Tuesday, December 20, 2011

Walisongo : Sunan Muria

Sunan Muria dikenal sebagai sunan rakyat jelata. Ia akrab dan hidup di tengah-tengah mereka. Ia tak sudi menghambakan diri pada kekayaan dan kekuasaan. Di saat, para wali lain hidup di pusat kota, ia malah mengasingkan diri di daerah pegunungan. Namun, ia tak meninggalkan dakwah Islam. Justru, “pengasingan” itulah yang menjadikannya dai yang ramah dan toleran.

Nama aslinya Raden Umar Said atau Raden Prawoto, putra Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh (adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak). Sejak kecil, ia sudah akrab dengan literatur keagamaan. Juga kesenian. Nampaknya, ia menuruni bakat ayahnya yang gandrung akan kesenian.

Berbeda dengan ayahnya yang berdakwah dengan berkeliling di daerah abangan, Sunan Muria banyak bertugas di daerah Kudus. Terutama bagian utara, di lereng Gunung Muria. Itu karena ia memang memfokuskan diri pada daerah yang jauh dari pusat kota atau keramaian. Ia tinggal dan mendirikan sebuah pesantren di sana. Konon, ia sengaja mencari tempat terpencil karena hidup di tengah kota jauh lebih banyak cobaannya dibanding hidup di daerah terpencil.

Di samping itu, memang sudah wataknya suka menyendiri dan bertempat tinggal di desa, berbaur bersama rakyat jelata. Sebab itulah, ia sengaja memilih lereng Gunung Muria sebagai tempat berdakwah. Berbeda dengan Kudus bagian tengah yang mengalami kemajuan secara infrastruktur. Tempat itu terletak 18 km di sebelah utara pusat kota Kudus. Meski demikian, putra Sunan Kalijaga itu juga rajin berdakwah di daerah tetangganya seperti Jepara, Tayu, Juana dan Pati.

Metode dakwah yang dipakai oleh Sunan Muria adalah mengadakan kursus-kursus pada kaum dagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Itu sangatlah efektif karena mereka adalah kaum pekerja yang tidak bisa berkumpul setiap saat. Dengan memberikan kursus, maka mereka bisa meluangkan waktu khusus untuk belajar agama. Di samping itu, tak jarang, Sunan Muria juga mengajarkan berbagai keterampilan seperti bercocok tanam, berdagang, dan melaut kepada rakyat.

Jalan kesenian untuk memperakrab masyarakat dengan Islam juga tak ia tinggalkan. Kabarnya, Sunan Murialah yang mempertahankan tetap berlangsungnya gamelan sebagai media dakwah. Baginya, bermain gamelan dengan menembang bisa dipergunakan untuk memasukkan nuansa ke-Islam-an di dalamnya. Nampaknya, ia paham betul, bahwa masyarakat yang dihadapi memang masyarakat yang benar-benar abangan dan masih susah meninggalkan tradisi.

Apalagi, berdakwah di lereng Muria. Sebagian besar mereka adalah pemeluk Hindu taat yang “lari” dari dakwah Sunan Kudus di sekitar Menara. Itu menjadi bukti bahwa tidak mudah mendekati mereka. Karena itulah jalur kesenian tetap harus dipergunakan. Dengan jalan itu, ia bermaksud membuat masyarakat di sekitarnya merasa nyaman, sehingga lebih bisa menerima dan mencerna ajaran-ajaran untuk mengingat Allah SWT.

Sunan Muria rajin mengarang tembang-tembang Jawa untuk memperkuat ingatan masyarakat akan nilai-niali Islam. Bahkan, ia dikenal sebagai pencipta tembang Sinom dan Kinanti. Tembangnya yang populer dilantunkan dalang pada zaman sekarang adalah Sinom Parijotho. Parijotho adalah nama tumbuhan yang hidup di lereng Muria.

Sebagai salah seorang anggota walisongo, ia juga sangat berperan dalam membangun Kerajaan Demak. Ia merupakan salah satu pendiri dan penyokong yang setia. Bahkan karena wataknya yang halus dan ramah serta berpikiran luas, ia sering diminta untuk memecahkan berbagai masalah. Konon, betapa pun rumitnya masalah itu, Sunan Muria mampu meberikan jalan yang terbaik.

