Lahir 40 tahun sebelum hijrah Rasulullah. Nama lengkapnya Umar bin Khaththab bin Nafail bin Abdul ‘Izzy al-Qursy. Nama pangilannya adalah Abu Hafsh (anak singa). Ayahnya, al-Khaththab bin Nufail al-Adwy adalah seorang yang gagah berani. Ibunya, Hantamah binti Hasyim bin al-Mughiroh. Gelarnya al-Faaruq (pembeda/pemisah antara yang benar dengan yang batil).
Pada masa jahiliyah beliau menikah dengan kerabat dekatnya, Ummu Kultsum binti Jaruul. Sesudah masuk Islam, beliau menikah dengn Zaenab bin Ma’dhun, Ummu Kultsum binti Ali ra., Jamilah binti Tsabit, Ummu Hakim binti al-Harits, ‘Atakah binti Zaid, Sabi’ah binti al-Harits. Dari perkawinannya lahir 12 anak. 6 anak laki-laki; Abdullah, Abdurrahman, Zaid, Ubaidillah, ‘Ashim dan ‘Iyadh. 7 anak perempuan; Hafsah,Roqiyah, Fatimah, Shofiyah, Zainab dan Ummul Walid.
Beliau memeluk Islam pada tahun ke-enam dari kenabian Muhammad SAW, pada waktu ia masih berumur 27 tahun. Dari Ibn Umar diceritakan bahwa Rasulullah berdo’a, “Ya Allah muliakan Islam dengan salah satu dari orang yang lebih Engkau cintai; Abu Jahal atau Umar bin Khottob.” “Dan orang yang paling Allah cintai adalah Umar bin Khaththab.” kata Rasulullah (HR.Ahmad). Sebab beliau orang pertama yang menyatakan secara terang-terang keislamannya.
Semasa remaja, beliau terkenal sangat keras dan kuat pendirianya di kalangan kaum Quraisy. Pandai membaca dan menulis. Di masa jahiliyah beliau juga dikenal sebagai duta besar dan sangat disegani. Mengenai pribadinya, as-Syifa’ binti Abdullah berkata; “Kalau sudah bicara, suaranya terdengar ke mana-mana, kalau jalan cepat, kalau memukul membuat orang kesakitan. Sesunguhnya beliau adalah seorang ahli ibadah (an-naasik).”
Dalam sejarah Islam permulaan tahun dan penanggalan dimulai dari peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Mekkah ke Madinah.
Sebelum masuk Islam, beliau adalah orang yang sangat benci dan menentang Islam. Maklum, beliau adalah orang yang disegani di kalangan Quraisy karena wataknya yang keras dan susah kompromi. Di samping itu beliau adalah ‘ikon pejuang’ kebanggaan sukunya. Konon ceritanya “sekiranya keledai Umar masuk Islam, tidak mungkin Umar akan ikut masuk Islam.”
Sejarah masuknya Umar dalam ajaran Islam sangatlah unik dan menarik. Disebutkan bahwa suatu hari Umar sedang berjalan, tiba-tiba terdengar suara orang mengaji al-Qur’an. Didatangilah suara aneh itu. Maklum suara itu belum pernah didengarnya sebelum itu. Sesampai Umar ke sumber suara itu, ternyata dilihatnya Khobab bin ar-Art sedang mengajari ngaji Fatimah, saudaranya. Seketika Umar wajahnya sangat geram dan memukul Fatimah. Umar meminta supaya mushaf itu diberikannya. Tapi Fatimah menolaknya kecuali dengan syarat kalau Umar sudah bersuci dulu. Lalu Umar pun memenuhi syarat itu. Umar pun kemudian bersuci dengan mandi. Setelah itu dibacanya mushaf al-Qur’an itu. Waktu itu yang dibaca surat Thoha. Tanpa disadari Allah telah membukakan hatinya. Kemudian Umar pergi ke rumah al-Arqom bin ar-Arqom dan menyatakan masuk Islam di depan Rasulullah tiga hari setelah Hamzah bin Abdul Mutholib masuk Islam.
Menurut pendapat yang masyhur, beliau masuk Islam pada tahun ke-6 kenabian Muhammad. Orang nomer 40 dalam urutan orang-orang yang masuk Islam. Masuknya Umar dalam ajaran Islam adalah bukti dari kecintaan dan kemulian Allah, juga merupakan jawaban atas do’a yang pernah dibacakan Rasulullah. Suatu ketika Rasulullah pernah berdoa; “Ya Allah, tinggikan dan muliakan Islam salah satu dari orang yang paling Engkau cinta; Abu Jahal dan Umar bin Khaththab.” (HR.at-Tirmidhi,hadits hasan sohih ghorib).
Masuknya Umar dalam barisan orang-orang Islam waktu itu merupakan kegembiraan dan menjadi penyemangat bagi yang lain. Sebab beliau termasuk di antara orang yang berpengaruh di kaumnya. Maka dengan masuknya Islam, sedikit banyak mempengaruhi ‘imej’ masyarakat. Dalam hal ini Ibn Mas’ud berkata; “Kami masih tetap menjadi mulia sejak Umar masuk Islam.”
Mengenai keislamanya Rasulullah berkata; “Sesunguhnya Allah telah menjadi kebenaran agama (Islam) melalui lisan/ucapan Umar dan (keteguhan) hatinya.”(HR.Tirmidhi). Di hadits lain disebutkan; “Dahulu kala umat-umat sebelum kalian mempunyai pahlawan yang selalu menjadi buah bibir (pembicaraan), sekiranya umatku dibandingkan dengan umat-umat terdahalu, maka Umar bin Khaththab pahlawannya." (HR.Bukhori). Mengenai pribadinya Rasulullah berkata; “Demi Jiwaku yang ada di dalam genggaman-Nya, syetan tidak akan mungkin dapat menghalangi jalanmu, melainkan jalan orang selain kamu.” (HR. Bukhori).
Ada enam perkara yang diusulkan Umar hingga akhirnya turun wahyu membenarkan usulannya itu. Pertama mengenai haramnya khomer. Maka turunlah ayat larangan minum khomer. Kedua; usulan supaya tawanan perang Badr dibunuh dan tidak boleh menerima tebusan darinya. Maka turunlah ayat yang menguatkan pendapatnya itu. Ketiga; usulan supaya istri-istri Rasulullah memakai hijab (kerudung). Maka turunlah ayat yang memerintahkan memakai hijab. Keempat, usulan supaya orang-orang munafik yang meninggal tidak usah disholati. Maka turunlah ayat yang melarang sholat mayit untuk orang-orang munafik. Kelima, usulan untuk melakukan sholat di maqom (tempat) Ibrahim. Maka turunlah ayat yang memerintahkan sholat di maqom Ibrahim. Keenam, ketika istri-istri saling cemburu terhadap Rasulullah, Umar berkata; “Semoga saja Tuhannya menganti istri-istri yang lebih baik dari kalian sekiranya Rasulullah memang berniat menceraikan kalian.” Dari situlah turun surah at-Tahrim dan menjadi bagian dari ayat-ayatnya. Begitu pula di antara pendapatnya adalah memerangi orang-orang yang murtad dan menunda memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat karena kondisi negara yang sangat lemah. Tetapi pendapatnya itu ditolak Abu Bakar. Akhirnya pun Umar menerima pendapat Abu Bakar setelah Allah memberikan pencerahan dalam hatinya.
Setelah wafatnya Rasulullah, beliau orang yang pertama membaiat Abu Bakar menjadi khalifah. Sebelum wafatnya Abu bakar, khalifah pertama, beliau pernah mencalonkan Umar untuk mengantikannya. Setelah dipilih menjadi khalifah, pertama-tama yang dilakukan adalah memerangi orang-orang murtad (keluar dari Islamm) hingga para tawanan tidak menjadi cacat dan cela bagi bagi bangsa Arab. Pada masa kekhalifannya, beliau berhasil menaklukkan Syam (Syiria), Irak, Persia (Iran), Mesir, Barqoh, Barat Tripolis, Azarbaijan, Nahawan dan Jarjan. Begitu juga pada masanya dibangun kota Kuffah, Basroh dan Fustat (kota Mesir kuno).
Beliau adalah sosok yang sangat penyayang dengan rakyatnya dan penuh perhatian terhadap kepentingan rakyatnya. Diceritakan bahwa beliau datang menjumpai rakyatnya dengan menyamar sebagai orang biasa. Beliau ingin mendengar langsung keluhan rakyat dan memenuhi kebutuhannya. Dengan cara ini, beliau ingin mengajarkan kepada umat Islam bahwa penguasa adalah pembantu rakyat. Hidupnya didedikasikan dan dicurahkan untuk membantu rakyat.
Sebelum wafatnya, beliau pernah mimpi melihat seekor ayam jago mematuk tubuhnya. Mimpi itu ditakwilkan bahwa ajalnya sudah dekat. Tidak lama sesudah mimpi itu, tepatnya pada hari Rabu, Dzulhijjah 23 Hijriah, ketika sedang sholat subuh, Abu Lukluk al-Fairuz menikam tubuhnya dengan pisau. Abu Lukluk adalah anak al-Mughiroh bin Syu’bah, orang Persia yang beragama Majusi. Lukanya cukup parah hingga hanya bertahan tiga hari. Dan setelah itu wafat sebagai seorang syahid yang berjuang di jalan Allah. Selama menahan sakit akibat tikaman pisau, beliau memilih dan merekomendasi 6 sahabat supaya kaum muslimin memilih satu di antara calon khalifah itu. Akhirnya terpilihlah Utsman sebagai pengantinya.
Beliau dimakamkan di kamar Aisyah berdampingan dengan makan Rasulullah dan Abu Bakar. Masa kekhalifahnya 10 tahun,6 bulan dan 4 hari. Umur beliau ketika wafat 63 tahun seperti umur Rasulullah dan Abu Bakar ketika wafat.
Di antara prestasi selama menjadi khalifah yaitu membuat pembukuan mengenai anggaran negara dan pengunaan alat-alat negara untuk dipertanggungjawabkan di depan rakyat, hingga kemudian melahirkan undang-undang pengunaan alat negara (min aina hadha?). Dalam sejarah Islam, beliau orang pertama yang mengunakan penanggakan Hijriah, orang pertama yang digelari Amirul Mukminin, orang pertama yang berjalan kaki untuk menjenguk rakyatnya pada waktu malam, orang yang pertama kali yang mengadakan muktamar para penguasa dan pemimpin kaum pada musim tertentu, orang yang pertama kali yang mengunakan mutiara untuk perhiasan, orang pertama yang melakukan sholat tarawih dengan berjamaah, orang pertama yang menghidupkan malam-malam ramadhan, orang pertama yang melakukan sholat jenazah berjamaah dengan 4 takbir, orang pertama yang memberi hadiah untuk penghafal al-Qur’an, orang pertama yang menjadikan khilafah sebagai lembaga musyawarah. Di samping itu beliau juga menyuruh umat Islam (waktu itu) untuk melakukan sholat sunnah tarawih di bulan Ramadhan secara berjama’ah dengan tujuan untuk mengeratkan ukhuwah dan menjaga syiar agama.
Diantara nasehat dan petuahnya;
“Suatu perkara akan menjadi baik jika memenuhi tiga hal; melaksanakan amanah, memberi contoh dan menghukumi dengan hukum Allah.”
“Harta menjadi barokah dan bermakna jika memenuhi tiga hal; diperolehnya dengan cara yang hak, diberikan dengan cara yang hak dan tidak tercampuri barang batil (haram/bukan haknya).”
“Wahai Ahnaf, barangsiapa banyak tertawa, wibawanya berkurang dan barangsiapa suka bergurau, maka akan diremehkan, barangsiapa memperbanyak sesuatu maka akan dikenal dengan barang itu, siapa banyak bicara banyak salahnya, siapa banyak salahnya sedikit rasa malunya, siapa sedikit rasa malunya maka sedikit pula wara’nya (sikap hati2 dalam menjaga yang haram) dan siapa yang sedikit wara’nya, maka hatinya mati.”
Mengenai wasiatnya, Hayyawah bin Syarih berkata bahwa pada waktu mengutus tentara ke medan perang beliau berkata, “Hendaklah kalian tetap menjaga takwa kepada Allah. Bismillah dan atas pertolongan Allah, tanda-tangani perjanjian ini dengan memohon pertolongan Allah dan kemenangan. Dan selalu berlaku benar dan sabar. Perangilah orang kafir dan jangan kalian melampui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang melampui batas. Kemudian jangan kalian lari ketika bertemu musuh dan jangan berprilaku buruk, berlebih-lebihan dalam bersikap, banyak ngobrol ketika berperang. Jangan bunuh wanita, orang tua, dan anak kecil…”
Diantara doa yang biasa beliau lakukan adalah;
“Allahumma tawaffani ma’al abror, wala tukholifni fil asror, wa qini ‘azabannar, wa alhiqni bil abror”
Selama hidupnya, beliau telah meriwayatkan kurang lebih 527 hadits, di antara riwayat haditsnya; suatu ketika Rasulullah bersabda; “Sesungguhnya amalan (perbuatan) itu bergantung pada niatnya. Dan setiap seseorang itu mendapatkan apa yang diniatkan. Barangsiapa berhijrah karena ingin mendapatkan kenikmatan dunia atau wanita yang hendak dinikahi maka hijrahnya itu tidak diniatkan untuk Allah tapi untuk kenikmatan dunia dan wanita.”
http://dongengtauladan.blogspot.com/2010/08/umar-bin-khotob.html
Friday, January 27, 2012
Wednesday, January 25, 2012
Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.
Beliau lahir dua tahun beberapa bulan setelah kelahiran Rasulullah Saw di kota Mekkah, atau pada tahun 51 sebelum Hijriah (751 M). Nama lengkapanya Abdullah bin Utsman bin ‘Amir bin Ka’ab at-Taimy al-Qursy. Dulunya bernama Abdul Ka’bah, kemudian Rasulullah mengantinya dengan nama Abdullah. Gelarnya As-Sidiq; orang yang percaya. Ketika terjadi peristiwa Isro’ dan Mi’roj, beliaulah termasuk orang pertama yang percaya dengan peristiwa itu, maka beliau digelari as-Siddiq. Nama panggilanya Abu Bakar. Ibunya bernama ummul Khoir Salma binti Shahr bin ‘Amir .
Di kalangan kaumnya dikenal dengan al-‘Atiq. Konon ceritanya Rasulullah pernah berkata; “Kamu adalah hamba Allah yang dijauhkan (‘Atiq) dari api neraka”. Maka sejak itulah terkenal di kalangan sahabat dengan sebutan al-‘Atiq. Pendapat lain mengatakan karena wajahnya yang ganteng. Pendapat lain karena banyak memerdekakan budak muslim seperti Bilal. Pendapat lain karena tidak ada cacat dalam nasabnya.
Mengenai pribadinya, Ibn Asakir meriwayatkan dari Abdullah bin az-Zubair, “Ketika para sahabat sedang berkumpul dalam suatu majlis, seseorang bertanya kepada Abu Bakar. “Apakah kamu pernah minum khomer pada masa Jahiliyah?” kata orang itu. Beliau menjawab, “Aku berlingung kepada Allah."
“Kenapa?” orang itu bertanya. “Saya dapat menjaga kehormatan diriku dan muruah. Sebab orang yang minum khomer hilang kehormatannya dan muruahnya.” jawab Abu Bakar. Orang pun melaporkan kepada Rasulullah. Rasulullah berkata, “Abu Bakar benar. Abu Bakar benar.”
Dari Aisyah ‘Aisyah r.a. berkata, “Demi Allah, Abu Bakar r.a. belum pernah membaca syair pada masa Jahiliyah dan Islam. Beliau dan Utsman bin ‘Affan tidak pernah meminum khomer/arak.”
Pada waktu Rasulullah wafat, kaum muslimin mulai guncang dan kebinggungan akan keberlangsungan Islam. Melihat kondisi yang sangat membahayakan ini, beliau dengan lantang berkata; “Siapa diantara kalian yang menyembah Muhammad (Rasulullah), maka Muhammad sudah wafat. Tapi barangsiapa menyembah Allah SWT maka Allah SWT itu hidup dan tidak akan mati.” Mendengar ucapan itu, maka tenanglah hati umat Islam, hingga akhirnya Allah SWT menguatkan keimanan mereka.
Selepas Rasululllah wafat, beliau diangkat menjadi kholifah oleh kaum muslimin pada tahun 11 H. Inilah sejarah pergantian kempimpinan umat Islam untuk pertama kali yang didasarkan pada syuro’ (musyawarah). Pada waktu dipilih menjadi kholifah beliau berkata; “Aku diangkat menjadi pemimpin kalian, tapi bukan berarti aku yang paling baik dari kalian. Sekiranya aku melakukan kebaikan maka kalian harus menolongnya dan sekiranya aku berbuat salah maka kalian wajib meluruskan dan mengingatkan. Kejujuran adalah amanah, dan berdusta adalah khianat dan pengingkaran terhadap yang benar. Orang-orang yang lemah diantara kalian, bagiku adalah orang kuat hingga aku memberikan haknya. Dan orang-orang yang kuat diantara kalian, bagiku adalah lemah hingga aku ambil hak-hak itu darinya.”
Istri-istri beliau; Ummu Rumman binti ‘Amir, Qutailah binti Abdul Izza, Asma’ binti ‘Umais dan Habibah binti Khorijah. Lahir dari perkawinnya tiga anak laki-laki dan tiga perempuan. Tiga anak laki-laki itu; Abdullah, Abdurrahman dan Muhammad. 3 anak perempuannya; Asma’, Aisyah (istri Rasulullah) dan Ummu Kultsum.
Beliau menjabat sebagai kholifah selama dua tahun dan tiga bulan. Wafat pada tahun 12 H berumur 63 tahun, seperti umur Rasulullah ketika wafat. Dikuburkan di dekat kuburan Rasulullah di kamar Aisyah RA. Sebelum wafatnya, beliau pernah berwasiat kepada Umar bin Khottob untuk menjadi kholifah.
Beliau sangat pandai dalam ilmu nasab (silsisah keturunan) suku dan juga penceritaannya. Beliau termasuk dari ketua-ketua Quraisy di masa Jahiliyah yang disegani dan disenangi karena sikapnya yang bijak. Selama hidupnya belum pernah minum khomer dan menyembah patung. Ketika di Yaman, seorang syeik dari al-Azd pernah memberitahu tentang hadirnya kenabian Muhammad Saw. Beliau orang pertama yang meyakini dan mempercayai kenabian Muhammad. Seperti halnya berita yang disampaikan Waroqoh bin Naufal kepada beliau mengenai kenabian Muhammad Saw.
Pada waktu hijrah, beliau menjadi teman Rasulullah dalam perjalanan hijrah itu, begitu juga ketika Rasulullah berada di gua Hira. Hal ini bisa dibaca dalam firman Allah; “…sedang ia salah seorang dari dua sahabat pada waktu di gua Hiro.."(QS.at-taubah:40). Ketika melakukan ibadah haji beliau orang pertama menjadi amir (ketua) rombongan kaum muslimin dalam haji tersebut dan orang pertama yang menjadi imam sholat setelah wafatnya Rasulullah.
Di antara orang-orang yang memeluk Islam atas jasanya adalah; az-Zubair bin al-Awwa, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Saad bin Abu Waqos, Tholhah bin Ubaidillah, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah. Mereka termasuk 10 orang-orang yang diberitakan masuk surga. Termasuk beliau juga.
Beliau telah memerdekakan 7 orang; Bilal, ‘Amir bin Fahiroh, Zanirah, Nahdiyah dan anak perempuannya, Jariyah bani Muammal dan Ummu ‘Abis. Mengumpulkan mushaf yang tersebar di pelbagai pelosok. Beliau juga orang yang sangat tegas memerangi orang-orang murtad (keluar dari Islam) dan engan membayar zakat. Pada masa beliau memangku kholifah, syiar Islam tersebar melalui penaklukan ke pelbagai negara. Inilah sejarah awal penaklukan dalam Islam. Ada 142 hadits yang diriwayatkankan. Di antara riwayat hadits dari beliau; Suatu ketika Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku do’a dalam sholat.” Rasulullah menjawab: “Berdoalah dengan ini; “Allahumma inni dholamtu nafsi dhulman katsiro…"(Wahai Allah, aku banyak berbuat kedhaliman, tidak ada orang yang boleh berikan ampunan dosa-dosa dholimku kecuali Engkau. Maka berilah ampunana atas semua dosa-dosaku dan berilah kasih sayang dan rahmat. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang Maha Pemberi Ampunan dan Kasih sayang. (HR.Bukhori)
Apa kata Rasulullah mengenai pribadinya: “Tidak seorangpun di antara manusia yang lebih banyak dari Abu Bakar dalam menjaga diriku dengan jiwa dan hartanya. Sekiranya dibolehkan aku menjadikan teman baik di antara manusia niscaya aku jadikan Abu Bakar sebagai teman baik. Akan tetapi pertemanan dan persaudaraan atas nama Islam itu lebih utama. Silahkan kalian tutup setiap pintu untukku di masjid kecuali pintu Abu Bakar (HR.Bukhori).
Dalam hadits lain disebutkan, suatu ketika Rasulullah bertanya kepada para sahabat; “Siapa di antara kalian yang hari ini berpuasa.” Abu Bakar menjawab; “Saya, wahai baginda Rasul. “Siapa di antara kalian yang telah memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab; “Saya, Wahai Rasul.” “Siapa di antara kalian telah mendoakan dan menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab; “Saya, wahai baginda Rasul.” Setelah itu Rasulullah bersabda; “Sekiranya sifat dan perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang maka kelak dia akan masuk surga.”
Wasiat Abu Bakar kepada Umar sebelum ajal menjemputnya sebagaimana diceritakan Abdurrahman bin Abdullah bin Sabith “Pada waktu ajal hendak menjemputnya, beliau memangil Umar. Beliau berkata, 'Wahai Umar, ingatlah bahwa ada amalan untuk Allah yang dilakukan siang hari yang Allah tidak akan menerima amalan itu di waktu malam. Dan ada amalan untuk Allah yang di malam hari yang tidak akan diterima di waktu siang. Allah tidak menerima amalan sunnah sehingga yang wajib dilaksanakan. Timbangan amal baik di akherat menjadi berat karena mengikuti jalan kebenaran di dunia hingga Allah beratkan timbangan atas mereka. Dan timbangan (baik) manusia berkurang di akherat karena manusia mengikuti jalan sesat/batil selama di dunia.'"
Ketika beliau wafat, Ali bin Tholib berkata; “Semoga Allah memberikan rahmat kepada Abu Bakar, Kamu adalah saudara Rasulullah, kawan dekat, penghibur duka lara, dan kawan dalam bermusyawarah. Kamu adalah orang pertama yang berislam, yang paling ikhlas beriman kepada Allah dan Rasulul-Nya, yang paling baik dalam persahabatan dan paling mulia di antara kaum lainnya. Kamu juga yang paling serupa dengan Rasulullah ketika diam dan gerak. Allah telah angkat derajat namamu, wahai Abu bakar dalam tingkatan yang paling tinggi. Allah berfirman; “Dan orang yang percaya dengan kenabian Muhammad."
