Bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu."
Dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata-katanya "Sudah yang keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya. Kapan bapak menikmati masa tua bapak dengan berkorban seperti ini? Kami sudah tidak tega melihat bapak, kami janji kami akan merawat ibu bergantian."
Pak Suyatno menjawab hal yang sama sekali tidak diduga anak-anak mereka. "Anak-anakku, jikalau hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah... Tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian di sampingku, itu sudah lebih dari cukup. Dia telah Melahirkan kalian..." sejenak kerongkongannya tersekat, "Kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak satupun dapat menghargai dengan apapun. Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini."
"Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang? Kalian menginginkan bapak yang masih diberi Allah kesehatan dirawat oleh orang lain bagaimana dengan ibumu yg masih sakit?"
Sejenak meledaklah tangis anak-anak pak Suyatno. Merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh di pelupuk mata ibu suyatno.. dengan pilu ditatapnya mata suami yang sangat dicintainya itu..
Sampailah akhirnya pak suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber di acara islami Selepas shubuh dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada pak suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa-apa.
Di saat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yang hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru di situlah pak suyatno bercerita.
"Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta tapi dia tidak mencintai karena Allah semuanya akan luntur. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 orang anak yg lucu-lucu..."
"Sekarang dia sakit berkorban untuk saya karena Allah.. dan itu merupakan ujian bagi saya. Dalam kondisi sehat pun belum tentu saya mencari penggantinya, apalagi dia sakit. Setiap malam saya bersujud dan menangis dan saya dapat bercerita kepada Allah di atas sajadah.. dan saya yakin hanya kepada Allah saya percaya untuk menyimpan dan mendengar rahasia saya..."
Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yang sudah senja bahkan sudah mendekati malam, pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit. Istrinya juga sudah tua, mereka menikah sudah lebih 32 tahun.
Mereka dikarunia 4 orang anak disinilah awal cobaan menerpa, setelah istrinya melahirkan anak ke empat tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Itu terjadi selama 2 tahun. Menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang, lidahnya pun sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Setiap hari pak suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya ke atas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya di depan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian.
Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum, untunglah tempat usaha pak Suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang. Sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa-apa saja yang dia alami seharian.
Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, pak suyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur.
Rutinitas ini dilakukan pak Suyatno lebih kurang 25 tahun, dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hati mereka, sekarang anak-anak mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yang masih kuliah.
Pada suatu hari ke empat anak suyatno berkumpul di rumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masing-masing dan pak Suyatno memutuskan ibu mereka dia yg merawat. Yang dia inginkan hanya satu, semua anaknya berhasil.
Dengan kalimat yang cukup hati-hati anak yang sulung berkata, "Pak, kami ingin
sekali merawat ibu. Semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak. Bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu."
Dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata-katanya "Sudah yang keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya. Kapan bapak menikmati masa tua bapak dengan berkorban seperti ini? Kami sudah tidak tega melihat bapak, kami janji kami akan merawat ibu bergantian."
Pak Suyatno menjawab hal yang sama sekali tidak diduga anak-anak mereka. "Anak-anakku, jikalau hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah... Tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian di sampingku, itu sudah lebih dari cukup. Dia telah Melahirkan kalian..." sejenak kerongkongannya tersekat, "Kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak satupun dapat menghargai dengan apapun. Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini."
"Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang? Kalian menginginkan bapak yang masih diberi Allah kesehatan dirawat oleh orang lain bagaimana dengan ibumu yg masih sakit?"
Sejenak meledaklah tangis anak-anak pak Suyatno. Merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh di pelupuk mata ibu suyatno.. dengan pilu ditatapnya mata suami yang sangat dicintainya itu..
Sampailah akhirnya pak suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber di acara islami Selepas shubuh dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada pak suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa-apa.
Di saat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yang hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru di situlah pak suyatno bercerita.
"Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta tapi dia tidak mencintai karena Allah semuanya akan luntur. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 orang anak yg lucu-lucu..."
"Sekarang dia sakit berkorban untuk saya karena Allah.. dan itu merupakan ujian bagi saya. Dalam kondisi sehat pun belum tentu saya mencari penggantinya, apalagi dia sakit. Setiap malam saya bersujud dan menangis dan saya dapat bercerita kepada Allah di atas sajadah.. dan saya yakin hanya kepada Allah saya percaya untuk menyimpan dan mendengar rahasia saya..."
Tuesday, November 23, 2010
Sedekah Ini Bukan untuk Menebus Ibu
Pagi itu tepat jam 7 kami berencana untuk melakukan ziyarah ke tempat-tempat bersejarah di kota Mekkah. Donny seorang pegawai di perusahaan minyak baru saja kembali dari Masjidil Haram bersama istrinya. Sarapan pagi di restoran hotel baru saja disantap. Maka datanglah Hasanudin, ayah Donny dengan tergopoh-gopoh sambil berkata, “Don..., kamu lihat ibu tidak?!”
Yang ditanya langsung merasa terkejut, “Memangnya ibu kemana, pak?” Sontak langsung ayahnya berkata sambil memukulkan genggaman tangan kanannya ke telapak kiri, “Waduhhh!!!” maka semua anggota rombongan pun menjadi geger mendengar kisah selanjutnya.
Donny saat itu berumrah dengan ketujuh anggota keluarganya. Ia mengajak istrinya, seorang putri, dua orang putra, ayah & ibu serta bapak mertua. Mereka berdelapan mengambil paket 2 kamar Quard. 1 kamar diisi oleh Donny, ayahnya, putranya yang pertama dan bapak mertua. Kamar kedua diisi oleh istrinya, ibunya, putrinya dan putranya yang kedua.
Saat itu adalah hari ketiga kami berada di kota Mekkah. 2 hari sebelumnya kami mengunjungi kota Madinah. Mungkin karena ingin bermesraan dengan istri yang selalu tidur terpisah di sebelah kamar, malam sebelumnya Donny ‘janjian’ dengan istrinya untuk bangun jam 2 malam untuk melakukan thawaf sunnah sambil bergandengan tangan & berpelukan. Bagai sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk cinta, pada jam yang disepakati keduanya bangun dan bertemu di lobby hotel. Seterusnya, keduanya pergi menuju masjid sambil bergandeng tangan.
Kesyahduan malam membuat mereka begitu mesra. Ditambah dengan lantunan tasbih & dzikir yang mereka ucapkan saat mengelilingi Baitullah. Di tengah kesyahduan dan kekhusyukan tawaf sunnah yang mereka lakukan. Pada saat bersamaan ibunya Donny (60 tahun lebih) bangun dari tidurnya. Ia dapati bahwa menantunya tidak ada di kamar. Penasaran ingin mengetahui kabarnya, maka si nenek menghubungi kamar sebelah via pesawat telephone.
***
“Pak..., Donny ada di kamar tidak?” tanya bu Sulitiawati kepada Hasanudin suaminya di kamar sebelah. “Tidak ada bu!” jawab sang suami dengan enteng. “Wah... kalau begitu pasti Donny sedang keluar bersama istrinya. Aku ngendusi barusan memang Ani gak ada di ranjangnya. Mungkin mereka sedang thawaf kali ya?!” kalimat terakhir yang diucapkan Sulistiawati mengisyaratkan tanya.
Sesaat kemudian, Sulistiawati mengusulkan, “Pak, ayo kita thawaf sunnah berdua kaya Donny dan istrinya?!”
Suara tua istrinya di seberang sana terdengar bersemangat di telinga Hasanudin. Ia pun mengiyakan ajakan istrinya untuk melakukan thawaf sunnah di tengah malam. Keduanya bersiap, dan tak lama kemudian mereka sudah bertemu di lobby hotel dan keduanya melakukan ibadah yang mereka niatkan.
***
Lingkaran thawaf penuh sesak malam itu. Apalagi bagi kedua tubuh tua ringkih milik Hasanudin & istrinya. Baru saja melewati garis lurus sejajar dengan Hajar Aswad tanda bahwa mereka telah menyelesaikan putaran pertama thawaf. Namun karena desakan manusia di lokasi itu yang berebut untuk ber-istilam kemudian mencium kedua tangan mereka. Maka pegangan tangan kedua kakek-nenek itu pun terlepas.... !
Hasanudin mencoba untuk tidak panik. Sisa putaran thawaf pun ia tuntaskan. Meski sambil celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri untuk mencari istrinya. Namun harapannya untuk menemui istrinya lagi belum ia dapatkan. Bahkan hingga ia berdoa di Multazam, dan hingga ia melakukan dua rakaat shalat sunnah di belakang Maqam Ibrahmim!
Adzan Shubuh kedua berkumandang, disusul dengan iqamat dan pelaksanaan shalat Shubuh berjamaah. Hasanudin masih terus mengintai ke kiri dan ke kanan. Pandangannya ia coba perluas, berharap ia bisa menjumpai Sulitiawati perempuan yang selama ini telah mendampingi hidupnya. Namun sayang. Langit sudah berubah warna. Dari gelap malam ke terangnya pagi. Hingga pukul 06.30 saat itu, ia masih belum menemukan istrinya. Kini ia mulai panik. Tubuh tuanya tak mungkin menyisir barisan manusia yang berthawaf demi mencari istri. Maka tak kuasa untuk mencari lagi, ia pun memutuskan untuk kembali ke hotel berharap istri yang sedang dicari sudah ada di sana.
Sesampainya Hasan di hotel, ia pun sigap menuju restoran. Di sanalah ia bertemu dengan Donny anaknya, hingga kalimat itupun meluncur dari mulutnya, “Wadduuhhhh..!”
***
Semua jemaah rombongan kami menjadi panik. Terutama Donny yang mendengar berita itu. Setiap orang dari kami berdoa agar Allah Swt memberi kemudahan kepada kami untuk menemukan kembali ibu Sulis. Donny pun mohon izin kepada ustadz pembimbing, sekaligus ia mohon didoakan agar dapat menemui kembali ibunya. Maka berangkatlah Donny menuju Masjidil Haram.
Saat langkah pertama dari pintu hotel diayunkan Donny, tiba-tiba merasuk beberapa pikiran ke dalam benaknya. “Ibu dalam kondisi apa ya sekarang...?” gumamnya. “Apakah ibu jatuh pingsan sebab keletihan thawaf kemudian dibawa orang ke rumah sakit terdekat. Kalau itu yang terjadi darimana aku mendapatkan informasi di mana ibuku berada....?” Bayangan kondisi seperti ini membuat Donny khawatir.
Lalu muncul lagi pikiran kedua, “... atau ibuku keluar dari pintu masjid yang berbeda hingga ibu tersasar dan tak mengerti jalan pulang...?!” pikiran ini pun
membuatnya bertambah khawatir. Tak tahu harus memulai darimana, Donny meneruskan langkahnya.
Langkahnya seolah tertambat. Berat terasa menggayuti kaki. Kelambanan itu menarik pandangnya untuk menyusuri jalan. Donny kini tengah berjalan sambil merunduk. Dalam ayunan langkahnya yang berat, ia pun berpikir dalam “Allah...., hanya pertolongan- Mu kini yang aku harap!” ia membatin dalam hati.
Ia belum tahu harus berbuat apa. Pikiran yang kalut tak mampu mencari celah jawaban. Namun saat ia tengah merunduk, ia dapati seorang anak kecil hitam tak berlengan sedang memelas iba kepadanya, “Haji, haji.... sabilillah!” Kalimat itu biasa ia dengar di kota Mekkah & Madinah yang berarti minta sedekah. Donny pun segera merogoh sakunya. Kali itu ia ingin sekali bersedekah. Namun seolah ada sesuatu yang menuntun hatinya tuk berkata, “Allah..., dengan sedekah ini aku berharap pertolongan- Mu. Sedekah ini bukan untuk menebus ibu yang telah membesarkan aku!”
Saat tangannya terjulur memberi sedekah, wajah lucu anak negro itu sungguh telah berubah, hanya wajah ibunda Donny yang terbayang di sana. Donny tak kuasa melihat pemandangan itu, betapa hatinya ingin sekali menjumpai ibu kandungnya kembali dalam keadaan sehat seperti sediakala. Beberapa bulir air mata sempat mengalir membasahi pipi.
Lalu ia meneruskan langkah menuju Masjidil Haram. Begitu banyak pengemis yang berada di jalannya. Pemandangan yang teramat biasa di kota Mekkah bila hari biasa. Namun hari itu adalah hari yang luar biasa, di mana keberadaan mereka bagaikan malaikat-malaikat Allah yang betebaran dan mengucapkan doa bagi Donny yang tengah berjalan. Bagi Donny, keberadaan mereka pun seperti lentera terang yang bersinar di kegelapan malam.
Kali ini, pengemis kedua mengiba padanya. Sekali lagi Donny merogoh sakunya. Terus ia susuri jalan sambil menundukkan pandang. Namun kali ketiga, ia dengar seorang pengemis memelas kepadanya. Maka suara hati berkata padanya, “Mengapa tak kau berikan semua uang yang ada padamu bila kau ingin berjumpa dengan ibu?”
Maka suara hati itupun ia perturutkan. Ia rogoh sepenuh kantung. Hendak ia kuras semua isinya. Ia ingin bersedekah dengan kesungguhan. Sekali lagi dalam hati ia ucapkan, “Ya Allah..., tolong pertemukan aku dengan ibu. Sedekah ini sungguh bukan untuk menebus beliau yang aku cinta!”
Kini tubuh Donny tengah membungkuk. Tangannya terjulur kepada pengemis yang duduk bersimpuh di tengah jalanan. Pengemis itupun berdoa dengan kalimat Arab yang tidak ia paham. Namun ia tahu, pastilah doa kebaikan yang dipanjatkan untuknya. Donny tersenyum kepada pengemis itu, lalu menegakkan kembali tulang punggungnya untuk meneruskan langkah. Hingga saat kejadian luar biasa yang amat menakjubkan.
***
Dari Abu Darda Uwaimar Ra bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Carilah aku di tengah orang-orang lemah. Sebab kalian bisa hidup menang dan berlimpah rezeki karena doa orang-orang dhuafa (lemah) di tengah kalian.” HR. Abu Daud
Donny baru saja berdiri. Subhanallah. ..! Pemandangan itu sungguh tidak bisa ia percaya. Hanya sekitar lima langkah darinya ia melihat seorang wanita. Ia tidak lagi mengenakan sepatu maupun sandal. Tampangnya kusut dengan pakaian acak-acakan. Tatapannya kosong. Berjalan tanpa arah dan menyapa siapa saja yang berada di dekatnya.
Donny mengenalnya. Ya, sungguh ia mengenalnya! Wanita itu tiada lain adalah ibunya sendiri. Ibu yang sejak semalam menghilang, kini hanya berjarak beberapa langkah darinya. Berhambur Donny menghampiri. Ia berdiri di hadapan ibunya untuk memperkenalkan diri. Namun sayang, tatapan mata yang kosong itu tidak mampu mengenali.
