Kejadian ini terjadi pada masa Al-Walid bin Abdul Malik, saat dihadirkan di majelisnya seorang laki-laki dari khawarij yang diancam dengan hukuman mati. Al-Walid melihat kepadanya dan menanyainya dengan sekumpulan pertanyaan yang telah dia siapkan untuk membunuhnya, dan dia tidak mungkin selamat darinya.
“Apa yang kamu katakan tentang Abu Bakar?” Dia menjawab: “Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam goa, orang kedua saat keduanya berada di dalam goa, mudah-mudahan Allah merahmatinya dan mengampuninya.”
Dia bertanya lagi: "Apa yang kamu katakan tentang Umar?" Dia menjawab, “Dia adalah al-faruq, mudah-mudahan Allah merahmati dan mengampuninya.”
Dia bertanya lagi: Apa yang kamu katakan tentang Utsman?" Dia menjawab, “Beberapa tahun di awal pemerintahannya dia memerintah dengan adil.”
Kemudian datanglah pertanyaan yang mematikan: “Apa yang kamu katakan tentang Marwan bin al-Hakam (yakni kakek al-Walid)?” Orang khawarij tersebut menjawab tanpa ragu-ragu, “Mudah-mudahan Allah melaknat orang tersebut.”
Al-Walid menahan amarahnya, kemudian menanyainya: “Apa yang kamu katakan tentang Abdul Malik (ayah al-Walid)?” Maka dia menjawab, “Dia adalah putranya, mudah-mudahan Allah melaknatnya.”
Kemudian dia lebih mendekat seraya bertanya: “Apa yang kamu katakan tentangku?” Dia menjawab tanpa ragu-ragu, “Dia adalah putra dari orang itu, dan engkau adalah orang ketiga yang terburuk.”
Di dalam majelis kala itu ada Umar bin Abdul Aziz, dan Khalid bin Rayyan (algojo al-Walid). Maka menolehlah al-Walid dan berkata kepada Umar bin Abdul Aziz: “Wahai Umar, sungguh engkau telah mendengar apa yang dikatakan oleh lelaki itu, maka apa yang kamu katakan?” Maka Umar bin Abdul Aziz menjawab dengan tenang, “Wahai Amirul Mukminin, tidak ada seorang pun yang lebih tahu tentang ini selain anda. Anda adalah orang yang lebih faham tentangnya.”
Al-Walid pun semakin keras dalam bertanya: “Kamu harus mengucapkan dengan jelas apa pendapatmu?” Yang dia inginkan adalah agar keputusan untuk membunuh lelaki tersebut dengan pendapat orang-orang di sekelilingnya.
Akan tetapi Umar merendahkannya dan berkata, “Jika engkau terus mendesak pendapatku, maka kukatakan, cacilah bapaknya sebagaimana dia telah mencaci bapak-bapakmu, dan jika engkau memaafkannya, maka itu lebih dekat kepada taqwa.”
Maka Al-Walid terpojok dan berkata, “Tidak ada lain kecuali ini…(maksudnya hukum bunuh).”
Maka Umar menariknya dan berkata dengan berani, “Tidak Wahai Amirul Mukminin, ini adalah sebuah kesewenangan. Adapun yang hak, maka tidak ada lain kecuali ini…” Maksudnya bukan termasuk hakmu membunuh seseorang hanya karena sebuah kalimat yang dia ucapkan.
Kemudian al-Walid menoleh kepada Khalid bin ar-Rayyan, dan membuat tanda-tanda kemurkaan yang memancar dari wajah yang sedang marah. Maka tatkala al-Walid pergi, berkatalah Khalid bin ar-Rayyan kepada Umar, “Demi Allah, dia telah melihat kepadaku dengan sebuah pandangan seakan-akan dia ingin membunuhmu.”
Maka Umar berkata, “Apakah engkau akan menjadi pembunuhku?” Dia menjawab, “Ya, tanpa ragu-ragu dan dengan perintah khalifah.” Maka Umar berkata, “Sebuah keburukan bagi kalian berdua, dan sebuah kebaikan bagiku."
Maka tatkala Umar pergi dalam keadaan selamat, dia tetap tinggal di rumahnya. Untuk beberapa hari dia tidak masuk ke istana khalifah. Adapun al-Walid, dia kembali ke istrinya, yaitu Ummul Banin binti Abdul Aziz, dan dia adalah saudari Umar.
Maka al-Walid berkata kepadanya, “Saudaramu itu adalah orang haruri (yang dia maksud adalah seorang khawarij, karena dia berbicara dengan adil dan menolong yang tertindas), demi Allah aku benar-benar akan membunuhnya.”
Beberapa hari setelah itu, datanglah utusan al-Walid kepada Umar untuk mengundangnya. Tatkala Umar masuk ke istana, segera para pengawal mengikuti di kanan kirinya. Mereka pun berkata, “Dari sini khalifah ingin melihatmu.” Maka, merekapun memasukannya ke dalam sebuah ruangan dan segera menutup pintunya. Lalu mereka menyemen pintu itu dengan tanah, dan berubahlah ruangan itu menjadi penjara tempat pekuburan.
Beberapa waktu kemudian saudari Umar mulai mencari-carinya, dan tidak ada yang besedia menunjukkan tempatnya kecuali maula-maula (mantan-mantan budak) yang sudah dikebiri yang bekerja di tengah kaum wanita.
Maka menghadaplah istri al-Walid kepada suaminya, memohon belas kasihan kepadanya. Dia menjatuhkan wajahnya di hadapan al-Walid, menciumi kedua tangannya dan meminta belas kasihan untuk saudaranya. Maka al-Walid pun melihat kepadanya dengan kemurkaan, seyara berkata, “Pergilah kamu kepadanya, aku telah membebaskannya, mudah-mudahan dia masih hidup hingga bisa diberi rizqi.”
Tatkala saudari Umar itu memasuki ruangan penjara tersebut, dan membongkar tanahnya, dilihatnya Umar dalam keadaan berada pada nafas-nafas terakhir, lemas terkulai.
Hari demi hari berlalu, binasalah al-Walid, kemudian saudaranya, Sulaiman, lalu kekhalifahan jatuh ke tangan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Datanglah Khalid bin ar-Rayyan pada hari kekhilafahannya dengan memanggul pedang.
Maka berkatalah Umar kepadanya, “Wahai Khalid, pergilah dengan pedangmu ini (dia adalah seorang yang mudah menghunus pedang, sebagaiman telah kita ketahui tugasnya adalah memenggal leher-leher hanya karena sebuah kalimat), dan letakkanlah di rumahmu. Lalu duduklah kamu didalamnya, karena kami tidak membutuhkanmu. Engkau adalah seorang laki-laki yang jika diperintahkan untuk sesuatu, engkau langsung melaksanakannya tanpa mempertimbangkan kepada agamamu.”
Maka tatkala Khalid pergi, Umar melihat kepada tengkuk Khalid seraya berdoa, “Ya Allah, ya Rabbku, sungguh aku telah meletakkannya untuk-Mu, maka janganlah Engkau mengangkatnya untuk selamanya.” Maka tidaklah dia hidup selama satu jum’at kecuali dia terkena penyakit lumpuh, dia tidak bisa disembuhkhan, kemudian mati. (ar/oq)
http://www.suaramedia.com/sejarah/sejarah-islam/31581-kisah-umar-bin-abdul-aziz-dan-penguburannya-hidup-hidup.html
No comments:
Post a Comment