Dalam riwayat Asakir dari al-Ashma’y disebutkan bahwa Abu Bakar jika dipuji beliau berdo’a “Ya Allah Engkau lebih tahu tentang diriku dan saya lebih tahu dari mereka. Ya Allah berikan kebaikan padaku dari apa yang mereka sangkakan. Ampunilah aku dari apa yang mereka tidak tahu dan jangan azab aku dari apa yang mereka katakan.”
http://dongengtauladan.blogspot.com/2010/08/abu-bakar-as-sidiq.html
Di kalangan kaumnya dikenal dengan al-‘Atiq. Konon ceritanya Rasulullah pernah berkata; “Kamu adalah hamba Allah yang dijauhkan (‘Atiq) dari api neraka”. Maka sejak itulah terkenal di kalangan sahabat dengan sebutan al-‘Atiq. Pendapat lain mengatakan karena wajahnya yang ganteng. Pendapat lain karena banyak memerdekakan budak muslim seperti Bilal. Pendapat lain karena tidak ada cacat dalam nasabnya.
Mengenai pribadinya, Ibn Asakir meriwayatkan dari Abdullah bin az-Zubair, “Ketika para sahabat sedang berkumpul dalam suatu majlis, seseorang bertanya kepada Abu Bakar. “Apakah kamu pernah minum khomer pada masa Jahiliyah?” kata orang itu. Beliau menjawab, “Aku berlingung kepada Allah."
“Kenapa?” orang itu bertanya. “Saya dapat menjaga kehormatan diriku dan muruah. Sebab orang yang minum khomer hilang kehormatannya dan muruahnya.” jawab Abu Bakar. Orang pun melaporkan kepada Rasulullah. Rasulullah berkata, “Abu Bakar benar. Abu Bakar benar.”
Dari Aisyah ‘Aisyah r.a. berkata, “Demi Allah, Abu Bakar r.a. belum pernah membaca syair pada masa Jahiliyah dan Islam. Beliau dan Utsman bin ‘Affan tidak pernah meminum khomer/arak.”
Pada waktu Rasulullah wafat, kaum muslimin mulai guncang dan kebinggungan akan keberlangsungan Islam. Melihat kondisi yang sangat membahayakan ini, beliau dengan lantang berkata; “Siapa diantara kalian yang menyembah Muhammad (Rasulullah), maka Muhammad sudah wafat. Tapi barangsiapa menyembah Allah SWT maka Allah SWT itu hidup dan tidak akan mati.” Mendengar ucapan itu, maka tenanglah hati umat Islam, hingga akhirnya Allah SWT menguatkan keimanan mereka.
Selepas Rasululllah wafat, beliau diangkat menjadi kholifah oleh kaum muslimin pada tahun 11 H. Inilah sejarah pergantian kempimpinan umat Islam untuk pertama kali yang didasarkan pada syuro’ (musyawarah). Pada waktu dipilih menjadi kholifah beliau berkata; “Aku diangkat menjadi pemimpin kalian, tapi bukan berarti aku yang paling baik dari kalian. Sekiranya aku melakukan kebaikan maka kalian harus menolongnya dan sekiranya aku berbuat salah maka kalian wajib meluruskan dan mengingatkan. Kejujuran adalah amanah, dan berdusta adalah khianat dan pengingkaran terhadap yang benar. Orang-orang yang lemah diantara kalian, bagiku adalah orang kuat hingga aku memberikan haknya. Dan orang-orang yang kuat diantara kalian, bagiku adalah lemah hingga aku ambil hak-hak itu darinya.”
Istri-istri beliau; Ummu Rumman binti ‘Amir, Qutailah binti Abdul Izza, Asma’ binti ‘Umais dan Habibah binti Khorijah. Lahir dari perkawinnya tiga anak laki-laki dan tiga perempuan. Tiga anak laki-laki itu; Abdullah, Abdurrahman dan Muhammad. 3 anak perempuannya; Asma’, Aisyah (istri Rasulullah) dan Ummu Kultsum.
Beliau menjabat sebagai kholifah selama dua tahun dan tiga bulan. Wafat pada tahun 12 H berumur 63 tahun, seperti umur Rasulullah ketika wafat. Dikuburkan di dekat kuburan Rasulullah di kamar Aisyah RA. Sebelum wafatnya, beliau pernah berwasiat kepada Umar bin Khottob untuk menjadi kholifah.
Beliau sangat pandai dalam ilmu nasab (silsisah keturunan) suku dan juga penceritaannya. Beliau termasuk dari ketua-ketua Quraisy di masa Jahiliyah yang disegani dan disenangi karena sikapnya yang bijak. Selama hidupnya belum pernah minum khomer dan menyembah patung. Ketika di Yaman, seorang syeik dari al-Azd pernah memberitahu tentang hadirnya kenabian Muhammad Saw. Beliau orang pertama yang meyakini dan mempercayai kenabian Muhammad. Seperti halnya berita yang disampaikan Waroqoh bin Naufal kepada beliau mengenai kenabian Muhammad Saw.
Pada waktu hijrah, beliau menjadi teman Rasulullah dalam perjalanan hijrah itu, begitu juga ketika Rasulullah berada di gua Hira. Hal ini bisa dibaca dalam firman Allah; “…sedang ia salah seorang dari dua sahabat pada waktu di gua Hiro.."(QS.at-taubah:40). Ketika melakukan ibadah haji beliau orang pertama menjadi amir (ketua) rombongan kaum muslimin dalam haji tersebut dan orang pertama yang menjadi imam sholat setelah wafatnya Rasulullah.
Di antara orang-orang yang memeluk Islam atas jasanya adalah; az-Zubair bin al-Awwa, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Saad bin Abu Waqos, Tholhah bin Ubaidillah, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah. Mereka termasuk 10 orang-orang yang diberitakan masuk surga. Termasuk beliau juga.
Beliau telah memerdekakan 7 orang; Bilal, ‘Amir bin Fahiroh, Zanirah, Nahdiyah dan anak perempuannya, Jariyah bani Muammal dan Ummu ‘Abis. Mengumpulkan mushaf yang tersebar di pelbagai pelosok. Beliau juga orang yang sangat tegas memerangi orang-orang murtad (keluar dari Islam) dan engan membayar zakat. Pada masa beliau memangku kholifah, syiar Islam tersebar melalui penaklukan ke pelbagai negara. Inilah sejarah awal penaklukan dalam Islam. Ada 142 hadits yang diriwayatkankan. Di antara riwayat hadits dari beliau; Suatu ketika Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku do’a dalam sholat.” Rasulullah menjawab: “Berdoalah dengan ini; “Allahumma inni dholamtu nafsi dhulman katsiro…"(Wahai Allah, aku banyak berbuat kedhaliman, tidak ada orang yang boleh berikan ampunan dosa-dosa dholimku kecuali Engkau. Maka berilah ampunana atas semua dosa-dosaku dan berilah kasih sayang dan rahmat. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang Maha Pemberi Ampunan dan Kasih sayang. (HR.Bukhori)
Apa kata Rasulullah mengenai pribadinya: “Tidak seorangpun di antara manusia yang lebih banyak dari Abu Bakar dalam menjaga diriku dengan jiwa dan hartanya. Sekiranya dibolehkan aku menjadikan teman baik di antara manusia niscaya aku jadikan Abu Bakar sebagai teman baik. Akan tetapi pertemanan dan persaudaraan atas nama Islam itu lebih utama. Silahkan kalian tutup setiap pintu untukku di masjid kecuali pintu Abu Bakar (HR.Bukhori).
Dalam hadits lain disebutkan, suatu ketika Rasulullah bertanya kepada para sahabat; “Siapa di antara kalian yang hari ini berpuasa.” Abu Bakar menjawab; “Saya, wahai baginda Rasul. “Siapa di antara kalian yang telah memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab; “Saya, Wahai Rasul.” “Siapa di antara kalian telah mendoakan dan menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab; “Saya, wahai baginda Rasul.” Setelah itu Rasulullah bersabda; “Sekiranya sifat dan perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang maka kelak dia akan masuk surga.”
Wasiat Abu Bakar kepada Umar sebelum ajal menjemputnya sebagaimana diceritakan Abdurrahman bin Abdullah bin Sabith “Pada waktu ajal hendak menjemputnya, beliau memangil Umar. Beliau berkata, 'Wahai Umar, ingatlah bahwa ada amalan untuk Allah yang dilakukan siang hari yang Allah tidak akan menerima amalan itu di waktu malam. Dan ada amalan untuk Allah yang di malam hari yang tidak akan diterima di waktu siang. Allah tidak menerima amalan sunnah sehingga yang wajib dilaksanakan. Timbangan amal baik di akherat menjadi berat karena mengikuti jalan kebenaran di dunia hingga Allah beratkan timbangan atas mereka. Dan timbangan (baik) manusia berkurang di akherat karena manusia mengikuti jalan sesat/batil selama di dunia.'"
Ketika beliau wafat, Ali bin Tholib berkata; “Semoga Allah memberikan rahmat kepada Abu Bakar, Kamu adalah saudara Rasulullah, kawan dekat, penghibur duka lara, dan kawan dalam bermusyawarah. Kamu adalah orang pertama yang berislam, yang paling ikhlas beriman kepada Allah dan Rasulul-Nya, yang paling baik dalam persahabatan dan paling mulia di antara kaum lainnya. Kamu juga yang paling serupa dengan Rasulullah ketika diam dan gerak. Allah telah angkat derajat namamu, wahai Abu bakar dalam tingkatan yang paling tinggi. Allah berfirman; “Dan orang yang percaya dengan kenabian Muhammad."
Dalam riwayat Asakir dari al-Ashma’y disebutkan bahwa Abu Bakar jika dipuji beliau berdo’a “Ya Allah Engkau lebih tahu tentang diriku dan saya lebih tahu dari mereka. Ya Allah berikan kebaikan padaku dari apa yang mereka sangkakan. Ampunilah aku dari apa yang mereka tidak tahu dan jangan azab aku dari apa yang mereka katakan.”
http://dongengtauladan.blogspot.com/2010/08/abu-bakar-as-sidiq.html
Tuesday, January 24, 2012
Biasa Di Bumi, Tak Biasa Di Langit
Saya teringat dengan seorang tabi'in yaitu Uwais Al Qarni. Kata Rasulullah saw, dia tidak dikenal penduduk bumi tetapi sangat terkenal di langit. Hidupnya terbilang miskin, tapi tak pernah membuatnya menjadi lalai dalam beribadah atau membantu sesamanya. Jika ia mempunyai rizki lebih, ia tak segan membagikannya kepada tetangganya yang sama-sama kesusahan.
Pekerjaannya hanya seorang pengembala, uang yang dihasilkannya digunakan untuk keperluannya dan Ibunya sehari-hari. Siang hari ia bekerja sambil berpuasa, sedangkan malam hari ia gunakan untuk shalat dan bermunajat kepada Allah. Pakaian yang ia punya hanya yang melekat di tubuhnya saja.
Sedari kecil ia tak pernah mengenyam pendidikan formal. Pendidikan hanya ia dapat dari kedua orangtuanya. Ia seringkali dicap sebagai anak bodoh. Tapi ia tak pernah memperdulikannya dan tetap semangat membantu sesama.
Ia juga seorang anak yang sangat taat pada Ibunya. Ia hidup di zaman Rasulullah saw tapi belum pernah bertemu langsung dengan Rasulullah saw. Karena kecintaannya pada Rasulullah saw, ia pernah meminta izin kepada ibunya untuk berangkat ke Madinah. Kurang lebih empat ratus kilometer ia berjalan kaki dari Yaman hingga tiba di kediaman Rasulullah saw. Sayangnya Rasulullah saw saat itu tidak berada di rumah karena sedang berada di medan perang. Ia dihinggapi rasa bingung. Ia ingin sekali bertemu Rasulullah saw, tetapi di satu sisi ia teringat akan pesan ibunya untuk tidak berlama-lama meninggalkannya. Akhirnya ia pun pulang tanpa bertemu dengan seseorang yang amat dicintainya itu.
***
Di atas adalah sekelumit kisah dari seorang tabi'in mulia Uwais Al Qarni.
Terkesan dengan julukannya, tidak dikenal penduduk bumi tapi terkenal di langit. Ia hanya berusaha menyibukan diri beribadah dan membantu orang lain, bukan menyibukan diri untuk menjadikannya seorang yang hanya terkenal di bumi saja.
Bagi kita yang kini terlihat biasa saja atau bahkan terlupa, seringkali diejek (bukan karena perbuatan buruk), jangan pernah merasa bersedih. Jika kita sudah melakukan hal-hal baik dan terus berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Di bumi kita tanpa gelar tapi yakinlah bahwa kelak penduduk langit akan mengelu-elukan kita.
Di dunia, kita diberi ujian kemiskinan. Selama hal itu tidak membuat kita lalai akan segala perintah Allah, maka bersiaplah akan balasan yang dijanjikan Allah berupa Surga bagi orang-orang yang bersabar. Dan kekayaan abadi ada di Akhirat nanti bukan di Bumi ini.
Di Dunia, kita sering terlihat bodoh dan jauh dari ilmu, meskipun sebenarnya kita adalah makhluk yang sedang belajar segala hal. Tanpa ada manusia yang mengetahui proses belajar kita. Abaikan saja penglihatan mata orang-orang yang menatap sinis. Sungguh penilaian Allah jauh lebih penting.
Semoga kita bisa belajar dari keteguhan Uwais Al Qarni untuk tidak menatap dunia adalah segalanya. Hingga akhir hidupnya -Uwais yang sering diejek- pada pemakamannya banyak dihadiri makhluk berpakaian putih (malaikat) dan selepas disemayamkan, kuburannya langsung lenyap. Ruhnya langsung dibawa oleh malaikat.
***
Rabi’ bin Khutsaim berkata, “Aku pergi ke tempat Uwais al-Qarni, aku mendapati beliau sedang duduk setelah selesai menunaikan shalat Shubuh. Aku berkata (pada diriku), 'Aku tidak akan mengganggunya dari bertasbih.' Setelah masuk waktu Zhuhur, beliau mengerjakan shalat Zhuhur. Dan begitu masuk waktu Ashar beliau shalat Ashar. Selesai shalat Ashar beliau duduk sambil berdzikir hingga tiba waktu Maghrib. Setelah shalat Maghrib beliau menunggu waktu Isya’, kemudian shalat Isya’. Selesai shalat Isya’ beliau mengerjakan shalat hingga menjelang Shubuh. Setelah shalat Shubuh, beliau duduk dan tanpa sengaja tertidur. Tiba-tiba saja beliau terbangun. Ketika itu aku mendengar dia berkata, ‘Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari mata yang senang tidur, dan perut yang tidak merasa kenyang.”
Oleh Kiptiah
www.rainkelana.blogspot.com
http://www.eramuslim.com/oase-iman/kiptiah-biasa-di-bumi-tak-biasa-di-langit.htm
Pekerjaannya hanya seorang pengembala, uang yang dihasilkannya digunakan untuk keperluannya dan Ibunya sehari-hari. Siang hari ia bekerja sambil berpuasa, sedangkan malam hari ia gunakan untuk shalat dan bermunajat kepada Allah. Pakaian yang ia punya hanya yang melekat di tubuhnya saja.
Sedari kecil ia tak pernah mengenyam pendidikan formal. Pendidikan hanya ia dapat dari kedua orangtuanya. Ia seringkali dicap sebagai anak bodoh. Tapi ia tak pernah memperdulikannya dan tetap semangat membantu sesama.
Ia juga seorang anak yang sangat taat pada Ibunya. Ia hidup di zaman Rasulullah saw tapi belum pernah bertemu langsung dengan Rasulullah saw. Karena kecintaannya pada Rasulullah saw, ia pernah meminta izin kepada ibunya untuk berangkat ke Madinah. Kurang lebih empat ratus kilometer ia berjalan kaki dari Yaman hingga tiba di kediaman Rasulullah saw. Sayangnya Rasulullah saw saat itu tidak berada di rumah karena sedang berada di medan perang. Ia dihinggapi rasa bingung. Ia ingin sekali bertemu Rasulullah saw, tetapi di satu sisi ia teringat akan pesan ibunya untuk tidak berlama-lama meninggalkannya. Akhirnya ia pun pulang tanpa bertemu dengan seseorang yang amat dicintainya itu.
***
Di atas adalah sekelumit kisah dari seorang tabi'in mulia Uwais Al Qarni.
Terkesan dengan julukannya, tidak dikenal penduduk bumi tapi terkenal di langit. Ia hanya berusaha menyibukan diri beribadah dan membantu orang lain, bukan menyibukan diri untuk menjadikannya seorang yang hanya terkenal di bumi saja.
Bagi kita yang kini terlihat biasa saja atau bahkan terlupa, seringkali diejek (bukan karena perbuatan buruk), jangan pernah merasa bersedih. Jika kita sudah melakukan hal-hal baik dan terus berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Di bumi kita tanpa gelar tapi yakinlah bahwa kelak penduduk langit akan mengelu-elukan kita.
Di dunia, kita diberi ujian kemiskinan. Selama hal itu tidak membuat kita lalai akan segala perintah Allah, maka bersiaplah akan balasan yang dijanjikan Allah berupa Surga bagi orang-orang yang bersabar. Dan kekayaan abadi ada di Akhirat nanti bukan di Bumi ini.
Di Dunia, kita sering terlihat bodoh dan jauh dari ilmu, meskipun sebenarnya kita adalah makhluk yang sedang belajar segala hal. Tanpa ada manusia yang mengetahui proses belajar kita. Abaikan saja penglihatan mata orang-orang yang menatap sinis. Sungguh penilaian Allah jauh lebih penting.
Semoga kita bisa belajar dari keteguhan Uwais Al Qarni untuk tidak menatap dunia adalah segalanya. Hingga akhir hidupnya -Uwais yang sering diejek- pada pemakamannya banyak dihadiri makhluk berpakaian putih (malaikat) dan selepas disemayamkan, kuburannya langsung lenyap. Ruhnya langsung dibawa oleh malaikat.
***
Rabi’ bin Khutsaim berkata, “Aku pergi ke tempat Uwais al-Qarni, aku mendapati beliau sedang duduk setelah selesai menunaikan shalat Shubuh. Aku berkata (pada diriku), 'Aku tidak akan mengganggunya dari bertasbih.' Setelah masuk waktu Zhuhur, beliau mengerjakan shalat Zhuhur. Dan begitu masuk waktu Ashar beliau shalat Ashar. Selesai shalat Ashar beliau duduk sambil berdzikir hingga tiba waktu Maghrib. Setelah shalat Maghrib beliau menunggu waktu Isya’, kemudian shalat Isya’. Selesai shalat Isya’ beliau mengerjakan shalat hingga menjelang Shubuh. Setelah shalat Shubuh, beliau duduk dan tanpa sengaja tertidur. Tiba-tiba saja beliau terbangun. Ketika itu aku mendengar dia berkata, ‘Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari mata yang senang tidur, dan perut yang tidak merasa kenyang.”
Oleh Kiptiah
www.rainkelana.blogspot.com
http://www.eramuslim.com/oase-iman/kiptiah-biasa-di-bumi-tak-biasa-di-langit.htm
Kejujuran Sang Imam
Selepas sholat subuh, Imam Hanafi bersiap membuka tokonya di pusat kota kufah. Diperiksanya dengan cermat pakaian dan kain yang akan dijual. Sewaktu menemukan pakaian yang cacat, ia segera menyisihkannya dan meletakkannya di tempat yang terbuka. Supaya kalau ada yang akan membeli, ia dapat memperlihatkannya.
Ketika hari mulai siang, banyak pengunjung yang datang ke tokonya untuk membeli barang dagangannya. Tapi, ada juga yang hanya memilih-milih saja.
“Mari silakan, dilihat dulu barangnya. Mungkin ada yang disukai,” tawar Imam Hanafi tersenyum ramah.
Seorang pengunjung tertarik pada pakaian yang tergantung di pojok kiri. “Bolehkah aku melihat pakaian itu?” tanya perempuan itu. Imam Hanafi segera mengambilkannya. “Berapa harganya?” tanyanya sambil memandangi pakaian itu.
“Pakaian ini memang bagus. Tapi, ada sedikit cacat di bagian lengannya.” Imam Hanafi memperlihatkan cacat yang hampir tak tampak pada pakaian itu.
“Sayang sekali.” perempuan itu tampak kecewa. “Kenapa Tuan menjual pakaian yang ada cacatnya?”
“Kain ini sangat bagus dan sedang digemari. Walaupun demikian karena ada cacat sedikit harus saya perlihatkan. Untuk itu saya menjualnya separuh harga saja.”
“Aku tak jadi membelinya. Akan kucari yang lain,” katanya.
“Tidak apa-apa, terima kasih,” sahut Imam Hanafi tetap tersenyum dalam hati, perempuan itu memuji kejujuran pedagang itu. Tidak banyak pedagang sejujur dia. Mereka sering menyembunyikan kecacatan barang dagangannya.
Sementara itu ada seorang perempuan tua, sejak tadi memperhatikan sebuah baju di rak. Berulang-ulang dipegangnya baju itu. Lalu diletakkan kembali. Imam Hanafi lalu menghampirinya. “Silakan, baju itu bahannya halus sekali. Harganya pun tak begitu mahal.”
“Memang, saya pun sangat menyukainya.” Orang itu meletakkan baju di rak. Wajahnya kelihatan sedih. “Tapi saya tidak mampu membelinya. Saya ini orang miskin,” katanya lagi.
Imam Hanafi merasa iba. Orang itu begitu menyukai baju ini. “Saya akan menghadiahkannya untuk ibu,” kata Imam Hanafi.
“Benarkah? Apa tuan tidak akan rugi?”
“Alhamdulillah, Allah sudah memberi saya rezeki yang lebih.” Lalu, Imam Hanafi membungkus baju itu dan memberikannya pada orang tersebut.
“Terima kasih, Anda sungguh dermawan. Semoga Allah memberkahi.” Tak henti-hentinya orang miskin itu berterima kasih.
Menjelang tengah hari, Imam Hanafi bersiap akan mengajar. Selain berdagang, ia mempunyai majelis pengajian yang selalu ramai dipenuhi orang-orang yang menuntut ilmu. Ia lalu menitipkan tokonya pada seorang sahabatnya sesama pedagang.
Sebelum pergi, Imam Hanafi berpesan pada sahabatnya agar mengingatkan pada pembeli kain yang ada cacatnya itu. “Perlihatkan pada pembeli bahwa pakaian ini ada cacat di bagian lengannya. Berikan separo harga saja,” kata Imam Hanafi. Sahabatnya mengangguk. Imam Hanafi pun berangkat ke majelis pengajian.
Sesudah hari gelap ia baru kembali ke tokonya.
“Hanafi, hari ini cukup banyak yang mengunjungi tokomu. O, iya! Pakaian yang itu juga sudah dibeli orang,” kata sahabatnya menunjuk tempat pakaian yang ada cacatnya.
“Apa kau perlihatkan kalau pada bagian lengannya ada sedikit cacat?” tanya Hanafi.
“Masya Allah aku lupa memberitahunya. Pakaian itu sudah dibelinya dengan harga penuh.” sahabatnya sangat menyesal.
Hanafi menanyakan ciri-ciri orang yang membeli pakaian itu. Dan ia pun bergegas mencarinya untuk mengembalikan sebagian uangnya. “Ya Allah! Aku sudah menzhaliminya, “ ucap Imam Hanafi.
Sampai larut malam, Imam Hanafi mencari orang itu kesana-kemari. Tapi tak berhasil ditemui. Imam Hanafi amat sedih.
Di pinggir jalan tampak seorang pengemis tua dan miskin duduk seorang diri. Tanpa berpikir panjang lagi, ia sedekahkan uang penjualan pakaian yang sedikit cacat itu semuanya.
“Kuniatkan sedekah ini dan pahalanya untuk orang yang membeli pakaian bercacat itu,” ucap Imam Hanafi.