Donny merasa amat bersalah, ibunya ia peluk dengan erat. Hingga kedamaian itu merasuk dalam hati Sulistiawati, maka air mata pun berderai. Kini badannya berguncang sebab sesenggukan. Donny pun tak kuasa menahan haru. Ia gendong ibunya ke hotel, seperti ia dulu seringkali digendong oleh bundanya.
Sesampainya di hotel, semua jemaah pun turut bahagia. Sebagaimana kebahagiaan tiada terkira yang dirasakan oleh Donny dan keluarganya.
Sungguh...., Anda dapat beruntung keluar dari masalah karena pertolongan yang Anda ulurkan lewat tangan Anda sendiri!
Bobby Herwibowo
0817200456
www.kuwais.multiply .com
Yang ditanya langsung merasa terkejut, “Memangnya ibu kemana, pak?” Sontak langsung ayahnya berkata sambil memukulkan genggaman tangan kanannya ke telapak kiri, “Waduhhh!!!” maka semua anggota rombongan pun menjadi geger mendengar kisah selanjutnya.
Donny saat itu berumrah dengan ketujuh anggota keluarganya. Ia mengajak istrinya, seorang putri, dua orang putra, ayah & ibu serta bapak mertua. Mereka berdelapan mengambil paket 2 kamar Quard. 1 kamar diisi oleh Donny, ayahnya, putranya yang pertama dan bapak mertua. Kamar kedua diisi oleh istrinya, ibunya, putrinya dan putranya yang kedua.
Saat itu adalah hari ketiga kami berada di kota Mekkah. 2 hari sebelumnya kami mengunjungi kota Madinah. Mungkin karena ingin bermesraan dengan istri yang selalu tidur terpisah di sebelah kamar, malam sebelumnya Donny ‘janjian’ dengan istrinya untuk bangun jam 2 malam untuk melakukan thawaf sunnah sambil bergandengan tangan & berpelukan. Bagai sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk cinta, pada jam yang disepakati keduanya bangun dan bertemu di lobby hotel. Seterusnya, keduanya pergi menuju masjid sambil bergandeng tangan.
Kesyahduan malam membuat mereka begitu mesra. Ditambah dengan lantunan tasbih & dzikir yang mereka ucapkan saat mengelilingi Baitullah. Di tengah kesyahduan dan kekhusyukan tawaf sunnah yang mereka lakukan. Pada saat bersamaan ibunya Donny (60 tahun lebih) bangun dari tidurnya. Ia dapati bahwa menantunya tidak ada di kamar. Penasaran ingin mengetahui kabarnya, maka si nenek menghubungi kamar sebelah via pesawat telephone.
***
“Pak..., Donny ada di kamar tidak?” tanya bu Sulitiawati kepada Hasanudin suaminya di kamar sebelah. “Tidak ada bu!” jawab sang suami dengan enteng. “Wah... kalau begitu pasti Donny sedang keluar bersama istrinya. Aku ngendusi barusan memang Ani gak ada di ranjangnya. Mungkin mereka sedang thawaf kali ya?!” kalimat terakhir yang diucapkan Sulistiawati mengisyaratkan tanya.
Sesaat kemudian, Sulistiawati mengusulkan, “Pak, ayo kita thawaf sunnah berdua kaya Donny dan istrinya?!”
Suara tua istrinya di seberang sana terdengar bersemangat di telinga Hasanudin. Ia pun mengiyakan ajakan istrinya untuk melakukan thawaf sunnah di tengah malam. Keduanya bersiap, dan tak lama kemudian mereka sudah bertemu di lobby hotel dan keduanya melakukan ibadah yang mereka niatkan.
***
Lingkaran thawaf penuh sesak malam itu. Apalagi bagi kedua tubuh tua ringkih milik Hasanudin & istrinya. Baru saja melewati garis lurus sejajar dengan Hajar Aswad tanda bahwa mereka telah menyelesaikan putaran pertama thawaf. Namun karena desakan manusia di lokasi itu yang berebut untuk ber-istilam kemudian mencium kedua tangan mereka. Maka pegangan tangan kedua kakek-nenek itu pun terlepas.... !
Hasanudin mencoba untuk tidak panik. Sisa putaran thawaf pun ia tuntaskan. Meski sambil celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri untuk mencari istrinya. Namun harapannya untuk menemui istrinya lagi belum ia dapatkan. Bahkan hingga ia berdoa di Multazam, dan hingga ia melakukan dua rakaat shalat sunnah di belakang Maqam Ibrahmim!
Adzan Shubuh kedua berkumandang, disusul dengan iqamat dan pelaksanaan shalat Shubuh berjamaah. Hasanudin masih terus mengintai ke kiri dan ke kanan. Pandangannya ia coba perluas, berharap ia bisa menjumpai Sulitiawati perempuan yang selama ini telah mendampingi hidupnya. Namun sayang. Langit sudah berubah warna. Dari gelap malam ke terangnya pagi. Hingga pukul 06.30 saat itu, ia masih belum menemukan istrinya. Kini ia mulai panik. Tubuh tuanya tak mungkin menyisir barisan manusia yang berthawaf demi mencari istri. Maka tak kuasa untuk mencari lagi, ia pun memutuskan untuk kembali ke hotel berharap istri yang sedang dicari sudah ada di sana.
Sesampainya Hasan di hotel, ia pun sigap menuju restoran. Di sanalah ia bertemu dengan Donny anaknya, hingga kalimat itupun meluncur dari mulutnya, “Wadduuhhhh..!”
***
Semua jemaah rombongan kami menjadi panik. Terutama Donny yang mendengar berita itu. Setiap orang dari kami berdoa agar Allah Swt memberi kemudahan kepada kami untuk menemukan kembali ibu Sulis. Donny pun mohon izin kepada ustadz pembimbing, sekaligus ia mohon didoakan agar dapat menemui kembali ibunya. Maka berangkatlah Donny menuju Masjidil Haram.
Saat langkah pertama dari pintu hotel diayunkan Donny, tiba-tiba merasuk beberapa pikiran ke dalam benaknya. “Ibu dalam kondisi apa ya sekarang...?” gumamnya. “Apakah ibu jatuh pingsan sebab keletihan thawaf kemudian dibawa orang ke rumah sakit terdekat. Kalau itu yang terjadi darimana aku mendapatkan informasi di mana ibuku berada....?” Bayangan kondisi seperti ini membuat Donny khawatir.
Lalu muncul lagi pikiran kedua, “... atau ibuku keluar dari pintu masjid yang berbeda hingga ibu tersasar dan tak mengerti jalan pulang...?!” pikiran ini pun
membuatnya bertambah khawatir. Tak tahu harus memulai darimana, Donny meneruskan langkahnya.
Langkahnya seolah tertambat. Berat terasa menggayuti kaki. Kelambanan itu menarik pandangnya untuk menyusuri jalan. Donny kini tengah berjalan sambil merunduk. Dalam ayunan langkahnya yang berat, ia pun berpikir dalam “Allah...., hanya pertolongan- Mu kini yang aku harap!” ia membatin dalam hati.
Ia belum tahu harus berbuat apa. Pikiran yang kalut tak mampu mencari celah jawaban. Namun saat ia tengah merunduk, ia dapati seorang anak kecil hitam tak berlengan sedang memelas iba kepadanya, “Haji, haji.... sabilillah!” Kalimat itu biasa ia dengar di kota Mekkah & Madinah yang berarti minta sedekah. Donny pun segera merogoh sakunya. Kali itu ia ingin sekali bersedekah. Namun seolah ada sesuatu yang menuntun hatinya tuk berkata, “Allah..., dengan sedekah ini aku berharap pertolongan- Mu. Sedekah ini bukan untuk menebus ibu yang telah membesarkan aku!”
Saat tangannya terjulur memberi sedekah, wajah lucu anak negro itu sungguh telah berubah, hanya wajah ibunda Donny yang terbayang di sana. Donny tak kuasa melihat pemandangan itu, betapa hatinya ingin sekali menjumpai ibu kandungnya kembali dalam keadaan sehat seperti sediakala. Beberapa bulir air mata sempat mengalir membasahi pipi.
Lalu ia meneruskan langkah menuju Masjidil Haram. Begitu banyak pengemis yang berada di jalannya. Pemandangan yang teramat biasa di kota Mekkah bila hari biasa. Namun hari itu adalah hari yang luar biasa, di mana keberadaan mereka bagaikan malaikat-malaikat Allah yang betebaran dan mengucapkan doa bagi Donny yang tengah berjalan. Bagi Donny, keberadaan mereka pun seperti lentera terang yang bersinar di kegelapan malam.
Kali ini, pengemis kedua mengiba padanya. Sekali lagi Donny merogoh sakunya. Terus ia susuri jalan sambil menundukkan pandang. Namun kali ketiga, ia dengar seorang pengemis memelas kepadanya. Maka suara hati berkata padanya, “Mengapa tak kau berikan semua uang yang ada padamu bila kau ingin berjumpa dengan ibu?”
Maka suara hati itupun ia perturutkan. Ia rogoh sepenuh kantung. Hendak ia kuras semua isinya. Ia ingin bersedekah dengan kesungguhan. Sekali lagi dalam hati ia ucapkan, “Ya Allah..., tolong pertemukan aku dengan ibu. Sedekah ini sungguh bukan untuk menebus beliau yang aku cinta!”
Kini tubuh Donny tengah membungkuk. Tangannya terjulur kepada pengemis yang duduk bersimpuh di tengah jalanan. Pengemis itupun berdoa dengan kalimat Arab yang tidak ia paham. Namun ia tahu, pastilah doa kebaikan yang dipanjatkan untuknya. Donny tersenyum kepada pengemis itu, lalu menegakkan kembali tulang punggungnya untuk meneruskan langkah. Hingga saat kejadian luar biasa yang amat menakjubkan.
***
Dari Abu Darda Uwaimar Ra bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Carilah aku di tengah orang-orang lemah. Sebab kalian bisa hidup menang dan berlimpah rezeki karena doa orang-orang dhuafa (lemah) di tengah kalian.” HR. Abu Daud
Donny baru saja berdiri. Subhanallah. ..! Pemandangan itu sungguh tidak bisa ia percaya. Hanya sekitar lima langkah darinya ia melihat seorang wanita. Ia tidak lagi mengenakan sepatu maupun sandal. Tampangnya kusut dengan pakaian acak-acakan. Tatapannya kosong. Berjalan tanpa arah dan menyapa siapa saja yang berada di dekatnya.
Donny mengenalnya. Ya, sungguh ia mengenalnya! Wanita itu tiada lain adalah ibunya sendiri. Ibu yang sejak semalam menghilang, kini hanya berjarak beberapa langkah darinya. Berhambur Donny menghampiri. Ia berdiri di hadapan ibunya untuk memperkenalkan diri. Namun sayang, tatapan mata yang kosong itu tidak mampu mengenali.
Donny merasa amat bersalah, ibunya ia peluk dengan erat. Hingga kedamaian itu merasuk dalam hati Sulistiawati, maka air mata pun berderai. Kini badannya berguncang sebab sesenggukan. Donny pun tak kuasa menahan haru. Ia gendong ibunya ke hotel, seperti ia dulu seringkali digendong oleh bundanya.
Sesampainya di hotel, semua jemaah pun turut bahagia. Sebagaimana kebahagiaan tiada terkira yang dirasakan oleh Donny dan keluarganya.
Sungguh...., Anda dapat beruntung keluar dari masalah karena pertolongan yang Anda ulurkan lewat tangan Anda sendiri!
Bobby Herwibowo
0817200456
www.kuwais.multiply .com
Energi yang Tak Pernah Habis
Oleh: Muhammad Nuh
Dakwatuna.com - Hidup kadang seperti tulisan spanduk yang terikat di antara dua tiang. Hujan, panas, dan tangan-tangan usil bisa melunturkan keberadaan tulisan. Warna menjadi kabur, dan tulisan pun mulai luntur. Seperti itu pula mungkin ketika seseorang hidup sebagai muslim.
Tak ada iman tanpa ujian. Kalimat itulah yang mesti dipegang seorang mukmin dalam mengarungi hidup. Susah senang adalah di antara ruang-ruang kehidupan di mana seorang mukmin diuji keimanannya. Ada yang lulus. Ada juga yang mesti mengulang.
Mereka yang berguguran dalam perjuangan Islam adalah di antara yang mesti mengulang. Waktu memberikan mereka peluang untuk bangkit di lain kesempatan.
Rasulullah saw. bersabda, “Allah menguji hamba-Nya dengan menimpakan musibah sebagaimana seorang menguji kemurnian emas dengan api (pembakaran). Ada yang keluar emas murni. Itulah yang dilindungi Allah dari keragu-raguan. Ada juga yang kurang dari itu (mutunya) dan itulah yang selalu ragu. Ada yang keluar seperti emas hitam dan itu yang memang ditimpa fitnah (musibah).” (HR. Athabrani)
Ujian perjalanan keimanan seseorang tidak selalu pada hal besar. Bisa jadi terselip dalam kehidupan sehari-hari. Ada ujian tubuh yang rentan sakit. Ada rezeki yang muncul dalam tetesan kecil. Kadang ada, tapi kebanyakan tidak ada. Hidup menjadi sangat susah.
Inilah ujian sehari-hari yang bisa menentukan seperti apa mutu seorang mukmin. Kalau hasil ujian menunjuk titik sabar, rezeki yang sedikit menjadi berkah. Sedikit, tapi punya mutu istimewa.
Seperti itulah yang pernah diungkapkan Rasulullah saw. pada beberapa sahabat. “Sesungguhnya Allah Azza Wajalla menguji hambanya dengan rezeki yang diberikan Allah kepadanya. Kalau dia ridha dengan bagian yang diterimanya, maka Allah akan memberkahinya dan meluaskan pemberian-Nya. Kalau dia tidak ridha dengan pemberian-Nya, maka Allah tidak akan memberinya berkah.” (HR. Ahmad)
Ujian seperti itu memang terkesan sederhana. Mudah. Tapi, akan beda pada dunia nyata. Rezeki yang terasa kurang akan berdampak pada sisi lain: gizi keluarga, pendidikan anak, mobilitas gerak, dana dakwah, dan sebagainya. Belum lagi soal status sosial di tengah masyarakat. Sulit mengajak orang kembali pada Islam kalau status sosial si pengajak kurang dianggap.
Ujian rezeki yang terkesan sederhana, ternyata memang berat. Kalau saja bukan karena kasih sayang Allah swt., seorang mukmin hanya akan berputar-putar pada masalah diri dan keluarganya. Kapan ia akan berjuang. Bagaimana ia berdaya mengangkat beban umat yang begitu berat: masalah kebodohan, perpecahan, bahkan kemiskinan umat.
Jika merujuk pada pengalaman Rasul dan para sahabat, kenyataan hidup memang tidak begitu beda. Sedikit di antara hamba-hamba Allah di masa itu yang kaya. Termasuk Rasul sendiri. Beliau dikenal yatim yang berbisnis pada usaha pamannya, Abu Thalib. Begitu pun para sahabat yang sebagian besar berstatus budak dan buruh. Apa yang bisa dilakukan pada kelompok seperti itu.
