NAMA saya Alessandra Shinta Malakiano. Publik lebih mengenal saya dengan nama Sandrina Malakiano. Saya lahir di Bangkok/Thailand, 24 Nov 1971. Saya sangat bersyukur dibesarkan di tengah keluarga perpaduan dua negara. Ayah saya dari Armenia, Itali, yang beragama Kristen. Sementara ibu dari Indonesia, seorang keturunan Jawa beragama Islam, yang kuat dengan budaya kejawen.
Kombinasi dua budaya yang berbeda itu melahirkan kebebasan memeluk agama apapun bagi anak-anaknya. Yang terpenting buat kami adalah percaya adanya Tuhan. Kebebasan yang orang tua berikan membuat saya tidak tahu mana agama yang benar dan bisa saya jadikan jalan hidup.
Hal itu membuat saya terus mencari dengan cara membandingkan berbagai agama yang ada di negeri ini. Dalam pencarian tersebut saya mencoba mempelajari beberapa agama yang ada di Indonesia.
Bahkan ketika tinggal Bali, saya sempat memeluk agama mayoritas penduduk sana. Saya pun menjalaninya secara serius dan total. Saya tidak bisa melakukan atau meyakini sesuatu setengah hati. Bagaimanapun, sesuatu yang dilakukan dan diyakini setengah hati tidak akan terlaksana dengan baik dan benar. Apalagi itu sebuah keyakinan yang harus diketahui kebenarannya.
Tahun 1998 saya pindah ke Jakarta. Di sanalah saya diberi kesempatan untuk bisa melihat Islam lebih dekat. Bertanya tentang keislaman pun saya jadikan rutinitas sehari-hari.
Sulit dijelaskan dengan kata-kata, semakin hari ketertarikan saya pada Islam pun tumbuh. Keinginan untuk lebih banyak tahu pada Islam semakin menjadi. Kerinduan untuk memeluk Islam pun semakin menggebu. Bersyukur saat saya ungkapkan pada keluarga, saudara, dan teman-teman tentang kerinduan itu, mereka mendukungnya.
Saya pun lebih giat lagi memperdalam Islam, termasuk belajar shalat. Dengan semua modal itu, tanpa ada halang rintang yang berarti dan dengan niat serta ketulusan hati, pada tahun 2000, bertempat di Masjid Al Azhar Jakarta, saya memeluk agama Islam. Semoga ini jalan terbaik yang telah Allah tentukan untuk saya.
Subhanallah, keteduhan, ketenangan, dan kedamaian terasa menyejukkan batin ini. Saya telah menemukan kebenaran yang dicari selama ini. Dengan berusaha sabar dalam menjalani ujian dan cobaan hidup ini, senang maupun sulit, di kala lapang ataupun sempit, saya yakini semuanya sebagai pendidikan yang Allah berikan pada saya. Tentu ada hikmah atau pelajaran yang terbaik dari-Nya.
Beberapa bulan yang lalu, hampir beberapa kali saya mimpi bertemu Aa Gym. Aneh, tidak seperti biasanya. Mimpi itu sangat saya hafal detil kejadiannya. Padahal, jika bermimpi, saya sering kali lupa kejadian mimpi tersebut. Pada mimpi yang pertama, saya sakit dan Aa Gym mengobati sakit saya. Lalu mimpi selanjutnya, kejadiannya di sebuah masjid. Dalam mimpi tersebut, banyak orang yang ingin masuk ke dalam dan mendengarkan ceramah di dalam masjid tersebut. Saya pun berusaha masuk ke mesjid itu seperti yang lainnya. Namun berkali-kali saya mencoba masuk ke dalam, saya selalu terpental keluar, sampai akhirnya saya memutuskan duduk di tangga luar. Lalu Aa Gym menghampiri saya dan mengatakan, "Semua masalah itu ada jalan keluarnya. Dan yang memberi jalan keluarnya itu adalah Allah." Subhanallah! Mimpi yang tidak pernah saya lupakan. Saya pun semakin yakin pada Allah bahwa Allah akan menolong setiap makhluk-Nya yang ada dalam kesusahan.
Saya berharap dan berdoa, di tahun 2004 saya bisa menjadi manusia lebih baik di mata Allah, ibu yang baik bagi anak-anak, menjadi anak yang baik di mata orangtua, serta menjadi pendamping yang baik di mata suami.
Thursday, December 23, 2010
Anton Medan (Tan Hok Liang) : Menemukan Hidayah di Penjara
NAMA saya Tan Hok Liang, tapi biasa dipanggil Kok Lien. Saya dilahirkan di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, 1 Oktober 1957, sebagai anak ke-2 dari 17 bersaudara. Pada umur 8 tahun saya masuk SD Tebing Tinggi. Ketika saya sedang senang senangnya menikmati dunia pendidikan, tiba-tiba dunia sakolah terpaksa saya tinggalkan karena ibu menyuruh saya berhenti sekolah. Jadi, saya hanya tujuh bulan menikmati bangku SD. Mulai saat itulah saya menjadi tulang punggung keluarga. Saya sadar, mungkin inilah garis hidup saya. Saya terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja membantu mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari
Pada usia 12 tahun, saya mulai merantau dan menjadi anak jalanan di Terminal Tebing Tinggi. Sehari-hari saya menjadi calo, mencari penumpang bus. Suatu ketika, saya berhasil mencarikan banyak penumpang dari salah satu bus. Tapi entah mengapa, tidak seperti biasanya, saya tidak diberi upah.
Terbayang di mata saya wajah kedua orang tua, adik-adik, serta kakak saya yang senantiasa menunggu kiriman uang dari saya. Saya terlibat perang mulut dengan sopir bus tersebut. Tanpa sadar, saya ambil balok kayu dan saya pukulkan ke kepalanya. Akhirnya, saya berurusan dengan pihak yang berwajib. Di hadapan aparat kepolisian, saya tak mau mengaku bersalah. Saya menuntut hak saya yang tak diberikan oleh sopir bus itu.
Sebetulnya, saya tak ingin berurusan dengan pihak yang berwajib. Saya ingin hidup wajar-wajar saja. Tapi entah mengapa, kejadian di Terminal Tebing Tinggi itu terulang kembali di Terminal Medan. Dulu, selama di Terminal Tebing Tinggi, saya menjadi calo. Tapi, di Terminal Medan, saya beralih profesi menjadi pencuci bus.
Suatu ketika, tak saya sangka, tempat yang biasanya saya jadikan tempat menyimpan uang, ternyata robek. Uang saya pun ikut lenyap. Saya tahu siapa yang melakukan semua itu. Saya berusaha sabar untuk tak ribut dengannya. Saya peringatkan saja dia. Ternyata, mereka malah memukuli saya. Waktu itu saya berumur 13 tahun. Lawan saya orang yang sudah dewasa dan tinggi besar. Saya sakit hati, karena tak satu pun teman yang membantu saya. Tanpa pikir panjang, saya ambit parang bergerigi pembelah es yang tergeletak di antara kerumunan lalu saya bacok dia. Dia pun tewas. Lagi-lagi saya berurusan dengan polisi. Saat itu saya diganjar empat tahun hukuman di Penjara Jalan Tiang Listrik, Binjai. Masih saya ingat, ibu hanya menjenguk saya sekali saja.