Ia merasa tidak berhak terhadap uang hasil penjualan pakaian itu. Imam Hanafi berjanji tidak akan menitipkan lagi tokonya pada orang lain.
Keesokan harinya Imam Hanafi kedatangan utusan seorang pejabat pemerintah. Pejabat itu memberikan hadiah uang sebanyak 10.000 dirham sebagai tanda terima kasih. Rupanya sang ayah merasa bangga anaknya bisa berguru pada Imam Hanafi di majelis pengajiannya. Imam Hanafi menyimpan uang sebanyak itu di sudut rumahnya. Ia tidak pernah menggunakan uang itu untuk keperluannya atau menyedekahkannya sedikitpun pada fakir miskin.
Seorang tetangganya merasa aneh melihat hadiah uang itu masih utuh. “Kenapa Anda tidak memakainya atau menyedekahkannya? ” tanyanya.
“Tidak, Aku khawatir uang itu adalah uang haram,” kata Imam Hanafi.
Barulah tetangganya mengerti kenapa Imam Hanafi berbuat begitu. Uang itu pun tetap tersimpan di sudut rumahnya. Setelah beliau wafat, hadiah uang tersebut dikembalikan lagi kepada yang memberinya.
http://mujahidinsyaiful.blogspot.com/2010/11/kejujuran-sang-imam.html
Ketika hari mulai siang, banyak pengunjung yang datang ke tokonya untuk membeli barang dagangannya. Tapi, ada juga yang hanya memilih-milih saja.
“Mari silakan, dilihat dulu barangnya. Mungkin ada yang disukai,” tawar Imam Hanafi tersenyum ramah.
Seorang pengunjung tertarik pada pakaian yang tergantung di pojok kiri. “Bolehkah aku melihat pakaian itu?” tanya perempuan itu. Imam Hanafi segera mengambilkannya. “Berapa harganya?” tanyanya sambil memandangi pakaian itu.
“Pakaian ini memang bagus. Tapi, ada sedikit cacat di bagian lengannya.” Imam Hanafi memperlihatkan cacat yang hampir tak tampak pada pakaian itu.
“Sayang sekali.” perempuan itu tampak kecewa. “Kenapa Tuan menjual pakaian yang ada cacatnya?”
“Kain ini sangat bagus dan sedang digemari. Walaupun demikian karena ada cacat sedikit harus saya perlihatkan. Untuk itu saya menjualnya separuh harga saja.”
“Aku tak jadi membelinya. Akan kucari yang lain,” katanya.
“Tidak apa-apa, terima kasih,” sahut Imam Hanafi tetap tersenyum dalam hati, perempuan itu memuji kejujuran pedagang itu. Tidak banyak pedagang sejujur dia. Mereka sering menyembunyikan kecacatan barang dagangannya.
Sementara itu ada seorang perempuan tua, sejak tadi memperhatikan sebuah baju di rak. Berulang-ulang dipegangnya baju itu. Lalu diletakkan kembali. Imam Hanafi lalu menghampirinya. “Silakan, baju itu bahannya halus sekali. Harganya pun tak begitu mahal.”
“Memang, saya pun sangat menyukainya.” Orang itu meletakkan baju di rak. Wajahnya kelihatan sedih. “Tapi saya tidak mampu membelinya. Saya ini orang miskin,” katanya lagi.
Imam Hanafi merasa iba. Orang itu begitu menyukai baju ini. “Saya akan menghadiahkannya untuk ibu,” kata Imam Hanafi.
“Benarkah? Apa tuan tidak akan rugi?”
“Alhamdulillah, Allah sudah memberi saya rezeki yang lebih.” Lalu, Imam Hanafi membungkus baju itu dan memberikannya pada orang tersebut.
“Terima kasih, Anda sungguh dermawan. Semoga Allah memberkahi.” Tak henti-hentinya orang miskin itu berterima kasih.
Menjelang tengah hari, Imam Hanafi bersiap akan mengajar. Selain berdagang, ia mempunyai majelis pengajian yang selalu ramai dipenuhi orang-orang yang menuntut ilmu. Ia lalu menitipkan tokonya pada seorang sahabatnya sesama pedagang.
Sebelum pergi, Imam Hanafi berpesan pada sahabatnya agar mengingatkan pada pembeli kain yang ada cacatnya itu. “Perlihatkan pada pembeli bahwa pakaian ini ada cacat di bagian lengannya. Berikan separo harga saja,” kata Imam Hanafi. Sahabatnya mengangguk. Imam Hanafi pun berangkat ke majelis pengajian.
Sesudah hari gelap ia baru kembali ke tokonya.
“Hanafi, hari ini cukup banyak yang mengunjungi tokomu. O, iya! Pakaian yang itu juga sudah dibeli orang,” kata sahabatnya menunjuk tempat pakaian yang ada cacatnya.
“Apa kau perlihatkan kalau pada bagian lengannya ada sedikit cacat?” tanya Hanafi.
“Masya Allah aku lupa memberitahunya. Pakaian itu sudah dibelinya dengan harga penuh.” sahabatnya sangat menyesal.
Hanafi menanyakan ciri-ciri orang yang membeli pakaian itu. Dan ia pun bergegas mencarinya untuk mengembalikan sebagian uangnya. “Ya Allah! Aku sudah menzhaliminya, “ ucap Imam Hanafi.
Sampai larut malam, Imam Hanafi mencari orang itu kesana-kemari. Tapi tak berhasil ditemui. Imam Hanafi amat sedih.
Di pinggir jalan tampak seorang pengemis tua dan miskin duduk seorang diri. Tanpa berpikir panjang lagi, ia sedekahkan uang penjualan pakaian yang sedikit cacat itu semuanya.
“Kuniatkan sedekah ini dan pahalanya untuk orang yang membeli pakaian bercacat itu,” ucap Imam Hanafi.
Ia merasa tidak berhak terhadap uang hasil penjualan pakaian itu. Imam Hanafi berjanji tidak akan menitipkan lagi tokonya pada orang lain.
Keesokan harinya Imam Hanafi kedatangan utusan seorang pejabat pemerintah. Pejabat itu memberikan hadiah uang sebanyak 10.000 dirham sebagai tanda terima kasih. Rupanya sang ayah merasa bangga anaknya bisa berguru pada Imam Hanafi di majelis pengajiannya. Imam Hanafi menyimpan uang sebanyak itu di sudut rumahnya. Ia tidak pernah menggunakan uang itu untuk keperluannya atau menyedekahkannya sedikitpun pada fakir miskin.
Seorang tetangganya merasa aneh melihat hadiah uang itu masih utuh. “Kenapa Anda tidak memakainya atau menyedekahkannya? ” tanyanya.
“Tidak, Aku khawatir uang itu adalah uang haram,” kata Imam Hanafi.
Barulah tetangganya mengerti kenapa Imam Hanafi berbuat begitu. Uang itu pun tetap tersimpan di sudut rumahnya. Setelah beliau wafat, hadiah uang tersebut dikembalikan lagi kepada yang memberinya.
http://mujahidinsyaiful.blogspot.com/2010/11/kejujuran-sang-imam.html
Monday, January 23, 2012
Aku Tidak Menghendaki Kendaraan Mewah Ini
Untuk melukiskan ketinggian dan keutamaan seorang Umar bin Abdul Aziz rahimahullah maka dapat kita dapati dari beberapa perkataan orang orang pilihan pada zamannya diantaranya Imam Tirmidzi pernah meriwayatkan sebuah atsar dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a bahwa beliau pernah berkata “Dari anakku akan lahir seorang lelaki yang menyerupaiku dari segi keberaniannya dan akan memenuhi dunia dengan keadilan.”
Imam Atha’ rahimahullah juga telah berkata, “Umar Abdul Aziz mengumpulkan para fuqaha’ setiap malam. Mereka saling mengingatkan di antara satu sama lain tentang mati dan hari qiamat, kemudian mereka sama-sama menangis karena takut kepada azab Allah” dan Hassan al-Qishab telah berkata, ”Aku melihat serigala diternak bersama dengan sekumpulan kambing di zaman Khalifah Umar Ibnu Aziz.”
Memang Allah telah mempersiapkan suatu masa yang penuh dengan carut marut dalam menegakkan system kehidupan masyarakat yang sesuai dengan nilai nilai Islam pada seseorang yang tepat. Dia adalah Umar kedua atau seorang Khalifah yang mashur dari Bani Umayyah yaitu Umar bin Abdul Aziz. Sebagai gambaran sederhana dari kesungguhan seorang Umar bin Abdul Aziz dalam mencontoh teladan Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin yang empat dapat kita lihat dari kisah awal kepemimpinan beliau yang penuh dengan nilai nilai seorang pemimpin sejati.
Hari itu Umar bin Abdul Aziz baru saja dilantik sebagai Khalifah dan ia menyempatkan berziarah kemakam Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah Bani Umayyah sebelumnya. Berdasarkan wasiat almarhum, Umar bin Abdul Aziz menduduki jabatan khalifah. Baru saja Umar bangkit berdiri, tiba-tiba ia mendengar suara sesak orang yang kumpul sangat banyak. “Ada apa?”, tanya Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
“Kami telah menyediakan kendaraan dinas untuk Anda, wahai Amirul Mukminin,” ujar salah seorang sambil menunjuk sebuah kereta kuda yang indah dan khusus disiapkan untuk sang khalifah.
“Aku tidak menghendaki kendaran mewah ini. Kembalikan ia pada tempatnya dan jauhkan ia dariku. Semoga Allah memberkahi kalian.” Jawab sang Khalifah dan ia kemudian berjalan ke arah seekor keledai yang menjadi tunggangannya selama ini.
Belumlah usai keheranannya atas kereta kuda yang telah disiapkan untuknya tiba tiba serombongan pengawal datang berbaris mengawal di belakangnya. Di tangan masing masing tergenggam tombak tajam mengkilat. Mereka siap menjaga sang khalifah dari marabahaya.
Melihat keberadaan pasukan itu, Umar menoleh heran dan berkata, “Aku tidak membutuhkan kalian. Aku hanyalah orang biasa dari kalangan kaum Muslimin. Aku berjalan pagi hari dan sore hari sama seperti rakyat biasa.”
Selanjutnya, Umar bin Abdul Aziz berjalan bersama orang-orang menuju masjid. Dari segala penjuru orang orang pun berdatangan. Ketika mereka sudah berkumpul, Umar bin Abdul Aziz berdiri. Setelah memuji Allah dan bershalawat pada Nabi dan para sahabatnya, ia berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya aku mendapat cobaan dengan urusan ini (khilafah) yang tanpa aku dimintai persetujuan terlebih dulu, memintanya atau pun bermusyawarah dulu dengan kaum Muslimin. Sesungguhnya, aku telah melepaskan baiat yang ada di pundak kalian untukku. Untuk selanjutnya silakan pilih dari kalangan kalian sendiri seorang khalifah yang kalian ridhai."
Mendengar ucapannya itu, orang orang pun berteriak dengan satu suara, “Kami telah memilihmu, wahai Amirul Mukminin. Kami ridha terhadapmu. Aturlah urusan kami dengan karunia dan berkah Allah."
Kemudian jamaah kaum muslimin yang lain berdiri dan menyatakan dukungannya atas kepemimpinan beliau dan kemudian pekikan takbir menggaung di antara dinding-dinding masjid. Secercah cahaya kemuliaan telah bersinar dihari itu. Cahaya kemuliaan yang bersinar terang selama dua tahun. Dua tahun yang penuh kemakmuran. Kemakmuran yang selama ini dirindukan oleh masyarakat Islam dan lainnya. (Pz/Kisah Islami)
http://www.eramuslim.com/syariah/bercermin-salaf/aku-tidak-menghendaki-kendaran-mewah-ini.htm
Imam Atha’ rahimahullah juga telah berkata, “Umar Abdul Aziz mengumpulkan para fuqaha’ setiap malam. Mereka saling mengingatkan di antara satu sama lain tentang mati dan hari qiamat, kemudian mereka sama-sama menangis karena takut kepada azab Allah” dan Hassan al-Qishab telah berkata, ”Aku melihat serigala diternak bersama dengan sekumpulan kambing di zaman Khalifah Umar Ibnu Aziz.”
Memang Allah telah mempersiapkan suatu masa yang penuh dengan carut marut dalam menegakkan system kehidupan masyarakat yang sesuai dengan nilai nilai Islam pada seseorang yang tepat. Dia adalah Umar kedua atau seorang Khalifah yang mashur dari Bani Umayyah yaitu Umar bin Abdul Aziz. Sebagai gambaran sederhana dari kesungguhan seorang Umar bin Abdul Aziz dalam mencontoh teladan Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin yang empat dapat kita lihat dari kisah awal kepemimpinan beliau yang penuh dengan nilai nilai seorang pemimpin sejati.
Hari itu Umar bin Abdul Aziz baru saja dilantik sebagai Khalifah dan ia menyempatkan berziarah kemakam Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah Bani Umayyah sebelumnya. Berdasarkan wasiat almarhum, Umar bin Abdul Aziz menduduki jabatan khalifah. Baru saja Umar bangkit berdiri, tiba-tiba ia mendengar suara sesak orang yang kumpul sangat banyak. “Ada apa?”, tanya Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
“Kami telah menyediakan kendaraan dinas untuk Anda, wahai Amirul Mukminin,” ujar salah seorang sambil menunjuk sebuah kereta kuda yang indah dan khusus disiapkan untuk sang khalifah.
“Aku tidak menghendaki kendaran mewah ini. Kembalikan ia pada tempatnya dan jauhkan ia dariku. Semoga Allah memberkahi kalian.” Jawab sang Khalifah dan ia kemudian berjalan ke arah seekor keledai yang menjadi tunggangannya selama ini.
Belumlah usai keheranannya atas kereta kuda yang telah disiapkan untuknya tiba tiba serombongan pengawal datang berbaris mengawal di belakangnya. Di tangan masing masing tergenggam tombak tajam mengkilat. Mereka siap menjaga sang khalifah dari marabahaya.
Melihat keberadaan pasukan itu, Umar menoleh heran dan berkata, “Aku tidak membutuhkan kalian. Aku hanyalah orang biasa dari kalangan kaum Muslimin. Aku berjalan pagi hari dan sore hari sama seperti rakyat biasa.”
Selanjutnya, Umar bin Abdul Aziz berjalan bersama orang-orang menuju masjid. Dari segala penjuru orang orang pun berdatangan. Ketika mereka sudah berkumpul, Umar bin Abdul Aziz berdiri. Setelah memuji Allah dan bershalawat pada Nabi dan para sahabatnya, ia berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya aku mendapat cobaan dengan urusan ini (khilafah) yang tanpa aku dimintai persetujuan terlebih dulu, memintanya atau pun bermusyawarah dulu dengan kaum Muslimin. Sesungguhnya, aku telah melepaskan baiat yang ada di pundak kalian untukku. Untuk selanjutnya silakan pilih dari kalangan kalian sendiri seorang khalifah yang kalian ridhai."
Mendengar ucapannya itu, orang orang pun berteriak dengan satu suara, “Kami telah memilihmu, wahai Amirul Mukminin. Kami ridha terhadapmu. Aturlah urusan kami dengan karunia dan berkah Allah."
Kemudian jamaah kaum muslimin yang lain berdiri dan menyatakan dukungannya atas kepemimpinan beliau dan kemudian pekikan takbir menggaung di antara dinding-dinding masjid. Secercah cahaya kemuliaan telah bersinar dihari itu. Cahaya kemuliaan yang bersinar terang selama dua tahun. Dua tahun yang penuh kemakmuran. Kemakmuran yang selama ini dirindukan oleh masyarakat Islam dan lainnya. (Pz/Kisah Islami)
http://www.eramuslim.com/syariah/bercermin-salaf/aku-tidak-menghendaki-kendaran-mewah-ini.htm
Friday, January 20, 2012
Dari Mana Kau Dapatkan Uangnya?
DI BAWAH pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, wilayah kerajaan kian meluas dan kehidupan rakyat kian terjamin. Ini tidak lepas dari kepiawaian Umar dalam menjalankan kebijakan politik. Istananya tidak kalah megah dibandingkan dengan istana para kepala negara lainnya. Indah dan anggun, dihiasi taman bunga yang berwarna-warni.
Namun kehidupan pribadi Umar justru jauh dari mewah. Itu terlihat jelas dari segala tindak-tanduknya. Baik yang menyangkut kepentingan negara maupun rakyatnya. Umar hidup sederhana saja. Ia tidak mau menikmati sesuatu sebelum tahu asal-usulnya, atau haram-halalnya.
Pernah pada suatu kali, Istrinya merasa sangat kasihan melihat Suami tercintanya itu hanya makan roti tawar yang keras setiap hari. Maka ia menyediakan roti gandum yang lebih lezat dengan racikan daging domba di dalamnya. Ketika Umar disodori hidangan itu, ia terbelalak. Ini istimewa baginya. Ia bertanya kepada Istrinya, “Dari mana kau peroleh makanan mewah ini?”
“Aku bikin sendiri, Suamiku, Amirul Mukminin...” jawab Istrinya tertunduk.
Umar memperhatikan muka Istrinya. “Uangnya dari mana sampai kau bisa membeli semua ini?”
Istrinya menarik nafas panjang. “Aku berhemat dari uang belanja yang kauberikan. Aku kumpulkan sedikit demi sedikit selama satu bulan belakangan ini.”
Kepala Umar mangut-mangut, mengerti, “Berapa semuanya ini?”
Tanpa curiga sang Istri menjawab, “Tiga setengah dirham... Amirul Mukminin.”
Umar kelihatan terkejut mendengar jawaban Istrinya itu, “Tiga setengah dirham? Banyak sekali. Itu cukup untuk memberi makan dua orang selama dua hari.”
Lalu seketika itu juga Umar memanggil salah seorang pembantunya, “Muzahim, apakah engkau di sini makan kenyang?”
“Kadang-kadang malahan terlalu kenyang...” ujar Muzahim singkat.
“Apakah makanan yang kaumakan di sini lezat?”
Muzahim mendehem, “Jauh lebih lezat daripada makanan yang ada di rumah saya, Amirul Mukiminin.”
“Kalau begitu,” Umar berkata tegas, “Kurangi biaya keluargaku dengan tiga setengah dirham sejak bulan ini. Karena belanja yang biasa kuberikan kepada Istriku, bisa disimpan tiga setengah dirham tiap bulannya.”
Umar lantas memotong roti di meja, dan dimakannya sebagian guna menyenangkan hati Istrinya. Selebihnya diberikan kepada beberapa anak yatim.
Hari berikutnya, seorang perempuan datang untuk mengadu kepada Umar. Ia ditemui Istrinya, menunggu Umar yang masih berada di dalam. Tidak berapa lama kemudian Umar muncul seraya menenteng dulang berisi buah anggur. Umar menyuguhkannya kepada perempuan itu beberapa buah yang masih segar dan manis. Tiap kali ia menerimanya, perempuan itu selalu mengucap “Alhamdulillah,” sehingga Umar sangat gembira. Sisanya yang hampir busuk dipisahkannya untuk dimakan sendiri bersama keluarganya. Setelah itu, barulah ia menanyakan kebutuhan maksud kedatangan perempuan yang berbudi itu.
Dengan hati-hati. Perempuan itu mengatakan terus-terang perihal lima orang anaknya yang tidak mempunyai pekerjaan. “Bantulah kami, wahai Amirul Mukminim.”
Seketika Umar berlinang-linang air matanya. Ia menyesali dirinya karena sebagai pemimpin ia tidak tahu bahwa di antara rakyatnya masih ada yang tidak punya pekerjaan. Sementara ada pula yang bertumpuk jabatannya.
“Coba sebutkan nama anak Ibu yang pertama,” ujar Umar kepada wanita itu.
Wanita itu menurut. Disebutkannya nama sang anak. Umar menuliskannya pada selembar kertas disertai jumlah bantuan yang akan diberikan. Keputusan itu disambut dengan suka cita dan wanita itu berucap “Alhamdulillah”. Ketika disebutkannya anak nomor dua, nomor tiga dan nomor empat, Umar juga melakukan hal yang sama yaitu menuliskan nama-nama mereka dan menuliskan sejumlah bantuan kepada mereka. Si ibu juga menjawab “Alhamdulillah.”
Namun, ketika tiba giliran anak nomor lima, saking girangnya karena jumlah yang diberikan oleh Umar begitu besarnya, ibu itu buru-buru membungkukkan badannya seraya berkata, “Terima kasih, terima kasih, Tuan...”
Mendadak wajah Umar merah padam. Ia memberengut dan terlihat marah. Serentak ia menyobekkan kertas yang kelima yang tengah digenggamnya itu. Si Perempuan jelas keheranan. Umar berkata tegas, “Sampai anak keempat, Ibu selalu mengucap ‘Alhamdulillah’, suatu pernyataan syukur kepada Dzat yang berhak menerimanya, karena Dialah pada dasarnya yang mempunyai kuasa memberi dan mengambil. Tetapi giliran anak kelima, Ibu malahan berterima kasih kepada saya. Apa sebabnya?”
Si Ibu tampak pucat mukanya. Dengan terbata-bata ia menyahut, “Tuan amat dermawan dan berhati mulia.”
“Maaf, ucapan itu tidak layak Ibu limpahkan kepada saya,” Umar menjawab sambil terus memandangi wajah si Ibu yang masih pucat dan tertunduk. “Apalah daya saya ini sampai Ibu memuji-muji saya? Bukankah segala puji itu hanya milik Allah? Saya ini tidak berdaya dan tidak berbeda dengan Ibu. Bahkan di depan Allah, mungkin saya lebih hina karena hisab Ibu sangat ringan, sedangkan hisab saya berat sekali. Untuk itu saya hanya berkewajiban memberikan bantuan kepada empat anak Ibu saja. Sebab hanya untuk mereka Ibu telah berterima kasih kepada Dzat yang layak dipuja-puja. Tetapi hendaknya bantuan saya itu dibagi-bagikan secara adil buat seluruh keluarga.”
Oleh Saad Saefullah
(Peri Hidup Nabi dan Para Sahabat; Saad Saefullah, Pustaka SPU)
http://www.eramuslim.com/oase-iman/saad-saefullah-dari-mana-kaudapatkan-uangnya.htm
Namun kehidupan pribadi Umar justru jauh dari mewah. Itu terlihat jelas dari segala tindak-tanduknya. Baik yang menyangkut kepentingan negara maupun rakyatnya. Umar hidup sederhana saja. Ia tidak mau menikmati sesuatu sebelum tahu asal-usulnya, atau haram-halalnya.
Pernah pada suatu kali, Istrinya merasa sangat kasihan melihat Suami tercintanya itu hanya makan roti tawar yang keras setiap hari. Maka ia menyediakan roti gandum yang lebih lezat dengan racikan daging domba di dalamnya. Ketika Umar disodori hidangan itu, ia terbelalak. Ini istimewa baginya. Ia bertanya kepada Istrinya, “Dari mana kau peroleh makanan mewah ini?”
“Aku bikin sendiri, Suamiku, Amirul Mukminin...” jawab Istrinya tertunduk.
Umar memperhatikan muka Istrinya. “Uangnya dari mana sampai kau bisa membeli semua ini?”
Istrinya menarik nafas panjang. “Aku berhemat dari uang belanja yang kauberikan. Aku kumpulkan sedikit demi sedikit selama satu bulan belakangan ini.”
Kepala Umar mangut-mangut, mengerti, “Berapa semuanya ini?”
Tanpa curiga sang Istri menjawab, “Tiga setengah dirham... Amirul Mukminin.”