Itulah yang pernah dialami Nabi Nuh dan para aktivis di sekitarnya. Mereka dianggap hina karena status sosial yang rendah. Allah swt. menggambarkan keadaan itu dalam surah Hud ayat 27. “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, ‘Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja. Dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami. Bahkan, kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.”
Namun, sejarah memberikan pelajaran berharga. Para pejuang teladan yang dianggap punya status sosial rendah itu mampu memberikan bukti. Bahwa, kekayaan bukan penentu sukses-tidaknya sebuah perjuangan. Ada hal lain yang jauh lebih penting sebagai energi utama. Energi utama itu tersimpan dalam kekuatan ruhiyah yang tinggi.
Rasulullah saw. mengungkapkan itu dalam sebuah sabdanya. “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada seorang mukmin yang lemah dalam segala kebaikan. Peliharalah apa-apa yang menguntungkan kamu dan mohonlan pertolongan Allah. Jangan lemah semangat (putus asa). Jika ditimpa suatu musibah janganlah berkata, ‘Oh andaikata aku tadinya melakukan itu tentu berakibat begini dan begitu.’ Tetapi, katakanlah, ‘Ini takdir Allah dan apa yang dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya.” Ketahuilah, sesungguhnya ucapan ‘andaikan’ dan ‘jikalau’ hanya membuka peluang bagi karya setan.” (HR. Muslim)
Kenyataannya, energi yang dimiliki para pejuang Islam dari masa ke masa ada dalam ruhani mereka. Mereka begitu dekat dengan Yang Maha Kuat, Allah swt. Siang mereka seperti pendekar yang menggempur musuh dengan gagah berani. Tapi malam, mereka kerap menangis dalam hamparan sajadah karena hanyut dalam zikrullah. Hati mereka begitu terpaut dalam kasih sayang Allah swt.
Suatu kali Rasulullah saw. meminta Ibnu Mas’ud membaca Alquran. Ibnu Mas’ud agak kaget. “Bagaimana mungkin saya membacakan pada Anda Alquran, padahal ia datang melalui Anda?” Rasulullah saw. pun meminta Ibnu Mas’ud untuk membaca. Dan sahabat Rasul itu pun membaca surah An-Nisa.
Satu demi satu ayat dalam surah An-Nisa itu dibaca Ibnu Mas’ud. Hingga pada ayat ke-41. Rasul pun menangis. Tangisnya begitu jelas, hingga Ibnu Mas’ud menghentikan bacaannya. Ayat ke-41 itu berbunyi, “Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”
Itulah energi yang begitu kuat. Sebuah kekuatan yang bisa memupus keraguan, kemalasan, dan rasa takut. Sebuah kekuatan yang bisa mengecilkan bentuk ujian hidup apa pun. Termasuk, ujian kemiskinan
Sumber : www.dakwatuna.com
Dakwatuna.com - Hidup kadang seperti tulisan spanduk yang terikat di antara dua tiang. Hujan, panas, dan tangan-tangan usil bisa melunturkan keberadaan tulisan. Warna menjadi kabur, dan tulisan pun mulai luntur. Seperti itu pula mungkin ketika seseorang hidup sebagai muslim.
Tak ada iman tanpa ujian. Kalimat itulah yang mesti dipegang seorang mukmin dalam mengarungi hidup. Susah senang adalah di antara ruang-ruang kehidupan di mana seorang mukmin diuji keimanannya. Ada yang lulus. Ada juga yang mesti mengulang.
Mereka yang berguguran dalam perjuangan Islam adalah di antara yang mesti mengulang. Waktu memberikan mereka peluang untuk bangkit di lain kesempatan.
Rasulullah saw. bersabda, “Allah menguji hamba-Nya dengan menimpakan musibah sebagaimana seorang menguji kemurnian emas dengan api (pembakaran). Ada yang keluar emas murni. Itulah yang dilindungi Allah dari keragu-raguan. Ada juga yang kurang dari itu (mutunya) dan itulah yang selalu ragu. Ada yang keluar seperti emas hitam dan itu yang memang ditimpa fitnah (musibah).” (HR. Athabrani)
Ujian perjalanan keimanan seseorang tidak selalu pada hal besar. Bisa jadi terselip dalam kehidupan sehari-hari. Ada ujian tubuh yang rentan sakit. Ada rezeki yang muncul dalam tetesan kecil. Kadang ada, tapi kebanyakan tidak ada. Hidup menjadi sangat susah.
Inilah ujian sehari-hari yang bisa menentukan seperti apa mutu seorang mukmin. Kalau hasil ujian menunjuk titik sabar, rezeki yang sedikit menjadi berkah. Sedikit, tapi punya mutu istimewa.
Seperti itulah yang pernah diungkapkan Rasulullah saw. pada beberapa sahabat. “Sesungguhnya Allah Azza Wajalla menguji hambanya dengan rezeki yang diberikan Allah kepadanya. Kalau dia ridha dengan bagian yang diterimanya, maka Allah akan memberkahinya dan meluaskan pemberian-Nya. Kalau dia tidak ridha dengan pemberian-Nya, maka Allah tidak akan memberinya berkah.” (HR. Ahmad)
Ujian seperti itu memang terkesan sederhana. Mudah. Tapi, akan beda pada dunia nyata. Rezeki yang terasa kurang akan berdampak pada sisi lain: gizi keluarga, pendidikan anak, mobilitas gerak, dana dakwah, dan sebagainya. Belum lagi soal status sosial di tengah masyarakat. Sulit mengajak orang kembali pada Islam kalau status sosial si pengajak kurang dianggap.
Ujian rezeki yang terkesan sederhana, ternyata memang berat. Kalau saja bukan karena kasih sayang Allah swt., seorang mukmin hanya akan berputar-putar pada masalah diri dan keluarganya. Kapan ia akan berjuang. Bagaimana ia berdaya mengangkat beban umat yang begitu berat: masalah kebodohan, perpecahan, bahkan kemiskinan umat.
Jika merujuk pada pengalaman Rasul dan para sahabat, kenyataan hidup memang tidak begitu beda. Sedikit di antara hamba-hamba Allah di masa itu yang kaya. Termasuk Rasul sendiri. Beliau dikenal yatim yang berbisnis pada usaha pamannya, Abu Thalib. Begitu pun para sahabat yang sebagian besar berstatus budak dan buruh. Apa yang bisa dilakukan pada kelompok seperti itu.
Itulah yang pernah dialami Nabi Nuh dan para aktivis di sekitarnya. Mereka dianggap hina karena status sosial yang rendah. Allah swt. menggambarkan keadaan itu dalam surah Hud ayat 27. “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, ‘Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja. Dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami. Bahkan, kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.”
Namun, sejarah memberikan pelajaran berharga. Para pejuang teladan yang dianggap punya status sosial rendah itu mampu memberikan bukti. Bahwa, kekayaan bukan penentu sukses-tidaknya sebuah perjuangan. Ada hal lain yang jauh lebih penting sebagai energi utama. Energi utama itu tersimpan dalam kekuatan ruhiyah yang tinggi.
Rasulullah saw. mengungkapkan itu dalam sebuah sabdanya. “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada seorang mukmin yang lemah dalam segala kebaikan. Peliharalah apa-apa yang menguntungkan kamu dan mohonlan pertolongan Allah. Jangan lemah semangat (putus asa). Jika ditimpa suatu musibah janganlah berkata, ‘Oh andaikata aku tadinya melakukan itu tentu berakibat begini dan begitu.’ Tetapi, katakanlah, ‘Ini takdir Allah dan apa yang dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya.” Ketahuilah, sesungguhnya ucapan ‘andaikan’ dan ‘jikalau’ hanya membuka peluang bagi karya setan.” (HR. Muslim)
Kenyataannya, energi yang dimiliki para pejuang Islam dari masa ke masa ada dalam ruhani mereka. Mereka begitu dekat dengan Yang Maha Kuat, Allah swt. Siang mereka seperti pendekar yang menggempur musuh dengan gagah berani. Tapi malam, mereka kerap menangis dalam hamparan sajadah karena hanyut dalam zikrullah. Hati mereka begitu terpaut dalam kasih sayang Allah swt.
Suatu kali Rasulullah saw. meminta Ibnu Mas’ud membaca Alquran. Ibnu Mas’ud agak kaget. “Bagaimana mungkin saya membacakan pada Anda Alquran, padahal ia datang melalui Anda?” Rasulullah saw. pun meminta Ibnu Mas’ud untuk membaca. Dan sahabat Rasul itu pun membaca surah An-Nisa.
Satu demi satu ayat dalam surah An-Nisa itu dibaca Ibnu Mas’ud. Hingga pada ayat ke-41. Rasul pun menangis. Tangisnya begitu jelas, hingga Ibnu Mas’ud menghentikan bacaannya. Ayat ke-41 itu berbunyi, “Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”
Itulah energi yang begitu kuat. Sebuah kekuatan yang bisa memupus keraguan, kemalasan, dan rasa takut. Sebuah kekuatan yang bisa mengecilkan bentuk ujian hidup apa pun. Termasuk, ujian kemiskinan
Sumber : www.dakwatuna.com
Sunday, November 21, 2010
Siapa Yang Melakukan Kejahatan, Maka Ia Sendiri Yang Akan Menuai Akibatnya
Dikisahkan bahwa para pembantu sebagian raja menemukan seorang bocah di sebuah jalan, lalu mereka mengambilnya. Mengetahui hal itu, sang Amir memerintahkan agar bocah tersebut dididik dengan baik dan dijadikan bagian dari keluarga istana. Ia lantas memberinya nama ‘Ahmad al-Yatim’ (Ahmad Si Yatim).
Tatkala ia semakin tumbuh menjadi remaja, tampaklah padanya tanda-tanda kecerdasan dan kepintaran. Karena itu, sang raja menggambleng akhlaqnya dan memberikan pengajaran kepadanya. Dan ketika ajalnya sudah dekat, ia berwasiat kepada putra mahkotanya agar menjaga anak ini, maka ia pun dimasukkan ke dalam istana kerajaan, menjadi orang pilihan dan diambil janjinya untuk tetap setia sebagai pembantu yang amanah. Setelah itu, pangkatnya dinaikkan menjadi pemutus perkara yang terjadi di antara para pembantu Amir (putra mahkota) dan pengontrol jalannya urusan istananya.
Pada suatu hari, sang Amir menyuruhnya untuk menghadirkan sesuatu di sebagian biliknya. Maka pergilah ia ke sana untuk mengambilnya, namun secara tak sengaja ia memergoki salah seorang dari para pelayan wanita yang bekerja khusus untuk sang Amir tengah berduaan dengan seorang pemuda dari kalangan para pembantu, melakukan perbuatan mesum dan berzina. Menyadari dirinya kepergok, si pelayan wanita ini memelas kepadanya agar merahasiakan kejadian tersebut dan berjanji akan memberinya semua yang diinginkannya seraya menggodanya dengan tujuan agar rahasianya tidak dibocorkan. Akan tetapi, ia malah berkata kepada si pelayan wanita tersebut, “Aku berlindung kepada Allah dari melakukan khianat terhadap sang Amir dengan berzina padahal dia telah berbuat baik padaku.” Kemudian ia meninggalkan pelayan wanita tersebut dan berpaling darinya, sementara dalam hatinya ia berniat untuk tidak membocorkan rahasia tersebut.
Rupanya, si pelayan wanita tersebut merasa ketakutan lebih dahulu dan membayangkan seakan Ahmad al-Yatim akan membocorkan rahasianya kepada sang Amir. Karena itu, ia menunggu kedatangan Amir ke istananya, kemudian pergi ke sana sambil menangis-nangis dan mengadu. Lalu Amir menanyakan kepadanya apa gerangan yang terjadi? Dia mengatakan bahwa Ahmad al-Yatim telah menggodanya dan ingin memaksanya untuk melakukan zina. Begitu mendengar pengaduan itu, marah besarlah sang Amir pada Ahmad dan berniat untuk membunuhnya. Kemudian, beliau pun membuat rencana pembunuhan tersebut secara terselubung agar tidak ada orang yang tahu mengenai kematiannya nanti dan apa sebab terbunuhnya.
Untuk itu, sang Amir berkata kepada pembantunya yang paling senior, “Bila aku utus kepadamu seseorang yang membawa nampan dan meminta kepadamu begini dan begitu, maka penggallah lehernya dan letakkan kepalanya di dalam nampan tersebut serta kirim lagi kepadaku.” Sang pembantu senior itu pun mengiyakannya dengan penuh kepatuhan.
Pada suatu hari, sang Amir memanggil Ahmad al-Yatim seraya berkata, “Pergilah ke fulan, si pembantu lalu katakanlah kepadanya begini dan begitu.”
Ia pun melakukan apa yang diperintahkan Amir tersebut dan langsung pergi, hanya saja di tengah perjalanannya dia bertemu dengan sebagian pembantu yang ingin agar ia menengahi perselisihan yang terjadi di antara mereka akan tetapi ia minta ma’af karena ada halangan dengan mengatakan bahwa ia sedang mengemban tugas dari Amir. Mereka menahannya seraya berkata, “Kami akan mengirim fulan, si pembantu untuk menggantikanmu dan melakukan apa yang diminta darimu untuk melakukannya tersebut sehingga kamu bisa memutuskan perselisihan di antara kami ini.” Maka dia pun mengabulkan permintaan itu dan mereka pun mengirim seorang pembantu di antara mereka untuk menggantikannya. Ternyata, orang tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah pemuda yang telah berbuat zina dengan si pelayan wanita tersebut.
Tatkala orang ini pergi ke tempat yang telah ditentukan, ketua pembantu yang senior itu membawanya pergi ke suatu tempat yang telah dipersiapkannya dan setibanya di sana, ia segera memenggal lehernya dan meletakkan kepalanya ke dalam nampan lalu menutupnya. Setelah itu, ia membawanya ke hadapan Amir. Saat sang Amir melihat nampan tersebut, ia mengangkat tutupnya namun betapa terperanjatnya ia karena ternyata yang ada di dalamnya itu bukanlah kepala Ahmad al-Yatim. Karena itu, sang Amir langsung memanggil para pembantu agar menghadirkan Ahmad, lalu menanyakan kepadanya kenapa bisa terjadi demikian. Maka, ia memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi sehingga posisinya digantikan oleh pembantu yang lain. Sang Amir pun bertanya kepadanya, “Apakah kamu tahu apa dosa yang dilakukan si pembantu ini?”
“Ya, dia telah melakukan ini dan itu bersama si pelayan wanita, lalu kembali dan mereka berdua memintaku atas nama Allah agar merahasiakan kejadian itu,” katanya.
Begitu mendengar penuturannya, sang Amir memerintahkan agar si pelayan wanita tersebut pun dieksekusi juga.
Akhirnya, suasana seperti semula kembali lagi menyeruak ke dalam kehidupan Ahmad. Ia semakin mendapatkan kecintaan dan penghormatan dari sang Amir.