Merantau ke Jakarta.
Setelah bebas dari penjara, saya pulang kampung. Tak pernah saya sangka, ternyata orang tua saya tak mau menerima saya kembali. Mereka malu mempunyai anak yang pernah masuk penjara. Hanya beberapa jam saya berada di rumah. Setelah itu, saya hengkang, mengembara ke Jakarta dengan menumpang KM Bogowonto.
Saya hanya mempunyai uang seribu rupiah. Tujuan utama saya ke Jakarta mencari alamat paman saya yang pernah menyayangi saga. Berbulan-bulan saga hidup menggelandang mencari alamat paman. Waktu itu alamat yang saya ingat hanyalah daerah Mangga Besar. Dengan susah payah, akhirnya saya temukan alamat paman. Sungguh tak saya sangka, paman yang dulu menyayangi saya, ternyata mengusir saya. Hilang sudah harapan saya untuk memperbaiki masa depan.
Tekad saya sudah bulat. Tak ada orang yang mau membantu saya untuk hidup secara wajar. Mulailah saya menjadi penjahat kecil-kecilan. Kejahatan pertama yang saya lakukan adalah menjambret tas dan perhiasan nenek-nenek yang akan melakukan sembahyang di klenteng.
Mulai saat itu saya telah berubah seratus persen. Keadaan mendorong saya untuk melakukan semua ini. Pelan-pelan dunia jambret saya tinggalkan. Saya beralih ke dunia rampok. Perdagangan obat-obat terlarang mulai saya rambah. Dan terakhir, saya beralih sebagai bandar judi. Saat-saat itulahsaya mengalami kejayaan. Masyarakat Jakarta menjuluki saya Si Anton Medan, penjahat kaliber kakap, penjahat kambuhan, yang hobinya keluar masuk penjara, dan lain-lain.
Proses mencari Tuhan
Tak terbilang berapa banyak LP (Lembaga Pemasyarakatan) dan rutan (rumah tahanan) yang sudah saya singgahi. Karena sudah terbiasa, saya tahu seluk-beluk rutan yang satu dengan rutan yang lain, baik itu sipirnya maupun fasilitas yang tersedia.
Di tembok penjara itulah saya sempat menemukan hidayah Tuhan. Ketika dilahirkan, saya memang beragama Budha. Kemudian saya berganti menjadi Kristen. Entah mengapa, tatkala bersentuhan dengan Islam, hati saya menjadi tenteram. Saya menemukan kesejukan di dalamnya.
Bayangkan, tujuh tahun saya mempelajari Islam. Pengembaraan saya mencari Tuhan, tak lepas dari peran teman-teman sesama tahanan. Misalnya, teman-teman yang terkena kasus Cicendo, dan sebagainya. Tanpa terasa, hukuman yang begitu panjang dapat saya lalui. Akhirnya saya menghirup udara segar kembali di tengah-tengah masyarakat. Tekad saya sudah bulat. Saya ingin berbuat kebaikan bagi sesama.
Masuk Islam
Tapi, kenyataannya ternyata berlainan. Begitu keluar dari penjara, saya dipaksa oleh aparat untuk membantu memberantas kejahatan. Terpaksa ini saya lakukan. Kalau tidak, saya bakal di 810-kan, alias didor. Dalam menjalankan tugas, saya selalu berhadapan dengan bandar-bandar judi kelas wahid. Sebutlah misalnya, Hong-lie atau Nyo Beng Seng. Akibat ulah Hong-lie, terpaksa saya bertindak keras kepadanya. Saya serahkan dia kepada pihak berwajib.
Dan akhirnya, saya menggantikan kedudukannya sebagai mafia judi. Sudah tak terhitung berapa banyak rumah-rurnah judi yang saya buka di Jakarta. Saya pun merambah dunia judi di luar negeri. Tapi, di situlah awal kejatuhan saya. Saya kalah judi bermiliar-miliar rupiah.
Ketidakberdayaan saya itulah akhimya yang membuat saya sadar. Mulailah saya hidup apa adanya. Saya tidak neko-neko lagi. Saya ingin mengabdikan hidup saya di tengah-tengah masyarakat. Untuk membuktikan kalau saya benar-benar bertobat, saya lalu masuk Islam dengan dituntun oleh KH. Zainuddin M.Z. Setelah itu, saya berganti nama menjadi Muhammad Ramdhan Effendi.
Kiprah saya untuk berbuat baik bukan hanya sebatas masuk Islam. Bersama-sama dengan K.H. Zainuddin M.Z., K.H. Nur Muhammad Iskandar S.Q., dan Pangdam Jaya (waktu itu) Mayjen A.M. Hendro Prijono, 10 Juni 1994, kami mendirikan Majels Taklim Atta'ibin.
Sengaja saya mendirikan majelis taklim ini untuk menampung dan membina para mantan napi (narapidana) dan tunakarya (pengangguran) untuk kembali ke jalan Yang benar. Alhamdulillah, usaha ini tak sia-sia. Pada tahun 1996, Majels Taklim Atta'ibin mempunyai status sebagai yayasan berbadan hukum yang disahkan oleh Notaris Darbi S.H. yang bernomor 273 tahun 1996.
Kini, keinginan saya hanya satu. Saya ingin mewujudkan pangabdian saya pada masyarakat lebih jauh lagi. Saya ingin mendirikan pondok pesantren. Di pondok inilah nantinya, saya harapkan para mantan napi dan tunakarya dapat terbina denganbaik. Entah kapan pondokpesantren harapan saya itu bisa terwujud. Saya hanya berusaha. Saya yakin nur Ilahi yang selama ini memayungi langkah saya akan membimbing saya mewujudkan impian-impian itu.
Pada usia 12 tahun, saya mulai merantau dan menjadi anak jalanan di Terminal Tebing Tinggi. Sehari-hari saya menjadi calo, mencari penumpang bus. Suatu ketika, saya berhasil mencarikan banyak penumpang dari salah satu bus. Tapi entah mengapa, tidak seperti biasanya, saya tidak diberi upah.
Terbayang di mata saya wajah kedua orang tua, adik-adik, serta kakak saya yang senantiasa menunggu kiriman uang dari saya. Saya terlibat perang mulut dengan sopir bus tersebut. Tanpa sadar, saya ambil balok kayu dan saya pukulkan ke kepalanya. Akhirnya, saya berurusan dengan pihak yang berwajib. Di hadapan aparat kepolisian, saya tak mau mengaku bersalah. Saya menuntut hak saya yang tak diberikan oleh sopir bus itu.
Sebetulnya, saya tak ingin berurusan dengan pihak yang berwajib. Saya ingin hidup wajar-wajar saja. Tapi entah mengapa, kejadian di Terminal Tebing Tinggi itu terulang kembali di Terminal Medan. Dulu, selama di Terminal Tebing Tinggi, saya menjadi calo. Tapi, di Terminal Medan, saya beralih profesi menjadi pencuci bus.