Umar kelihatan terkejut mendengar jawaban Istrinya itu, “Tiga setengah dirham? Banyak sekali. Itu cukup untuk memberi makan dua orang selama dua hari.”
Lalu seketika itu juga Umar memanggil salah seorang pembantunya, “Muzahim, apakah engkau di sini makan kenyang?”
“Kadang-kadang malahan terlalu kenyang...” ujar Muzahim singkat.
“Apakah makanan yang kaumakan di sini lezat?”
Muzahim mendehem, “Jauh lebih lezat daripada makanan yang ada di rumah saya, Amirul Mukiminin.”
“Kalau begitu,” Umar berkata tegas, “Kurangi biaya keluargaku dengan tiga setengah dirham sejak bulan ini. Karena belanja yang biasa kuberikan kepada Istriku, bisa disimpan tiga setengah dirham tiap bulannya.”
Umar lantas memotong roti di meja, dan dimakannya sebagian guna menyenangkan hati Istrinya. Selebihnya diberikan kepada beberapa anak yatim.
Hari berikutnya, seorang perempuan datang untuk mengadu kepada Umar. Ia ditemui Istrinya, menunggu Umar yang masih berada di dalam. Tidak berapa lama kemudian Umar muncul seraya menenteng dulang berisi buah anggur. Umar menyuguhkannya kepada perempuan itu beberapa buah yang masih segar dan manis. Tiap kali ia menerimanya, perempuan itu selalu mengucap “Alhamdulillah,” sehingga Umar sangat gembira. Sisanya yang hampir busuk dipisahkannya untuk dimakan sendiri bersama keluarganya. Setelah itu, barulah ia menanyakan kebutuhan maksud kedatangan perempuan yang berbudi itu.
Dengan hati-hati. Perempuan itu mengatakan terus-terang perihal lima orang anaknya yang tidak mempunyai pekerjaan. “Bantulah kami, wahai Amirul Mukminim.”
Seketika Umar berlinang-linang air matanya. Ia menyesali dirinya karena sebagai pemimpin ia tidak tahu bahwa di antara rakyatnya masih ada yang tidak punya pekerjaan. Sementara ada pula yang bertumpuk jabatannya.
“Coba sebutkan nama anak Ibu yang pertama,” ujar Umar kepada wanita itu.
Wanita itu menurut. Disebutkannya nama sang anak. Umar menuliskannya pada selembar kertas disertai jumlah bantuan yang akan diberikan. Keputusan itu disambut dengan suka cita dan wanita itu berucap “Alhamdulillah”. Ketika disebutkannya anak nomor dua, nomor tiga dan nomor empat, Umar juga melakukan hal yang sama yaitu menuliskan nama-nama mereka dan menuliskan sejumlah bantuan kepada mereka. Si ibu juga menjawab “Alhamdulillah.”
Namun, ketika tiba giliran anak nomor lima, saking girangnya karena jumlah yang diberikan oleh Umar begitu besarnya, ibu itu buru-buru membungkukkan badannya seraya berkata, “Terima kasih, terima kasih, Tuan...”
Mendadak wajah Umar merah padam. Ia memberengut dan terlihat marah. Serentak ia menyobekkan kertas yang kelima yang tengah digenggamnya itu. Si Perempuan jelas keheranan. Umar berkata tegas, “Sampai anak keempat, Ibu selalu mengucap ‘Alhamdulillah’, suatu pernyataan syukur kepada Dzat yang berhak menerimanya, karena Dialah pada dasarnya yang mempunyai kuasa memberi dan mengambil. Tetapi giliran anak kelima, Ibu malahan berterima kasih kepada saya. Apa sebabnya?”
Si Ibu tampak pucat mukanya. Dengan terbata-bata ia menyahut, “Tuan amat dermawan dan berhati mulia.”
“Maaf, ucapan itu tidak layak Ibu limpahkan kepada saya,” Umar menjawab sambil terus memandangi wajah si Ibu yang masih pucat dan tertunduk. “Apalah daya saya ini sampai Ibu memuji-muji saya? Bukankah segala puji itu hanya milik Allah? Saya ini tidak berdaya dan tidak berbeda dengan Ibu. Bahkan di depan Allah, mungkin saya lebih hina karena hisab Ibu sangat ringan, sedangkan hisab saya berat sekali. Untuk itu saya hanya berkewajiban memberikan bantuan kepada empat anak Ibu saja. Sebab hanya untuk mereka Ibu telah berterima kasih kepada Dzat yang layak dipuja-puja. Tetapi hendaknya bantuan saya itu dibagi-bagikan secara adil buat seluruh keluarga.”
Oleh Saad Saefullah
(Peri Hidup Nabi dan Para Sahabat; Saad Saefullah, Pustaka SPU)
http://www.eramuslim.com/oase-iman/saad-saefullah-dari-mana-kaudapatkan-uangnya.htm
Karena Do’a, Si Buta Yang Papa Mendapatkan Wanita Yang Sangat Cantik Jelita
Kisah ajaib ini, terjadi pada seorang buta lagi miskin yang dicampakkan oleh kaum wanita. Lalu dia berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah pun mengabulkan do’anya dengan gadis yang paling cantik di antara mereka. Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul ‘Aziz al-‘Aql dalam muhadarahnya yang berjudul Qashash wa ‘Ibar. Kisah nyata ini terjadi pada salah seorang kerabat Syaikh sendiri.
Syaikh Abdul Aziz mengatakan, “Di antara kisah yang pernah saya alami adalah seseorang dari famili saya yang hafal al-Qur’an dan shalih. Saya mengenalnya dan kami mencintainya ketika kami masih kanak-kanak. Orang tadi ahli bersilaturahim dan selalu beristiqamah untuk taat kepada Allah. Dan dia adalah orang yang buta. Pada suatu hari, dia berkata kepada saya, “Hai anakku -waktu itu saya berumur 16 atau 17 tahun- kenapa kamu tidak menikah?” Saya jawab, “Hingga Allah memberi saya rizqi.” Dia berkata, “Wahai putraku, bersikap jujurlah kepada Allah, ketuklah pintu Allah, dan berharaplah, pintu kelapangan akan terbuka.” Kemudian dia berkata kepada saya, “Duduklah wahai putraku, aku akan menceritakan kepadamu, apa yang pernah aku alami dulu.”
Dia melanjutkan, “Saya dulu benar-benar miskin, ibu dan bapakku adalah orang miskin, kami semua sangat miskin, dan aku sendiri semenjak dilahirkan sudah menjadi orang yang buta. Segala sifat yang tidak disukai wanita ada padaku. Kemudian aku sangat menginginkan seorang wanita, akan tetapi kepada Allah aku tumpahkan seluruh keprihatinanku, karena dengan kondisiku yang seperti itu, akan sulit rasanya untuk mendapatkan seorang istri. Aku mendatangi ayahku kemudian mengatakan, “Wahai ayah, aku ingin menikah.” Maka ayahku mentertawakanku. Aku memahami bahwa tertawanya ayah adalah sebagai isyarat agar aku berputus asa dan melupakan keinginanku untuk menikah, bahkan ayahku sempat mengatakan, “Apakah engkau gila nak? Siapa yang mau mengambilmu sebagai menantu? Pertama, kamu buta. Kedua, kita semua adalah orang yang sangat miskin. Sadarlah nak! Tidak ada jalan untuk itu."
Sebenarnya, dengan kata-katanya itu ayah telah membunuhku. Waktu itu aku berumur kira-kira 24 atau 25 tahun. Lalu akupun pergi menemui ibuku. Mengadukan perihalku, barangkali ia dapat membujuk ayahku. Hampir saja aku menangis, ketika ibuku juga mengucapkan kata-kata seperti yang diucapkan oleh ayah. Dia mengatakan, “Anakku, kamu akan nikah?! Apakah kamu tidak waras nak?! Siapa wanita yang mau sama kamu?! Dari mana kamu mendapatkan harta?! Kamu tahu sendiri, bahwa kita semuanya ini sangat membutuhkan sedikit harta untuk bertahan hidup. Kemudian kamu juga jangan lupa, bahwa hutang kita telah menumpuk.”
Aku tidak berputus asa, kuulangi lagi usahaku untuk memahamkan ayah dan ibuku. Akan tetapi sikap dan jawaban mereka tetap tidak berubah.
Pada suatu malam, aku berkata, “Mengapa aku tidak mengadukan hal ini pada Tuhanku yang Maha Pengasih dan Penyayang? Mengapa aku merengek-rengek di hadapan ayah dan ibu yang memang tidak mampu melakukan apa-apa? Mengapa aku tidak mengetuk pintu ilahi yang Maha Kuasa dan Perkasa?” Lalu aku pun shalat di akhir malam sebagaimana kebiasaanku. Aku mengangkat tangan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan aku katakan di antara do’aku,
"Ya Allah, ya Tuhanku, mereka mengatakan kalau aku miskin padahal Engkaulah yang membuat aku miskin. Mereka mengatakan kalau aku buta, padahal Engkaulah yang mengambil penglihatanku. Mereka mengatakan kalau aku adalah jelek dan buruk, padahal Engkaulah yang menciptakan aku. Ilahi, Tuhanku, Tuanku dan Penolongku, tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau, Engkau mengetahui apa yang ada di dalam jiwaku. Engkau mengetahui keinginanku untuk menikah, dan aku tidak ada daya dan upaya untuk itu. Ayah dan ibuku menyatakan tidak sanggup. Ya Allah, mereka memang tidak sanggup dan tidak mampu. Aku memahami kondisi mereka. Tetapi Engkau adalah Maha Mulia dan Perkasa yang tidak terkalahkan oleh apapun. Ilahi, kumohon satu rahmat dari rahmat-Mu. Wahai Tuhan yang Maha Mulia, Maha Pengasih dan Penyayang, berikanlah kepadaku dengan segera seorang istri yang penuh berkah, shalihah, dan cantik jelita. Yang menenangkan hatiku dan yang menentramkan jiwaku."
Aku berdo’a sementara kedua mataku, mengucurkan air mata dan hatiku menangis merendah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena aku shalat malam di awal waktu, maka akupun mengantuk. Ketika aku tertidur, aku bermimpi seolah-olah aku berada di sebuah tempat yang sangat panas. Sepertinya ada kobaran api yang sangat dahsyat. Tidak lama setelah itu, aku melihat ada satu kemah yang turun dari langit. Kemah yang sangat indah mempesona, belum pernah aku melihat sebelumnya. Hingga kemah itupun turun di atasku dan memayungiku. Bersamaan dengan itu, ada hawa dingin yang aku tidak mampu menceritakannya karena benar-benar membawa sebuah kedamaian, hingga aku terbangun karena kedinginan setelah merasa kepanasan yang amat sangat. Aku terbangun dan perasaanku sangat senang dengan mimpi tersebut. Di pagi yang buta aku pergi menemui seorang alim yang dapat menafsiri mimpi.
Maka setelah aku ceritakan apa yang kualami dalam mimpi itu, seorang alim tersebut mengatakan kepadaku, “Hai anakku, engkau sudah menikah, jika tidak, mengapa kamu tidak menikah?” Maka saya katakan, “Tidak, demi Allah saya belum menikah.” Dia bertanya, “Mengapa engkau tidak menikah?” Kukatakan, “Demi Allah Ya Syaikh, seperti yang engku ketahui, aku adalah seorang yang buta lagi miskin, dan buruk rupa.” Dia berkata, “Hai anakku, apakah tadi malam engkau telah mengetuk pintu Tuhan mu?” Kukatakan, “Ya, aku telah mengetuk pintu Tuhan ku.” Syaikh berkata, “Pergilah wahai putraku, perhatikanlah gadis yang paling cantik dalam benakmu dan pinanglah, karena pintu itu telah terbuka untukmu. Ambillah yang terbaik apa yang ada dalam dirimu dan jangan merasa rendah dengan mengatakan, “Aku adalah seorang yang buta, maka aku akan mencari wanita yang buta pula, jika tidak maka yang begini, dan yang begitu. Tetapi perhatikanlah gadis yang terbaik, karena pintu itu telah dibuka untukmu.”
Setelah aku berfikir dalam diriku, aku memilih gadis yang dikenal sebagai gadis yang paling cantik di daerah itu di samping memiliki nasab dan keluarga yang terhormat. Maka aku mendatangi ayah, kukatakan barangkali ayah mau pergi kepada mereka guna meminang gadis itu untukku. Ayah menolak dengan keras, lebih keras dari penolakannya yang pertama. Dia benar-benar menolak secara mentah-mentah mengingat rupaku yang buruk dan kemelaratanku, apalagi gadis yang kuinginkan adalah gadis yang paling cantik di negeri itu. Maka aku pergi sendiri. Aku bertamu kepada keluarga itu, mengucapkan salam kepada mereka dan mengatakan kepada orang tuanya, “Saya menginginkan Fulanah (maksudnya putrinya).” D
ia menjawab, “Kamu menginginkan putriku?” Saya jawab, “Ya.”
Maka dia menjawab, “Demi Allah, ahlan wasahlan, wahai putra Fulan, selamat datang wahai pembawa Al-Qur’an, demi Allah hai putraku, kami tidak mendapatkan laki-laki yang lebih baik darimu, akan tetapi aku berharap agar putriku mau menerimanya.”
Kemudian ia pergi menuju putrinya dan mengatakan, “Wahai putriku, ini Fulan datang meminangmu. Memang dia buta akan tetapi dia hafal Al-Qur’an, dia menyimpan Al-Qur’an di dalam dadanya. Apabila engkau dapat merelakannya untukmu, maka tawakkallah kepada Allah.”
Sang putripun menjawab, “Sesudahmu, tidak ada hal lain wahai ayah, kami bertawakkal kepada Allah.”
Selang sepekan setelah itu, wanita cantik itupun menjadi istri bagi si buta yang miskin dengan taufik Allah dan kemudahan dariNya karena keutamaan Al-Qur’an. Walhamdulillahirabbil ‘alamin.
Sumber: www.qiblati.com.
http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihatkisah&id=269
Syaikh Abdul Aziz mengatakan, “Di antara kisah yang pernah saya alami adalah seseorang dari famili saya yang hafal al-Qur’an dan shalih. Saya mengenalnya dan kami mencintainya ketika kami masih kanak-kanak. Orang tadi ahli bersilaturahim dan selalu beristiqamah untuk taat kepada Allah. Dan dia adalah orang yang buta. Pada suatu hari, dia berkata kepada saya, “Hai anakku -waktu itu saya berumur 16 atau 17 tahun- kenapa kamu tidak menikah?” Saya jawab, “Hingga Allah memberi saya rizqi.” Dia berkata, “Wahai putraku, bersikap jujurlah kepada Allah, ketuklah pintu Allah, dan berharaplah, pintu kelapangan akan terbuka.” Kemudian dia berkata kepada saya, “Duduklah wahai putraku, aku akan menceritakan kepadamu, apa yang pernah aku alami dulu.”
Dia melanjutkan, “Saya dulu benar-benar miskin, ibu dan bapakku adalah orang miskin, kami semua sangat miskin, dan aku sendiri semenjak dilahirkan sudah menjadi orang yang buta. Segala sifat yang tidak disukai wanita ada padaku. Kemudian aku sangat menginginkan seorang wanita, akan tetapi kepada Allah aku tumpahkan seluruh keprihatinanku, karena dengan kondisiku yang seperti itu, akan sulit rasanya untuk mendapatkan seorang istri. Aku mendatangi ayahku kemudian mengatakan, “Wahai ayah, aku ingin menikah.” Maka ayahku mentertawakanku. Aku memahami bahwa tertawanya ayah adalah sebagai isyarat agar aku berputus asa dan melupakan keinginanku untuk menikah, bahkan ayahku sempat mengatakan, “Apakah engkau gila nak? Siapa yang mau mengambilmu sebagai menantu? Pertama, kamu buta. Kedua, kita semua adalah orang yang sangat miskin. Sadarlah nak! Tidak ada jalan untuk itu."
Sebenarnya, dengan kata-katanya itu ayah telah membunuhku. Waktu itu aku berumur kira-kira 24 atau 25 tahun. Lalu akupun pergi menemui ibuku. Mengadukan perihalku, barangkali ia dapat membujuk ayahku. Hampir saja aku menangis, ketika ibuku juga mengucapkan kata-kata seperti yang diucapkan oleh ayah. Dia mengatakan, “Anakku, kamu akan nikah?! Apakah kamu tidak waras nak?! Siapa wanita yang mau sama kamu?! Dari mana kamu mendapatkan harta?! Kamu tahu sendiri, bahwa kita semuanya ini sangat membutuhkan sedikit harta untuk bertahan hidup. Kemudian kamu juga jangan lupa, bahwa hutang kita telah menumpuk.”
Aku tidak berputus asa, kuulangi lagi usahaku untuk memahamkan ayah dan ibuku. Akan tetapi sikap dan jawaban mereka tetap tidak berubah.
Pada suatu malam, aku berkata, “Mengapa aku tidak mengadukan hal ini pada Tuhanku yang Maha Pengasih dan Penyayang? Mengapa aku merengek-rengek di hadapan ayah dan ibu yang memang tidak mampu melakukan apa-apa? Mengapa aku tidak mengetuk pintu ilahi yang Maha Kuasa dan Perkasa?” Lalu aku pun shalat di akhir malam sebagaimana kebiasaanku. Aku mengangkat tangan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan aku katakan di antara do’aku,
"Ya Allah, ya Tuhanku, mereka mengatakan kalau aku miskin padahal Engkaulah yang membuat aku miskin. Mereka mengatakan kalau aku buta, padahal Engkaulah yang mengambil penglihatanku. Mereka mengatakan kalau aku adalah jelek dan buruk, padahal Engkaulah yang menciptakan aku. Ilahi, Tuhanku, Tuanku dan Penolongku, tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau, Engkau mengetahui apa yang ada di dalam jiwaku. Engkau mengetahui keinginanku untuk menikah, dan aku tidak ada daya dan upaya untuk itu. Ayah dan ibuku menyatakan tidak sanggup. Ya Allah, mereka memang tidak sanggup dan tidak mampu. Aku memahami kondisi mereka. Tetapi Engkau adalah Maha Mulia dan Perkasa yang tidak terkalahkan oleh apapun. Ilahi, kumohon satu rahmat dari rahmat-Mu. Wahai Tuhan yang Maha Mulia, Maha Pengasih dan Penyayang, berikanlah kepadaku dengan segera seorang istri yang penuh berkah, shalihah, dan cantik jelita. Yang menenangkan hatiku dan yang menentramkan jiwaku."
Aku berdo’a sementara kedua mataku, mengucurkan air mata dan hatiku menangis merendah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena aku shalat malam di awal waktu, maka akupun mengantuk. Ketika aku tertidur, aku bermimpi seolah-olah aku berada di sebuah tempat yang sangat panas. Sepertinya ada kobaran api yang sangat dahsyat. Tidak lama setelah itu, aku melihat ada satu kemah yang turun dari langit. Kemah yang sangat indah mempesona, belum pernah aku melihat sebelumnya. Hingga kemah itupun turun di atasku dan memayungiku. Bersamaan dengan itu, ada hawa dingin yang aku tidak mampu menceritakannya karena benar-benar membawa sebuah kedamaian, hingga aku terbangun karena kedinginan setelah merasa kepanasan yang amat sangat. Aku terbangun dan perasaanku sangat senang dengan mimpi tersebut. Di pagi yang buta aku pergi menemui seorang alim yang dapat menafsiri mimpi.
Maka setelah aku ceritakan apa yang kualami dalam mimpi itu, seorang alim tersebut mengatakan kepadaku, “Hai anakku, engkau sudah menikah, jika tidak, mengapa kamu tidak menikah?” Maka saya katakan, “Tidak, demi Allah saya belum menikah.” Dia bertanya, “Mengapa engkau tidak menikah?” Kukatakan, “Demi Allah Ya Syaikh, seperti yang engku ketahui, aku adalah seorang yang buta lagi miskin, dan buruk rupa.” Dia berkata, “Hai anakku, apakah tadi malam engkau telah mengetuk pintu Tuhan mu?” Kukatakan, “Ya, aku telah mengetuk pintu Tuhan ku.” Syaikh berkata, “Pergilah wahai putraku, perhatikanlah gadis yang paling cantik dalam benakmu dan pinanglah, karena pintu itu telah terbuka untukmu. Ambillah yang terbaik apa yang ada dalam dirimu dan jangan merasa rendah dengan mengatakan, “Aku adalah seorang yang buta, maka aku akan mencari wanita yang buta pula, jika tidak maka yang begini, dan yang begitu. Tetapi perhatikanlah gadis yang terbaik, karena pintu itu telah dibuka untukmu.”
Setelah aku berfikir dalam diriku, aku memilih gadis yang dikenal sebagai gadis yang paling cantik di daerah itu di samping memiliki nasab dan keluarga yang terhormat. Maka aku mendatangi ayah, kukatakan barangkali ayah mau pergi kepada mereka guna meminang gadis itu untukku. Ayah menolak dengan keras, lebih keras dari penolakannya yang pertama. Dia benar-benar menolak secara mentah-mentah mengingat rupaku yang buruk dan kemelaratanku, apalagi gadis yang kuinginkan adalah gadis yang paling cantik di negeri itu. Maka aku pergi sendiri. Aku bertamu kepada keluarga itu, mengucapkan salam kepada mereka dan mengatakan kepada orang tuanya, “Saya menginginkan Fulanah (maksudnya putrinya).” D
ia menjawab, “Kamu menginginkan putriku?” Saya jawab, “Ya.”
Maka dia menjawab, “Demi Allah, ahlan wasahlan, wahai putra Fulan, selamat datang wahai pembawa Al-Qur’an, demi Allah hai putraku, kami tidak mendapatkan laki-laki yang lebih baik darimu, akan tetapi aku berharap agar putriku mau menerimanya.”
Kemudian ia pergi menuju putrinya dan mengatakan, “Wahai putriku, ini Fulan datang meminangmu. Memang dia buta akan tetapi dia hafal Al-Qur’an, dia menyimpan Al-Qur’an di dalam dadanya. Apabila engkau dapat merelakannya untukmu, maka tawakkallah kepada Allah.”
Sang putripun menjawab, “Sesudahmu, tidak ada hal lain wahai ayah, kami bertawakkal kepada Allah.”
Selang sepekan setelah itu, wanita cantik itupun menjadi istri bagi si buta yang miskin dengan taufik Allah dan kemudahan dariNya karena keutamaan Al-Qur’an. Walhamdulillahirabbil ‘alamin.
Sumber: www.qiblati.com.
http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihatkisah&id=269
Thursday, January 19, 2012
Wajah Mayat Berubah Menjadi Himar
Dalam terik panas mentari yang memancar menyinari tanah Baitul Haram, seorang ulama zuhud yang bernama Muhammad Abdullah al-Mubarak berangkat dari rumahnya untuk menunaikan ibadah haji. Setiba di sana dia melihat seorang pemuda sedang asyik membaca selawat dalam keadaan ihram. Bahkan di Padang Arafah dan di Mina pemuda tersebut hanya membasahkan lidahnya dengan selawat ke atas Nabi. “Hai saudara,” tegur Abdullah kepada pemuda tersebut. “Setiap tempat ada bacaannya tersendiri. Kenapa saudara tidak memperbanyak doa dan solat sedangkan itu yang lebih dituntut? Saya lihat saudara asyik membaca selawat saja.”