Alhasil, inilah buah dari kesetiaan dan sebaliknya akibat dari perbuatan khianat. Allah Ta’ala berfirman, "Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya."(Q.s.,Faathir:43)
(SUMBER: Mi`atu Qishshah Wa Qishshah Fii Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin karya Muhammad Amin al-Jundy, Juz.II, h.33-35)
Di Kutip dari www.asofwah.or.id
Tatkala ia semakin tumbuh menjadi remaja, tampaklah padanya tanda-tanda kecerdasan dan kepintaran. Karena itu, sang raja menggambleng akhlaqnya dan memberikan pengajaran kepadanya. Dan ketika ajalnya sudah dekat, ia berwasiat kepada putra mahkotanya agar menjaga anak ini, maka ia pun dimasukkan ke dalam istana kerajaan, menjadi orang pilihan dan diambil janjinya untuk tetap setia sebagai pembantu yang amanah. Setelah itu, pangkatnya dinaikkan menjadi pemutus perkara yang terjadi di antara para pembantu Amir (putra mahkota) dan pengontrol jalannya urusan istananya.
Pada suatu hari, sang Amir menyuruhnya untuk menghadirkan sesuatu di sebagian biliknya. Maka pergilah ia ke sana untuk mengambilnya, namun secara tak sengaja ia memergoki salah seorang dari para pelayan wanita yang bekerja khusus untuk sang Amir tengah berduaan dengan seorang pemuda dari kalangan para pembantu, melakukan perbuatan mesum dan berzina. Menyadari dirinya kepergok, si pelayan wanita ini memelas kepadanya agar merahasiakan kejadian tersebut dan berjanji akan memberinya semua yang diinginkannya seraya menggodanya dengan tujuan agar rahasianya tidak dibocorkan. Akan tetapi, ia malah berkata kepada si pelayan wanita tersebut, “Aku berlindung kepada Allah dari melakukan khianat terhadap sang Amir dengan berzina padahal dia telah berbuat baik padaku.” Kemudian ia meninggalkan pelayan wanita tersebut dan berpaling darinya, sementara dalam hatinya ia berniat untuk tidak membocorkan rahasia tersebut.
Rupanya, si pelayan wanita tersebut merasa ketakutan lebih dahulu dan membayangkan seakan Ahmad al-Yatim akan membocorkan rahasianya kepada sang Amir. Karena itu, ia menunggu kedatangan Amir ke istananya, kemudian pergi ke sana sambil menangis-nangis dan mengadu. Lalu Amir menanyakan kepadanya apa gerangan yang terjadi? Dia mengatakan bahwa Ahmad al-Yatim telah menggodanya dan ingin memaksanya untuk melakukan zina. Begitu mendengar pengaduan itu, marah besarlah sang Amir pada Ahmad dan berniat untuk membunuhnya. Kemudian, beliau pun membuat rencana pembunuhan tersebut secara terselubung agar tidak ada orang yang tahu mengenai kematiannya nanti dan apa sebab terbunuhnya.
Untuk itu, sang Amir berkata kepada pembantunya yang paling senior, “Bila aku utus kepadamu seseorang yang membawa nampan dan meminta kepadamu begini dan begitu, maka penggallah lehernya dan letakkan kepalanya di dalam nampan tersebut serta kirim lagi kepadaku.” Sang pembantu senior itu pun mengiyakannya dengan penuh kepatuhan.
Pada suatu hari, sang Amir memanggil Ahmad al-Yatim seraya berkata, “Pergilah ke fulan, si pembantu lalu katakanlah kepadanya begini dan begitu.”
Ia pun melakukan apa yang diperintahkan Amir tersebut dan langsung pergi, hanya saja di tengah perjalanannya dia bertemu dengan sebagian pembantu yang ingin agar ia menengahi perselisihan yang terjadi di antara mereka akan tetapi ia minta ma’af karena ada halangan dengan mengatakan bahwa ia sedang mengemban tugas dari Amir. Mereka menahannya seraya berkata, “Kami akan mengirim fulan, si pembantu untuk menggantikanmu dan melakukan apa yang diminta darimu untuk melakukannya tersebut sehingga kamu bisa memutuskan perselisihan di antara kami ini.” Maka dia pun mengabulkan permintaan itu dan mereka pun mengirim seorang pembantu di antara mereka untuk menggantikannya. Ternyata, orang tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah pemuda yang telah berbuat zina dengan si pelayan wanita tersebut.
Tatkala orang ini pergi ke tempat yang telah ditentukan, ketua pembantu yang senior itu membawanya pergi ke suatu tempat yang telah dipersiapkannya dan setibanya di sana, ia segera memenggal lehernya dan meletakkan kepalanya ke dalam nampan lalu menutupnya. Setelah itu, ia membawanya ke hadapan Amir. Saat sang Amir melihat nampan tersebut, ia mengangkat tutupnya namun betapa terperanjatnya ia karena ternyata yang ada di dalamnya itu bukanlah kepala Ahmad al-Yatim. Karena itu, sang Amir langsung memanggil para pembantu agar menghadirkan Ahmad, lalu menanyakan kepadanya kenapa bisa terjadi demikian. Maka, ia memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi sehingga posisinya digantikan oleh pembantu yang lain. Sang Amir pun bertanya kepadanya, “Apakah kamu tahu apa dosa yang dilakukan si pembantu ini?”
“Ya, dia telah melakukan ini dan itu bersama si pelayan wanita, lalu kembali dan mereka berdua memintaku atas nama Allah agar merahasiakan kejadian itu,” katanya.
Begitu mendengar penuturannya, sang Amir memerintahkan agar si pelayan wanita tersebut pun dieksekusi juga.
Akhirnya, suasana seperti semula kembali lagi menyeruak ke dalam kehidupan Ahmad. Ia semakin mendapatkan kecintaan dan penghormatan dari sang Amir.
Alhasil, inilah buah dari kesetiaan dan sebaliknya akibat dari perbuatan khianat. Allah Ta’ala berfirman, "Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya."(Q.s.,Faathir:43)
(SUMBER: Mi`atu Qishshah Wa Qishshah Fii Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin karya Muhammad Amin al-Jundy, Juz.II, h.33-35)
Di Kutip dari www.asofwah.or.id
Friday, November 19, 2010
Kau Tak akan Tahu!
Alkisah di suatu negeri burung, tinggallah bermacam-macam keluarga burung. Mulai dari yang kecil hingga yang besar. Mulai dari yang bersuara lembut hingga yang bersuara menggelegar. Mereka tinggal di suatu pulau nun jauh di balik bukit pegunungan.
Sebenarnya selain jenis burung masih ada hewan lain yang hidup di sana. Namun sesuai namanya negeri burung, yang berkuasa dari kelompok burung. Semua jenis burung ganas, seperti, burung pemakan bangkai, burung Kondor, burung elang dan rajawali adalah para penjaga yang bertugas melindungi dan menjaga keselamatan penghung negeri burung.
Burung-burung kecil bersuara merdu, bertugas sebagai penghibur. Kicau mereka selalu terdengar sepanjang hari, selaras dengan desau angin dan gesekan daun.
Burung-burung berbulu warna warni, pemberi keindahan. Mereka bertugas bekeliling negri melebarkan sayapnya, agar warna-warni bulunya terlihat semua penghuni. Keindahan warnanya menimbulkan kegembiraan. Dan rasa gembira bisa menular bagai virus, sehingga semua penghuni merasa senang.
Pada suatu ketika, seekor induk elang tengah mengerami telur-telurnya. Setiap pagi elang jantan datang membawa makanan untuk induk elang.
Akhirnya, di satu pagi musim dingin telur-telur mulai menetas. Ada 3 anak elang yang nampak kuat berdiri. Dua anak elang yang hanya mampu mengeluarkan kepalanya dari cangkang telur, harus berakhir dalam paruh sang ayah.
Dengan tangkas, elang jantan mengoyak cangkang telur lalu mematuk-matuk calon anak yang tak jadi itu. Perlahan-lahan sang induk memberikan potongan-potongan tubuh anaknya ke dalam paruh mungil anak-anak elang yang kuat.
Kejam...? Ini hanya masalah kepraktisan. Untuk apa terbang dan mencari makan jauh-jauh jika ada daging bangkai di dalam sarang.
Sebagai hewan, elang hanya mempunyai naluri dan akal tanpa nurani. Inilah yang membedakan manusia dan hewan.
Waktu berjalan terus, hari berganti hari. Anak-anak elang yang berbentuk jelek karena tak berbulu, kini mulai menampakkan keasliannya. Bulu-bulu halus mulai menutupi daging di tubuh masing-masing. Kaki kecil anak-anak elang sudah mampu berdiri tegak. Walau kedua sayapnya belum tumbuh sempurna.
Induk elang dan elang jantan, bergantian menjaga sarang. Memastikan tak ada ular yang mengincar anak-anak elang dan memastikan anak-anak elang tak jatuh dari sarang yang berada di ketinggian pohon.
Suatu pagi, saat induk elang akan mencari makan dan bergantian dengan elang jantan menjaga sarang. Salah seekor anak elang bertanya: "Kapankah aku bisa terbang seperti ayah dan ibu?"
Induk elang dan elang jantan tersenyum, bertukar pandang lalu elang jantan berkata: "Waktunya akan tiba, anakku. Jadi sebelum waktu itu tiba, makanlah yang banyak dan pastikan tubuhmu sehat serta kuat."
Usai sang elang jantan berkata, induk elang merentangkan sayapnya lalu mengepakkan kuat-kuat. Hanya dalam hitungan yang cepat, induk elang tampak menjauhi sarang. Terlihat bagai sebilah papan berawarna coklat melayang di awan.
Anak-anak elang, masuk di bawah sayap elang jantan. Mencari kehangatan kasih sang jantan.
Waktu berjalan terus, musim telah berganti dari musim dingin ke musim semi. Seluruh permukaan pulau mulai menampakan warna-warni dedaunan. Bahkan sinar mentari memberi sentuhan warna yang indah. Anak-anak elang pun sudah semakin besar dan sayapnya mulai ditumbuhi bulu-bulu kasar.
Suatu ketika seeor anak elang berdiri di tepi sarang, ketika ada angin kencang, kakinya tak kuat mencengkram tepi sarang sehingga ia meluncur ke bawah. Induk elang langsung merentangkan sayapnya dan mendekati sang anak seraya berkata: "Rentangkan dan kepakan sayapmu kuat-kuat!"
Tapi rasa takut dan panik menguasai si anak elang karenanya ia tak mendengar apa yang dikatakan ibunya. Elang jantan menukik cepat dari jauh dan membiarkan sayapnya terentang tepat sebelum si anak mendarat di tanah. Sayap elang jantan menjadi alas pendaratan darurat si anak elang.
Si anak elang yang masih diliputi rasa panik dan takut tak mampu bergerak. Tubuhnya bergetar hebat. Induk elang, dengan kasih memeluk sang anak. Menyelipkan di bawah sayapnya dan memberikan kehangatan.
Sesudah si anak tenang dan tak gemetar, induk elang dan elang jantan membawa si anak kembali ke sarang.
Peristiwa itu menimbulkan rasa trauma pada si anak elang. Jangankan berlatih terbang dengan merentangkan dan mengepakkan sayap. Berdiri di tepi sarang saja ia sangat takut. Kedua saudaranya sudah mulai terbang dalam jarak pendek. Hal pertama yang diajarkan induk dan elang dan elang jantan adalah berusaha agar tidak mendarat keras di dataran.
Lama berselang setelah melihat ke dua saudaranya berlatih, si elang yang pernah jatuh bertanya pada ibunya: "Adakah jaminan aku tidak akan jatuh lagi?"
"Selama aku dan ayahmu ada, kamilah jaminanmu!" jawab si induk elang dengan penuh kasih.
"Tapi aku takut!" ujar si anak.
"Kami tahu, karenanya kami tak memaksa." Jawab si induk elang lagi.
"Lalu apa yang harus kulakukan agar aku berani?" tanya si anak.
"Untuk berani, kamu harus menghilangkan rasa takut!"
"Bagaimana caranya?"
"Percayalah pada kami!" Ujar elang jantan yang tiba-tiba sudah berada di tepi sarang.
Si anak diam dan hanya memandang jauh ke tengah lautan. Tiba-tiba si anak elang bertanya lagi. "Menurut ibu dan ayah, apakah aku mampu terbang keseberang lautan?"
Dengan tenang si elang jantan berkata: "Anakku, kalau kau tak pernah merentangkan dan mengepakkan sayapmu, kami tidak pernah tahu, apakah kamu mampu atau tidak. Karena yang tahu hanya dirimu sendiri!"
Lalu si induk elang menambahkan: "Mulailah dari sekarang, karena langkah kecilmu akan menjadi awal perubahan hidupmu. Semua perubahan di mulai dari langkah awal, anakku!"
Si anak elang diam tertegun, memandang takjub pada induk elang dan elang jantan. Kini ia sadar, tak ada yang tahu kemampuan dirinya selain dirinya sendiri. Kedua orang tuanya hanya memberikan jaminan mereka ada dan selalu ada, jika si anak memerlukan.
Didorong rasa bahagia akan cinta kasih orang tuanya, si elang kecil berjanji akan berlatih dan mencoba. Ketika akhirnya ia menggantikan elang jantan menjadi pemimpin keselamatan para penghuni negeri burung, maka tahulah ia, bahwa kesuksesan yang diraihnya adalah di mulai saat tekad terbangun untuk melangkah. Sukses itu tak pernah ada kalau hanya sebatas tekad. Tapi tekad itu harus diwujudan dengan tindakan nyata walau di mulai dari langkah yang kecil.
Mulailah rentangkan dan kepakkan sayap kemampuanmu, maka dunia ada di genggamanmu!
Sebenarnya selain jenis burung masih ada hewan lain yang hidup di sana. Namun sesuai namanya negeri burung, yang berkuasa dari kelompok burung. Semua jenis burung ganas, seperti, burung pemakan bangkai, burung Kondor, burung elang dan rajawali adalah para penjaga yang bertugas melindungi dan menjaga keselamatan penghung negeri burung.
Burung-burung kecil bersuara merdu, bertugas sebagai penghibur. Kicau mereka selalu terdengar sepanjang hari, selaras dengan desau angin dan gesekan daun.
Burung-burung berbulu warna warni, pemberi keindahan. Mereka bertugas bekeliling negri melebarkan sayapnya, agar warna-warni bulunya terlihat semua penghuni. Keindahan warnanya menimbulkan kegembiraan. Dan rasa gembira bisa menular bagai virus, sehingga semua penghuni merasa senang.
Pada suatu ketika, seekor induk elang tengah mengerami telur-telurnya. Setiap pagi elang jantan datang membawa makanan untuk induk elang.
Akhirnya, di satu pagi musim dingin telur-telur mulai menetas. Ada 3 anak elang yang nampak kuat berdiri. Dua anak elang yang hanya mampu mengeluarkan kepalanya dari cangkang telur, harus berakhir dalam paruh sang ayah.