Suatu ketika, tak saya sangka, tempat yang biasanya saya jadikan tempat menyimpan uang, ternyata robek. Uang saya pun ikut lenyap. Saya tahu siapa yang melakukan semua itu. Saya berusaha sabar untuk tak ribut dengannya. Saya peringatkan saja dia. Ternyata, mereka malah memukuli saya. Waktu itu saya berumur 13 tahun. Lawan saya orang yang sudah dewasa dan tinggi besar. Saya sakit hati, karena tak satu pun teman yang membantu saya. Tanpa pikir panjang, saya ambit parang bergerigi pembelah es yang tergeletak di antara kerumunan lalu saya bacok dia. Dia pun tewas. Lagi-lagi saya berurusan dengan polisi. Saat itu saya diganjar empat tahun hukuman di Penjara Jalan Tiang Listrik, Binjai. Masih saya ingat, ibu hanya menjenguk saya sekali saja.
Merantau ke Jakarta.
Setelah bebas dari penjara, saya pulang kampung. Tak pernah saya sangka, ternyata orang tua saya tak mau menerima saya kembali. Mereka malu mempunyai anak yang pernah masuk penjara. Hanya beberapa jam saya berada di rumah. Setelah itu, saya hengkang, mengembara ke Jakarta dengan menumpang KM Bogowonto.
Saya hanya mempunyai uang seribu rupiah. Tujuan utama saya ke Jakarta mencari alamat paman saya yang pernah menyayangi saga. Berbulan-bulan saga hidup menggelandang mencari alamat paman. Waktu itu alamat yang saya ingat hanyalah daerah Mangga Besar. Dengan susah payah, akhirnya saya temukan alamat paman. Sungguh tak saya sangka, paman yang dulu menyayangi saya, ternyata mengusir saya. Hilang sudah harapan saya untuk memperbaiki masa depan.
Tekad saya sudah bulat. Tak ada orang yang mau membantu saya untuk hidup secara wajar. Mulailah saya menjadi penjahat kecil-kecilan. Kejahatan pertama yang saya lakukan adalah menjambret tas dan perhiasan nenek-nenek yang akan melakukan sembahyang di klenteng.
Mulai saat itu saya telah berubah seratus persen. Keadaan mendorong saya untuk melakukan semua ini. Pelan-pelan dunia jambret saya tinggalkan. Saya beralih ke dunia rampok. Perdagangan obat-obat terlarang mulai saya rambah. Dan terakhir, saya beralih sebagai bandar judi. Saat-saat itulahsaya mengalami kejayaan. Masyarakat Jakarta menjuluki saya Si Anton Medan, penjahat kaliber kakap, penjahat kambuhan, yang hobinya keluar masuk penjara, dan lain-lain.
Proses mencari Tuhan
Tak terbilang berapa banyak LP (Lembaga Pemasyarakatan) dan rutan (rumah tahanan) yang sudah saya singgahi. Karena sudah terbiasa, saya tahu seluk-beluk rutan yang satu dengan rutan yang lain, baik itu sipirnya maupun fasilitas yang tersedia.
Di tembok penjara itulah saya sempat menemukan hidayah Tuhan. Ketika dilahirkan, saya memang beragama Budha. Kemudian saya berganti menjadi Kristen. Entah mengapa, tatkala bersentuhan dengan Islam, hati saya menjadi tenteram. Saya menemukan kesejukan di dalamnya.
Bayangkan, tujuh tahun saya mempelajari Islam. Pengembaraan saya mencari Tuhan, tak lepas dari peran teman-teman sesama tahanan. Misalnya, teman-teman yang terkena kasus Cicendo, dan sebagainya. Tanpa terasa, hukuman yang begitu panjang dapat saya lalui. Akhirnya saya menghirup udara segar kembali di tengah-tengah masyarakat. Tekad saya sudah bulat. Saya ingin berbuat kebaikan bagi sesama.
Masuk Islam
Tapi, kenyataannya ternyata berlainan. Begitu keluar dari penjara, saya dipaksa oleh aparat untuk membantu memberantas kejahatan. Terpaksa ini saya lakukan. Kalau tidak, saya bakal di 810-kan, alias didor. Dalam menjalankan tugas, saya selalu berhadapan dengan bandar-bandar judi kelas wahid. Sebutlah misalnya, Hong-lie atau Nyo Beng Seng. Akibat ulah Hong-lie, terpaksa saya bertindak keras kepadanya. Saya serahkan dia kepada pihak berwajib.
Dan akhirnya, saya menggantikan kedudukannya sebagai mafia judi. Sudah tak terhitung berapa banyak rumah-rurnah judi yang saya buka di Jakarta. Saya pun merambah dunia judi di luar negeri. Tapi, di situlah awal kejatuhan saya. Saya kalah judi bermiliar-miliar rupiah.
Ketidakberdayaan saya itulah akhimya yang membuat saya sadar. Mulailah saya hidup apa adanya. Saya tidak neko-neko lagi. Saya ingin mengabdikan hidup saya di tengah-tengah masyarakat. Untuk membuktikan kalau saya benar-benar bertobat, saya lalu masuk Islam dengan dituntun oleh KH. Zainuddin M.Z. Setelah itu, saya berganti nama menjadi Muhammad Ramdhan Effendi.
Kiprah saya untuk berbuat baik bukan hanya sebatas masuk Islam. Bersama-sama dengan K.H. Zainuddin M.Z., K.H. Nur Muhammad Iskandar S.Q., dan Pangdam Jaya (waktu itu) Mayjen A.M. Hendro Prijono, 10 Juni 1994, kami mendirikan Majels Taklim Atta'ibin.
Sengaja saya mendirikan majelis taklim ini untuk menampung dan membina para mantan napi (narapidana) dan tunakarya (pengangguran) untuk kembali ke jalan Yang benar. Alhamdulillah, usaha ini tak sia-sia. Pada tahun 1996, Majels Taklim Atta'ibin mempunyai status sebagai yayasan berbadan hukum yang disahkan oleh Notaris Darbi S.H. yang bernomor 273 tahun 1996.
Kini, keinginan saya hanya satu. Saya ingin mewujudkan pangabdian saya pada masyarakat lebih jauh lagi. Saya ingin mendirikan pondok pesantren. Di pondok inilah nantinya, saya harapkan para mantan napi dan tunakarya dapat terbina denganbaik. Entah kapan pondokpesantren harapan saya itu bisa terwujud. Saya hanya berusaha. Saya yakin nur Ilahi yang selama ini memayungi langkah saya akan membimbing saya mewujudkan impian-impian itu.
Willibrordus Surendra Broto Rendra (WS Rendra) : air zamzam pun rasanya seperti Minuman Chevas Regal
Meskipun sudah menjadi orang Islam, tetapi saya masih suka meminum minuman keras. Seenaknya saja saya katakan bahwa tidak ada masalah dengan hal itu. Waktu itu, saya selalu katakan, kalau saya membaca bismillahirrahmanirrahim, maka minuman keras menjadi air.
Saya memang telah memilih jalan hidup saya sebagai seniman. Sejak muda, saya telah malang-melintang di dunia teater. Bahkan, kemudian saya dikenal-sebagai "dedengkot" Bengkel Teater sewaktu masih tinggal di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater inilah saya telah mendapatkan segalanya: popularitas, istri, dan juga materi. Bahkan tidak tanggung-tanggung, dalam kemiskinan sebagai seniman pada waktu itu, saya dapat memboyong seorang putri Keraton Prabuningratan, BRA Sitoresmi Prabuningrat, yang kemudian menjadi istri saya yang kedua.