”Saya punya alasan tersendiri,” jawab pemuda itu. “Saya meninggalkan Khurasan, tanah air saya untuk menunaikan haji bersama ayah saya. Pada saat kami sampai di Kufah, tiba-tiba ayah saya sakit parah, hingga menghembuskan nafas terakhir di pangkuan saya sendiri. Dengan kain sarung yang ada, saya tutup mukanya. Celakanya, pada saat saya menyingkapkan kain sarung tersebut, wajah ayah saya telah berubah menjadi himar. Saya malu sekali. Bagaimana mungkin saya bisa memberitahu orang-orang tentang kematian ayah saya, sedangkan wajahnya begitu buruk sekali?
Saya terduduk di sisi mayat ayah saya dalam keadaan kebingungan. Akhirnya saya tertidur dan bermimpi. Dalam mimpi itu saya melihat seorang pemuda yang tampan dan baik akhlaknya. Pemuda itu memakai tutup muka. Dia lantas membuka penutup mukanya ketika melihat saya dan berkata, ‘Mengapa kamu bersedih hati dengan apa yang telah terjadi?’
Maka saya menjawab, ‘Bagaimana saya tidak bersedih hati sedangkan dia adalah orang yang paling saya sayangi?’
Pemuda itu pun mendekati ayah saya dan mengusap wajahnya sehingga ayah saya berubah wajahnya menjadi seperti sediakala. Saya segera mendekati ayah dan melihat ada cahaya dari wajahnya seperti bulan yang baru terbit pada malam bulan purnama.
'Engkau siapa?’ tanya saya kepada pemuda yang baik hati itu.
‘Saya yang terpilih (Muhammad).’
Saya lantas memegang jarinya dan berkata, ‘Wahai tuan, beritahulah saya, mengapa peristiwa ini bisa terjadi?’
‘Sebenarnya ayahmu seorang pemakan harta riba. Allah telah menetapkan bahwa orang yang memakan harta riba akan ditukar wajahnya menjadi himar di dunia atau di akhirat nanti. Allah telah menjatuhkan hukuman itu di dunia dan tidak di akhirat. Semasa hidupnya ayahmu juga seorang yang istiqamah mengamalkan selawat sebanyak seratus kali sebelum tidur. Maka ketika semua amalan umatku ditontonkan, malaikat telah memberi tahu keadaan ayahmu kepadaku. Aku telah memohon kepada Allah agar Dia mengizinkan aku memberi syafaat kepada ayahmu. Dan inilah aku datang untuk memulihkan semula keadaan ayahmu.’”
http://alawiy.wordpress.com/kalam/wajah-mayat-berubah-menjadi-himar/
”Saya punya alasan tersendiri,” jawab pemuda itu. “Saya meninggalkan Khurasan, tanah air saya untuk menunaikan haji bersama ayah saya. Pada saat kami sampai di Kufah, tiba-tiba ayah saya sakit parah, hingga menghembuskan nafas terakhir di pangkuan saya sendiri. Dengan kain sarung yang ada, saya tutup mukanya. Celakanya, pada saat saya menyingkapkan kain sarung tersebut, wajah ayah saya telah berubah menjadi himar. Saya malu sekali. Bagaimana mungkin saya bisa memberitahu orang-orang tentang kematian ayah saya, sedangkan wajahnya begitu buruk sekali?
Saya terduduk di sisi mayat ayah saya dalam keadaan kebingungan. Akhirnya saya tertidur dan bermimpi. Dalam mimpi itu saya melihat seorang pemuda yang tampan dan baik akhlaknya. Pemuda itu memakai tutup muka. Dia lantas membuka penutup mukanya ketika melihat saya dan berkata, ‘Mengapa kamu bersedih hati dengan apa yang telah terjadi?’
Maka saya menjawab, ‘Bagaimana saya tidak bersedih hati sedangkan dia adalah orang yang paling saya sayangi?’
Pemuda itu pun mendekati ayah saya dan mengusap wajahnya sehingga ayah saya berubah wajahnya menjadi seperti sediakala. Saya segera mendekati ayah dan melihat ada cahaya dari wajahnya seperti bulan yang baru terbit pada malam bulan purnama.
'Engkau siapa?’ tanya saya kepada pemuda yang baik hati itu.
‘Saya yang terpilih (Muhammad).’
Saya lantas memegang jarinya dan berkata, ‘Wahai tuan, beritahulah saya, mengapa peristiwa ini bisa terjadi?’
‘Sebenarnya ayahmu seorang pemakan harta riba. Allah telah menetapkan bahwa orang yang memakan harta riba akan ditukar wajahnya menjadi himar di dunia atau di akhirat nanti. Allah telah menjatuhkan hukuman itu di dunia dan tidak di akhirat. Semasa hidupnya ayahmu juga seorang yang istiqamah mengamalkan selawat sebanyak seratus kali sebelum tidur. Maka ketika semua amalan umatku ditontonkan, malaikat telah memberi tahu keadaan ayahmu kepadaku. Aku telah memohon kepada Allah agar Dia mengizinkan aku memberi syafaat kepada ayahmu. Dan inilah aku datang untuk memulihkan semula keadaan ayahmu.’”
http://alawiy.wordpress.com/kalam/wajah-mayat-berubah-menjadi-himar/
Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil
Kalimat ini termasuk dzikir sederhana, namun mengandung makna yang luar biasa. Dzikir ini menandakan bahwa seorang hamba hanya pasrah pada Allah dan menjadikan-Nya sebagai tempat bersandar.
Allah Ta’ala menceritakan mengenai Rasul dan sahabatnya dalam firman-Nya,
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. ” (QS. Ali ‘Imron: 173)
Kata sahabat Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa “hasbunallah wa ni’mal wakiil” adalah perkataan Nabi ‘Ibrahim ‘alaihis salaam ketika beliau ingin dilempar di api. Sedangkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kalimat tersebut dalam ayat,
إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,” maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. (HR. Bukhari no. 4563)
Renungkanlah Maknanya!
Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir berkata bahwa maksud “hasbunallah” ialah Allah-lah yang mencukupi segala urusan mereka. Sedangkan “al wakiil“, kata Al Faro’ berarti orang yang mencukupi. Demikian pula kata Ibnul Qosim. Sedangkan Ibnu Qutaibah berkata bahwa makna “al wakiil” adalah yang bertanggung jawab (yang menjamin). Al Khottobi berkata bahwa “al wakiil” adalah yang bertanggung jawab memberi rizki dan berbagai maslahat bagi hamba.
Dalam tafsir Al Jalalain disebutkan makna dzikir di atas ialah Allah-lah yang mencukupi urusan mereka dan Allah-lah sebaik-baik tempat bersandar dalam segala urusan.
Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya memaparkan, “Maksud ‘hasbunallah‘ adalah Allah-lah yang mencukupi urusan mereka dan ‘ni’mal wakiil’ adalah Allah-lah sebaik-baik tempat bersandar segala urusan hamba dan yang mendatangkan maslahat.”
Syaikh Al Imam Al ‘Arif rahimahullah berkata bahwa dalam hadits di atas adalah isyarat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada para sahabatnya agar mereka rujuk (kembali) pada Allah Ta’ala, bersandar pada-Nya, sadar bahwa tidak ada daya dan kekuatan melainkan dari-Nya. … Kalimat “hasbunallah” adalah tanda bahwa hamba benar-benar butuh pada Allah dan itu sudah amat pasti. Lalu tidak ada keselamatan kecuali dari dan dengan pertolongan Allah. Tidak ada tempat berlari kecuali pada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ
“Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. ” (QS. Adz Dzariyat: 50) (Bahrul Fawaid karya Al Kalabadzi)
Allah-lah Yang Mencukupi
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3). Al Qurtubhi rahimahullah menjelaskan pula tentang surat Ath Tholaq ayat 3 dengan mengatakan, “Barangsiapa yang menyandarkan dirinya pada Allah, maka Allah akan beri kecukupan pada urusannya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa menyandarkan diri pada sesuatu, maka hatinya akan dipasrahkan padanya” (HR. Tirmidzi no. 2072, hadits ini hasan kata Syaikh Al Albani). Artinya di sini, barangsiapa yang menjadikan makhluk sebagai sandaran hatinya, maka Allah akan membuat makhluk tersebut jadi sandarannya. Maksudnya, urusannya akan sulit dijalani. Hati seharusnya bergantung pada Allah, bukan pada makhluk. Jika Allah menjadi sandaran hati, tentu urusan akan semakin mudah.
Ya Allah … Engkau-lah yang mencukupi segala urusan kami, yang tahu manakah yang maslahat dan yang mengatur segala rizki kami.
Hasbunallah wa ni’mal wakiil.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 21 Dzulqo’dah 1432 H (19/10/2011)
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/hasbunallah-wa-nimal-wakiil.html
Allah Ta’ala menceritakan mengenai Rasul dan sahabatnya dalam firman-Nya,
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. ” (QS. Ali ‘Imron: 173)
Kata sahabat Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa “hasbunallah wa ni’mal wakiil” adalah perkataan Nabi ‘Ibrahim ‘alaihis salaam ketika beliau ingin dilempar di api. Sedangkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kalimat tersebut dalam ayat,
إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,” maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. (HR. Bukhari no. 4563)
Renungkanlah Maknanya!
Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir berkata bahwa maksud “hasbunallah” ialah Allah-lah yang mencukupi segala urusan mereka. Sedangkan “al wakiil“, kata Al Faro’ berarti orang yang mencukupi. Demikian pula kata Ibnul Qosim. Sedangkan Ibnu Qutaibah berkata bahwa makna “al wakiil” adalah yang bertanggung jawab (yang menjamin). Al Khottobi berkata bahwa “al wakiil” adalah yang bertanggung jawab memberi rizki dan berbagai maslahat bagi hamba.
Dalam tafsir Al Jalalain disebutkan makna dzikir di atas ialah Allah-lah yang mencukupi urusan mereka dan Allah-lah sebaik-baik tempat bersandar dalam segala urusan.
Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya memaparkan, “Maksud ‘hasbunallah‘ adalah Allah-lah yang mencukupi urusan mereka dan ‘ni’mal wakiil’ adalah Allah-lah sebaik-baik tempat bersandar segala urusan hamba dan yang mendatangkan maslahat.”
Syaikh Al Imam Al ‘Arif rahimahullah berkata bahwa dalam hadits di atas adalah isyarat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada para sahabatnya agar mereka rujuk (kembali) pada Allah Ta’ala, bersandar pada-Nya, sadar bahwa tidak ada daya dan kekuatan melainkan dari-Nya. … Kalimat “hasbunallah” adalah tanda bahwa hamba benar-benar butuh pada Allah dan itu sudah amat pasti. Lalu tidak ada keselamatan kecuali dari dan dengan pertolongan Allah. Tidak ada tempat berlari kecuali pada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ
“Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. ” (QS. Adz Dzariyat: 50) (Bahrul Fawaid karya Al Kalabadzi)
Allah-lah Yang Mencukupi
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3). Al Qurtubhi rahimahullah menjelaskan pula tentang surat Ath Tholaq ayat 3 dengan mengatakan, “Barangsiapa yang menyandarkan dirinya pada Allah, maka Allah akan beri kecukupan pada urusannya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa menyandarkan diri pada sesuatu, maka hatinya akan dipasrahkan padanya” (HR. Tirmidzi no. 2072, hadits ini hasan kata Syaikh Al Albani). Artinya di sini, barangsiapa yang menjadikan makhluk sebagai sandaran hatinya, maka Allah akan membuat makhluk tersebut jadi sandarannya. Maksudnya, urusannya akan sulit dijalani. Hati seharusnya bergantung pada Allah, bukan pada makhluk. Jika Allah menjadi sandaran hati, tentu urusan akan semakin mudah.
Ya Allah … Engkau-lah yang mencukupi segala urusan kami, yang tahu manakah yang maslahat dan yang mengatur segala rizki kami.
Hasbunallah wa ni’mal wakiil.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 21 Dzulqo’dah 1432 H (19/10/2011)
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/hasbunallah-wa-nimal-wakiil.html
Wednesday, January 18, 2012
Calon Penghuni Surga
Suatu hari, Fatimah az-Zahra ra datang menemui Rasulullah SAW dan menanyakan tentang sosok perempuan yang menjadi calon penghuni surga. Melihat kedatangan Fatimah, Rasul pun menyambutnya dengan gembira. “Ada apakah gerangan putriku sehingga datang menemuiku?” tanya Rasul SAW. “Wahai ayahanda, siapakah calon penghuni surga?” tanya Fatimah. Sambil tersenyum, Rasul menjawab, “Calon penghuni surga itu adalah Mutiah.”
Mendengar jawaban Rasul itu, Fatimah pun sedih. Namun, Rasul segera menghiburnya dan mengabarkan bahwa putrinya itu akan selalu bersamanya di surga nanti. Mendengar hal itu, bergembiralah Fatimah. Namun, ia penasaran dengan jawaban Rasulullah SAW tentang Mutiah yang akan menjadi calon penghuni surga. Gerangan apakah yang membuat Mutiah layak mendapatkan kehormatan itu.
Suatu hari, Fatimah bersama Hasan, putranya, datang berkunjung ke rumah Mutiah. Dari balik pintu, Fatimah memberi salam dan dijawab oleh Mutiah. Lalu, Mutiah bertanya, “Siapakah itu?” Fatimah menjawab; “Saya, Fatimah bersama anak saya, Hasan.” Mendengar hal itu, Mutiah pun senang. “Alangkah senangnya menerima kedatangan putri dari seorang yang mulia,” jawab Mutiah. “Tapi mohon maaf, bisakah Anda datang besok karena saya belum dapat izin dari suami saya untuk menerima Hasan,” tambah Mutiah.
Dengan heran, Fatimah pun bertanya, “Bukankah Hasan anak kecil?” “Iya, tapi dia laki-laki dan saya belum dapat izin dari suami,” kata Mutiah. Atas hal itu, Fatimah pun memakluminya dan berjanji akan datang besok pagi.
Keesokan harinya, Fatimah datang lagi ke rumah Mutiah. Kali ini, dia bersama Hasan dan Husein. Namun, jawaban yang sama disampaikan Mutiah karena dia hanya mendapatkan izin untuk menerima Fatimah dan Hasan, tapi tidak untuk Husein. Lalu, Fatimah kembali pulang ke rumahnya dan berjanji akan datang lagi besok.
Esok harinya, Fatimah datang lagi bersama Hasan dan Husein. Setelah memberi salam dan menyampaikan kedatangannya bersama kedua anaknya, Mutiah pun menyambutnya dengan penuh gembira. Mutiah menyampaikan permohonan maaf atas sikapnya dua hari terakhir yang menolak kedatangan Fatimah ke rumahnya disebabkan belum adanya izin dari sang suami. Atas hal ini, Fatimah pun memakluminya.
Selama di rumah Mutiah, Fatimah tak menemukan suatu ibadah yang menunjukkan Mutiah layak mendapat kehormatan sebagai calon penghuni surga. Fatimah melihat sebuah cambuk di atas meja. Ia pun menanyakan hal itu kepada Mutiah. “Cambuk itu selalu aku letakkan di sisi suamiku,” ujar Mutiah. “Apakah suami suka memukulmu?” tanya Fatimah.
Mutiah menjawab bahwa suaminya adalah seseorang yang sangat sayang kepada dirinya. Lalu, mengapa cambuk itu diberikan kepada suaminya? “Saya memberikan cambuk itu padanya agar apabila dia melihat sesuatu yang salah dan kurang dari pelayanan yang kuberikan, dia bisa memukulku. Alhamdulillah, selama ini suamiku belum pernah mempergunakannya untuk mencambuk diriku,” jawab Mutiah.
Fatimah pun kagum akan kesetiaan dan kehormatan yang senantiasa dijaga oleh Mutiah bila suaminya sedang tidak berada di rumah. Karena itu, pantaslah Mutiah mendapat predikat calon penghuni surga. Wallahu a’lam.
Oleh Syahruddin El-Fikri
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/01/17/lxxipd-calon-penghuni-surga
Mendengar jawaban Rasul itu, Fatimah pun sedih. Namun, Rasul segera menghiburnya dan mengabarkan bahwa putrinya itu akan selalu bersamanya di surga nanti. Mendengar hal itu, bergembiralah Fatimah. Namun, ia penasaran dengan jawaban Rasulullah SAW tentang Mutiah yang akan menjadi calon penghuni surga. Gerangan apakah yang membuat Mutiah layak mendapatkan kehormatan itu.
Suatu hari, Fatimah bersama Hasan, putranya, datang berkunjung ke rumah Mutiah. Dari balik pintu, Fatimah memberi salam dan dijawab oleh Mutiah. Lalu, Mutiah bertanya, “Siapakah itu?” Fatimah menjawab; “Saya, Fatimah bersama anak saya, Hasan.” Mendengar hal itu, Mutiah pun senang. “Alangkah senangnya menerima kedatangan putri dari seorang yang mulia,” jawab Mutiah. “Tapi mohon maaf, bisakah Anda datang besok karena saya belum dapat izin dari suami saya untuk menerima Hasan,” tambah Mutiah.
Dengan heran, Fatimah pun bertanya, “Bukankah Hasan anak kecil?” “Iya, tapi dia laki-laki dan saya belum dapat izin dari suami,” kata Mutiah. Atas hal itu, Fatimah pun memakluminya dan berjanji akan datang besok pagi.
Keesokan harinya, Fatimah datang lagi ke rumah Mutiah. Kali ini, dia bersama Hasan dan Husein. Namun, jawaban yang sama disampaikan Mutiah karena dia hanya mendapatkan izin untuk menerima Fatimah dan Hasan, tapi tidak untuk Husein. Lalu, Fatimah kembali pulang ke rumahnya dan berjanji akan datang lagi besok.
Esok harinya, Fatimah datang lagi bersama Hasan dan Husein. Setelah memberi salam dan menyampaikan kedatangannya bersama kedua anaknya, Mutiah pun menyambutnya dengan penuh gembira. Mutiah menyampaikan permohonan maaf atas sikapnya dua hari terakhir yang menolak kedatangan Fatimah ke rumahnya disebabkan belum adanya izin dari sang suami. Atas hal ini, Fatimah pun memakluminya.
Selama di rumah Mutiah, Fatimah tak menemukan suatu ibadah yang menunjukkan Mutiah layak mendapat kehormatan sebagai calon penghuni surga. Fatimah melihat sebuah cambuk di atas meja. Ia pun menanyakan hal itu kepada Mutiah. “Cambuk itu selalu aku letakkan di sisi suamiku,” ujar Mutiah. “Apakah suami suka memukulmu?” tanya Fatimah.
Mutiah menjawab bahwa suaminya adalah seseorang yang sangat sayang kepada dirinya. Lalu, mengapa cambuk itu diberikan kepada suaminya? “Saya memberikan cambuk itu padanya agar apabila dia melihat sesuatu yang salah dan kurang dari pelayanan yang kuberikan, dia bisa memukulku. Alhamdulillah, selama ini suamiku belum pernah mempergunakannya untuk mencambuk diriku,” jawab Mutiah.
Fatimah pun kagum akan kesetiaan dan kehormatan yang senantiasa dijaga oleh Mutiah bila suaminya sedang tidak berada di rumah. Karena itu, pantaslah Mutiah mendapat predikat calon penghuni surga. Wallahu a’lam.
Oleh Syahruddin El-Fikri
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/01/17/lxxipd-calon-penghuni-surga
Tuesday, January 17, 2012
Ia Datang Bukan untuk Bertanya
KETIKA RASULULLAH SAW menceritakan kisah perjalanannya yang ajaib dalam peristiwa Isra Miraj kepada kaumnya, yang terdiri dari orang-orang Quraisy, penduduk Mekkah terpecah menjadi tiga golongan.
Sebagian besar adalah orang-orang kafir yang makin tidak percaya kepada Muhammad saw. Bahkan menganggapnya gila. Golongan kedua adalah orang-orang yang tadinya beriman, tetapi kemudian murtad begitu mendengar Nabi bercerita yang bukan-bukan dan tidak masuk akal sama sekali. Hanya sebagian besar saja makin kuat imannya. Antara lain sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq. Bahkan, jika ada yang bertanya kepadanya apakah Abu Bakar mempercayai keterangan Muhammad yang mustahil itu, sahabat tersebut itu menjawab, “Lebih dari itu pun, kalau yang bercerita Muhammad, aku pasti percaya!” Tegas. Tak ada keraguan.
Akibat keadaan yang menyedihkan itu, Nabi dengan sedih tertunduk di depan Kabah sambil terus memikirkan kaumnya yang keras kepala. Ia sangat kasihan kepada mereka. Bagaimana nasib-nasib orang-orang kafir itu di akhirat kelak kalau terus-terusan membangkang kepada kebenaran Allah swt?
Tiba-tiba datanglah salah seorang pemuka Quraisy, anak muda yang berbadan tinggi besar serta tegap. Seraya menghardik dengan suara keras, ia bertanya kepada Nabi, “Aku dengar kau baru terbang ke langit, hai Muhammad?”
Nabi mendongak. Ia tersenyum ramah. “Tidak. Aku baru saja diperjalankan oleh Allah untuk menghadap ke hadirat-Nya.”
“Pokoknya kau mengaku terbang ke langit bukan?” desak orang musyrik itu. “Coba sekarang aku ingin melihat buktinya....”
Nabi mengernyitkan dahinya. “Apa maksudmu?” tanyanya.
Orang itu bersikap makin menjengkelkan. Ia berkata dengan nada yang penuh hardikan, “Berdirilah kau, Muhammad!”
Nabi menurut. Ia pun berdiri sebab Nabi adalah pemimpin yang sangat sabar dan tasamuh, penuh toleransi kepada siapa saja.
“Angkat sebelah kakimu, yang kanan!” perintah pemuda jagoan itu dengan kasar dan sangat kurang ajarnya.
Nabi tetap menurut. Diangkatnya kakinya yang kanan.
“Sekarang angkat pula kakinya yang kiri. Yang kanan, jangan diturunkan...” lanjut si kafir itu.
Nabi menarik nafas panjang di dadanya. Ia berkata dengan rendah hati, “Bila kuangkat pula kaki yang kiri, sedangkan yang kanan masih di atas, aku bakal jatuh terguling...”
“Ha ha ha ha,” si pemuda tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dengan suara yang keras dan penuh dengan nada puas serta kemenangan.
“Apa yang lucu? Kenapa kau tertawa?” tanya Nabi keheranan.
“Ha ha ha Muhammad. Inilah buktinya bahwa engkau pembohong. Tukang bual yang besar mulut. Mengangkat dua kaki dari atas tanah satu jengkal saja tidak mampu. Apalagi terbang ke langit... ha ha ha ha ha.....”
Nabi masih saja tetap tenang. Ia memandangi saja pada pemuda itu kemudian ia berkata, “Barangkali kalau kau ingin bukti lebih lanjut, datangilah sahabatku Ali bin Abi Thalib. Dia masih muda dan sebaya denganmu. Mungkin dia bisa menerangkan yang cocok dengan keinginanmu tentang perjalanan Isra Miraj-ku...”
Si pemuda mengangguk-angguk kepalanya. “Hmmm, baik. Aku akan datangi dia!” ujarnya.
Maka dicarilah sahabat Ali oleh orang musyrik yang sombong dan kasar itu. Waktu itu, Ali sedang berkumpul bersama beberapa sahabat lainnya. Orang kafir itu memanggil Ali, dan Ali mendekatinya.
“Ada perlu apa kaupanggil aku, ha?” tanya Ali.