Dengan tangkas, elang jantan mengoyak cangkang telur lalu mematuk-matuk calon anak yang tak jadi itu. Perlahan-lahan sang induk memberikan potongan-potongan tubuh anaknya ke dalam paruh mungil anak-anak elang yang kuat.
Kejam...? Ini hanya masalah kepraktisan. Untuk apa terbang dan mencari makan jauh-jauh jika ada daging bangkai di dalam sarang.
Sebagai hewan, elang hanya mempunyai naluri dan akal tanpa nurani. Inilah yang membedakan manusia dan hewan.
Waktu berjalan terus, hari berganti hari. Anak-anak elang yang berbentuk jelek karena tak berbulu, kini mulai menampakkan keasliannya. Bulu-bulu halus mulai menutupi daging di tubuh masing-masing. Kaki kecil anak-anak elang sudah mampu berdiri tegak. Walau kedua sayapnya belum tumbuh sempurna.
Induk elang dan elang jantan, bergantian menjaga sarang. Memastikan tak ada ular yang mengincar anak-anak elang dan memastikan anak-anak elang tak jatuh dari sarang yang berada di ketinggian pohon.
Suatu pagi, saat induk elang akan mencari makan dan bergantian dengan elang jantan menjaga sarang. Salah seekor anak elang bertanya: "Kapankah aku bisa terbang seperti ayah dan ibu?"
Induk elang dan elang jantan tersenyum, bertukar pandang lalu elang jantan berkata: "Waktunya akan tiba, anakku. Jadi sebelum waktu itu tiba, makanlah yang banyak dan pastikan tubuhmu sehat serta kuat."
Usai sang elang jantan berkata, induk elang merentangkan sayapnya lalu mengepakkan kuat-kuat. Hanya dalam hitungan yang cepat, induk elang tampak menjauhi sarang. Terlihat bagai sebilah papan berawarna coklat melayang di awan.
Anak-anak elang, masuk di bawah sayap elang jantan. Mencari kehangatan kasih sang jantan.
Waktu berjalan terus, musim telah berganti dari musim dingin ke musim semi. Seluruh permukaan pulau mulai menampakan warna-warni dedaunan. Bahkan sinar mentari memberi sentuhan warna yang indah. Anak-anak elang pun sudah semakin besar dan sayapnya mulai ditumbuhi bulu-bulu kasar.
Suatu ketika seeor anak elang berdiri di tepi sarang, ketika ada angin kencang, kakinya tak kuat mencengkram tepi sarang sehingga ia meluncur ke bawah. Induk elang langsung merentangkan sayapnya dan mendekati sang anak seraya berkata: "Rentangkan dan kepakan sayapmu kuat-kuat!"
Tapi rasa takut dan panik menguasai si anak elang karenanya ia tak mendengar apa yang dikatakan ibunya. Elang jantan menukik cepat dari jauh dan membiarkan sayapnya terentang tepat sebelum si anak mendarat di tanah. Sayap elang jantan menjadi alas pendaratan darurat si anak elang.
Si anak elang yang masih diliputi rasa panik dan takut tak mampu bergerak. Tubuhnya bergetar hebat. Induk elang, dengan kasih memeluk sang anak. Menyelipkan di bawah sayapnya dan memberikan kehangatan.
Sesudah si anak tenang dan tak gemetar, induk elang dan elang jantan membawa si anak kembali ke sarang.
Peristiwa itu menimbulkan rasa trauma pada si anak elang. Jangankan berlatih terbang dengan merentangkan dan mengepakkan sayap. Berdiri di tepi sarang saja ia sangat takut. Kedua saudaranya sudah mulai terbang dalam jarak pendek. Hal pertama yang diajarkan induk dan elang dan elang jantan adalah berusaha agar tidak mendarat keras di dataran.
Lama berselang setelah melihat ke dua saudaranya berlatih, si elang yang pernah jatuh bertanya pada ibunya: "Adakah jaminan aku tidak akan jatuh lagi?"
"Selama aku dan ayahmu ada, kamilah jaminanmu!" jawab si induk elang dengan penuh kasih.
"Tapi aku takut!" ujar si anak.
"Kami tahu, karenanya kami tak memaksa." Jawab si induk elang lagi.
"Lalu apa yang harus kulakukan agar aku berani?" tanya si anak.
"Untuk berani, kamu harus menghilangkan rasa takut!"
"Bagaimana caranya?"
"Percayalah pada kami!" Ujar elang jantan yang tiba-tiba sudah berada di tepi sarang.
Si anak diam dan hanya memandang jauh ke tengah lautan. Tiba-tiba si anak elang bertanya lagi. "Menurut ibu dan ayah, apakah aku mampu terbang keseberang lautan?"
Dengan tenang si elang jantan berkata: "Anakku, kalau kau tak pernah merentangkan dan mengepakkan sayapmu, kami tidak pernah tahu, apakah kamu mampu atau tidak. Karena yang tahu hanya dirimu sendiri!"
Lalu si induk elang menambahkan: "Mulailah dari sekarang, karena langkah kecilmu akan menjadi awal perubahan hidupmu. Semua perubahan di mulai dari langkah awal, anakku!"
Si anak elang diam tertegun, memandang takjub pada induk elang dan elang jantan. Kini ia sadar, tak ada yang tahu kemampuan dirinya selain dirinya sendiri. Kedua orang tuanya hanya memberikan jaminan mereka ada dan selalu ada, jika si anak memerlukan.
Didorong rasa bahagia akan cinta kasih orang tuanya, si elang kecil berjanji akan berlatih dan mencoba. Ketika akhirnya ia menggantikan elang jantan menjadi pemimpin keselamatan para penghuni negeri burung, maka tahulah ia, bahwa kesuksesan yang diraihnya adalah di mulai saat tekad terbangun untuk melangkah. Sukses itu tak pernah ada kalau hanya sebatas tekad. Tapi tekad itu harus diwujudan dengan tindakan nyata walau di mulai dari langkah yang kecil.
Mulailah rentangkan dan kepakkan sayap kemampuanmu, maka dunia ada di genggamanmu!
Nilai Seorang Sahabat Wanita
Pada suatu hari, seorang wanita muda yang baru saja menikah mengunjungi ibunya di Bukit Timah. Mereka berdua duduk di sebuah sofa dan menikmati segelas air teh dingin.
Ketika mereka sedang berbincang-bincang mengenai kehidupan, pernikahan, tanggung jawab dalam hidup serta kewajiban, sang ibu dengan perlahan menaruh sebongkah es batu ke dalam gelasnya dan menatap wajah anak perempuannya.
"Jangan lupakan sahabat-sahabat wanitamu." nasihatnya, sambil mengaduk-ngaduk daun teh dibawah gelasnya.
"Mereka akan menjadi orang yang penting bagimu ketika usiamu makin tua. Tidak peduli seberapa dalam kau mencintai suamimu, seberapa banyak anak-anak yang kau miliki, kau masih tetap harus memiliki sahabat wanita."
"Ingatlah untuk berjalan-jalan bersama mereka, melakukan hal bersama-sama dengan mereka. Dan ingat bahwa mereka bukan hanya sekedar sahabat wanitamu, tetapi mereka akan menjadi saudara, anak dan yang lainnya. Kau akan membutuhkan sosok wanita yang lain. Wanita selalu begitu."
"Sungguh nasihat yang aneh," pikir si wanita muda. "Bukankah aku baru saja menikah? Bukankah aku baru saja bergabung dalam dunia pasangan-pasangan muda? Sekarang saya adalah seorang istri, orang dewasa, bukan anak perempuan kecil yang memerlukan teman main perempuan lainnya! Tentu saja keluarga yang akan kami bina dapat membuat hidup saya lebih berarti."
Tetapi, ia mendengarkan nasihat ibunya; ia terus berhubungan dengan sahabat-sahabat wanitanya dan bertemu dengan semakin banyak sahabat setiap tahun.
Ketika tahun demi tahun berlalu, ia mulai merasakan betapa benar nasihat yang diberikan ibunya.
Ketika waktu dan keadaan mengubah keberadaan mereka sebagai wanita dengan segala misterinya, sahabat-sahabat wanitanya tetap berada dalam kehidupannya.
Setelah hidup selama 50 tahun dalam dunia ini, inilah fakta-fakta yang saya dapatkan dari memiliki sahabat wanita:
Sahabat wanita membawakan kau kari ayam dan menggosok kamar mandimu ketika kau membutuhkan pertolongan.
Sahabat wanita akan menjaga anak-anak dan rahasiamu.
Sahabat wanita akan memberikan nasihat ketika kau membutuhkannya. Kadang-kadang kau menerimanya, kadang-kadang tidak.
Sahabat wanita tidak selalu mengatakan apa yang kau lakukan benar, tetapi mereka biasanya bersikap jujur.
Sahabat wanita akan terus mengasihimu, meskipun ada perbedaan pendapat.
Sahabat wanita akan tertawa bersama-sama denganmu, dan lelucon kosong sama sekali tidak diperlukan hanya untuk sebuah tawa.
Sahabat wanita akan menarikmu dari kesulitan.
Sahabat wanita akan menolongmu keluar dari hubungan-hubungan yang buruk.
Sahabat wanita menolongmu mencarikan rumah tinggal yang baru, membantu mengepak barang dan pindah.
Sahabat wanita akan membuat sebuah pesta untuk anak-anakmu ketika mereka menikah atau memiliki anak, manapun yang lebih dulu terjadi.
Sahabat wanita akan selalu berada di sampingmu, dalam suka maupun duka.
Sahabat wanita akan menempuh badai, topan, panas, dan kegelapan untuk mengeluarkan kau dari keputusasaan.
Sahabat wanita akan mendengarkan ketika kau kehilangan pekerjaan atau seorang kawan.
Sahabat wanita akan mendengarkan ketika anak-anakmu mengecewekanmu.
Sahabat wanita akan mendengarkan ketika keadaan orang tua kita semakin memburuk.
Sahabat wanita akan menangis bersamamu ketika orang yang kamu kasihi meninggal.
Sahabat wanita menghiburmu ketika kau dikecewakan oleh banyak pria didalam
kehidupanmu.
Sahabat wanita membantumu untuk bangkit kembali ketika pria kau cintai pergi meninggalkanmu.
Sahabat wanita senang ketika mereka melihatmu bahagia, dan bersedia mencari dan melemparkan apa yang tidak membuatmu bahagia.
Waktu berlalu. Kehidupan berjalan. Jarak memisahkan. Anak-anak beranjak dewasa.
Cinta hilang dan pergi. Hati yang hancur. Karir berakhir. Pekerjaan berganti.
Orang tua meninggal. Rekan-rekan melupakan kebaikan. Pria tidak menelpon ketika mereka berkata mereka akan melakukan sesuatu (misalnya saat berpindah ke lain
hati).
TETAPI, sahabat-sahabat wanita akan terus mendampinginmu, meskipun waktu dan jarak yang terpaut sangat jauh.
Seorang sahabat wanita tidak akan lebih jauh dari orang-orang yang membutuhkan. Ketika kau harus berjalan melewati lembah sendirian, sahabat wanitamu akan terus berjalan bersamamu di atas puncak lembah, menyusuri jarak bersamamu, menghiburmu, mendoakanmu, menarikmu, dan menanti dengan tangan terbuka di ujung lembah ketika perjalanan berakhir. Terkadang, mereka pun harus melanggar peraturan untuk dapat berjalan bersamamu. Atau bahkan menopangmu.
Anak, saudara, ibu, ipar perempuan, ibu mertua, bibi, keponakan, sepupu perempuan, keluarga jauh, dan para sahabat perempuan saya telah membuat kehidupan saya lebih berarti!
Dunia tidak akan sama tanpa kehadiran mereka, dan begitu juga saya.
Ketika kita memulai petualangan kita sebagai wanita dewasa, kita tidak tahu tentang kesukacitaan atau kedukaan yang akan terjadi di depan. Atau seberapa jauh saya dan mereka akan saling membutuhkan.
Tetapi saya tahu, saya masih tetap membutuhkan mereka setiap hari.
Terjemahan Bebas oleh Bassisette
Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)
Ketika mereka sedang berbincang-bincang mengenai kehidupan, pernikahan, tanggung jawab dalam hidup serta kewajiban, sang ibu dengan perlahan menaruh sebongkah es batu ke dalam gelasnya dan menatap wajah anak perempuannya.
"Jangan lupakan sahabat-sahabat wanitamu." nasihatnya, sambil mengaduk-ngaduk daun teh dibawah gelasnya.
"Mereka akan menjadi orang yang penting bagimu ketika usiamu makin tua. Tidak peduli seberapa dalam kau mencintai suamimu, seberapa banyak anak-anak yang kau miliki, kau masih tetap harus memiliki sahabat wanita."
"Ingatlah untuk berjalan-jalan bersama mereka, melakukan hal bersama-sama dengan mereka. Dan ingat bahwa mereka bukan hanya sekedar sahabat wanitamu, tetapi mereka akan menjadi saudara, anak dan yang lainnya. Kau akan membutuhkan sosok wanita yang lain. Wanita selalu begitu."
"Sungguh nasihat yang aneh," pikir si wanita muda. "Bukankah aku baru saja menikah? Bukankah aku baru saja bergabung dalam dunia pasangan-pasangan muda? Sekarang saya adalah seorang istri, orang dewasa, bukan anak perempuan kecil yang memerlukan teman main perempuan lainnya! Tentu saja keluarga yang akan kami bina dapat membuat hidup saya lebih berarti."
Tetapi, ia mendengarkan nasihat ibunya; ia terus berhubungan dengan sahabat-sahabat wanitanya dan bertemu dengan semakin banyak sahabat setiap tahun.
Ketika tahun demi tahun berlalu, ia mulai merasakan betapa benar nasihat yang diberikan ibunya.
Ketika waktu dan keadaan mengubah keberadaan mereka sebagai wanita dengan segala misterinya, sahabat-sahabat wanitanya tetap berada dalam kehidupannya.
Setelah hidup selama 50 tahun dalam dunia ini, inilah fakta-fakta yang saya dapatkan dari memiliki sahabat wanita:
Sahabat wanita membawakan kau kari ayam dan menggosok kamar mandimu ketika kau membutuhkan pertolongan.
Sahabat wanita akan menjaga anak-anak dan rahasiamu.
Sahabat wanita akan memberikan nasihat ketika kau membutuhkannya. Kadang-kadang kau menerimanya, kadang-kadang tidak.
Sahabat wanita tidak selalu mengatakan apa yang kau lakukan benar, tetapi mereka biasanya bersikap jujur.
Sahabat wanita akan terus mengasihimu, meskipun ada perbedaan pendapat.
Sahabat wanita akan tertawa bersama-sama denganmu, dan lelucon kosong sama sekali tidak diperlukan hanya untuk sebuah tawa.
Sahabat wanita akan menarikmu dari kesulitan.
Sahabat wanita akan menolongmu keluar dari hubungan-hubungan yang buruk.
Sahabat wanita menolongmu mencarikan rumah tinggal yang baru, membantu mengepak barang dan pindah.