Tetapi justru, melalui perkawinan dengan putri keraton inilah, akhirnya saya menyatakan diri sebagai seorang muslim. Sebelumnya saya beragama Katolik. Meskipun dalam rentang waktu yang cukup panjang - setelah memperoleh 4 orang anak - perkawinan saya kandas. Tetapi, keyakinan saya sebagai seorang muslim tetap terjaga.
Bahkan, setelah perkawinan dengan istri yang ketiga, Ken Zuraida, saya semakin rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan bukan suatu kebetulan, jika saya kemudian bergabung bersama Setiawan Djodi dan Iwan Falls dalam grup Swami dan Kantata Takwa.
Bagi saya, puisi bukan hanya sekadar ungkapan perasaan seorang seniman. Tetapi lebih dari itu, puisi merupakan sikap perlawanan saya kepada setiap bentuk kezaliman dan ketidakadilan. Dan, itulah manifestasi dari amar ma'ruf nahi munkar seperti yang selalu diperintahkan Allah di dalam Al-Qur'an.
Sebagai penyair, saya berusaha konsisten dengan sikap saya. Bagi saga, menjadi penyair pada hakikatnya menjadi cermin hati nurani dan kemanusiaan. Penyair itu bukan buku yang dapat dibakar atau dilarang, bukan juga benteng yang bisa dihancur leburkan. Ia adalah hati nurani yang tidak dapat disamaratakan dengan tanah. Mereka memang dapat dikalahkan, tetapi tidak dapat disamaratakan dengan tanah begitu saja.
Pergi Haji
Ketika naik haji, apa saja yang saya tenggak terasa seperti minuman keras merek Chevas Regal. Minum di sini, minum di sana, rasanya seperti minuman keras. Bahkan, air zamzam pun rasanya seperti Chevas Regal, sampai saya bersendawa, seperti orang yang selesai meminum minuman keras.
Lirih, saya memohon. "Aduh, ya Allah, saya ini sudah memohon ampun. Ampun, ampun, ampun, ya Allah." Saya betul-betul merasa takut, kecut, malu, dan juga marah, sehingga saya ingin berteriak, "Bagaimana, sih? Apa maksud-Mu? Jangan permalukan saya, dong!" Saya baru merasakan air lagi dalam penerbangan dari Jedah ke Amsterdam. Alhamdulillah! Saya betul-betul bersyukur. Setelah ini, saya tidak akan meminum minuman keras lagi.
Saya memang telah memilih jalan hidup saya sebagai seniman. Sejak muda, saya telah malang-melintang di dunia teater. Bahkan, kemudian saya dikenal-sebagai "dedengkot" Bengkel Teater sewaktu masih tinggal di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater inilah saya telah mendapatkan segalanya: popularitas, istri, dan juga materi. Bahkan tidak tanggung-tanggung, dalam kemiskinan sebagai seniman pada waktu itu, saya dapat memboyong seorang putri Keraton Prabuningratan, BRA Sitoresmi Prabuningrat, yang kemudian menjadi istri saya yang kedua.
Tetapi justru, melalui perkawinan dengan putri keraton inilah, akhirnya saya menyatakan diri sebagai seorang muslim. Sebelumnya saya beragama Katolik. Meskipun dalam rentang waktu yang cukup panjang - setelah memperoleh 4 orang anak - perkawinan saya kandas. Tetapi, keyakinan saya sebagai seorang muslim tetap terjaga.
Bahkan, setelah perkawinan dengan istri yang ketiga, Ken Zuraida, saya semakin rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan bukan suatu kebetulan, jika saya kemudian bergabung bersama Setiawan Djodi dan Iwan Falls dalam grup Swami dan Kantata Takwa.
Bagi saya, puisi bukan hanya sekadar ungkapan perasaan seorang seniman. Tetapi lebih dari itu, puisi merupakan sikap perlawanan saya kepada setiap bentuk kezaliman dan ketidakadilan. Dan, itulah manifestasi dari amar ma'ruf nahi munkar seperti yang selalu diperintahkan Allah di dalam Al-Qur'an.
Sebagai penyair, saya berusaha konsisten dengan sikap saya. Bagi saga, menjadi penyair pada hakikatnya menjadi cermin hati nurani dan kemanusiaan. Penyair itu bukan buku yang dapat dibakar atau dilarang, bukan juga benteng yang bisa dihancur leburkan. Ia adalah hati nurani yang tidak dapat disamaratakan dengan tanah. Mereka memang dapat dikalahkan, tetapi tidak dapat disamaratakan dengan tanah begitu saja.
Pergi Haji
Ketika naik haji, apa saja yang saya tenggak terasa seperti minuman keras merek Chevas Regal. Minum di sini, minum di sana, rasanya seperti minuman keras. Bahkan, air zamzam pun rasanya seperti Chevas Regal, sampai saya bersendawa, seperti orang yang selesai meminum minuman keras.
Lirih, saya memohon. "Aduh, ya Allah, saya ini sudah memohon ampun. Ampun, ampun, ampun, ya Allah." Saya betul-betul merasa takut, kecut, malu, dan juga marah, sehingga saya ingin berteriak, "Bagaimana, sih? Apa maksud-Mu? Jangan permalukan saya, dong!" Saya baru merasakan air lagi dalam penerbangan dari Jedah ke Amsterdam. Alhamdulillah! Saya betul-betul bersyukur. Setelah ini, saya tidak akan meminum minuman keras lagi.
"Saya Murtad Selama 36 Tahun"
Laksamana TNI (Purn) Sudomo Merasa Terlahir Kembali. Lebih tenang dan khusyuk. Itulah yang dirasakan Laksamana TNI (Purn) Sudomo di hari tuanya. Di usianya yang sudah senja, mantan Pangkopkamtib di era Soeharto justru menemukan hidupnya.
"Kalau orang lain berkata hidup dimulai umur 40 tahun, saya justru mulai umur 75 tahun," kata Sudomo saat ditemui di kediamannya yang sejuk di Pondok Indah, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bukan tanpa alasan bila penggemar olahraga golf ini berkata demikian. Dia mengaku hampir sebagian besar usianya dilalui dengan gundah dan gelisah. Salah satu penyebabnya karena sosok yang menghabiskan sebagian besar umurnya - 53 tahun di pemerintahan dengan berbagai jabatan -sebagai umaro ini pernah murtad. Itu semua menjadi penyebab jauhnya ketenangan dari hidupnya.
"Terus terang saja dan bukan rahasia umum, saya dulu kan murtad," kata Sudomo sambil tertawa. "Dan celakanya semua itu saya lakukan tanpa pikir panjang dan memberi tahu orang tua," lanjutnya. Wajahnya berubah serius.
Seiring waktu, Sudomo pun merindukan ketenangan hati dan kembali pada keyakinannya semula. "Kasih sayang Allah pada hamba-Nya lebih luas daripada murka-Nya." Sudomo merasakan betul makna ayat itu. Waktu membawanya ke kota kelahirannya, Malang. Saat itu, bertepatan 22 Agustus 1997, ia melihat Masjid Al Huda di kompleks Kostrad Malang. Hatinya tersentuh. Diapun memutuskan untuk kembali.