“Begini,” jawab si pemuda kafir itu dengan sombong, “Aku baru saja mendatangi saudaramu yang gila, si Muhammad itu. Aku tanya, apakah betul dia baru terbang ke langit. Dia menjawab betul. Kusuruh buktikan dia dengan cara mengangkat kedua kakinya bersama-sama, satu jengkal saja dari atas tanah, tetapi dia menjawab tidak bisa. Nah, aku ejek dia, aku tertawakan dia seketika saking lucunya, karena ia nyata-nyata berbohong kan? Nah, ia menyuruhku untuk datang kepadamu. Katanya, kau Ali, dapat menjelaskan peristiwa Isra Miraj kepadaku lebih terang dan jelas lagi. Karena engkau seusia denganku. Apakah itu benar?”
Ali mendelik. Sekian detik ketika ia mendengar perkataan orang di hadapannya, ia mendengus. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun ia dengan sebat hampir tidak kelihatan oleh mata, ia mencabut pedangnya. Orang kafir itu kebingungan. “Kenapa kau cabut pedangmu?”
Sambil berkata seperti itu, ia pun dengan begitu saja hendak mengeluarkan goloknya. Namun, gerakannya tidak cukup cepat dibandingkan dengan sebatan pedang Ali. WUSSHHHHHH!!!! Sekali gerak, Ali mengarahkan pedangnya ke leher orang kafir itu. Darah memuncrat. Sejenak kemudian si Pemuda itu terkapar. Ali mengelap-elap pedangnya yang bersimbah darah.
Para sahabat yang menyaksikan peristiwa itu cepat-cepat mendatangi Ali bin Abi Thalib dengan cemas dan keheranan. Mereka menegur dengan keras, “Hai, anak Abi Thalib, alangkah gegabahnya kau. Kejam dan tak berprikemanusiaan. Bukankah Rasulullah menyuruhmu menerangkan kepadanya tentang peristiwa Isra Miraj, bukan untuk membunuhnya?”
Ali melirik ke arah mereka. Dengan tenang, ia mengacungkan pedangnya tegas ke arah mayat yang masih membujur bersimbah darah itu, “Dia ini, Rasulullah sendiri yang bercerita, orang kafir ini tidak percaya. Malah menghina dan mengejeknya. Padahal Rasulullah yang mengalami peristiwa itu sendiri, berarti keterangan beliau lebih jelas dan gamblang daripadaku. Tutur kata beliau juga halus dan sopan dibandingkan dengan diriku. Ceritanya lebih terperinci karena beliaulah yang mengetahui rahasia Isra Miraj dengan pasti. Apalagi kalau sekadar Ali bin Abi Thalib yang bercerita, tak bakal dia percaya. Kedatangannya bukan hanya ingin bertanya mencari tahu. Ia hanya ingin mengejek dan menghina keimanan kita. Maka satu-satunya jalan agar dia percaya, mati dulu baru dia tahu terhadap perkara-perkara yang ghaib selama ini!!!!”
Para sahabat akhirnya mengangguk-angguk menyetujui pendirian Ali Bin Thalib karena agama memang merupakan pegangan hidup yang tidak layak dijadikan sebagai bahan pergunjingan atau ejekan.
Oleh Saad Saefullah
(Peri Hidup Nabi dan Para Sahabat; Saad Saefullah)
http://www.eramuslim.com/oase-iman/saad-saefullah-ia-datang-bukan-untuk-bertanya.htm
Sebagian besar adalah orang-orang kafir yang makin tidak percaya kepada Muhammad saw. Bahkan menganggapnya gila. Golongan kedua adalah orang-orang yang tadinya beriman, tetapi kemudian murtad begitu mendengar Nabi bercerita yang bukan-bukan dan tidak masuk akal sama sekali. Hanya sebagian besar saja makin kuat imannya. Antara lain sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq. Bahkan, jika ada yang bertanya kepadanya apakah Abu Bakar mempercayai keterangan Muhammad yang mustahil itu, sahabat tersebut itu menjawab, “Lebih dari itu pun, kalau yang bercerita Muhammad, aku pasti percaya!” Tegas. Tak ada keraguan.
Akibat keadaan yang menyedihkan itu, Nabi dengan sedih tertunduk di depan Kabah sambil terus memikirkan kaumnya yang keras kepala. Ia sangat kasihan kepada mereka. Bagaimana nasib-nasib orang-orang kafir itu di akhirat kelak kalau terus-terusan membangkang kepada kebenaran Allah swt?
Tiba-tiba datanglah salah seorang pemuka Quraisy, anak muda yang berbadan tinggi besar serta tegap. Seraya menghardik dengan suara keras, ia bertanya kepada Nabi, “Aku dengar kau baru terbang ke langit, hai Muhammad?”
Nabi mendongak. Ia tersenyum ramah. “Tidak. Aku baru saja diperjalankan oleh Allah untuk menghadap ke hadirat-Nya.”
“Pokoknya kau mengaku terbang ke langit bukan?” desak orang musyrik itu. “Coba sekarang aku ingin melihat buktinya....”
Nabi mengernyitkan dahinya. “Apa maksudmu?” tanyanya.
Orang itu bersikap makin menjengkelkan. Ia berkata dengan nada yang penuh hardikan, “Berdirilah kau, Muhammad!”
Nabi menurut. Ia pun berdiri sebab Nabi adalah pemimpin yang sangat sabar dan tasamuh, penuh toleransi kepada siapa saja.
“Angkat sebelah kakimu, yang kanan!” perintah pemuda jagoan itu dengan kasar dan sangat kurang ajarnya.
Nabi tetap menurut. Diangkatnya kakinya yang kanan.
“Sekarang angkat pula kakinya yang kiri. Yang kanan, jangan diturunkan...” lanjut si kafir itu.
Nabi menarik nafas panjang di dadanya. Ia berkata dengan rendah hati, “Bila kuangkat pula kaki yang kiri, sedangkan yang kanan masih di atas, aku bakal jatuh terguling...”
“Ha ha ha ha,” si pemuda tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dengan suara yang keras dan penuh dengan nada puas serta kemenangan.
“Apa yang lucu? Kenapa kau tertawa?” tanya Nabi keheranan.
“Ha ha ha Muhammad. Inilah buktinya bahwa engkau pembohong. Tukang bual yang besar mulut. Mengangkat dua kaki dari atas tanah satu jengkal saja tidak mampu. Apalagi terbang ke langit... ha ha ha ha ha.....”
Nabi masih saja tetap tenang. Ia memandangi saja pada pemuda itu kemudian ia berkata, “Barangkali kalau kau ingin bukti lebih lanjut, datangilah sahabatku Ali bin Abi Thalib. Dia masih muda dan sebaya denganmu. Mungkin dia bisa menerangkan yang cocok dengan keinginanmu tentang perjalanan Isra Miraj-ku...”
Si pemuda mengangguk-angguk kepalanya. “Hmmm, baik. Aku akan datangi dia!” ujarnya.
Maka dicarilah sahabat Ali oleh orang musyrik yang sombong dan kasar itu. Waktu itu, Ali sedang berkumpul bersama beberapa sahabat lainnya. Orang kafir itu memanggil Ali, dan Ali mendekatinya.
“Ada perlu apa kaupanggil aku, ha?” tanya Ali.
“Begini,” jawab si pemuda kafir itu dengan sombong, “Aku baru saja mendatangi saudaramu yang gila, si Muhammad itu. Aku tanya, apakah betul dia baru terbang ke langit. Dia menjawab betul. Kusuruh buktikan dia dengan cara mengangkat kedua kakinya bersama-sama, satu jengkal saja dari atas tanah, tetapi dia menjawab tidak bisa. Nah, aku ejek dia, aku tertawakan dia seketika saking lucunya, karena ia nyata-nyata berbohong kan? Nah, ia menyuruhku untuk datang kepadamu. Katanya, kau Ali, dapat menjelaskan peristiwa Isra Miraj kepadaku lebih terang dan jelas lagi. Karena engkau seusia denganku. Apakah itu benar?”
Ali mendelik. Sekian detik ketika ia mendengar perkataan orang di hadapannya, ia mendengus. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun ia dengan sebat hampir tidak kelihatan oleh mata, ia mencabut pedangnya. Orang kafir itu kebingungan. “Kenapa kau cabut pedangmu?”
Sambil berkata seperti itu, ia pun dengan begitu saja hendak mengeluarkan goloknya. Namun, gerakannya tidak cukup cepat dibandingkan dengan sebatan pedang Ali. WUSSHHHHHH!!!! Sekali gerak, Ali mengarahkan pedangnya ke leher orang kafir itu. Darah memuncrat. Sejenak kemudian si Pemuda itu terkapar. Ali mengelap-elap pedangnya yang bersimbah darah.
Para sahabat yang menyaksikan peristiwa itu cepat-cepat mendatangi Ali bin Abi Thalib dengan cemas dan keheranan. Mereka menegur dengan keras, “Hai, anak Abi Thalib, alangkah gegabahnya kau. Kejam dan tak berprikemanusiaan. Bukankah Rasulullah menyuruhmu menerangkan kepadanya tentang peristiwa Isra Miraj, bukan untuk membunuhnya?”
Ali melirik ke arah mereka. Dengan tenang, ia mengacungkan pedangnya tegas ke arah mayat yang masih membujur bersimbah darah itu, “Dia ini, Rasulullah sendiri yang bercerita, orang kafir ini tidak percaya. Malah menghina dan mengejeknya. Padahal Rasulullah yang mengalami peristiwa itu sendiri, berarti keterangan beliau lebih jelas dan gamblang daripadaku. Tutur kata beliau juga halus dan sopan dibandingkan dengan diriku. Ceritanya lebih terperinci karena beliaulah yang mengetahui rahasia Isra Miraj dengan pasti. Apalagi kalau sekadar Ali bin Abi Thalib yang bercerita, tak bakal dia percaya. Kedatangannya bukan hanya ingin bertanya mencari tahu. Ia hanya ingin mengejek dan menghina keimanan kita. Maka satu-satunya jalan agar dia percaya, mati dulu baru dia tahu terhadap perkara-perkara yang ghaib selama ini!!!!”
Para sahabat akhirnya mengangguk-angguk menyetujui pendirian Ali Bin Thalib karena agama memang merupakan pegangan hidup yang tidak layak dijadikan sebagai bahan pergunjingan atau ejekan.
Oleh Saad Saefullah
(Peri Hidup Nabi dan Para Sahabat; Saad Saefullah)
http://www.eramuslim.com/oase-iman/saad-saefullah-ia-datang-bukan-untuk-bertanya.htm
Babi di dalam Rokok
JAKARTA (Arrahmah.com) – Pada Mei 2010 Majelis Ulama Indonesia(MUI) memberikan penjelasan perihal rokok impor dan lokal yang beredar di Indonesia. Rokok yang beredar dipasaran dalam negeri menurut MUI terbebas dari Haemoglobin babi.
Apa yang dilakukan MUI, terkait hebohnya penemuan haemoglobin babi pada filter rokok setelah dilakukan penelitian oleh peneliti dari Eindhoven, Belanda, Christien Meinderstma, bersama Profesor Kesehatan Masyarakat dari University Of Sidney, Simon Chapman.
Profesor Simon Chapman dari University of Sydney mengatakan, penelitian di Belanda baru-baru mengidentifikasi 185 produk menggunakan berbagai unsur yang berbeda dari babi – termasuk penggunaan hemoglobin dalam filter rokok. “Komunitas Islam dan Yahudi tentu menganggap masalah ini sangat serius, termasuk kaum vegetarian,” kata Simon Chapman dari Universitas Sydney. Muslim dan Yahudi keduanya memiliki ajaran melarang konsumsi daging babi.
Hasil studi yang dilakukan, hemoglobin babi, protein darah, digunakan dalam rokok untuk membuat filter lebih efektif berfungsi sebagai perangkap bahan kimia berbahaya sebelum asap rokok masuk ke paru-paru seorang perokok. Chapman mengatakan bahwa tidak ada cara untuk mengetahui dengan pasti merek mana yang menggunakan hemoglobin babi.
MUI sendiri belum dapat memastikan apakah semua rokok impor yang berada di Indonesia sudah diteliti.
“Kami tidak paham, apakah sampling yang kami lakukan terhadap rokok impor, sudah mewakili seluruh rokok impor yang ada di Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lukmanul Hakim.
Ketidak pastian, apakah rokok yang beredar dipasaran sepenuhnya terbebas dari haemogobin babi merupakan bencana bagi kaum muslimin. Sebab keberadaan darah babi pada rokok jelas-jelas akan menyebabkan rokok menjadi haram hukumnya, dan tidak akan ada yang mempersoalkan tersebut. Dan kita ketahui, fatwa haram yang dikeluarkan sebagian besar ulama Islam international dan nasional tidak menyurutkan orang-orang yang sudah kecanduan untuk mengkonsumsi rokok.
Meskipun, isu tersebut sudah 2 tahun ini beredar, tapi ada baiknya umat Islam tetap waspada dan berhati-hati dengan meninggalkan sepenuhnya kebiasaan merokok bagi yang masih mengkonsumsi.
Karena, meninggalkan rokok tidak ada ruginya bagi orang tersebut. Bahkan, malah menciptakan kondisi kesehatan lebih baik dan berkualitas serta pengeluaran yang semakin hemat.(bilal/arrahmah.com)
Read more: http://arrahmah.com/read/2012/01/16/17445-babi-di-dalam-rokok.html#ixzz1jg8Em2qB
Apa yang dilakukan MUI, terkait hebohnya penemuan haemoglobin babi pada filter rokok setelah dilakukan penelitian oleh peneliti dari Eindhoven, Belanda, Christien Meinderstma, bersama Profesor Kesehatan Masyarakat dari University Of Sidney, Simon Chapman.
Profesor Simon Chapman dari University of Sydney mengatakan, penelitian di Belanda baru-baru mengidentifikasi 185 produk menggunakan berbagai unsur yang berbeda dari babi – termasuk penggunaan hemoglobin dalam filter rokok. “Komunitas Islam dan Yahudi tentu menganggap masalah ini sangat serius, termasuk kaum vegetarian,” kata Simon Chapman dari Universitas Sydney. Muslim dan Yahudi keduanya memiliki ajaran melarang konsumsi daging babi.
Hasil studi yang dilakukan, hemoglobin babi, protein darah, digunakan dalam rokok untuk membuat filter lebih efektif berfungsi sebagai perangkap bahan kimia berbahaya sebelum asap rokok masuk ke paru-paru seorang perokok. Chapman mengatakan bahwa tidak ada cara untuk mengetahui dengan pasti merek mana yang menggunakan hemoglobin babi.
MUI sendiri belum dapat memastikan apakah semua rokok impor yang berada di Indonesia sudah diteliti.
“Kami tidak paham, apakah sampling yang kami lakukan terhadap rokok impor, sudah mewakili seluruh rokok impor yang ada di Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lukmanul Hakim.
Ketidak pastian, apakah rokok yang beredar dipasaran sepenuhnya terbebas dari haemogobin babi merupakan bencana bagi kaum muslimin. Sebab keberadaan darah babi pada rokok jelas-jelas akan menyebabkan rokok menjadi haram hukumnya, dan tidak akan ada yang mempersoalkan tersebut. Dan kita ketahui, fatwa haram yang dikeluarkan sebagian besar ulama Islam international dan nasional tidak menyurutkan orang-orang yang sudah kecanduan untuk mengkonsumsi rokok.
Meskipun, isu tersebut sudah 2 tahun ini beredar, tapi ada baiknya umat Islam tetap waspada dan berhati-hati dengan meninggalkan sepenuhnya kebiasaan merokok bagi yang masih mengkonsumsi.
Karena, meninggalkan rokok tidak ada ruginya bagi orang tersebut. Bahkan, malah menciptakan kondisi kesehatan lebih baik dan berkualitas serta pengeluaran yang semakin hemat.(bilal/arrahmah.com)
Read more: http://arrahmah.com/read/2012/01/16/17445-babi-di-dalam-rokok.html#ixzz1jg8Em2qB
Kelembutan Hati
Ada seorang syekh melihat seorang anak berwudhu di tepi sungai sambil menangis. Syekh tersebut bertanya, “Wahai anakku, mengapa engkau menangis?”
Anak tersebut menjawab, “Saya membaca ayat Alquran, hingga sampai ayat: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS At-Tahrim [66]: 6). "Saya takut, jangan-jangan Allah memasukkan saya ke neraka.”
Syekh tersebut berkata, “Wahai anak kecil, kamu tidak akan disiksa, karena kamu belum baligh. Jangan merasa takut, kamu tidak berhak memasuki neraka.”
Anak kecil tersebut menjawab, “Wahai syekh, engkau adalah orang yang pandai, tidakkah syekh tahu bahwa seorang yang menyalakan api untuk satu keperluannya itu memulai dengan kayu-kayu yang kecil baru kemudian yang besar.”
Seraya menangis syekh tiersebut berkata dalam hat, “Anak ini lebih takut kepada neraka daripada saya.”
Itulah gambaran kelembutan hati seseorang yang dibingkai dengan iman. Seorang yang betul-betul beriman dan senantiasa bertambah keimanannya akan semakin peka dan mudah merasai sesuatu, karena semua perkara akan dilihat dari kehendak-kehendak Allah, bukan dari kehendak-kehendaknya.
Seorang yang beriman kepada Allah pasti akan sedih apabila tidak dapat bersedekah karena tidak memiliki harta, akan takut apabila azab akan menimpa dirinya sewaktu-waktu, akan bersedih bila tidak mampu membantu orang-orang yang susah, akan meneteskan air mata kesedihan apabila melihat anak-anak yang terlantar, akan harap apabila nanti dimasukkan ke dalam surga, akan gembira apabila imannya terus kekal hingga ke penghujung usia, dan begitu seterusnya.
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Demi Allah, seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kamu akan sedikit tertawa dan akan banyak menangis.” (HR Tirmidzi).
Seorang Tabi’in pernah berkata, “Siapa diberi ilmu dan tidak membuatnya menangis maka lebih baik baginya untuk tidak diberi ilmu, kerana Allah telah menerangkan bahwa sifat orang yang berilmu itu adalah menangis.” (HR Ad-Daraami).
Oleh karena itu, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa orang yang takut kepada Allah (karena kelembutan hatinya) adalah orang-orang yang berilmu, sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama (orang-orang yang berilmu).” (QS Fathir [35]: 28). Wallahu a’lam.
Oleh H Imam Nur Suharno MPdI
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/01/16/lxuo3z-kelembutan-hati
Anak tersebut menjawab, “Saya membaca ayat Alquran, hingga sampai ayat: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS At-Tahrim [66]: 6). "Saya takut, jangan-jangan Allah memasukkan saya ke neraka.”
Syekh tersebut berkata, “Wahai anak kecil, kamu tidak akan disiksa, karena kamu belum baligh. Jangan merasa takut, kamu tidak berhak memasuki neraka.”
Anak kecil tersebut menjawab, “Wahai syekh, engkau adalah orang yang pandai, tidakkah syekh tahu bahwa seorang yang menyalakan api untuk satu keperluannya itu memulai dengan kayu-kayu yang kecil baru kemudian yang besar.”
Seraya menangis syekh tiersebut berkata dalam hat, “Anak ini lebih takut kepada neraka daripada saya.”
Itulah gambaran kelembutan hati seseorang yang dibingkai dengan iman. Seorang yang betul-betul beriman dan senantiasa bertambah keimanannya akan semakin peka dan mudah merasai sesuatu, karena semua perkara akan dilihat dari kehendak-kehendak Allah, bukan dari kehendak-kehendaknya.
Seorang yang beriman kepada Allah pasti akan sedih apabila tidak dapat bersedekah karena tidak memiliki harta, akan takut apabila azab akan menimpa dirinya sewaktu-waktu, akan bersedih bila tidak mampu membantu orang-orang yang susah, akan meneteskan air mata kesedihan apabila melihat anak-anak yang terlantar, akan harap apabila nanti dimasukkan ke dalam surga, akan gembira apabila imannya terus kekal hingga ke penghujung usia, dan begitu seterusnya.
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Demi Allah, seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kamu akan sedikit tertawa dan akan banyak menangis.” (HR Tirmidzi).
Seorang Tabi’in pernah berkata, “Siapa diberi ilmu dan tidak membuatnya menangis maka lebih baik baginya untuk tidak diberi ilmu, kerana Allah telah menerangkan bahwa sifat orang yang berilmu itu adalah menangis.” (HR Ad-Daraami).
Oleh karena itu, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa orang yang takut kepada Allah (karena kelembutan hatinya) adalah orang-orang yang berilmu, sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama (orang-orang yang berilmu).” (QS Fathir [35]: 28). Wallahu a’lam.
Oleh H Imam Nur Suharno MPdI
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/01/16/lxuo3z-kelembutan-hati
Monday, January 16, 2012
"Tutupilah Kakinya dengan Daun-Daun Azkhar!"
Menjadi seorang pemuda tampan, kaya raya dengan asesoris serba mahal, parfum paling semerbak dan banyak memiliki fans adalah impian hampir semua anak zaman sekarang. Sahabat Nabi SAW yang satu ini demikianlah halnya. Sebelum masuk islam dia adalah pujaan hati semua wanita di kota Mekkah dan impian hati para orang tua untuk menjadi mertuanya. Dibesarkan oleh keluarga yang kaya-raya dan diperlakukan dengan istimewa. Mengenakan pakaian seharga 200 dirham sudah sering ia dapatkan.
Namanya Mus’ab bin Umair r.a, telah masuk islam dari awal tapi tidak diketahui oleh orang tuanya. Ketika orang tuanya mengetahui maka ia mendapatkan perlakuan yang kasar dan diikat di dalam rumah supaya tidak kabur. Ketika ada seruan untuk hijrah ke Habsyah ia mendapat kesempatan meloloskan diri lalu ikut hijrah ke Habsyah bersama Ja’far bin Abi Thalib r.a dan rombongan yang lain. Sekembalinya dari Habsyah Rasulullah SAW menyuruh Mus’ab bin Umair r.a sebagai Duta pertama yang mendakwahkan Islam di kota Yatsrib. Di Madinah ia mendapatkan sambutan yang baik dan ia mendapat Sahabat Muaz bin Jabal r.a sebagai saudaranya.
Pada suatu hari Rasulullah SAW dan para sahabat sedang membuat suatu majelis, kemudian berlalu di hadapan mereka seseorang dengan pakaian yang banyak bertambal. Bahkan ada bagian baju yang sobek dan ditembel dengan kulit hewan. Tak terasa air mata Rasulullah SAW yang mulia menetes. Masih segar dalam ingatan mereka bahwa itu adalah pemuda dari keluarga kaya raya. Hidup tidak pernah kekurangan apalagi kesusahan. Makan dari menu yang lezat dan terjamin harganya. Senantiasa menjadi buah bibir di lisan wanita wanita kota Mekkah. Kini Islam telah merenggut assesoris dunia penuh kemewahan yang pernah disandang.
Mus’ab bin Umair lebih memilih duduk bersama majelis Rasulullah, kadang kepanasan kadang kehujanan dari pada duduk di rumah megahnya di Mekkah dengan dikelilingi makanan enak, musik mengalun dan dilayani budak budak pilihan. Ia lebih nikmat dengan perut yang sering keroncongan karena jarang makan tapi khusyu beribadah di masjid bersama Nabi SAW. Malam-malam yang biasanya dilalui dengan berkumpul bersama kaum kerabat sambil bercanda ria kini dilalui dengan linangan airmata di sujudnya dengan dzikir dan doa yang panjang.