Sahabat wanita akan membuat sebuah pesta untuk anak-anakmu ketika mereka menikah atau memiliki anak, manapun yang lebih dulu terjadi.
Sahabat wanita akan selalu berada di sampingmu, dalam suka maupun duka.
Sahabat wanita akan menempuh badai, topan, panas, dan kegelapan untuk mengeluarkan kau dari keputusasaan.
Sahabat wanita akan mendengarkan ketika kau kehilangan pekerjaan atau seorang kawan.
Sahabat wanita akan mendengarkan ketika anak-anakmu mengecewekanmu.
Sahabat wanita akan mendengarkan ketika keadaan orang tua kita semakin memburuk.
Sahabat wanita akan menangis bersamamu ketika orang yang kamu kasihi meninggal.
Sahabat wanita menghiburmu ketika kau dikecewakan oleh banyak pria didalam
kehidupanmu.
Sahabat wanita membantumu untuk bangkit kembali ketika pria kau cintai pergi meninggalkanmu.
Sahabat wanita senang ketika mereka melihatmu bahagia, dan bersedia mencari dan melemparkan apa yang tidak membuatmu bahagia.
Waktu berlalu. Kehidupan berjalan. Jarak memisahkan. Anak-anak beranjak dewasa.
Cinta hilang dan pergi. Hati yang hancur. Karir berakhir. Pekerjaan berganti.
Orang tua meninggal. Rekan-rekan melupakan kebaikan. Pria tidak menelpon ketika mereka berkata mereka akan melakukan sesuatu (misalnya saat berpindah ke lain
hati).
TETAPI, sahabat-sahabat wanita akan terus mendampinginmu, meskipun waktu dan jarak yang terpaut sangat jauh.
Seorang sahabat wanita tidak akan lebih jauh dari orang-orang yang membutuhkan. Ketika kau harus berjalan melewati lembah sendirian, sahabat wanitamu akan terus berjalan bersamamu di atas puncak lembah, menyusuri jarak bersamamu, menghiburmu, mendoakanmu, menarikmu, dan menanti dengan tangan terbuka di ujung lembah ketika perjalanan berakhir. Terkadang, mereka pun harus melanggar peraturan untuk dapat berjalan bersamamu. Atau bahkan menopangmu.
Anak, saudara, ibu, ipar perempuan, ibu mertua, bibi, keponakan, sepupu perempuan, keluarga jauh, dan para sahabat perempuan saya telah membuat kehidupan saya lebih berarti!
Dunia tidak akan sama tanpa kehadiran mereka, dan begitu juga saya.
Ketika kita memulai petualangan kita sebagai wanita dewasa, kita tidak tahu tentang kesukacitaan atau kedukaan yang akan terjadi di depan. Atau seberapa jauh saya dan mereka akan saling membutuhkan.
Tetapi saya tahu, saya masih tetap membutuhkan mereka setiap hari.
Terjemahan Bebas oleh Bassisette
Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)
"Papa baca keras-keras ya pa, supaya Jessica bisa dengar!"
Pada suatu malam Budi, seorang eksekutif sukses, seperti biasanya sibuk memperhatikan berkas-berkas pekerjaan kantor yang dibawanya pulang ke rumah, karena keesokan harinya ada rapat umum yang sangat penting dengan para pemegang saham.
Ketika ia sedang asyik menyeleksi dokumen kantor tersebut, Putrinya Jessica datang mendekatinya, berdiri tepat di sampingnya, sambil memegang buku cerita baru. Buku itu bergambar seorang peri kecil yang imut, sangat menarik perhatian Jessica.
"Pa liat"! Jessica berusaha menarik perhatian ayahnya. Budi menengok ke arahnya, sambil menurunkan kaca matanya, kalimat yang keluar hanyalah kalimat basa-basi "Wah.., buku baru ya Jes?"
"Ya papa" Jessica berseri-seri karena merasa ada tanggapan dari ayahnya. "Bacain Jessi dong pa" pinta Jessica lembut.
"Wah papa sedang sibuk sekali, jangan sekarang deh" sanggah budi dengan cepat.
Lalu ia segera mengalihkan perhatiannya pada kertas-kertas yang berserakkan di depannya, dengan serius.
Jessica bengong sejenak, namun ia belum menyerah. Dengan suara lembut dan sedikit manja ia kembali merayu, "Pa, mama bilang papa mau baca untuk jessi..."
Budi mulai agak kesal, "Jes, papa sibuk.. sekarang Jessi minta mama yang baca ya.."
"Pa, mama juga lagi sibuk di dapur.... Papa liat deh gambarnya, lucu-lucu.."
"Lain kali Jessica... Pergi sana ke mama! Papa lagi banyak kerjaan...!"
Budi berusaha memusatkan perhatiannya pada lembar-lembar kertas tadi, menit demi menit berlalu, Jessica menarik nafas panjang dan tetap di situ, berdiri ditempatnya penuh harap, dan tiba -tiba ia mulai lagi. "Pa,.. gambarnya bagus, papa pasti suka."
"Jessica, PAPA BILANG, LAIN KALI!! " kata Budi membentaknya dengan keras. Kali ini Budi berhasil, semangat Jessica kecil terkulai, hampir menangis, matanya berkaca-kaca dan ia bergeser menjauhi ayahnya "Iya pa,. lain kali ya pa?"
Ia masih sempat mendekati ayahnya dan sambil menyentuh lembut tangan ayahnya ia menaruh buku cerita di pangkuan sang Ayah. "Pa kalau papa ada waktu, papa baca keras-keras ya pa, supaya Jessica bisa denger..."
Hari demi hari telah berlalu, tanpa terasa dua pekan telah berlalu namun permintaan Jessica kecil tidak pernah terpenuhi. Buku cerita Peri imut, belum pernah dibacakan untuk dirinya.
Hingga suatu sore terdengar suara hentakan keras "Buukk!!"
Beberapa tetangga melaporkan dengan histeris bahwa Jessica kecil terlindas kendaraan seorang pemuda mabok yang melajukan kendaraannya dengan kencang di depan rumah Budi. Tubuh Jessica mungil terpental beberapa meter, dalam keadaan yang begitu mengenaskan.
Ambulance pun didatangkan secepatnya. Selama perjalanan menuju rumah sakit, Jessica kecil sempat berkata dengan begitu lirih "Jessi takut pa, jessi takut ma, Jessi sayang papa mama..."
Darah segar terus keluar dari mulutnya, hingga ia tidak tertolong lagi ketika sampai di rumah sakit terdekat.
Kejadian hari itu begitu mengguncangkan hati nurani Budi... Tidak ada lagi waktu tersisa untuk memenuhi sebuah janji. Kini yang ada hanyalah penyesalan. Permintaan sang buah hati yang sangat sederhana pun... tidak terpenuhi.
Masih segar terbayang dalam ingatan Budi tangan mungil anaknya yang memohon kepadanya untuk membacakan sebuah cerita. Kini sentuhan itu terasa sangat berarti sekali, "Papa baca keras-keras ya pa, supaya Jessica bisa denger..." Kata-kata jessi terngiang-ngiang kembali.
Sore itu setelah segalanya telah berlalu, yang tersisa hanya keheningan dan kesunyian hati, canda dan riang Jessica kecil tidak akan terdengar lagi. Budi mulai membuka buku cerita peri imut yang diambilnya perlahan dari onggokan mainan Jessica di pojok ruangan. Bukunya sudah tidak baru lagi, sampulnya sudah usang dan koyak. Beberapa coretan tak berbentuk menghiasi lembar-lembar halamannya seperti sebuah kenangan indah dari Jessica kecil.
Budi menguatkan hati, dengan mata yang berkaca-kaca ia membuka halaman pertama dan membacanya dengan sura keras, tampak sekali ia berusaha membacanya dengan keras. Ia terus membacanya dengan keras-keras halaman demi halaman, dengan berlinang air mata.
"Jessi dengar papa baca ya..."
Selang beberapa kata,..hatinya memohon lagi.., "Jessi papa mohon ampun nak... Papa sayang Jessi..."
Seakan setiap kata dalam bacaan itu begitu menggores lubuk hatinya, tak kuasa menahan itu Budi bersujud dan menangis, memohon satu kesempatan lagi untuk mencintai.
Seseorang yang mengasihi selalu mengalikan kesenangan dan membagi kesedihan kita, Ia selalu memberi PERHATIAN kepada kita. Karena ia Peduli kepada kita...
ADAKAH "PERHATIAN TERBAIK" ITU BEGITU MAHAL BAGI MEREKA?
BERILAH "PERHATIAN TERBAIK" WALAUPUN ITU HANYA SEKALI
Bukankah kesempatan untuk memberi perhatian kepada orang-orang yang kita cintai itu sangat berharga?
DO IT NOW
Berilah "PERHATIAN TERBAIK" bagi mereka yang kita cintai.
LAKUKAN SEKARANG!! KARENA HANYA ADA SATU KESEMPATAN UNTUK MEMPERHATIKAN DENGAN HATI KITA...
Ketika ia sedang asyik menyeleksi dokumen kantor tersebut, Putrinya Jessica datang mendekatinya, berdiri tepat di sampingnya, sambil memegang buku cerita baru. Buku itu bergambar seorang peri kecil yang imut, sangat menarik perhatian Jessica.
"Pa liat"! Jessica berusaha menarik perhatian ayahnya. Budi menengok ke arahnya, sambil menurunkan kaca matanya, kalimat yang keluar hanyalah kalimat basa-basi "Wah.., buku baru ya Jes?"
"Ya papa" Jessica berseri-seri karena merasa ada tanggapan dari ayahnya. "Bacain Jessi dong pa" pinta Jessica lembut.
"Wah papa sedang sibuk sekali, jangan sekarang deh" sanggah budi dengan cepat.
Lalu ia segera mengalihkan perhatiannya pada kertas-kertas yang berserakkan di depannya, dengan serius.
Jessica bengong sejenak, namun ia belum menyerah. Dengan suara lembut dan sedikit manja ia kembali merayu, "Pa, mama bilang papa mau baca untuk jessi..."
Budi mulai agak kesal, "Jes, papa sibuk.. sekarang Jessi minta mama yang baca ya.."
"Pa, mama juga lagi sibuk di dapur.... Papa liat deh gambarnya, lucu-lucu.."
"Lain kali Jessica... Pergi sana ke mama! Papa lagi banyak kerjaan...!"
Budi berusaha memusatkan perhatiannya pada lembar-lembar kertas tadi, menit demi menit berlalu, Jessica menarik nafas panjang dan tetap di situ, berdiri ditempatnya penuh harap, dan tiba -tiba ia mulai lagi. "Pa,.. gambarnya bagus, papa pasti suka."
"Jessica, PAPA BILANG, LAIN KALI!! " kata Budi membentaknya dengan keras. Kali ini Budi berhasil, semangat Jessica kecil terkulai, hampir menangis, matanya berkaca-kaca dan ia bergeser menjauhi ayahnya "Iya pa,. lain kali ya pa?"
Ia masih sempat mendekati ayahnya dan sambil menyentuh lembut tangan ayahnya ia menaruh buku cerita di pangkuan sang Ayah. "Pa kalau papa ada waktu, papa baca keras-keras ya pa, supaya Jessica bisa denger..."
Hari demi hari telah berlalu, tanpa terasa dua pekan telah berlalu namun permintaan Jessica kecil tidak pernah terpenuhi. Buku cerita Peri imut, belum pernah dibacakan untuk dirinya.
Hingga suatu sore terdengar suara hentakan keras "Buukk!!"
Beberapa tetangga melaporkan dengan histeris bahwa Jessica kecil terlindas kendaraan seorang pemuda mabok yang melajukan kendaraannya dengan kencang di depan rumah Budi. Tubuh Jessica mungil terpental beberapa meter, dalam keadaan yang begitu mengenaskan.
Ambulance pun didatangkan secepatnya. Selama perjalanan menuju rumah sakit, Jessica kecil sempat berkata dengan begitu lirih "Jessi takut pa, jessi takut ma, Jessi sayang papa mama..."
Darah segar terus keluar dari mulutnya, hingga ia tidak tertolong lagi ketika sampai di rumah sakit terdekat.
Kejadian hari itu begitu mengguncangkan hati nurani Budi... Tidak ada lagi waktu tersisa untuk memenuhi sebuah janji. Kini yang ada hanyalah penyesalan. Permintaan sang buah hati yang sangat sederhana pun... tidak terpenuhi.
Masih segar terbayang dalam ingatan Budi tangan mungil anaknya yang memohon kepadanya untuk membacakan sebuah cerita. Kini sentuhan itu terasa sangat berarti sekali, "Papa baca keras-keras ya pa, supaya Jessica bisa denger..." Kata-kata jessi terngiang-ngiang kembali.
Sore itu setelah segalanya telah berlalu, yang tersisa hanya keheningan dan kesunyian hati, canda dan riang Jessica kecil tidak akan terdengar lagi. Budi mulai membuka buku cerita peri imut yang diambilnya perlahan dari onggokan mainan Jessica di pojok ruangan. Bukunya sudah tidak baru lagi, sampulnya sudah usang dan koyak. Beberapa coretan tak berbentuk menghiasi lembar-lembar halamannya seperti sebuah kenangan indah dari Jessica kecil.
Budi menguatkan hati, dengan mata yang berkaca-kaca ia membuka halaman pertama dan membacanya dengan sura keras, tampak sekali ia berusaha membacanya dengan keras. Ia terus membacanya dengan keras-keras halaman demi halaman, dengan berlinang air mata.
"Jessi dengar papa baca ya..."
Selang beberapa kata,..hatinya memohon lagi.., "Jessi papa mohon ampun nak... Papa sayang Jessi..."
Seakan setiap kata dalam bacaan itu begitu menggores lubuk hatinya, tak kuasa menahan itu Budi bersujud dan menangis, memohon satu kesempatan lagi untuk mencintai.
Seseorang yang mengasihi selalu mengalikan kesenangan dan membagi kesedihan kita, Ia selalu memberi PERHATIAN kepada kita. Karena ia Peduli kepada kita...
ADAKAH "PERHATIAN TERBAIK" ITU BEGITU MAHAL BAGI MEREKA?
BERILAH "PERHATIAN TERBAIK" WALAUPUN ITU HANYA SEKALI
Bukankah kesempatan untuk memberi perhatian kepada orang-orang yang kita cintai itu sangat berharga?
DO IT NOW
Berilah "PERHATIAN TERBAIK" bagi mereka yang kita cintai.
LAKUKAN SEKARANG!! KARENA HANYA ADA SATU KESEMPATAN UNTUK MEMPERHATIKAN DENGAN HATI KITA...