"Itu peristiwa luar biasa. Nama masjid itu sendiri berarti petunjuk. Dan di situ saya mendapat petunjuk. Mungkin ini hikmah dari doa orang tua saya yang selalu berdoa agar saya kembali," kenang Sudomo yang tampak lebih gemuk. Ia baru saja keliling Eropa sebulan penuh.
Peristiwa itu laiknya sebuah kelahiran bagi dirinya dan anugerah yang luar biasa dari Yang di Atas. "Saya sangat senang diberi kesempatan bertobat. Bayangkan kalau saya meninggal sebelum bertobat bisa-bisa masuk neraka saya," ujarnya.
Sebagai rasa syukur, tahun itu juga Sudomo menunaikan umrah pertamanya. Ibadah haji dia lakukan tahun berikutnya. Sampai sekarang sudah lima kali ia berumrah. Tahun ini Sudomo kembali menjadi tamu Allah bersama jutaan umat yang lain.
Ia mengaku punya pengalaman aneh saat menjadi tamu Allah. Peristiwa tersebut dialami saat menunaikan ibadah haji 1998 dan 2002. Ketika tawaf Sudomo ingin berada sedekat mungkin dekat Ka'bah. Ia pun berdoa dan membaca Asmaul Husna. Tiba-tiba ia merasa Ka'bah sangat dekat dengan dirinya.
"Barisan orang yang sedang tawaf seperti terbuka begitu saja sampai-sampai ustadz saya mengikuti dari belakang mendekati Ka'bah. Alhamdulillah," kata Sudomo mengenang kejadian enam tahun silam. "Doa di sana memang sangat mustajab," lanjut Sudomo.
Setelah semua yang dilalui, Sudomo yang tetap rutin menyelam tiga bulan sekali, mengaku lebih tenang dan bahagia. Shalat lima waktu pun selalu tepat waktu dijalankan. Ia melakukan shalat Shubuh di Masjid Al Ihsan Kebayoran Baru tiap hari. Di situ ia berjumpa guru spiritualnya Mawardi Labai.
Tentang hobi menyelamnya itu Sudomo mengaku membawanya semakin dekat dengan Allah. "Saat kita di bawah, bersama dengan ikan warna-warni dan gugusan karang serta sinar matahari yang menembus ke bawah, Allah terasa semakin dekat," katanya puitis.
Kini sebagian besar waktunya praktis digunakan untuk mempelajari dan mendalami agama, beribadah, beramal, serta sesekali berdakwah untuk kalangan terbatas. Sebuah yayasan, Husnul Khotimah ia bangun pada 1998 untuk mewadahi semua kegiatan. Sebuah desa kecil di Bogor, Cijayanti, menjadi ladang persemaian pertobatannya.
Dengan selera humor yang tak pernah kering, Sudomo mengatakan bahwa apa yang ia lakukan kini tak lebih dari sebuah penanaman modal akhirat atau PMA. Semua kegiatan itu, menurutnya memberikan kebahagiaan yang tidak dapat diukur dengan materi yang belum pernah didapat sebelumnya.
Terakhir, yang ingin dilakukan adalah menjadi ustadz. Saat ini apa yang dilakukan baru membawa dirinya seorang 'ulama' kependekan dari usia lanjut makin agresif. Dia mengatakan harus agresif dalam amal dan ibadah.
***
Rambutnya memutih semua. Kepala bulat dengan logat bicara yang kental Jawa, Laksamana Purnawirawan Sudomo bercerita tentang kehidupan spiritualnya.
Sudomo memang menarik. Terlahir sebagai muslim dari pasangan Martomiharjo dan Soleha, 20 September 1926, mantan Menteri Tenaga Kerja ini beberapa kali pindah agama untuk alasan menikah. Sosok yang seringkali ditafsirkan sebagai tokoh menyeramkan ini tiga kali menikah. Semua berakhir dengan perceraian.
Saat ditemui Hot Shots, bekas Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ini terlihat tenang. Berpeci hitam dengan senyum menghias di bibirnya. Dia mengaku bersyukur masih diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk bisa kembali memeluk Islam pada 22 Agustus 1997. "Ada kebahagiaan tersendiri karena menekuni iman," kata kelahiran Malang, Jawa Timur ini.
"Saya murtad selama 36 tahun," kata Sudomo lagi. Dari tiga perkawinannnya, yang bisa dibilang ramai dibicarakan orang adalah pernikahan keduanya, yaitu dengan Sisca pada 20 September 1990 di Gereja Paulus di Jalan Taman Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. Sudomo masuk Kristen untuk bisa menikahi wanita itu. Bahkan, tentang ini, ada akronim yang ditujukan kepadanya: SDSB yaitu Sisca Datang Sudomo Bertekuk lutut.
"Kalau orang lain berkata hidup dimulai umur 40 tahun, saya justru mulai umur 75 tahun," kata Sudomo saat ditemui di kediamannya yang sejuk di Pondok Indah, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bukan tanpa alasan bila penggemar olahraga golf ini berkata demikian. Dia mengaku hampir sebagian besar usianya dilalui dengan gundah dan gelisah. Salah satu penyebabnya karena sosok yang menghabiskan sebagian besar umurnya - 53 tahun di pemerintahan dengan berbagai jabatan -sebagai umaro ini pernah murtad. Itu semua menjadi penyebab jauhnya ketenangan dari hidupnya.
"Terus terang saja dan bukan rahasia umum, saya dulu kan murtad," kata Sudomo sambil tertawa. "Dan celakanya semua itu saya lakukan tanpa pikir panjang dan memberi tahu orang tua," lanjutnya. Wajahnya berubah serius.
Seiring waktu, Sudomo pun merindukan ketenangan hati dan kembali pada keyakinannya semula. "Kasih sayang Allah pada hamba-Nya lebih luas daripada murka-Nya." Sudomo merasakan betul makna ayat itu. Waktu membawanya ke kota kelahirannya, Malang. Saat itu, bertepatan 22 Agustus 1997, ia melihat Masjid Al Huda di kompleks Kostrad Malang. Hatinya tersentuh. Diapun memutuskan untuk kembali.
"Itu peristiwa luar biasa. Nama masjid itu sendiri berarti petunjuk. Dan di situ saya mendapat petunjuk. Mungkin ini hikmah dari doa orang tua saya yang selalu berdoa agar saya kembali," kenang Sudomo yang tampak lebih gemuk. Ia baru saja keliling Eropa sebulan penuh.
Peristiwa itu laiknya sebuah kelahiran bagi dirinya dan anugerah yang luar biasa dari Yang di Atas. "Saya sangat senang diberi kesempatan bertobat. Bayangkan kalau saya meninggal sebelum bertobat bisa-bisa masuk neraka saya," ujarnya.
Sebagai rasa syukur, tahun itu juga Sudomo menunaikan umrah pertamanya. Ibadah haji dia lakukan tahun berikutnya. Sampai sekarang sudah lima kali ia berumrah. Tahun ini Sudomo kembali menjadi tamu Allah bersama jutaan umat yang lain.
Ia mengaku punya pengalaman aneh saat menjadi tamu Allah. Peristiwa tersebut dialami saat menunaikan ibadah haji 1998 dan 2002. Ketika tawaf Sudomo ingin berada sedekat mungkin dekat Ka'bah. Ia pun berdoa dan membaca Asmaul Husna. Tiba-tiba ia merasa Ka'bah sangat dekat dengan dirinya.