Mus’ab bin Umair r.a sesungguhnya telah meretas jalan yang dulu pernah dilalui para Nabi Allah. Bila perjalanan ke akhirat ibarat sebuah gerbong kereta api maka hanya dengan menumpang kereta api itu kita akan sampai di stasiun yang dituju. Sekalipun kita ada di gerbong yang terakhir atau hanya bergelayutan di pegangan pintu maka kita yakin bahwa kita akan sampai di stasiun yang kita tuju. Tapi meskipun kita ada di gerbong mewah dan serba nyaman, kalau kita menggunakan kereta yang lain maka kita tidak akan pernah sampai di stasiun yang sebenarnya.
Ketika panggilan jihad Uhud dikumandangkan Mus’ab bin Umair termasuk dalam barisan yang pertama. Bahkan Ia mendapat kehormatan sebagai pemegang utama bendera Islam. Ketika pasukan Islam terdesak dan ada sebagian yang mundur maka Mus’ab bin Umair r.a tetap kokoh memegang panji Islam dengan erat sambil berdiri tak goyang dari tempatnya. Musuh-musuh pun makin gencar melakukan serangan apalagi setelah pasukan Khalid bin Walid (waktu itu belum masuk Islam) berhasil menguasi bukit tempat pasukan panah melakukan serangan. Pasukan islam banyak yang lepas dari koordinasi, tidak rapi seperti awalnya. Saat itu seorang musuh mengayunkan pedangnya dan memutus tangan kanan Mus’ab bin umair r.a. Mus’ab sempoyongan dan berhasil bangkit memegang panji dengan tangan kirinya. Musuh melakukan serangan lagi dan berhasil memutus tangan kiri Mus’ab. Ia terjatuh bersimbah darah tapi masih hidup. Seluruh kekuatannya dikumpulkan lagi dan berhasil memegang kembali panji islam di depan dadanya dibantu dengan sisa kedua tangan yang telah terpotong. Tak berselang lama sebuah anak panah menembus dadanya dan robohlah ia sebagai syuhada. Seorang sahabat Nabi SAW yang lain datang dan merebut kembali Panji Islam dari jasad Mus’ab bin umair r.a.
Di saat saat pemakamannya, beliau hanya memiliki sehelai kain yang tidak cukup menutupi jasadnya. Bila kepalanya ditutupi maka kakinya akan terbuka dan bila kakinya ditutupi maka kepalanya akan terbuka. Rasulullah SAW mendekati dan bersabda, ““Selimutkanlah kepalanya dengan kain itu dan tutupilah kakinya dengan daun-daun Azkhar.”
Inilah sebuah akhir kegemilangan seorang pemuda dalam menegakkan Panji Islam. Dia memang telah kehilangan kemewahan dan gemerlapnya dunia, tapi ia mendapat ganti yang jauh lebih baik, yakni syurga. Perjalanan dari pemuda yang kaya raya dan berakhir dengan hanya mempunyai pakaian yang tidak cukup menutupi jasadnya..
Subhanallah.. Yaa Allah berilah kami kekuatan untuk mencintai dan meneladani orang orang besar seperti mereka.. Aamiin
http://kisahislami.com/tutupilah-kakinya-dengan-daun-daun-azkhar/
Namanya Mus’ab bin Umair r.a, telah masuk islam dari awal tapi tidak diketahui oleh orang tuanya. Ketika orang tuanya mengetahui maka ia mendapatkan perlakuan yang kasar dan diikat di dalam rumah supaya tidak kabur. Ketika ada seruan untuk hijrah ke Habsyah ia mendapat kesempatan meloloskan diri lalu ikut hijrah ke Habsyah bersama Ja’far bin Abi Thalib r.a dan rombongan yang lain. Sekembalinya dari Habsyah Rasulullah SAW menyuruh Mus’ab bin Umair r.a sebagai Duta pertama yang mendakwahkan Islam di kota Yatsrib. Di Madinah ia mendapatkan sambutan yang baik dan ia mendapat Sahabat Muaz bin Jabal r.a sebagai saudaranya.
Pada suatu hari Rasulullah SAW dan para sahabat sedang membuat suatu majelis, kemudian berlalu di hadapan mereka seseorang dengan pakaian yang banyak bertambal. Bahkan ada bagian baju yang sobek dan ditembel dengan kulit hewan. Tak terasa air mata Rasulullah SAW yang mulia menetes. Masih segar dalam ingatan mereka bahwa itu adalah pemuda dari keluarga kaya raya. Hidup tidak pernah kekurangan apalagi kesusahan. Makan dari menu yang lezat dan terjamin harganya. Senantiasa menjadi buah bibir di lisan wanita wanita kota Mekkah. Kini Islam telah merenggut assesoris dunia penuh kemewahan yang pernah disandang.
Mus’ab bin Umair lebih memilih duduk bersama majelis Rasulullah, kadang kepanasan kadang kehujanan dari pada duduk di rumah megahnya di Mekkah dengan dikelilingi makanan enak, musik mengalun dan dilayani budak budak pilihan. Ia lebih nikmat dengan perut yang sering keroncongan karena jarang makan tapi khusyu beribadah di masjid bersama Nabi SAW. Malam-malam yang biasanya dilalui dengan berkumpul bersama kaum kerabat sambil bercanda ria kini dilalui dengan linangan airmata di sujudnya dengan dzikir dan doa yang panjang.
Mus’ab bin Umair r.a sesungguhnya telah meretas jalan yang dulu pernah dilalui para Nabi Allah. Bila perjalanan ke akhirat ibarat sebuah gerbong kereta api maka hanya dengan menumpang kereta api itu kita akan sampai di stasiun yang dituju. Sekalipun kita ada di gerbong yang terakhir atau hanya bergelayutan di pegangan pintu maka kita yakin bahwa kita akan sampai di stasiun yang kita tuju. Tapi meskipun kita ada di gerbong mewah dan serba nyaman, kalau kita menggunakan kereta yang lain maka kita tidak akan pernah sampai di stasiun yang sebenarnya.
Ketika panggilan jihad Uhud dikumandangkan Mus’ab bin Umair termasuk dalam barisan yang pertama. Bahkan Ia mendapat kehormatan sebagai pemegang utama bendera Islam. Ketika pasukan Islam terdesak dan ada sebagian yang mundur maka Mus’ab bin Umair r.a tetap kokoh memegang panji Islam dengan erat sambil berdiri tak goyang dari tempatnya. Musuh-musuh pun makin gencar melakukan serangan apalagi setelah pasukan Khalid bin Walid (waktu itu belum masuk Islam) berhasil menguasi bukit tempat pasukan panah melakukan serangan. Pasukan islam banyak yang lepas dari koordinasi, tidak rapi seperti awalnya. Saat itu seorang musuh mengayunkan pedangnya dan memutus tangan kanan Mus’ab bin umair r.a. Mus’ab sempoyongan dan berhasil bangkit memegang panji dengan tangan kirinya. Musuh melakukan serangan lagi dan berhasil memutus tangan kiri Mus’ab. Ia terjatuh bersimbah darah tapi masih hidup. Seluruh kekuatannya dikumpulkan lagi dan berhasil memegang kembali panji islam di depan dadanya dibantu dengan sisa kedua tangan yang telah terpotong. Tak berselang lama sebuah anak panah menembus dadanya dan robohlah ia sebagai syuhada. Seorang sahabat Nabi SAW yang lain datang dan merebut kembali Panji Islam dari jasad Mus’ab bin umair r.a.
Di saat saat pemakamannya, beliau hanya memiliki sehelai kain yang tidak cukup menutupi jasadnya. Bila kepalanya ditutupi maka kakinya akan terbuka dan bila kakinya ditutupi maka kepalanya akan terbuka. Rasulullah SAW mendekati dan bersabda, ““Selimutkanlah kepalanya dengan kain itu dan tutupilah kakinya dengan daun-daun Azkhar.”
Inilah sebuah akhir kegemilangan seorang pemuda dalam menegakkan Panji Islam. Dia memang telah kehilangan kemewahan dan gemerlapnya dunia, tapi ia mendapat ganti yang jauh lebih baik, yakni syurga. Perjalanan dari pemuda yang kaya raya dan berakhir dengan hanya mempunyai pakaian yang tidak cukup menutupi jasadnya..
Subhanallah.. Yaa Allah berilah kami kekuatan untuk mencintai dan meneladani orang orang besar seperti mereka.. Aamiin
http://kisahislami.com/tutupilah-kakinya-dengan-daun-daun-azkhar/
Kekayaan Hakiki
Khubeib bin Adi RA berkata, “Kami sedang berada di suatu majelis, tiba-tiba Rasulullah SAW datang dan di kepalanya terdapat bekas air.” Sebagian dari kami berkata, “Kami melihat engkau berjiwa tenang.” Beliau mejawab, “Ya, Alhamdulillah.” Kemudian orang-orang berdiskusi panjang lebar tentang hakikat kekayaan. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Tidak mengapa kekayaan itu bagi orang bertakwa dan kesehatan bagi orang bertakwa lebih baik dari kekayaan, sedangkan kenyamanan dan kekayaan jiwa termasuk dalam kenikmatan.” (HR Ibnu Majah).
Kekayaan hakiki tidak terletak pada banyaknya harta, deposito, saham, dan properti. Tidak sedikit pemilik harta yang gelisah dan sengsara. Dia berusaha siang malam menumpuk harta, namun kikir bersedekah karena takut miskin. Dia tidak ridha dengan rezeki yang dibagi oleh Allah sehingga miskin hati. Kemiskinan hati inilah yang mendorong manusia mati-matian menumpuk harta dan enggan berjuang di jalan Allah.
Rasulullah SAW pernah bertanya kepada Abu Dzar ra, “Wahai Abu Dzar, apakah banyaknya harta adalah kekayaan?” Aku menjawab, “Ya, benar, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu menganggap sedikitnya harta adalah kemiskinan?” Aku menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kekayaan itu adalah kekayaan hati dan kemiskinan adalah kemiskinan hati.” (HR An-Nasai, Ibnu Hibban, Thabrani).
Makna hakiki kekayaan dalam pandangan Rasulullah SAW adalah kekayaan jiwa. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dll).
Kemiskinan hati adalah penyakit berbahaya. Orang miskin hati bisa mengumpulkan harta tanpa memedulikan halal atau haram. Tidak jarang mereka berani menipu dalam bisnis, mengurangi timbangan, mencuri, dan korupsi. Para sahabat adalah teladan orang-orang yang kaya jiwa. Mereka meletakkan harta di tangan bukan di hati. Mereka tidak ragu memberikan hartanya untuk jihad fi sabilillah. Pada saat pengiriman jaysul ‘usrah Umar bin Khattab ra memberikan separuh hartanya, Abu Bakar menginfakkan semua hartanya, demikian juga sahabat-sahabat yang lain.
Pemilik dunia adalah orang yang memiliki tiga kriteria; hidup tenteram dan aman di tengah masyarakatnya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan cukup untuk sehari itu. (HR Tirmidzi).
Imam Syafi’i menegaskan, “Bila anda memiliki hati yang serba puas maka anda sejajar dengan pemilik semua isi dunia.” Agar memiliki kekayaan hakiki kita harus; Pertama, tidak melihat pada harta orang lain. (QS. Thaha: 131). Kedua, puas dengan pembagian rezeki dari Allah. “Puaslah dengan apa yang diberikan Allah kepadamu pasti kamu menjadi orang yang paling kaya.” (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi).
Bila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang maka dijadikanlah kekayaan jiwanya dan ketakwaannya berada di hatinya dan bila Allah menghendaki keburukan pada seseorang maka dijadikanlah kemiskinan itu berada di pelupuk matanya. (HR Ibnu Asakir dan Baihaqi).
Ketiga, melihat kepada orang yang lebih rendah dalam hal harta "karena hal demikian lebih layak dan tidak meremehkan nikmat Allah atas kamu.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi). Orang kaya hati akan bahagia di dunia dan akhirat.
Oleh: Prof Dr KH Achmad Satori Ismail
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/01/13/lxqlqf-kekayaan-hakiki
Kekayaan hakiki tidak terletak pada banyaknya harta, deposito, saham, dan properti. Tidak sedikit pemilik harta yang gelisah dan sengsara. Dia berusaha siang malam menumpuk harta, namun kikir bersedekah karena takut miskin. Dia tidak ridha dengan rezeki yang dibagi oleh Allah sehingga miskin hati. Kemiskinan hati inilah yang mendorong manusia mati-matian menumpuk harta dan enggan berjuang di jalan Allah.
Rasulullah SAW pernah bertanya kepada Abu Dzar ra, “Wahai Abu Dzar, apakah banyaknya harta adalah kekayaan?” Aku menjawab, “Ya, benar, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu menganggap sedikitnya harta adalah kemiskinan?” Aku menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kekayaan itu adalah kekayaan hati dan kemiskinan adalah kemiskinan hati.” (HR An-Nasai, Ibnu Hibban, Thabrani).
Makna hakiki kekayaan dalam pandangan Rasulullah SAW adalah kekayaan jiwa. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dll).
Kemiskinan hati adalah penyakit berbahaya. Orang miskin hati bisa mengumpulkan harta tanpa memedulikan halal atau haram. Tidak jarang mereka berani menipu dalam bisnis, mengurangi timbangan, mencuri, dan korupsi. Para sahabat adalah teladan orang-orang yang kaya jiwa. Mereka meletakkan harta di tangan bukan di hati. Mereka tidak ragu memberikan hartanya untuk jihad fi sabilillah. Pada saat pengiriman jaysul ‘usrah Umar bin Khattab ra memberikan separuh hartanya, Abu Bakar menginfakkan semua hartanya, demikian juga sahabat-sahabat yang lain.
Pemilik dunia adalah orang yang memiliki tiga kriteria; hidup tenteram dan aman di tengah masyarakatnya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan cukup untuk sehari itu. (HR Tirmidzi).
Imam Syafi’i menegaskan, “Bila anda memiliki hati yang serba puas maka anda sejajar dengan pemilik semua isi dunia.” Agar memiliki kekayaan hakiki kita harus; Pertama, tidak melihat pada harta orang lain. (QS. Thaha: 131). Kedua, puas dengan pembagian rezeki dari Allah. “Puaslah dengan apa yang diberikan Allah kepadamu pasti kamu menjadi orang yang paling kaya.” (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi).
Bila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang maka dijadikanlah kekayaan jiwanya dan ketakwaannya berada di hatinya dan bila Allah menghendaki keburukan pada seseorang maka dijadikanlah kemiskinan itu berada di pelupuk matanya. (HR Ibnu Asakir dan Baihaqi).
Ketiga, melihat kepada orang yang lebih rendah dalam hal harta "karena hal demikian lebih layak dan tidak meremehkan nikmat Allah atas kamu.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi). Orang kaya hati akan bahagia di dunia dan akhirat.
Oleh: Prof Dr KH Achmad Satori Ismail
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/01/13/lxqlqf-kekayaan-hakiki
Sunday, January 15, 2012
Bertemu Almarhum Suami saat Beribadah Haji
Dengan mata berkaca-kaca, ibu itu bercerita pada saya tentang pertemuan dirinya dengan sang suami yang telah meninggal 3 tahun yang lalu. Pertemuan pertama saat dia berzikir di sebuah masjid, dan pertemuan kedua saat dirinya menjalankan ritual lempar jumroh.
Saat melihat suaminya, ibu itu tidak kuasa menahan tangis. Dia hanya mampu tertegun dan menangis bahagia ketika suaminya berjalan di depannya saat di masjid, dan melihat suaminya berada persis di depannya saat melempar jumroh bersama ribuan jemaah lainnya. Saat itu untuk memanggil suaminya, ibu itu tak kuasa sampai sang suami hilang dari pandangan mata.
Ibu itu melihat wujud suaminya dalam fisik yang nyata. Bukan halusinasi atau bayangan belaka. Dia sangat yakin 100% itulah suaminya. Inilah yang membuat Ibu itu sangat terharu, karena dia tahu suaminya turut hadir menemaninya saat menjalankan ibadah haji kemarin.
Tahukah anda? Ibu ini dan sang suami telah menabung selama bertahun-tahun untuk mengumpulkan biaya agar bisa berangkat haji. Tapi menjelang tabungan haji mereka cukup untuk berangkat, sang suami lebih dahulu meninggal. Inilah yang membuat sedih ibu tersebut, tapi kesedihan itu akhirnya terobati setelah tahu sang suami turut bersamanya saat menjalankan ibadah haji kemarin.
Saudaraku, dari kisah ini bisa kita tarik sebuah fakta, bahwa saat kita punya sebuah niat sebenarnya Allah sudah mencatatnya. Dan saat kita berhalangan menjalankan niat tersebut, Allah punya cara sendiri untuk mewujudkannya buat kita.
Kisah ini hampir sama dengan kisah nyata yang pernah ditayangkan di sebuah televisi nasional. Seorang ibu bertemu anaknya yang telah meninggal saat dirinya menjalankan ibadah haji. Mengapa bisa terjadi? Ternyata selama hidup, anaknya punya cita-cita ingin menunaikan ibadah haji bersama ibunya. Tapi takdir berkehendak lain, sang anak meninggal lebih dahulu karena sebuah bencana alam.
Semoga kisah ini bermanfaat buat anda. Yuk mulai sekarang kita niatkan kebaikan dalam hidup kita, karena niat yang kuat sudah diperhitungkan sebagai pahala buat kita. Dan saat kita ada halangan untuk mewujudkan niat baik tersebut, Allah punya cara untuk mewujudkannya buat kita.
Semoga bermanfaat, semoga kisah ini membawa keberkahan buat anda….. Amiiin.
http://motivasi.petamalang.com/bertemu-almarhum-suami-saat-beribadah-haji
Saat melihat suaminya, ibu itu tidak kuasa menahan tangis. Dia hanya mampu tertegun dan menangis bahagia ketika suaminya berjalan di depannya saat di masjid, dan melihat suaminya berada persis di depannya saat melempar jumroh bersama ribuan jemaah lainnya. Saat itu untuk memanggil suaminya, ibu itu tak kuasa sampai sang suami hilang dari pandangan mata.
Ibu itu melihat wujud suaminya dalam fisik yang nyata. Bukan halusinasi atau bayangan belaka. Dia sangat yakin 100% itulah suaminya. Inilah yang membuat Ibu itu sangat terharu, karena dia tahu suaminya turut hadir menemaninya saat menjalankan ibadah haji kemarin.
Tahukah anda? Ibu ini dan sang suami telah menabung selama bertahun-tahun untuk mengumpulkan biaya agar bisa berangkat haji. Tapi menjelang tabungan haji mereka cukup untuk berangkat, sang suami lebih dahulu meninggal. Inilah yang membuat sedih ibu tersebut, tapi kesedihan itu akhirnya terobati setelah tahu sang suami turut bersamanya saat menjalankan ibadah haji kemarin.
Saudaraku, dari kisah ini bisa kita tarik sebuah fakta, bahwa saat kita punya sebuah niat sebenarnya Allah sudah mencatatnya. Dan saat kita berhalangan menjalankan niat tersebut, Allah punya cara sendiri untuk mewujudkannya buat kita.
Kisah ini hampir sama dengan kisah nyata yang pernah ditayangkan di sebuah televisi nasional. Seorang ibu bertemu anaknya yang telah meninggal saat dirinya menjalankan ibadah haji. Mengapa bisa terjadi? Ternyata selama hidup, anaknya punya cita-cita ingin menunaikan ibadah haji bersama ibunya. Tapi takdir berkehendak lain, sang anak meninggal lebih dahulu karena sebuah bencana alam.
Semoga kisah ini bermanfaat buat anda. Yuk mulai sekarang kita niatkan kebaikan dalam hidup kita, karena niat yang kuat sudah diperhitungkan sebagai pahala buat kita. Dan saat kita ada halangan untuk mewujudkan niat baik tersebut, Allah punya cara untuk mewujudkannya buat kita.
Semoga bermanfaat, semoga kisah ini membawa keberkahan buat anda….. Amiiin.
http://motivasi.petamalang.com/bertemu-almarhum-suami-saat-beribadah-haji
Thursday, January 12, 2012
Muhammad SAW, Memang Luar Biasa
Dari sahabat Buraidah, bahwa ada seorang Badui yang minta kepada Nabi agar beliau menunjukkan sebuah bukti mukjizat kenabiannya, lalu Nabi berkata pada Badui tersebut “Katakan pada pohon itu, bahwa Rasulullah memanggilnya!”
Lalu Badui itu melakukan apa yang diperintahkan beliau, dan seketika itu pula pohon tersebut menggerakkan batang-batangnya ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang, lalu berjalan menapak bumi dengan batang-batangnya menghampiri kanjeng Nabi dan mengucapkan, “Salam untukmu Yaa Rasulullah.”
Lalu Badui itu minta agar pohon tersebut kembali ke tempatnya semula, dan pohon itu pun kembali ke tempatnya seperti keadaan sebelumnya setelah diperintahkan oleh Rasulullah. “Izinkan aku untuk bersujud padamu.” kata Badui itu tadi kepada Rasulullah, dan Nabi pun berkata, “Kalau aku mau menyuruh manusia sujud kepada manusia, niscaya aku akan menyuruh seorang istri untuk sujud kepada suaminya.”
Badui berkata “Kalau begitu izinkan aku untuk mencium kedua tangan dan kakimu.” Dan Rasul pun mengizinkannya.”
Dan salah satu mukjizat Nabi Muhammad yang sudah tak asing lagi adalah rintihan batang pohon kurma yang tak ingin berpisah dengan beliau, bahkan kabar ini sudah mencapai derajat hadits Mutawatir, karena telah banyak diriwayatkan para imam hadits dari belasan sahabat kenamaan seperti Jabir Bin Abdillah, Anas Bin Malik, Abu Sa’id Al Khudry, Buraidah dan lain-lain.
Sahabat Jabir Bin Abdillah menuturkan “Atap masjid terbuat dari pelepah kurma, dan bila Nabi sedang berkhutbah beliau bersandar di salah satu sisinya. Namun ketika sudah dibuatkan mimbar yang baru untuk beliau, tiba-tiba kami mendengar rintihan pelepah kurma tersebut seperti suara gergaji hingga masjid mendengung karena suara rintihannya. Karenanya, Nabi menghampirinya dan meletakkan tangan beliau yang mulia hingga suara rintihan itu pun diam. Kemudian Nabi memberikan untuknya dua pilihan. Beliau bersabda “Kalau kau ingin, aku akan kembalikan kamu ke tempat yang sebelumnya kamu tempati, hingga tumbuh kembali cabang-cabangmu dan sempurna pertumbuhanmu dengan terus berbuah, atau aku akan menanammu di surga dan para wali Allah akan memakan dari buahmu?” Nabi pun mendengarkan pilihannya, dan menyimak apa yang dikatakan pohon tersebut. Kemudian Nabi memberitahukan pilihannya dengan sabdanya (menerjemahkan pembicaraan pohon itu) “Kau tanam aku di surga, dan para wali Allah memakan dari buahanku, hingga aku berada di tempat yang kekal dan tak akan binasa (surga).” Lalu Nabi bersabda “Aku telah memenuhinya…"
“Dia telah memilih tempat yang kekal (Akhirat), ketimbang tempat yang fana (dunia).”
Al Imam Hasan Al Bashry bila sedang mengemukakan hadits ini, beliau selalu menangis sambil berkata kepada yang hadir di sekitarnya “Wahai para hamba Allah, sebatang kayu merintih lantaran ia merindukan Rasulullah di tempatnya, maka kalianlah sebenarnya yang lebih layak dan lebih pantas untuk rindu bertemu dengan beliau SAW.”