Botol Acar
Disadur dari Buku Chicken Soup for the Parent's Soul
Yang ayah wariskan kepada anak-anaknya bukan kata-kata atau kekayaan, tetapi sesuatu yang tak terucapkan yaitu teladan sebagai seorang pria dan seorang ayah - Will Rogers
Setahuku, botol acar besar itu selalu ada di lantai di samping lemari di kamar orangtuaku. Sebelum tidur, Ayah selalu mengosongkan kantong celananya lalu memasukkan semua uang recehnya ke dalam botol itu. Sebagai anak kecil, aku senang mendengar gemerincing koin yang dijatuhkan ke dalam botol itu. Bunyi gemericingnya nyaring jika botol itu baru terisi sedikit. Nada gemerincingnya menjadi rendah ketika isinya semakin penuh. Aku suka jongkok di lantai di depan botol itu, mengagumi keping-keping perak dan tembaga yang berkilauan seperti harta karun bajak laut ketika sinar matahari menembus jendela kamar tidur.
Jika isinya sudah penuh, Ayah menuangkan koin-koin itu ke meja dapur, menghitung jumlahnya sebelumnya membawanya ke bank. Membawa keping-keping koin itu ke bank selalu merupakan peristiwa besar. Koin-koin itu ditata rapi di dalam kotak kardus dan diletakkan di antara aku dan Ayah di truk tuanya. Setiap kali kami pergi ke bank, Ayah memandangku dengan penuh harap. "Karena koin-koin ini kau tidak perlu kerja di pabrik tekstil. Nasibmu akan lebih baik daripada nasibku. Kota tua dan pabrik tekstil disini takkan bisa menahanmu."
Setiap kali menyorongkan kotak kardus berisi koin itu ke kasir bank, Ayah selalu tersenyum bangga. "Ini uang kuliah putraku. Dia takkan bekerja di pabrik tekstil seumur hidup seperti aku."
Pulang dari bank, kami selalu merayakan peristiwa itu dengan membeli es krim. Aku selalu memilih es krim cokelat. Ayah selalu memilih yang vanila. Setelah menerima kembalian dari penjual es krim, Ayah selalu menunjukkan beberapa keping koin kembalian itu kepadaku. "Sampai di rumah, kita isi botol itu lagi."
Ayah selalu menyuruhku memasukkan koin-koin pertama ke dalam botol yang masih kosong. Ketika koin-koin itu jatuh bergemerincing nyaring, kami saling berpandangan sambil tersenyum. "Kau akan bisa kuliah berkat koin satu penny, nickle, dime, dan quarter," katanya. "Kau pasti bisa kuliah. Ayah jamin."
Tahun demi tahun berlalu. Aku akhirnya memang berhasil kuliah dan lulus dari universitas dan mendapat pekerjaan di kota lain. Pernah, waktu mengunjungi orangtuaku, aku menelepon dari telepon di kamar tidur mereka. Kulihat botol acar itu tak ada lagi. Botol acar itu sudah menyelesaikan tugasnya dan sudah di pindahkan entah ke mana. Leherku serasa tercekat ketika mataku memandang lantai di samping
lemari tempat botol acar itu biasa di letakkan.
Ayahku bukan orang yang banyak bicara, dia tidak pernah menceramahi aku tentang pentingnya tekad yang kuat, ketekunan, dan keyakinan. Bagiku, botol acar itu telah mengajarkan nilai-nilai itu dengan lebih nyata daripada kata-kata indah.
Setelah menikah, kuceritakan kepada susan, istriku, betapa pentingnya peran botol acar yang tampaknya sepele itu dalam hidupku. Bagiku, botol acar itu melambangkan betapa besarnya cinta Ayah padaku. Dalam keadaan keuangan sesulit apa pun, setiap malam Ayah selalu mengisi botol acar itu dengan koin. Bahkan di musim panas ketika ayah diberhentikan dari pabrik tekstil dan Ibu terpaksa hanya menyajikan buncis kalengan selama berminggu-minggu, satu keping pun tak pernah di ambil dari botol acar itu. Sebaliknya, sambil memandangku dari seberang meja dan menyiram buncis itu dengan saus agar ada rasanya sedikit, Ayah semakin meneguhkan tekadnya untuk mencarikan jalan keluar bagiku.
"Kalau kau sudah tamat kuliah," katanya dengan mata berkilat-kilat, "kau tak perlu makan buncis kecuali jika kau memang mau."
Liburan Natal pertama setelah lahirnya putri kami Jessica, kami habiskan di rumah orangtuaku. Setelah makan malam, Ayah dan Ibu duduk berdampingan di sofa, bergantian memandangku cucu pertama mereka. Jessica menangis lirih. Kemudian susan mengambilnya dari pelukan Ayah.
"Mungkin popoknya basah," kata susan, lalu di bawanya Jessica ke kamar tidur orangtuaku untuk di ganti popoknya.
Susan kembali ke ruang keluarga denga mata berkaca-kaca. Dia meletakkan Jessica ke pangkuan Ayah, lalu menggandeng tanganku dan tanpa berkata apa-apa mengajakku ke kamar. "Lihat," katanya lembut, matanya memandang lantai di samping lemari. Aku terkejut. Di lantai, seakan tidak pernah di singkirkan, berdiri botol acar yang sudah tua itu. Di dalamnya ada beberapa keping koin.
Aku mendekati botol itu, merogoh saku celanaku, dan mengeluarkan segenggam koin. Dengan perasaan haru, kumasukkan koin-koin itu ke dalam botol. Aku mengangkat kepala dan melihat Ayah. Dia menggendong Jessica dan tanpa suara telah masuk ke kamar. Kami berpandangan .. Aku tahu, Ayah juga merasakan keharuan yang sama. Kami tak kuasa berkata-kata.
Yang ayah wariskan kepada anak-anaknya bukan kata-kata atau kekayaan, tetapi sesuatu yang tak terucapkan yaitu teladan sebagai seorang pria dan seorang ayah - Will Rogers
Setahuku, botol acar besar itu selalu ada di lantai di samping lemari di kamar orangtuaku. Sebelum tidur, Ayah selalu mengosongkan kantong celananya lalu memasukkan semua uang recehnya ke dalam botol itu. Sebagai anak kecil, aku senang mendengar gemerincing koin yang dijatuhkan ke dalam botol itu. Bunyi gemericingnya nyaring jika botol itu baru terisi sedikit. Nada gemerincingnya menjadi rendah ketika isinya semakin penuh. Aku suka jongkok di lantai di depan botol itu, mengagumi keping-keping perak dan tembaga yang berkilauan seperti harta karun bajak laut ketika sinar matahari menembus jendela kamar tidur.
Jika isinya sudah penuh, Ayah menuangkan koin-koin itu ke meja dapur, menghitung jumlahnya sebelumnya membawanya ke bank. Membawa keping-keping koin itu ke bank selalu merupakan peristiwa besar. Koin-koin itu ditata rapi di dalam kotak kardus dan diletakkan di antara aku dan Ayah di truk tuanya. Setiap kali kami pergi ke bank, Ayah memandangku dengan penuh harap. "Karena koin-koin ini kau tidak perlu kerja di pabrik tekstil. Nasibmu akan lebih baik daripada nasibku. Kota tua dan pabrik tekstil disini takkan bisa menahanmu."
Setiap kali menyorongkan kotak kardus berisi koin itu ke kasir bank, Ayah selalu tersenyum bangga. "Ini uang kuliah putraku. Dia takkan bekerja di pabrik tekstil seumur hidup seperti aku."
Pulang dari bank, kami selalu merayakan peristiwa itu dengan membeli es krim. Aku selalu memilih es krim cokelat. Ayah selalu memilih yang vanila. Setelah menerima kembalian dari penjual es krim, Ayah selalu menunjukkan beberapa keping koin kembalian itu kepadaku. "Sampai di rumah, kita isi botol itu lagi."
Ayah selalu menyuruhku memasukkan koin-koin pertama ke dalam botol yang masih kosong. Ketika koin-koin itu jatuh bergemerincing nyaring, kami saling berpandangan sambil tersenyum. "Kau akan bisa kuliah berkat koin satu penny, nickle, dime, dan quarter," katanya. "Kau pasti bisa kuliah. Ayah jamin."
Tahun demi tahun berlalu. Aku akhirnya memang berhasil kuliah dan lulus dari universitas dan mendapat pekerjaan di kota lain. Pernah, waktu mengunjungi orangtuaku, aku menelepon dari telepon di kamar tidur mereka. Kulihat botol acar itu tak ada lagi. Botol acar itu sudah menyelesaikan tugasnya dan sudah di pindahkan entah ke mana. Leherku serasa tercekat ketika mataku memandang lantai di samping
lemari tempat botol acar itu biasa di letakkan.
Ayahku bukan orang yang banyak bicara, dia tidak pernah menceramahi aku tentang pentingnya tekad yang kuat, ketekunan, dan keyakinan. Bagiku, botol acar itu telah mengajarkan nilai-nilai itu dengan lebih nyata daripada kata-kata indah.
Setelah menikah, kuceritakan kepada susan, istriku, betapa pentingnya peran botol acar yang tampaknya sepele itu dalam hidupku. Bagiku, botol acar itu melambangkan betapa besarnya cinta Ayah padaku. Dalam keadaan keuangan sesulit apa pun, setiap malam Ayah selalu mengisi botol acar itu dengan koin. Bahkan di musim panas ketika ayah diberhentikan dari pabrik tekstil dan Ibu terpaksa hanya menyajikan buncis kalengan selama berminggu-minggu, satu keping pun tak pernah di ambil dari botol acar itu. Sebaliknya, sambil memandangku dari seberang meja dan menyiram buncis itu dengan saus agar ada rasanya sedikit, Ayah semakin meneguhkan tekadnya untuk mencarikan jalan keluar bagiku.
"Kalau kau sudah tamat kuliah," katanya dengan mata berkilat-kilat, "kau tak perlu makan buncis kecuali jika kau memang mau."
Liburan Natal pertama setelah lahirnya putri kami Jessica, kami habiskan di rumah orangtuaku. Setelah makan malam, Ayah dan Ibu duduk berdampingan di sofa, bergantian memandangku cucu pertama mereka. Jessica menangis lirih. Kemudian susan mengambilnya dari pelukan Ayah.
"Mungkin popoknya basah," kata susan, lalu di bawanya Jessica ke kamar tidur orangtuaku untuk di ganti popoknya.
Susan kembali ke ruang keluarga denga mata berkaca-kaca. Dia meletakkan Jessica ke pangkuan Ayah, lalu menggandeng tanganku dan tanpa berkata apa-apa mengajakku ke kamar. "Lihat," katanya lembut, matanya memandang lantai di samping lemari. Aku terkejut. Di lantai, seakan tidak pernah di singkirkan, berdiri botol acar yang sudah tua itu. Di dalamnya ada beberapa keping koin.
Aku mendekati botol itu, merogoh saku celanaku, dan mengeluarkan segenggam koin. Dengan perasaan haru, kumasukkan koin-koin itu ke dalam botol. Aku mengangkat kepala dan melihat Ayah. Dia menggendong Jessica dan tanpa suara telah masuk ke kamar. Kami berpandangan .. Aku tahu, Ayah juga merasakan keharuan yang sama. Kami tak kuasa berkata-kata.
Islamnya Napoleon Bonaparte
Siapa yang tidak mengenal Napoleon Bonaparte, seorang Jendral dan Kaisar Prancis yang tenar kelahiran Ajaccio, Corsica 1769. Namanya terdapat dalam urutan ke-34 dari Seratus Tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah yang ditulis oleh Michael H. Hart.
Sebagai seorang yang berkuasa dan berdaulat penuh terhadap negara Prancis sejak Agustus 1793, seharusnya ia merasa puas dengan segala apa yang telah diperolehnya itu.
Tapi rupanya kemegahan dunia belum bisa memuaskan batinnya, agama yang dianutnya waktu itu ternyata tidak bisa membuat Napoleon Bonaparte merasa tenang dan damai.
Akhirnya pada tanggal 02 Juli 1798, 23 tahun sebelum kematiannya ditahun 1821, Napoleon Bonaparte menyatakan ke-Islamannya dihadapan dunia Internasional.
Apa yang membuat Napoleon ini lebih memilih Islam daripada agama lamanya, Kristen ?
Berikut penuturannya sendiri yang pernah dimuat dimajalah Genuine Islam, edisi Oktober 1936 terbitan Singapura.
"I read the Bible; Moses was an able man, the Jews are villains, cowardly and cruel. Is there anything more horrible than the story of Lot and his daughters ?"
"The science which proves to us that the earth is not the centre of the celestial movements has struck a great blow at religion. Joshua stops the sun ! One shall see the stars falling into the sea... I say that of all the suns and planets,..."
"Saya membaca Bible; Musa adalah orang yang cakap, sedang orang Yahudi adalah bangsat, pengecut dan jahat. Adakah sesuatu yang lebih dahsyat daripada kisah Lut beserta kedua puterinya ?" (Lihat Kejadian 19:30-38)
"Sains telah menunjukkan bukti kepada kita, bahwa bumi bukanlah pusat tata surya, dan ini merupakan pukulan hebat terhadap agama Kristen. Yosua menghentikan matahari (Yosua 10: 12-13). Orang akan melihat bintang-bintang berjatuhan kedalam laut.... saya katakan, semua matahari dan planet-planet ...."
Selanjutnya Napoleon Bonaparte berkata : "Religions are always based on miracles, on such things than nobody listens to like Trinity. Yesus called himself the son of God and he was a descendant of David. I prefer the religion of Muhammad. It has less ridiculous things than ours; the turks also call us idolaters."
"Agama-agama itu selalu didasarkan pada hal-hal yang ajaib, seperti halnya Trinitas yang sulit dipahami. Yesus memanggil dirinya sebagai anak Tuhan, padahal ia keturunan Daud. Saya lebih meyakini agama yang dibawa oleh Muhammad. Islam terhindar jauh dari kelucuan-kelucuan ritual seperti yang terdapat didalam agama kita (Kristen); Bangsa Turki juga menyebut kita sebagai orang-orang penyembah berhala dan
dewa."
Selanjutnya : "Surely, I have told you on different occations and I have intimated to you by various discourses that I am a Unitarian Musselman and I glorify the prophet Muhammad and that I love the Musselmans."
"Dengan penuh kepastian saya telah mengatakan kepada anda semua pada kesempatan yang berbeda, dan saya harus memperjelas lagi kepada anda di setiap ceramah, bahwa saya adalah seorang Muslim, dan saya memuliakan nabi Muhammad serta mencintai orang-orang Islam."
Akhirnya ia berkata : "In the name of God the Merciful, the Compassionate. There is no god but God, He has no son and He reigns without a partner."
"Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tiada Tuhan selain Allah. Ia tidak beranak dan Ia mengatur segala makhlukNya tanpa pendamping."
Napoleon Bonaparte mengagumi AlQuran setelah membandingkan dengan kitab sucinya, Alkitab (Injil). Akhirnya ia menemukan keunggulan-keunggulan Al-Quran daripada Alkitab (Injil), juga semua cerita yang melatar belakanginya.