"Barisan orang yang sedang tawaf seperti terbuka begitu saja sampai-sampai ustadz saya mengikuti dari belakang mendekati Ka'bah. Alhamdulillah," kata Sudomo mengenang kejadian enam tahun silam. "Doa di sana memang sangat mustajab," lanjut Sudomo.
Setelah semua yang dilalui, Sudomo yang tetap rutin menyelam tiga bulan sekali, mengaku lebih tenang dan bahagia. Shalat lima waktu pun selalu tepat waktu dijalankan. Ia melakukan shalat Shubuh di Masjid Al Ihsan Kebayoran Baru tiap hari. Di situ ia berjumpa guru spiritualnya Mawardi Labai.
Tentang hobi menyelamnya itu Sudomo mengaku membawanya semakin dekat dengan Allah. "Saat kita di bawah, bersama dengan ikan warna-warni dan gugusan karang serta sinar matahari yang menembus ke bawah, Allah terasa semakin dekat," katanya puitis.
Kini sebagian besar waktunya praktis digunakan untuk mempelajari dan mendalami agama, beribadah, beramal, serta sesekali berdakwah untuk kalangan terbatas. Sebuah yayasan, Husnul Khotimah ia bangun pada 1998 untuk mewadahi semua kegiatan. Sebuah desa kecil di Bogor, Cijayanti, menjadi ladang persemaian pertobatannya.
Dengan selera humor yang tak pernah kering, Sudomo mengatakan bahwa apa yang ia lakukan kini tak lebih dari sebuah penanaman modal akhirat atau PMA. Semua kegiatan itu, menurutnya memberikan kebahagiaan yang tidak dapat diukur dengan materi yang belum pernah didapat sebelumnya.
Terakhir, yang ingin dilakukan adalah menjadi ustadz. Saat ini apa yang dilakukan baru membawa dirinya seorang 'ulama' kependekan dari usia lanjut makin agresif. Dia mengatakan harus agresif dalam amal dan ibadah.
***
Rambutnya memutih semua. Kepala bulat dengan logat bicara yang kental Jawa, Laksamana Purnawirawan Sudomo bercerita tentang kehidupan spiritualnya.
Sudomo memang menarik. Terlahir sebagai muslim dari pasangan Martomiharjo dan Soleha, 20 September 1926, mantan Menteri Tenaga Kerja ini beberapa kali pindah agama untuk alasan menikah. Sosok yang seringkali ditafsirkan sebagai tokoh menyeramkan ini tiga kali menikah. Semua berakhir dengan perceraian.
Saat ditemui Hot Shots, bekas Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ini terlihat tenang. Berpeci hitam dengan senyum menghias di bibirnya. Dia mengaku bersyukur masih diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk bisa kembali memeluk Islam pada 22 Agustus 1997. "Ada kebahagiaan tersendiri karena menekuni iman," kata kelahiran Malang, Jawa Timur ini.
"Saya murtad selama 36 tahun," kata Sudomo lagi. Dari tiga perkawinannnya, yang bisa dibilang ramai dibicarakan orang adalah pernikahan keduanya, yaitu dengan Sisca pada 20 September 1990 di Gereja Paulus di Jalan Taman Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. Sudomo masuk Kristen untuk bisa menikahi wanita itu. Bahkan, tentang ini, ada akronim yang ditujukan kepadanya: SDSB yaitu Sisca Datang Sudomo Bertekuk lutut.
Thursday, December 16, 2010
Kisah Pencuci Piring
Saya lupa darimana artikel ini saya dapatkan. Yang jelas bukan tulisan saya. Semoga berguna.
Siapa yang paling berbahagia saat pesta pernikahan berlangsung? Bisa jadi kedua mempelai yang menunggu detik-detik memadu kasih. Meski lelah menderanya namun tetap mampu tersenyum hingga tamu terakhir pun. Berbulan bahkan hitungan tahun sudah mereka menunggu hari bahagia ini. Mungkin orang tua si gadis yang baru saja menuntaskan kewajiban terakhirnya dengan mendapatkan lelaki yang akan menggantikan perannya membimbing putrinya untuk langkah selanjutnya setelah hari pernikahan. Atau bahkan ibu pengantin pria yang terlihat terus menerus sumringah, ia membayangkan akan segera menimang cucu dari putranya. “Aih, pasti segagah kakeknya,” impinya.
Para tamu yang hadir dalam pesta tersebut tak luput terjangkiti aura kebahagiaan, itu nampak dari senyum, canda, dan keceriaan yang tak hentinya sepanjang mereka berada di pesta. Bagi sanak saudara dan kerabat orang tua kedua mempelai, bisa jadi momentum ini dijadikan ajang silaturahim, kalau perlu rapat keluarga besar pun bisa berlangsung di sela-sela pesta. Sementara teman dan sahabat kedua mempelai menyulap pesta pernikahan itu menjadi reuni yang tak direncanakan. Mungkin kalau sengaja diundang untuk acara reuni tidak ada yang hadir, jadilah reuni satu angkatan berlangsung. Dan satu lagi, bagi mereka yang jarang-jarang menikmati makanan bergizi plus, inilah saatnya perbaikan gizi walau bermodal uang sekadarnya di amplop yang tertutup rapat.
Nyaris tidak ada hadirin yang terlihat sedih atau menangis di pesta itu kecuali air mata kebahagiaan. Kalau pun ada, mungkin mereka yang sakit hati pria pujaannya tidak menikah dengannya. Atau para pria yang sakit hati lantaran primadona kampungnya dipersunting pria dari luar kampung. Namun tetap saja tak terlihat di pesta itu, mungkin mereka meratap di balik dinding kamarnya sambil memeluk erat gambar pria yang baru saja menikah itu. Dan pria-pria sakit hati itu hanya bisa menggerutu dan menyimpan kecewanya dalam hati ketika harus menyalami dan memberi selamat kepada wanita yang harus mereka relakan menjadi milik pria lain.
Apa benar-benar tidak ada yang bersedih di pesta itu? Semula saya mengira yang paling bersedih hanya tukang pembawa piring kotor yang pernah saya ketahui hanya mendapat upah sepuluh ribu rupiah plus sepiring makan gratis untuk ratusan piring yang ia angkat. Sepuluh ribu rupiah yang diterima setelah semua tamu pulang itu, sungguh tak cukup mengeringkan peluhnya. Sedih, pasti.
Tak lama kemudian saya benar-benar mendapati orang yang lebih bersedih di pesta itu. Mereka memang tak terlihat ada di pesta, juga tak mengenakan pakaian bagus lengkap dengan dandanan yang tak biasa dari keseharian di hari istimewa itu. Mereka hanya ada di bagian belakang dari gedung tempat pesta berlangsung, atau bagian tersembunyi dengan terpal yang menghalangi aktivitas mereka di rumah si empunya pesta. Mereka lah para pencuci piring bekas makan para tamu terhormat di ruang pesta.
Bukan, mereka bukan sedih lantaran mendapat bayaran yang tak jauh berbeda dengan pembawa piring kotor. Mereka juga tidak sedih hanya karena harus belakangan mendapat jatah makan, itu sudah mereka sadari sejak awal mengambil peran sebagai pencuci piring. Juga bukan karena tak sempat memberikan doa selamat dan keberkahan untuk pasangan pengantin yang berbahagia, meski apa yang mereka kerjakan mungkin lebih bernilai dari doa-doa para tamu yang hadir.