Sumber : Buku Muhammad SAW, Memang Luar Biasa, karya Muhamad bin Alwi Al-Haddad
http://alkisah.web.id/2010/05/muhammad-saw-memang-luar-biasa.html
Lalu Badui itu melakukan apa yang diperintahkan beliau, dan seketika itu pula pohon tersebut menggerakkan batang-batangnya ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang, lalu berjalan menapak bumi dengan batang-batangnya menghampiri kanjeng Nabi dan mengucapkan, “Salam untukmu Yaa Rasulullah.”
Lalu Badui itu minta agar pohon tersebut kembali ke tempatnya semula, dan pohon itu pun kembali ke tempatnya seperti keadaan sebelumnya setelah diperintahkan oleh Rasulullah. “Izinkan aku untuk bersujud padamu.” kata Badui itu tadi kepada Rasulullah, dan Nabi pun berkata, “Kalau aku mau menyuruh manusia sujud kepada manusia, niscaya aku akan menyuruh seorang istri untuk sujud kepada suaminya.”
Badui berkata “Kalau begitu izinkan aku untuk mencium kedua tangan dan kakimu.” Dan Rasul pun mengizinkannya.”
Dan salah satu mukjizat Nabi Muhammad yang sudah tak asing lagi adalah rintihan batang pohon kurma yang tak ingin berpisah dengan beliau, bahkan kabar ini sudah mencapai derajat hadits Mutawatir, karena telah banyak diriwayatkan para imam hadits dari belasan sahabat kenamaan seperti Jabir Bin Abdillah, Anas Bin Malik, Abu Sa’id Al Khudry, Buraidah dan lain-lain.
Sahabat Jabir Bin Abdillah menuturkan “Atap masjid terbuat dari pelepah kurma, dan bila Nabi sedang berkhutbah beliau bersandar di salah satu sisinya. Namun ketika sudah dibuatkan mimbar yang baru untuk beliau, tiba-tiba kami mendengar rintihan pelepah kurma tersebut seperti suara gergaji hingga masjid mendengung karena suara rintihannya. Karenanya, Nabi menghampirinya dan meletakkan tangan beliau yang mulia hingga suara rintihan itu pun diam. Kemudian Nabi memberikan untuknya dua pilihan. Beliau bersabda “Kalau kau ingin, aku akan kembalikan kamu ke tempat yang sebelumnya kamu tempati, hingga tumbuh kembali cabang-cabangmu dan sempurna pertumbuhanmu dengan terus berbuah, atau aku akan menanammu di surga dan para wali Allah akan memakan dari buahmu?” Nabi pun mendengarkan pilihannya, dan menyimak apa yang dikatakan pohon tersebut. Kemudian Nabi memberitahukan pilihannya dengan sabdanya (menerjemahkan pembicaraan pohon itu) “Kau tanam aku di surga, dan para wali Allah memakan dari buahanku, hingga aku berada di tempat yang kekal dan tak akan binasa (surga).” Lalu Nabi bersabda “Aku telah memenuhinya…"
“Dia telah memilih tempat yang kekal (Akhirat), ketimbang tempat yang fana (dunia).”
Al Imam Hasan Al Bashry bila sedang mengemukakan hadits ini, beliau selalu menangis sambil berkata kepada yang hadir di sekitarnya “Wahai para hamba Allah, sebatang kayu merintih lantaran ia merindukan Rasulullah di tempatnya, maka kalianlah sebenarnya yang lebih layak dan lebih pantas untuk rindu bertemu dengan beliau SAW.”
Sumber : Buku Muhammad SAW, Memang Luar Biasa, karya Muhamad bin Alwi Al-Haddad
http://alkisah.web.id/2010/05/muhammad-saw-memang-luar-biasa.html
Nabi tidak Ridha Umatnya di Neraka
“Ya Allah, izinkan aku memberi syafa’at kepada mereka itu walau mereka hanya punya iman sebesar zarrah.”
Dalam mau’izhahnya Habib Ali Zainal Abidin Al-Kaff mengisahkan ihwal Rasulullah SAW mencari umatnya yang masih tertinggal di neraka.
Ketika surga dan neraka telah terkunci, dan semua umat manusia telah dimasukkan ke dalam surga dan neraka sesuai dengan amalannya dan mereka telah menikmati ganjaran atau merasakan hukuman atas apa yang mereka kerjakan dalam waktu yang begitu lama, Allah SWT menanyakan kepada Malaikat Jibril, (subhanallah sesungguhnya Allah Mahatahu), “Apakah ada umat Muhammad SAW yang masih tertinggal di dalam neraka?”
Maka Malaikat Jibril pun pergi ke neraka Jahanam.
Neraka Jahanam yang begitu gelap tiba-tiba berubah menjadi terang benderang karena kedatangan Jibril.
Para penghuni Jahanam pun bertanya-tanya, siapakah yang datang, mengapa Jahanam tiba-tiba terang benderang.
Malaikat Jibril pun menjawab bahwa dia adalah Malaikat Jibril, yang diutus oleh Allah SWT untuk mencari apakah ada umat Muhammad yang masih tertinggal di neraka Jahanam.
Tiba-tiba sekelompok orang berteriak, “Sampaikan salam kami kepada Rasulullah SAW, beritahukan keadaan kami di tempat ini kepada beliau.”
Jibril pun keluar dari neraka Jahanam dan pergi ke surga untuk memberitahukan hal itu kepada Rasulullah.
Rasulullah begitu bersedih mendengar bahwa masih ada umatnya yang tertinggal di dalam neraka dalam waktu yang sudah begitu lama. Beliau tidak ridha ada umatnya yang masih tertinggal di neraka walau dosanya sepenuh bumi.
Rasulullah SAW pun bergegas hendak pergi neraka.
Tapi di perjalanan beliau terhadang oleh garis batas Malaikat Israfil. Tidak ada seorang pun boleh melintasi garis itu kalau tidak seizin Allah SWT.
Rasulullah SAW pun mengadu kepada Allah SWT, dan akhirnya beliau diizinkan.
Tapi sesudah itu Allah SWT mengingatkan Rasulullah bahwa umat itu telah meremehkan beliau. “Ya Allah, izinkan aku memberi syafa’at kepada mereka itu walau mereka punya hanya punya iman sebesar zarrah.”
Sesampainya Rasulullah di neraka Jahanam, padamlah api neraka yang begitu dahsyat itu. Penduduk Jahanam pun berucap, “Apa yang terjadi, mengapa api Jahanam ini tiba-tiba padam? Siapakah yang datang lagi?”
Rasulullah SAW menjawab, “Aku Muhammad SAW yang datang. Siapa di antara kalian yang jadi umatku dan punya iman sebesar zarrah, aku datang untuk mengeluarkannya.”
Demikianlah kecintaan Rasulullah kepada umatnya, beliau akan memperjuangkannya sampai di hadapan Allah SWT. Lalu bagaimana kecintaan kita sebagai umat Rasulullah SAW kepada pribadi yang begitu agung itu?
sumber : www.majalah-alkisah.com
http://alkisah.web.id/2011/04/nabi-tidak-ridha-umatnya-di-neraka.html
Dalam mau’izhahnya Habib Ali Zainal Abidin Al-Kaff mengisahkan ihwal Rasulullah SAW mencari umatnya yang masih tertinggal di neraka.
Ketika surga dan neraka telah terkunci, dan semua umat manusia telah dimasukkan ke dalam surga dan neraka sesuai dengan amalannya dan mereka telah menikmati ganjaran atau merasakan hukuman atas apa yang mereka kerjakan dalam waktu yang begitu lama, Allah SWT menanyakan kepada Malaikat Jibril, (subhanallah sesungguhnya Allah Mahatahu), “Apakah ada umat Muhammad SAW yang masih tertinggal di dalam neraka?”
Maka Malaikat Jibril pun pergi ke neraka Jahanam.
Neraka Jahanam yang begitu gelap tiba-tiba berubah menjadi terang benderang karena kedatangan Jibril.
Para penghuni Jahanam pun bertanya-tanya, siapakah yang datang, mengapa Jahanam tiba-tiba terang benderang.
Malaikat Jibril pun menjawab bahwa dia adalah Malaikat Jibril, yang diutus oleh Allah SWT untuk mencari apakah ada umat Muhammad yang masih tertinggal di neraka Jahanam.
Tiba-tiba sekelompok orang berteriak, “Sampaikan salam kami kepada Rasulullah SAW, beritahukan keadaan kami di tempat ini kepada beliau.”
Jibril pun keluar dari neraka Jahanam dan pergi ke surga untuk memberitahukan hal itu kepada Rasulullah.
Rasulullah begitu bersedih mendengar bahwa masih ada umatnya yang tertinggal di dalam neraka dalam waktu yang sudah begitu lama. Beliau tidak ridha ada umatnya yang masih tertinggal di neraka walau dosanya sepenuh bumi.
Rasulullah SAW pun bergegas hendak pergi neraka.
Tapi di perjalanan beliau terhadang oleh garis batas Malaikat Israfil. Tidak ada seorang pun boleh melintasi garis itu kalau tidak seizin Allah SWT.
Rasulullah SAW pun mengadu kepada Allah SWT, dan akhirnya beliau diizinkan.
Tapi sesudah itu Allah SWT mengingatkan Rasulullah bahwa umat itu telah meremehkan beliau. “Ya Allah, izinkan aku memberi syafa’at kepada mereka itu walau mereka punya hanya punya iman sebesar zarrah.”
Sesampainya Rasulullah di neraka Jahanam, padamlah api neraka yang begitu dahsyat itu. Penduduk Jahanam pun berucap, “Apa yang terjadi, mengapa api Jahanam ini tiba-tiba padam? Siapakah yang datang lagi?”
Rasulullah SAW menjawab, “Aku Muhammad SAW yang datang. Siapa di antara kalian yang jadi umatku dan punya iman sebesar zarrah, aku datang untuk mengeluarkannya.”
Demikianlah kecintaan Rasulullah kepada umatnya, beliau akan memperjuangkannya sampai di hadapan Allah SWT. Lalu bagaimana kecintaan kita sebagai umat Rasulullah SAW kepada pribadi yang begitu agung itu?
sumber : www.majalah-alkisah.com
http://alkisah.web.id/2011/04/nabi-tidak-ridha-umatnya-di-neraka.html
Wednesday, January 11, 2012
Menangis Dan Tertawa Bersama Umar
Suatu ketika Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam berkumpul dengan para Sahabatnya. Beliau berkata pada Umar, "Coba ceritakan kepadaku yang membuat aku tertawa dan membuat aku menangis."
Kemudian Sahabat Umar pun bercerita, "Dahulu sebelum aku mengenal Islam, aku membuat patung berhala dari manisan. Lalu aku pun menyembah patung manisan itu. 'Demi Lata Uzza Mannat, engkau lah yang mulia, beri aku makanan sebagai rizki darimu...!' kataku. Suatu waktu aku menyembah patung tersebut namun perutku sedang lapar. Selesai menyembah berhala aku menuju dapur, tak kudapatkan makanan di sana, lalu aku kembali ke ruangan persembahyangan. Tak ada makanan selain tuhan sesembahanku. Akhirnya dengan rasa sesal aku memakan tuhanku sendiri yang kusembah-sembah sebelumnya. Aku memakan berhala tersebut mulai dari kepalanya, terus tangannya hingga habis tak tersisa.”
Mendengar cerita Umar Rasul tertawa hingga kelihatan gigi grahamnya, Beliau pun bertanya, ”Di mana akal kalian waktu itu?”
Umar menjawab, “Akal kami memang pintar namun sesembahan kami yang menyesatkan kami.”
Lalu Rasul berkata kepada Umar, ”Ceritakan kepadaku Hal yang membuat aku menangis..”
Umar pun memulai ceritanya, ”Dahulu aku punya seorang anak perempuan. Aku ajak anak tersebut ke suatu tempat. Tiba di tempat yang aku tuju, aku mulai menggali sebuah lubang. Setiap kali tanah yang aku gali mengenai bajuku, maka anak perempuanku membersihkannya. Dia tidak mengetahui sesungguhnya lubang yang aku gali adalah untuk menguburnya hidup-hidup, untuk persembahan berhala. Selesai menggali lubang, aku melempar anak perempuanku ke dalam lubang. 'Burrr…!!!' Dia menangis kencang sambil menatap wajahku. Masih terngiang wajah anakku yang masih tidak mengerti apa yang dilakukan ayahnya sendiri dari bawah lubang."
Mendengar cerita itu meneteslah air mata Rasul. Begitu pun dengan Umar menyesali perbuatan jahiliyyahnya sebelum dia mengenal Islam.
http://kisahislami.com/menangis-dan-tertawa-bersama-umar/
Kemudian Sahabat Umar pun bercerita, "Dahulu sebelum aku mengenal Islam, aku membuat patung berhala dari manisan. Lalu aku pun menyembah patung manisan itu. 'Demi Lata Uzza Mannat, engkau lah yang mulia, beri aku makanan sebagai rizki darimu...!' kataku. Suatu waktu aku menyembah patung tersebut namun perutku sedang lapar. Selesai menyembah berhala aku menuju dapur, tak kudapatkan makanan di sana, lalu aku kembali ke ruangan persembahyangan. Tak ada makanan selain tuhan sesembahanku. Akhirnya dengan rasa sesal aku memakan tuhanku sendiri yang kusembah-sembah sebelumnya. Aku memakan berhala tersebut mulai dari kepalanya, terus tangannya hingga habis tak tersisa.”
Mendengar cerita Umar Rasul tertawa hingga kelihatan gigi grahamnya, Beliau pun bertanya, ”Di mana akal kalian waktu itu?”
Umar menjawab, “Akal kami memang pintar namun sesembahan kami yang menyesatkan kami.”
Lalu Rasul berkata kepada Umar, ”Ceritakan kepadaku Hal yang membuat aku menangis..”
Umar pun memulai ceritanya, ”Dahulu aku punya seorang anak perempuan. Aku ajak anak tersebut ke suatu tempat. Tiba di tempat yang aku tuju, aku mulai menggali sebuah lubang. Setiap kali tanah yang aku gali mengenai bajuku, maka anak perempuanku membersihkannya. Dia tidak mengetahui sesungguhnya lubang yang aku gali adalah untuk menguburnya hidup-hidup, untuk persembahan berhala. Selesai menggali lubang, aku melempar anak perempuanku ke dalam lubang. 'Burrr…!!!' Dia menangis kencang sambil menatap wajahku. Masih terngiang wajah anakku yang masih tidak mengerti apa yang dilakukan ayahnya sendiri dari bawah lubang."
Mendengar cerita itu meneteslah air mata Rasul. Begitu pun dengan Umar menyesali perbuatan jahiliyyahnya sebelum dia mengenal Islam.
http://kisahislami.com/menangis-dan-tertawa-bersama-umar/
Abdullah bin Umar dan Sholat Tahajjud
Salah seorang sahabat Rasulullah SAW ialah Abdullah bin Umar ra. Beliau adalah seorang sahabat mulia putra dari salah seorang sahabat utama yakni Umar bin Khattab ra. Beliau seorang yang dikaruniai Allah SWT ke-faqih-an (kedalaman pemahaman) dalam ilmu-ilmu mengenai dienullah Al-Islam. Beliau juga terkenal seorang yang zuhud (tidak terikat hati dengan dunia) dan ‘abid (rajin beribadah kepada Allah SWT).
Sewaktu masih muda belia, Abdullah bin Umar ra berangan-angan seandainya ia dapat bermimpi sesuatu yang menyebabkan dirinya punya alasan untuk berkonsultasi langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Ia iri melihat seorang yang menceritakan mimpinya kepada Rasulullah SAW. Kisahnya disampaikan di dalam hadits di bawah ini oleh dirinya sendiri:
Dari Abdullah Ibnu 'Umar ra dia berkata; “Apabila ada seseorang yang bermimpi pada masa Rasulullah SAW, maka ia pun akan menceritakan mimpi itu kepada Rasulullah, hingga saya juga ingin sekali bermimpi dan menceritakannya kepada beliau. Ketika remaja, pada masa Rasulullah SAW, saya pernah tertidur di masjid. Dalam tidur itu saya bermimpi bahwa ada dua malaikat yang menangkap saya dan membawa saya ke neraka yang tepinya berdinding seperti sumur dengan dua tali seperti tali sumur. Ternyata di dalam sumur tersebut ada beberapa orang yang saya kenal dan segera saya ucapkan: 'Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka. Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka. Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka.' Tak lama kemudian, kedua malaikat tersebut ditemui oleh satu malaikat lain dan ia berkata kepada saya; 'Kamu akan aman.' Lalu saya ceritakan mimpi saya itu kepada Hafshah ra dan Hafshah menceritakannya kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: 'Sebaik-baik orang adalah Abdullah bin Umar ra, jika ia berkenan melaksanakan shalat di sebagian malam.' Salim ra berkata; 'Setelah itu Abdullah bin Umar ra tidak pernah tidur di malam hari kecuali sebentar.' (MUSLIM - 4528)
Subhanallah... berdasarkan hadits di atas kita dapat melihat betapa kedekatan Abdullah bin Umar radhiyAllahu ‘anhuma dengan Allah SWT sehingga ia dikaruniai Allah SWT nikmat berupa mimpi yang semakin mendorongnya untuk lebih banyak lagi beribadah. Dalam hal ini ibadah sholat malam atau sholat tahajjud. Ia memang terkenal seorang ‘abid, tetapi rupanya Allah SWT menghendaki agar ia menjadi seorang ‘abid yang lebih baik lagi sehingga ia didorong untuk membiasakan dirinya tidak melewati malam kecuali dengan menegakkan sholat tahajjud. Ia akhirnya menjadi seorang hamba Allah SWT yang tidak tidur di malam hari kecuali sedikit saja. Sisanya ia habiskan waktu malamnya untuk ber-khalwat (berdua-duaan) dengan Rabbnya, Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkan ummatnya agar biasa menegakkan sholat malam. Bahkan beliau menyebutnya sebagai sholat yang paling utama sesudah sholat wajib lima waktu:
Dari Abu Hurairah ra dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Sebaik-baik puasa setelah puasa di bulan Ramadlan adalah puasa di bulan Muharram dan sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam." (TIRMIDZI - 402)
Oleh karenanya uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW mencontohkan bahwa beliau tidak pernah meninggalkan sholat malam bagaimanapun keadaannya. Hatta beliau sedang sakit sekalipun, beliau tetap mengerjakannya. Subhaanallah.
Aisyah ra berkata; "Janganlah kamu meninggalkan shalat malam (qiyamul lail), karena Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya, bahkan apabila beliau sedang sakit atau kepayahan, beliau shalat dengan duduk." (ABUDAUD - 1112)
Bahkan terdapat sebuah hadits yang meriwayatkan bahwa jika Nabi Muhammad SAW tidak sempat sholat malam lantaran ketiduran, maka beliau menggantinya dengan melakukannya di siang hari.
Dari 'Aisyah ra dia berkata, adalah Nabi SAW jika tidak sempat shalat malam karena ketiduran atau terserang kantuk, beliau shalat disiang hari sebanyak dua belas raka'at. Abu Isa berkata, ini adalah hadits hasan shahih. (TIRMIDZI - 407)
Ya Allah, mudahkanlah dan berkahilah kami untuk bangun malam guna menegakkan sholat malam sebagai bukti kesetiaan kami kepada Rasul-Mu Nabi Muhammad SAW .
http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/abdullah-bin-umar-dan-sholat-tahajjud.htm
Sewaktu masih muda belia, Abdullah bin Umar ra berangan-angan seandainya ia dapat bermimpi sesuatu yang menyebabkan dirinya punya alasan untuk berkonsultasi langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Ia iri melihat seorang yang menceritakan mimpinya kepada Rasulullah SAW. Kisahnya disampaikan di dalam hadits di bawah ini oleh dirinya sendiri:
Dari Abdullah Ibnu 'Umar ra dia berkata; “Apabila ada seseorang yang bermimpi pada masa Rasulullah SAW, maka ia pun akan menceritakan mimpi itu kepada Rasulullah, hingga saya juga ingin sekali bermimpi dan menceritakannya kepada beliau. Ketika remaja, pada masa Rasulullah SAW, saya pernah tertidur di masjid. Dalam tidur itu saya bermimpi bahwa ada dua malaikat yang menangkap saya dan membawa saya ke neraka yang tepinya berdinding seperti sumur dengan dua tali seperti tali sumur. Ternyata di dalam sumur tersebut ada beberapa orang yang saya kenal dan segera saya ucapkan: 'Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka. Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka. Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka.' Tak lama kemudian, kedua malaikat tersebut ditemui oleh satu malaikat lain dan ia berkata kepada saya; 'Kamu akan aman.' Lalu saya ceritakan mimpi saya itu kepada Hafshah ra dan Hafshah menceritakannya kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: 'Sebaik-baik orang adalah Abdullah bin Umar ra, jika ia berkenan melaksanakan shalat di sebagian malam.' Salim ra berkata; 'Setelah itu Abdullah bin Umar ra tidak pernah tidur di malam hari kecuali sebentar.' (MUSLIM - 4528)
Subhanallah... berdasarkan hadits di atas kita dapat melihat betapa kedekatan Abdullah bin Umar radhiyAllahu ‘anhuma dengan Allah SWT sehingga ia dikaruniai Allah SWT nikmat berupa mimpi yang semakin mendorongnya untuk lebih banyak lagi beribadah. Dalam hal ini ibadah sholat malam atau sholat tahajjud. Ia memang terkenal seorang ‘abid, tetapi rupanya Allah SWT menghendaki agar ia menjadi seorang ‘abid yang lebih baik lagi sehingga ia didorong untuk membiasakan dirinya tidak melewati malam kecuali dengan menegakkan sholat tahajjud. Ia akhirnya menjadi seorang hamba Allah SWT yang tidak tidur di malam hari kecuali sedikit saja. Sisanya ia habiskan waktu malamnya untuk ber-khalwat (berdua-duaan) dengan Rabbnya, Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkan ummatnya agar biasa menegakkan sholat malam. Bahkan beliau menyebutnya sebagai sholat yang paling utama sesudah sholat wajib lima waktu:
Dari Abu Hurairah ra dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Sebaik-baik puasa setelah puasa di bulan Ramadlan adalah puasa di bulan Muharram dan sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam." (TIRMIDZI - 402)
Oleh karenanya uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW mencontohkan bahwa beliau tidak pernah meninggalkan sholat malam bagaimanapun keadaannya. Hatta beliau sedang sakit sekalipun, beliau tetap mengerjakannya. Subhaanallah.
Aisyah ra berkata; "Janganlah kamu meninggalkan shalat malam (qiyamul lail), karena Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya, bahkan apabila beliau sedang sakit atau kepayahan, beliau shalat dengan duduk." (ABUDAUD - 1112)
Bahkan terdapat sebuah hadits yang meriwayatkan bahwa jika Nabi Muhammad SAW tidak sempat sholat malam lantaran ketiduran, maka beliau menggantinya dengan melakukannya di siang hari.
Dari 'Aisyah ra dia berkata, adalah Nabi SAW jika tidak sempat shalat malam karena ketiduran atau terserang kantuk, beliau shalat disiang hari sebanyak dua belas raka'at. Abu Isa berkata, ini adalah hadits hasan shahih. (TIRMIDZI - 407)
Ya Allah, mudahkanlah dan berkahilah kami untuk bangun malam guna menegakkan sholat malam sebagai bukti kesetiaan kami kepada Rasul-Mu Nabi Muhammad SAW .
http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/abdullah-bin-umar-dan-sholat-tahajjud.htm
Subscribe to:
Posts (Atom)