Ia juga sering diminta menjadi penengah dalam berbagai konflik. Termasuk konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Sebagaimana tertulis dalam sejarah, sepeninggal Raden Fatah, Kesultanan Demak menjadi geger karena banyak yang memperebutkan takhta kerajaan tersebut. Tercatat, sekitar empat kali Demak mengalami pergantian pimpinan. Hebatnya, solusi pemecahan yang ditawarkan oleh Sunan Muria selalu dapat diterima oleh pihak-pihak yang berseteru.

Sunan Muria menikah dengan Dewi Roroyoo, putri gurunya, Ki Ageng Ngerang. Konon, ia diambil mantu gurunya setelah melalui sayembara. Suatu ketika, Ki Ageng Ngerang melaksanakan tasyakuran ulangtahun anaknya, Dewi Roroyono yang genap berusia 20 tahun. Banyak tamu yang datang. Termasuk para adipati. Karena tertarik akan kecantikan Dewi Roroyono, banyak tamu yang berdecak kagum. Sehingga, sebagian dari mereka yang tidak tahu diri mencari jalan untuk menggodanya. Karena tak sudi dengan ulah tamu yang berangasan, Dewi Roroyono pun tak meladeninya.

Pada malamnya, timbul masalah. Dewi Roroyono hilang dari kamarnya. Ternyata, ia diculik oleh salah seorang adipati yang menjadi tamu malam itu. Kontan, itu membuat geger. Lalu, diadakanlah sayembara. Barang siapa yang mampu mengembalikan Dewi Roroyono, berhak memperistrinya. Sunan Muria pun menyanggupinya. Setelah berusaha mencari, akhirnya Sunan Muria menemukan tempat persembunyian penculik tersebut. Iapun berhasil memboyong pulang Dewi Roroyono dan kemudian menikahinya. Dari pernikahan itu, Sunan Muria memperoleh seorang putra yang diberi nama Pangeran Santri, dan kemudian mendapat julukan sebagai Sunan Ngadilungu.

Sunan Muria wafat dan dimakamkan di Desa Colo pada ketinggian 600 meter dari permukaan laut. Berbeda dengan para wali lain yang makamnya dikelilingi oleh para punggawanya, makam Sunan Muria terlihat menyendiri. Justru para murid yang membantunya dalam berdakwah dimakamkan di tempat yang agak jauh dari makamnya. Itu mungkin disebabkan oleh wataknya yang selalu suka menyendiri.

Sebagaimana makam para wali lain, makam Sunan Muria juga banyak diziarahi, baik dari dalam kota maupun luar kota. Tempatnya yang terjal, tidak menyurutkan para peziarah untuk napak tilas perjalanannya. Pengunjungnya tetap membludak, terutama pada hari libur dan upacara Buka Luwur yang diselenggarakan setiap 6 Muharam. Karena letaknya di lereng gunung, maka untuk mencapai komplek itu ditempuh dengan jalan kaki melewati sekitar 700 undakan (trap) mulai dari pintu gerbang di dekat lokasi parkir mobil/bus. Bisa juga dengan menumpang ojek dengan biaya sekali jalan sekitar Rp. 8000,-.

Komplek makam Sunan Muria telah dipugar beberapa kali. Karena itu hanya beberapa bagianlah yang masih utuh. Arealnya juga diperluas, terutama di bagian sebelah kanan makam. Banyak bangunan baru, seperti bangunan tempat minum air peninggalan Sunan Muria dan lainnya. Seiring dengan pemugaran dan penambahan bangunan, para penjaga dan karyawan pun bertambah. Kepengurusannya dikelola oleh Yayasan Sunan Muria yang bertempat di sebelah luarnya. (M. Khoirul Muqtafa)

* Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Nebula (eks ESQ Magazine) No. 22/Tahun II/2006
http://esq-news.com/sosok/2010/08/26/sunan-muria-belajar-bersama-rakyat.html

No comments:

Post a Comment