Air mata mereka keluar setiap kali memandangi nasi yang harus terbuang teramat banyak, juga potongan daging atau makanan lain yang tak habis disantap para tamu. Tak tertahankan sedih mereka saat membayangkan tumpukan makanan sisa itu dan memasukkannya dalam karung untuk kemudian singgah di tempat sampah, sementara anak-anak mereka di rumah sering harus menahan lapar hingga terlelap.
Andai para tamu itu tak mengambil makanan di luar batas kemampuannya menyantap, andai mereka yang berpakaian bagus di pesta itu tak taati nafsunya untuk mengambil semua yang tersedia padahal tak semua bisa masuk dalam perut mereka, mungkin akan ada sisa makanan untuk anak-anak di panti anak yatim tak jauh dari tempat pesta itu. Andai pula mereka mengerti buruknya berbuat mubazir, mungkin ratusan anak yatim dan kaum fakir bisa terundang untuk ikut menikmati hidangan dalam pesta itu.
Dicopy dari: http://tausyiah275.blogsome.com/2010/01/16/kisah-pencuci-piring/
Siapa yang paling berbahagia saat pesta pernikahan berlangsung? Bisa jadi kedua mempelai yang menunggu detik-detik memadu kasih. Meski lelah menderanya namun tetap mampu tersenyum hingga tamu terakhir pun. Berbulan bahkan hitungan tahun sudah mereka menunggu hari bahagia ini. Mungkin orang tua si gadis yang baru saja menuntaskan kewajiban terakhirnya dengan mendapatkan lelaki yang akan menggantikan perannya membimbing putrinya untuk langkah selanjutnya setelah hari pernikahan. Atau bahkan ibu pengantin pria yang terlihat terus menerus sumringah, ia membayangkan akan segera menimang cucu dari putranya. “Aih, pasti segagah kakeknya,” impinya.
Para tamu yang hadir dalam pesta tersebut tak luput terjangkiti aura kebahagiaan, itu nampak dari senyum, canda, dan keceriaan yang tak hentinya sepanjang mereka berada di pesta. Bagi sanak saudara dan kerabat orang tua kedua mempelai, bisa jadi momentum ini dijadikan ajang silaturahim, kalau perlu rapat keluarga besar pun bisa berlangsung di sela-sela pesta. Sementara teman dan sahabat kedua mempelai menyulap pesta pernikahan itu menjadi reuni yang tak direncanakan. Mungkin kalau sengaja diundang untuk acara reuni tidak ada yang hadir, jadilah reuni satu angkatan berlangsung. Dan satu lagi, bagi mereka yang jarang-jarang menikmati makanan bergizi plus, inilah saatnya perbaikan gizi walau bermodal uang sekadarnya di amplop yang tertutup rapat.
Nyaris tidak ada hadirin yang terlihat sedih atau menangis di pesta itu kecuali air mata kebahagiaan. Kalau pun ada, mungkin mereka yang sakit hati pria pujaannya tidak menikah dengannya. Atau para pria yang sakit hati lantaran primadona kampungnya dipersunting pria dari luar kampung. Namun tetap saja tak terlihat di pesta itu, mungkin mereka meratap di balik dinding kamarnya sambil memeluk erat gambar pria yang baru saja menikah itu. Dan pria-pria sakit hati itu hanya bisa menggerutu dan menyimpan kecewanya dalam hati ketika harus menyalami dan memberi selamat kepada wanita yang harus mereka relakan menjadi milik pria lain.
Apa benar-benar tidak ada yang bersedih di pesta itu? Semula saya mengira yang paling bersedih hanya tukang pembawa piring kotor yang pernah saya ketahui hanya mendapat upah sepuluh ribu rupiah plus sepiring makan gratis untuk ratusan piring yang ia angkat. Sepuluh ribu rupiah yang diterima setelah semua tamu pulang itu, sungguh tak cukup mengeringkan peluhnya. Sedih, pasti.
Tak lama kemudian saya benar-benar mendapati orang yang lebih bersedih di pesta itu. Mereka memang tak terlihat ada di pesta, juga tak mengenakan pakaian bagus lengkap dengan dandanan yang tak biasa dari keseharian di hari istimewa itu. Mereka hanya ada di bagian belakang dari gedung tempat pesta berlangsung, atau bagian tersembunyi dengan terpal yang menghalangi aktivitas mereka di rumah si empunya pesta. Mereka lah para pencuci piring bekas makan para tamu terhormat di ruang pesta.
Bukan, mereka bukan sedih lantaran mendapat bayaran yang tak jauh berbeda dengan pembawa piring kotor. Mereka juga tidak sedih hanya karena harus belakangan mendapat jatah makan, itu sudah mereka sadari sejak awal mengambil peran sebagai pencuci piring. Juga bukan karena tak sempat memberikan doa selamat dan keberkahan untuk pasangan pengantin yang berbahagia, meski apa yang mereka kerjakan mungkin lebih bernilai dari doa-doa para tamu yang hadir.
Air mata mereka keluar setiap kali memandangi nasi yang harus terbuang teramat banyak, juga potongan daging atau makanan lain yang tak habis disantap para tamu. Tak tertahankan sedih mereka saat membayangkan tumpukan makanan sisa itu dan memasukkannya dalam karung untuk kemudian singgah di tempat sampah, sementara anak-anak mereka di rumah sering harus menahan lapar hingga terlelap.
Andai para tamu itu tak mengambil makanan di luar batas kemampuannya menyantap, andai mereka yang berpakaian bagus di pesta itu tak taati nafsunya untuk mengambil semua yang tersedia padahal tak semua bisa masuk dalam perut mereka, mungkin akan ada sisa makanan untuk anak-anak di panti anak yatim tak jauh dari tempat pesta itu. Andai pula mereka mengerti buruknya berbuat mubazir, mungkin ratusan anak yatim dan kaum fakir bisa terundang untuk ikut menikmati hidangan dalam pesta itu.
Dicopy dari: http://tausyiah275.blogsome.com/2010/01/16/kisah-pencuci-piring/
Istri-istri Rasululloh SAW
Berawal dari komentar mas Ruly di sini, aku jadikan artikel saja, agar pengetahuan kita (terhadap Rasululloh SAW) lebih bertambah.
Berikut ini kita tampilkan nama-nama Istri Nabi Muhammad SAW beserta sekilas penjelasannya:
1. SITI KHADIJAH: Nabi mengawini Khadijah ketika Nabi masih berumur 25 tahun, sedangkan Khadijah sudah berumur 40 tahun. Khadijah sebelumnya sudah menikah 2 kali sebelum menikah dengan Nabi SAW. Suami pertama Khadijah adalah Aby Haleh Al Tamimy dan suami keduanya adalah Oteaq Almakzomy, keduanya sudah meninggal sehingga menyebabkan Khadijah menjadi janda. Lima belas tahun setelah menikah dengan Khadijah, Nabi Muhammad SAW pun diangkat menjadi Nabi, yaitu pada umur 40 tahun. Khadijah meninggal pada tahun 621 A.D, dimana tahun itu bertepatan dengan Mi’raj nya Nabi Muhammad SAW ke Surga. Nabi SAW sangatlah mencintai Khadijah. Sehingga hanya setelah sepeninggalnya Khadijah lah Nabi SAW baru mau menikahi wanita lain.
