Saat aku masih kanak-kanak dulu, di TVRI diputar serial Jepang berjudul Oshin. Cerita yang diangkat dari kisah nyata ini berkisah tentang perjuangan dan ketabahan seorang wanita desa yang lugu dan miskin bernama Oshin. Berkat kegigihan dan semangat pantang menyerah yang dimilikinya, Oshin berhasil menjadi pengusaha kaya-raya dan memiliki beberapa buah supermarket.
Di dalam serial yang banyak menguras air mata itu, ada satu kisah yang membuatku terhenyak dan tak habis pikir. Diceritakan bahwa saat itu keluarga para petani di Jepang sangat miskin. Mereka tidak mempunyai lahan sendiri, jadi hanya bertindak sebagai buruh yang menggarap sawah milik para tuan tanah. Ketika panen tiba, para petani ini wajib menyetorkan sebagian dari hasil panen kepada pemilik lahan alias tuan tanah. Dan hanya tersisa sedikit beras yang harus dibagi untuk memberi makan seluruh keluarga dan harus cukup untuk enam bulan sampai musim panen berikutnya.
Sayangnya jatah beras yang tersedia hanya sedikit sedangkan jumlah anggota keluarga banyak. Oshin tinggal bersama ayah, ibu, saudara-saudaranya dan seorang nenek (ibu dari ayah Oshin). Karena beras yang ada tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, ayah Oshin sebagai kepala keluarga mengambil keputusan hendak membuang ibunya ke gunung. Harapannya dengan berkurangnya jumlah anggota keluarga, maka persediaan beras yang ada akan cukup.
Tak percaya tapi nyata, pikiran kanak-kanakku tidak dapat mencerna hal itu. Mengapa seorang anak, dalam hal ini ayah Oshin, bisa begitu tega mempunyai pikiran keji seperti itu. Membuang ibunya sendiri, ibu kandungnya, ibu yang telah melahirkan dan mengasuhnya sampai dewasa? Tidakkah ia mempunyai rasa belas kasihan kepada ibunya? Tidakkah ia mengingat jasa dan peluh ibunya selama dia kecil? Mengapa kemiskinan yang mendera bisa membuat seseorang menjadi jahat, di luar batas peri kemanusiaan? Sekejam itukah kemiskinan? Berbagai pertanyaan melintas-lintas di kepala kanak-kanakku dan tak sanggup kujawab.
Berpuluh tahun kemudian, aku membaca kisah yang mirip, berjudul 'Ubasute no Hanashi', yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh petani miskin untuk membuang orangtua mereka yang telah lanjut usia di daerah pegunungan. Berarti bukan hanya ayah Oshin seorang yang melakukan hal itu.
Namun ada yang unik dari cerita ini. Diceritakan tentang seorang pemuda yang menggendong ibunya yang renta ke gunung. Namun dalam perjalanan, ibunya mematahkan ranting-ranting dan menjatuhkannya ke jalan yang mereka lalui. Terdorong oleh rasa ingin tahu, si pemuda bertanya kepada ibunya. Dan apakah jawaban sang ibu?
“Ibu menjatuhkan ranting-ranting ini agar engkau tidak tersesat saat pulang ke desa nanti, Nak.”
Dengan penuh linangan air mata, si pemuda menggendong kembali ibunya pulang.
Begitu mulia hati seorang ibu. Di saat dirinya yang renta dianggap sudah tak berguna lagi, di saat hatinya pilu karena buah hati nan dicintai berniat membuangnya karena dianggap hanya menghabis-habiskan jatah beras saja, di saat hatinya tercabik-cabik karena anak kesayangan yang ditimang dan dibelai sejak kecil seolah melupakan segala kebaikannya, di saat seperti itu seorang ibu masih mendoakan kebaikan untuk anaknya. Mendoakan agar anaknya selamat dan tidak mendapatkan bala bencana maupun kesulitan dalam perjalanan pulang nanti.
Betapa mulia hati seorang ibu. Tegakah kita menyakitinya?
Oleh Kemalawaty
http://www.eramuslim.com/oase-iman/kemalawaty-kasih-anak-sepanjang-galah.htm
No comments:
Post a Comment