Referensi :
1. Memoirs of Napoleon Bonaparte by Louis Antoine Fauvelet de
Bourrienne edited by R.W. Phipps. Vol. 1 (New York: Charles
Scribner's Sons, 1889) p. 168-169.
http://chnm.gmu.edu/revolution/d/612/
2. 'Napoleon And Islam' by C. Cherfils. ISBN: 967-61-0898-7
http://www.shef.ac.uk/~ics/whatis/articles/napoleon.htm
3. Satanic Voices - Ancient and Modern by David M. Pidcock, (1992
ISBN: 1-81012-03-1), it states on page 61, that the then official
French Newspaper, Le Moniteur, carried the accounts of his conversion
to Islam, in 1798 C.E
Kisah Keislaman Cat Stevens (Yusuf Islam)
Mantan Penyanyi Pop Internasional & Terkenal
"Aku terlahir dari sebuah rumah tangga Nasrani yang berpandangan materialis. Aku tumbuh besar seperti mereka. Setelah dewasa, muncul kekagumanku melihat para artis yang aku saksikan lewat berbagai media massa sampai aku mengganggap mereka sebagai dewa tertinggi. Lantas akupun bertekad mengikuti pengalaman mereka. Dan benar, ternyata aku menjadi salah seorang bintang pop terkenal yang terpampang di berbagai media massa. Pada saat itu aku merasa bahwa diriku lebih besar dari alam ini dan seolah-olah usiaku lebih panjang daripada kehidupan dunia dan seolah-olah akulah orang pertama yang dapat merasakan kehidupan seperti itu.
Namun pada suatu hari aku jatuh sakit dan terpaksa di opname di rumah sakit. Pada saat itulah aku mempunyai kesempatan untuk merenung hingga aku temui bahwa diriku hanya sepotong jasad dan apa yang selama ini aku lakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan jasad. Aku menilai bahwa sakit yang aku derita merupakan cobaan ilahi dan kesempatan untuk membuka mataku. Mengapa aku berada disini? Apa yang aku lakukan dalam kehidupan ini?
Setelah sembuh, aku mulai banyak memperhatikan dan membaca seputar permasalahan ini, lantas aku membuat beberapa kesimpulan yang intinya bahwa manusia terdiri dari ruh dan jasad. Alam ini pasti mempunyai Ilah. Selanjutnya aku kembali ke gelanggang musik namun dengan gaya musik yang berbeda. Aku menciptakan lagu-lagu yang berisikan cara mengenal Allah. Ide ini malah membuat diriku semakin terkenal dan keuntungan pun semakin banyak dapat aku raih. Aku terus mencari kebenaran dengan ikhlas dan tetap berada di dalam lingkungan para artis. Pada suatu hari temanku yang beragama Nasrani pergi melawat ke masjidil Aqsha.
Ketika kembali, ia menceritakan kepadaku ada suatu keanehan yang ia rasakan di saat melawat masjid tersebut. Ia dapat merasakan adanya kehidupan ruhani dan ketenangan jiwa di dalamnya.
Hal ini berbeda dengan gereja, walau dipadati orang banyak namun ia merasakan kehampaan di dalamnya. Ini semua mendorongnya untuk membeli al-Qur'an terjemahan dan ingin mengetahui bagaimana tanggapanku terhadap al-Qur'an. Ketika aku membaca al-Qur'an aku dapati bahwa al-Qur'an mengandung jawaban atas semua persoalanku, yaitu siapa aku ini? Dari mana aku datang? Apa tujuan dari sebuah kehidupan? Aku baca al-Qur'an berulang-ulang dan aku merasa sangat kagum terhadap tujuan dakwah agama ini yang mengajak untuk menggunakan akal sehat, dorongan untuk berakhlak mulia dan akupun mulai merasakan keagungan Sang Pencipta.
Semakin kuat perasaan ini muncul dari jiwaku, membuat perasaan bangga terhadap diriku sendiri semakin kecil dan rasa butuh terhadap Ilah Yang Maha Berkuasa atas segalanya semakin besar di dalam relung jiwaku yang terdalam.
Pada hari Jum'at, aku bertekad untuk menyatukan akal dan pikiranku yang baru tersebut dengan segala perbuatanku. Aku harus menentukan tujuan hidup. Lantas aku melangkah menuju masjid dan mengumumkan keislamanku.
Aku mencapai puncak ketenangan di saat aku mengetahui bahwa aku dapat bermunajat langsung dengan Rabbku melalui ibadah shalat. Berbeda dengan agama-agama lain yang harus melalui perantara."
Demikianlah kisah Cat Stevens yang lagu "Morning Has Broken" sempat menduduki anak tangga Top 10 tingkat internasional di masa kejayaannya. Sejak masuk Islam kemudian berganti nama menjadi Yusuf Islam, dan kini waktunya ia habiskan untuk melakukan aktifitas dakwah dan perjuangan untuk kemaslahatan agama ini. Ia ikut andil di dalam berbagai lembaga dan yayasan Islam yang bergerak di bidang dakwah dan sosial. Semoga Allah memberinya ganjaran yang baik atas sumbangsih yang telah ia berikan kepada kita, agama Islam dan kaum muslimin.
(SUMBER: SERIAL KISAH TELADAN karya Muhammad Shalih al-Qahthani, penerbit DARUL HAQ)
"Aku terlahir dari sebuah rumah tangga Nasrani yang berpandangan materialis. Aku tumbuh besar seperti mereka. Setelah dewasa, muncul kekagumanku melihat para artis yang aku saksikan lewat berbagai media massa sampai aku mengganggap mereka sebagai dewa tertinggi. Lantas akupun bertekad mengikuti pengalaman mereka. Dan benar, ternyata aku menjadi salah seorang bintang pop terkenal yang terpampang di berbagai media massa. Pada saat itu aku merasa bahwa diriku lebih besar dari alam ini dan seolah-olah usiaku lebih panjang daripada kehidupan dunia dan seolah-olah akulah orang pertama yang dapat merasakan kehidupan seperti itu.
Namun pada suatu hari aku jatuh sakit dan terpaksa di opname di rumah sakit. Pada saat itulah aku mempunyai kesempatan untuk merenung hingga aku temui bahwa diriku hanya sepotong jasad dan apa yang selama ini aku lakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan jasad. Aku menilai bahwa sakit yang aku derita merupakan cobaan ilahi dan kesempatan untuk membuka mataku. Mengapa aku berada disini? Apa yang aku lakukan dalam kehidupan ini?
Setelah sembuh, aku mulai banyak memperhatikan dan membaca seputar permasalahan ini, lantas aku membuat beberapa kesimpulan yang intinya bahwa manusia terdiri dari ruh dan jasad. Alam ini pasti mempunyai Ilah. Selanjutnya aku kembali ke gelanggang musik namun dengan gaya musik yang berbeda. Aku menciptakan lagu-lagu yang berisikan cara mengenal Allah. Ide ini malah membuat diriku semakin terkenal dan keuntungan pun semakin banyak dapat aku raih. Aku terus mencari kebenaran dengan ikhlas dan tetap berada di dalam lingkungan para artis. Pada suatu hari temanku yang beragama Nasrani pergi melawat ke masjidil Aqsha.
Ketika kembali, ia menceritakan kepadaku ada suatu keanehan yang ia rasakan di saat melawat masjid tersebut. Ia dapat merasakan adanya kehidupan ruhani dan ketenangan jiwa di dalamnya.
Hal ini berbeda dengan gereja, walau dipadati orang banyak namun ia merasakan kehampaan di dalamnya. Ini semua mendorongnya untuk membeli al-Qur'an terjemahan dan ingin mengetahui bagaimana tanggapanku terhadap al-Qur'an. Ketika aku membaca al-Qur'an aku dapati bahwa al-Qur'an mengandung jawaban atas semua persoalanku, yaitu siapa aku ini? Dari mana aku datang? Apa tujuan dari sebuah kehidupan? Aku baca al-Qur'an berulang-ulang dan aku merasa sangat kagum terhadap tujuan dakwah agama ini yang mengajak untuk menggunakan akal sehat, dorongan untuk berakhlak mulia dan akupun mulai merasakan keagungan Sang Pencipta.
Semakin kuat perasaan ini muncul dari jiwaku, membuat perasaan bangga terhadap diriku sendiri semakin kecil dan rasa butuh terhadap Ilah Yang Maha Berkuasa atas segalanya semakin besar di dalam relung jiwaku yang terdalam.
Pada hari Jum'at, aku bertekad untuk menyatukan akal dan pikiranku yang baru tersebut dengan segala perbuatanku. Aku harus menentukan tujuan hidup. Lantas aku melangkah menuju masjid dan mengumumkan keislamanku.
Aku mencapai puncak ketenangan di saat aku mengetahui bahwa aku dapat bermunajat langsung dengan Rabbku melalui ibadah shalat. Berbeda dengan agama-agama lain yang harus melalui perantara."
Demikianlah kisah Cat Stevens yang lagu "Morning Has Broken" sempat menduduki anak tangga Top 10 tingkat internasional di masa kejayaannya. Sejak masuk Islam kemudian berganti nama menjadi Yusuf Islam, dan kini waktunya ia habiskan untuk melakukan aktifitas dakwah dan perjuangan untuk kemaslahatan agama ini. Ia ikut andil di dalam berbagai lembaga dan yayasan Islam yang bergerak di bidang dakwah dan sosial. Semoga Allah memberinya ganjaran yang baik atas sumbangsih yang telah ia berikan kepada kita, agama Islam dan kaum muslimin.
(SUMBER: SERIAL KISAH TELADAN karya Muhammad Shalih al-Qahthani, penerbit DARUL HAQ)
Perlu Waktu untuk Menumbuhkan Akar
Alkisah, tersebutlah seorang pria yang sedang berputus asa dalam hidupnya dan ingin meninggalkan segalanya. Meninggalkan pekerjaan, hubungan, dan berhenti hidup. Ia lalu pergi ke hutan untuk bicara yang terakhir kalinya dengan Tuhan Sang Maha Pencipta.
"Tuhan," katanya. "Apakah Tuhan bisa memberi saya satu alasan yang baik untuk jangan berhenti dari hidup dan menyerah ?"
Jawaban Tuhan sangat mengejutkan.
"Coba lihat ke sekitarmu. Apakah kamu melihat pakis dan bambu?".
"Ya," jawab pria itu.
"Ketika menanam benih pakis dan benih bambu, Aku merawat keduanya secara sangat baik. Aku memberi keduanya cahaya. Memberikan air. Pakis tumbuh cepat di bumi. Daunnya yang hijau segar menutupi permukaan tanah hutan. Sementara itu, benih bambu tidak menghasilkan apapun. Tapi Aku tidak menyerah.
"Pada tahun kedua, pakis tumbuh makin subur dan banyak, tapi belum ada juga yang muncul dari benih bambu. Tapi Aku tidak menyerah."
"Di tahun ketiga, benih bambu belum juga memunculkan sesuatu. Tapi Aku tidak menyerah."
"Di tahun ke-4, masih juga belum ada apapun dari benih bambu. Aku tidak menyerah," kataNya.
"Di tahun kelima, muncul sebuah tunas kecil. Dibanding dengan pohon pakis, tunas itu tampak kecil dan tidak bermakna. Tapi 6 bulan kemudian, bambu itu menjulang sampai 100 kaki. Untuk menumbuhkan akar itu bambu perlu waktu 5 tahun."
"Akar ini membuat bambu menjadi kuat dan memberi apa yang diperlukan bambu untuk bertahan hidup."
"Aku tak akan memberi cobaan yang tak sangup diatasi ciptaan-Ku," kata Tuhan kepada pria itu.
"Tahukah kamu, anak-Ku, di saat menghadapi semua kesulitan dan perjuangan berat ini, kamu sebenarnya sedang menumbuhkan akar-akar kehidupanmu..."
"Aku tidak meninggalkan bambu itu. Aku juga tak akan meninggalkanmu."
"Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain," kata Tuhan. "Bambu mempunyai tujuan yang berbeda dengan pakis. Tapi keduanya membuat hutan menjadi indah."
"Waktumu akan datang. Kamu akan menanjak dan menjulang tinggi."
"Saya akan menjulang setinggi apa?" tanya pria itu.
"Setinggi apa pohon bambu bisa menjulang?" tanya Tuhan
"Setinggi yang bisa dicapainya," jawab pria itu.
"Ya, benar! Agungkan dan muliakan nama-Ku dengan menjadi yang terbaik, meraih yang tertinggi sesuai kemampuanmu," kata Tuhan.
Pria itu lalu meninggalkan hutan dan mengisahkan pengalaman hidup yang berharga ini.
"Tuhan," katanya. "Apakah Tuhan bisa memberi saya satu alasan yang baik untuk jangan berhenti dari hidup dan menyerah ?"
Jawaban Tuhan sangat mengejutkan.
"Coba lihat ke sekitarmu. Apakah kamu melihat pakis dan bambu?".
"Ya," jawab pria itu.
"Ketika menanam benih pakis dan benih bambu, Aku merawat keduanya secara sangat baik. Aku memberi keduanya cahaya. Memberikan air. Pakis tumbuh cepat di bumi. Daunnya yang hijau segar menutupi permukaan tanah hutan. Sementara itu, benih bambu tidak menghasilkan apapun. Tapi Aku tidak menyerah.
"Pada tahun kedua, pakis tumbuh makin subur dan banyak, tapi belum ada juga yang muncul dari benih bambu. Tapi Aku tidak menyerah."
"Di tahun ketiga, benih bambu belum juga memunculkan sesuatu. Tapi Aku tidak menyerah."
"Di tahun ke-4, masih juga belum ada apapun dari benih bambu. Aku tidak menyerah," kataNya.
"Di tahun kelima, muncul sebuah tunas kecil. Dibanding dengan pohon pakis, tunas itu tampak kecil dan tidak bermakna. Tapi 6 bulan kemudian, bambu itu menjulang sampai 100 kaki. Untuk menumbuhkan akar itu bambu perlu waktu 5 tahun."
"Akar ini membuat bambu menjadi kuat dan memberi apa yang diperlukan bambu untuk bertahan hidup."
"Aku tak akan memberi cobaan yang tak sangup diatasi ciptaan-Ku," kata Tuhan kepada pria itu.
"Tahukah kamu, anak-Ku, di saat menghadapi semua kesulitan dan perjuangan berat ini, kamu sebenarnya sedang menumbuhkan akar-akar kehidupanmu..."
"Aku tidak meninggalkan bambu itu. Aku juga tak akan meninggalkanmu."
"Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain," kata Tuhan. "Bambu mempunyai tujuan yang berbeda dengan pakis. Tapi keduanya membuat hutan menjadi indah."
"Waktumu akan datang. Kamu akan menanjak dan menjulang tinggi."
"Saya akan menjulang setinggi apa?" tanya pria itu.
"Setinggi apa pohon bambu bisa menjulang?" tanya Tuhan
"Setinggi yang bisa dicapainya," jawab pria itu.
"Ya, benar! Agungkan dan muliakan nama-Ku dengan menjadi yang terbaik, meraih yang tertinggi sesuai kemampuanmu," kata Tuhan.
Pria itu lalu meninggalkan hutan dan mengisahkan pengalaman hidup yang berharga ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)