Monday, November 15, 2010

That’s What Friends Are For

Suatu hari, ketika saya masih duduk dikelas 1 SMA, saya melihat seorang anak dari kelas saya berjalan pulang dari sekolah. Namanya Kyle. Sepertinya ia menenteng semua bukunya. Lalu saya pikir, “Kenapa ada orang yang masih mau membawa bukunya pulang pada hari Jumat?” Pasti dia anak yang aneh, karena kalau saya pikir setiap akhir pekan acara saya sudah padat terencana, ya pesta , pertandingan sepak bola, dan lain-lain. Jadi, sambil menggelengkan kepala, aku melangkah.

Tiba-tiba saya melihat sekelompok anak kecil berlari ke arahnya, dan dengan sengaja menabraknya. Bukunya berhamburan, dan ia pun jatuh ke tanah berlumpur. Kacamatanya melayang jatuh ke rerumputan, kira-kira 10 kaki jauhnya dari tempat di mana Ia jatuh.. Ia menatap ke atas, dan kulihat kesedihan yang amat mendalam di wajahnya. Hatiku tergerak, dan merasa kasihan kepadanya.

Aku melangkah perlahan menghampirinya. Sambil merangkak, Ia melihat ke sekeliling, mencari kacamatanya. Kulihat matanya berlinang. Kuambil kacamatanya dan kuberikan padanya. ”Anak-anak tersebut memang sangat nakal,” kataku kepadanya. Ia menatapku dan berucap lembut : ”Hey, terima kasih.” Ia tersenyum lebar. Itulah senyuman tertulus, tanda ucapan terima kasih, yang pernah kulihat selama ini.

Aku bantu dia mengumpulkan buku - bukunya yang berserakan, sambil kutanya di mana Ia tinggal. Ternyata, Ia tinggal dekat rumahku. Aku lalu bertanya, kalau dia memang tinggal dekat rumahku, bagaimana mungkin aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Ia bercerita bahwa sebelumnya ia sekolah di sebuah sekolah swasta. Aku memang belum pernah bergaul dengan anak dari sekolah swasta sebelumnya.

Sepanjang jalan ia bercerita, sementara buku-bukunya kubawakan. Ternyata, ia anak yang ramah juga. Aku tanyai apakah dia mau bermain sepakbola bersama saya, dan ia menjawab : “ya." dengan bersemangat. Kami berjalan bersama sepanjang akhir pekan, dan ternyata semakin kukenal Kyle semakin cocok aku berteman dengannya. Teman-temanku juga menyukainya.

Hari Senin tiba dan kulihat Kyle dengan setumpuk bukunya lagi. Kudekati dia dan kukatakan sambil bercanda: “Gila kamu, Kyle! Kamu bisa mengencangkan otot-ototmu dengan mengangkut buku-bukumu setiap hari.” Ia cuma tertawa dan memberikan separuh bukunya kepadaku.

Selama 4 tahun kemudian, kami terus bersahabat. Ketika kami sudah duduk di kelas senior, dan kami harus mulai memikirkan tentang Universitas, Kyle memutuskan untuk melanjutkan ke Georgetown, dan saya berencana ke Duke. Saat itu saya tahu, bahwa persahabatan kami akan terus abadi, dan bahwa jarak yang memisahkan kami tidak akan menjadi penghalang. Ia akan menjadi seorang dokter, dan saya akan mengambil jurusan bisnis, karena saya mendapatkan beasiswa dari kegiatan sepakbola saya.

Kyle memang seorang bintang kelas dan aku bahkan sering menggodanya sebagai kutu buku. Sebagai bintang kelas, Ia harus menyiapkan pidato perpisahannya. Pada saat-saat seperti itu, aku bersyukur, bukan aku yang harus berdiri di mimbar dan berpidato.

Persis pada hari wisuda kami, aku lihat Kyle tampak begitu gagah. Benar-benar seorang anak SMA yang kerja keras dan berhasil yang sungguh-sunggu patut dicontoh. Teman ceweknya banyak. Dalam hal satu ini aku sering iri padanya. Tapi aku juga melihat bahwa ia sangat gelisah menjelang saat pidatonya. Maka aku dekati dia dan kutepuk punggungnya : “Hai, Kawan! pasti OK.” Dia terdiam melihatku dengan tatapan yang sungguh-sungguh penuh terima kasih, lalu katanya dalam-dalam :”Terima kasih.”

Ketika hendak memulai pidatonya, dia mengambil nafas dalam-dalam dan mulai berkata: “Wisuda adalah saat untuk mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu kita melewati masa-masa yang berat. Orangtua kita, guru-guru, teman sekamar, mungkin para tutor, tetapi yang paling banyak adalah teman. Saya berdiri disini dan akan menceritakan sebuah kisah nyata.”

Aku menatapnya dengan rasa tidak percaya pada apa yang kemudian kudengar. Ia bercerita bahwa suatu hari ia merasa sangat putus asa, hingga ia berniat hendak bunuh diri di akhir minggu. Ia memulai dengan mengosongkan lockernya supaya mamanya tidak repot nantinya, dan ia mengangkut semua bukunya pulang. Sambil terus bercerita, ia menatapku sambil tersenyum. “Untungnya, saya diselamatkan. Seorang teman saya menyelamatkan saya dari rencana putus asa tersebut.”

Saya menangkap getaran dalam suaranya, dan ia terdiam mengambil nafas dan mengatur emosinya kembali. Saya juga menangkap emosi para hadirin, hampir semua para menahan nafas dan terhanyut dalam cerita tersebut. Semua mata menatap pemuda pintar dan tampan yang sungguh populer itu menceritakan kenangannya tatkala melewati masa yang paling sulit dalam hidupnya. Saya juga melihat orangtuanya melihat ke arahku dengan tersenyum.

Belum pernah aku merasakan rasa yang begitu mendalam... Teman, jangan sekali-kali meremehkan tindakan yang anda lakukan. Bahkan dengan tindakan kecil pun anda dapat saja mengubah hidup orang lain. Sahabat adalah malaikat yang mengangkat kita tatkala kita lupa bagaimana caranya terbang.

***

Kisah ini saya dapat dari milis yang saya ikuti, namun saya tidak dapat menemukan sumber dari cerita ini. Semoga kisah ini dapat meng-inspirasi kita untuk selalu berbuat yang terbaik dalam setiap kesempatan.

No comments:

Post a Comment