2. SAWDA BINT ZAM’A: Suami pertamanya adalah Al Sakran Ibn Omro Ibn Abed Shamz, yang meninggal beberapa hari setelah kembali dari Ethiophia. Umur Sawda Bint Zam’a sudah 65 tahun, tua, miskin dan tidak ada yang mengurusinya. Inilah sebabnya kenapa Nabi SAW menikahinya.
3. AISHA SIDDIQA: Seorang perempuan bernama Kholeah Bint Hakeem menyarankan agar Nabi SAW mengawini Aisha, putri dari Aby Bakrs, dengan tujuan agar mendekatkan hubungan dengan keluarga Aby Bakr. Waktu itu Aishah sudah bertunangan dengan Jober Ibn Al Moteam Ibn Oday, yang pada saat itu adalah seorang Non-Muslim. Orang-orang di Makkah tidaklah keberatan dengan perkawinan Aishah, karena walaupun masih muda, tapi sudah cukup dewasa untuk mengerti tentang tanggung jawab didalam sebuah perkawinan. Nabi Muhammad SAW bertunangan dulu selama 2 tahun dengan Aishah sebelum kemudian mengawininya. Dan bapaknya Aishah, Abu Bakr pun kemudian menjadi khalifah pertama setelah Nabi SAW meninggal.
4. HAFSAH BINT UMAR: Hafsah adalah putri dari Umar, khalifah ke dua. Pada mulanya, Umar meminta Usman mengawini anaknya, Hafsah. Tapi Usman menolak karena istrinya baru saja meninggal dan dia belum mau kawin lagi. Umar pun pergi menemui Abu Bakar yang juga menolak untuk mengawini Hafsah. Akhirnya Umar pun mengadu kepada nabi bahwa Usman dan Abu Bakar tidak mau menikahi anaknya. Nabi SAW pun berkata pada Umar bahwa anaknya akan menikah demikian juga Usman akan kawin lagi. Akhirnya, Usman mengawini putri Nabi SAW yiatu Umi Kaltsum, dan Hafsah sendiri kawin dengan Nabi SAW. Hal ini membuat Usman dan Umar gembira.
5. ZAINAB BINT KHUZAYMA: Suaminya meninggal pada perang UHUD, meninggalkan dia yang miskin dengan beberapa orang anak. Dia sudah tua ketika nabi SAW mengawininya. Dia meninggal 3 bulan setelah perkawinan yaitu pada tahun 625 A.D.
6. SALAMA BINT UMAYYA: Suaminya, Abud Allah Abud Al Assad Ibn Al Mogherab, meninggal dunia, sehingga meninggalkan dia dan anak-anaknya dalam keadaan miskin. Dia saat itu berumur 65 tahun. Abu Bakar dan beberapa sahabat lainnya meminta dia mengawini nya, tapi karena sangat cintanya dia pada suaminya, dia menolak. Baru setelah Nabi Muhammad SAW mengawininya dan merawat anak-anaknya, dia bersedia.
7. ZAYNAB BINT JAHSH: Dia adalah putri Bibinya Nabi Muhammad SAW, Umamah binti Abdul Muthalib. Pada awalnya Nabi Muhammad SAW sudah mengatur agar Zaynab mengawini Zayed Ibn Hereathah Al Kalby. Tapi perkawinan ini kandas ndak lama, dan Nabi menerima wahyu bahwa jika mereka bercerai nabi mesti mengawini Zaynab (surat 33:37).
8. JUAYRIYA BINT AL-HARITH: Suami pertamanya adalah Masafeah Ibn Safuan. Nabi Muhammad SAW menghendaki agar kelompok dari Juayreah (Bani Al Mostalaq) masuk Islam. Juayreah menjadi tahanan ketika Islam menang pada perang Al-Mustalaq (Battle of Al-Mustalaq). Bapak Juayreyah datang pada Nabi SAW dan memberikan uang sebagai penebus anaknya, Juayreyah. Nabi SAW pun meminta sang Bapak agar membiarkan Juayreayah untuk memilih. Ketika diberi hak untuk memilih, Juayreyah menyatakan ingin masuk islam dan menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah yang terakhir. Akhirnya Nabi pun mengawininya, dan Bani Almustalaq pun masuk islam.
9. SAFIYYA BINT HUYAYY: Dia adalah dari kelompok Jahudi Bani Nadir. Dia sudah menikah dua kali sebelumnya, dan kemudian menikahi Nabi SAW. Cerita nya cukup menarik, mungkin Insya Allah disampaikan terpisah.
10. UMMU HABIBA BINT SUFYAN: Suami pertamanya adalah Aubed Allah Jahish. Dia adalah anak dari Bibi Rasulullah SAW. Aubed Allah meninggak di Ethiopia. Raja Ethiopia pun mengatur perkawinan dengan Nabi SAW. Dia sebenarnya menikah dengan nabi SAW pada 1 AH, tapi baru pada 7 A.H pindah dan tinggal bersama Nabi SAW di Madina, ketika nabi 60 tahun dan dia 35 tahun.
11. MAYMUNA BINT AL-HARITH: Dia masih berumur 36 tahun ketika menikah dengan Nabi Muhammad SAW yang sudah 60 tahun. Suami pertamanya adalah Abu Rahma Ibn Abed Alzey. Ketika Nabi SAW membuka Makkah di tahun 630 A.D, dia datang menemui Nabi SAW, masuk Islam dan meminta agar Rasullullah mengawininya. Akibatnya, banyaklah orang Makkah merasa terdorong untuk merima Islam dan nabi SAW.
12. MARIA AL-QABTIYYA: Dia awalnya adalah orang yang membantu menangani permasalahan dirumah Rasullullah yang dikirim oleh Raja Mesir. Dia sempat melahirkan seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Ibrahim akhirnya meninggal pada umur 18 bulan. Tiga tahun setelah menikah, Nabi SAW meninggal dunia, dan Maria (thx buat Joan) akhirnya meninggal 5 tahun kemudian, tahun 16 A.H. Waktu itu, Umar bin Khatab yang menjadi Iman sholat Jenazahnya, dan kemudian dimakamkan di Al-Baqi.
Kalau sudah tahu begini dan kalau memang dikatakan mau mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW, kira-kira masih minat dan berani nggak ya kaum Adam untuk ber-istri lebih dari 1?
(Dicopy dari http://tausyiah275.blogsome.com/category/ensiklopedia-islam/kisah-nabi-dan-rasul/, sumber: anwary-islam.com)
Berikut ini kita tampilkan nama-nama Istri Nabi Muhammad SAW beserta sekilas penjelasannya:
1. SITI KHADIJAH: Nabi mengawini Khadijah ketika Nabi masih berumur 25 tahun, sedangkan Khadijah sudah berumur 40 tahun. Khadijah sebelumnya sudah menikah 2 kali sebelum menikah dengan Nabi SAW. Suami pertama Khadijah adalah Aby Haleh Al Tamimy dan suami keduanya adalah Oteaq Almakzomy, keduanya sudah meninggal sehingga menyebabkan Khadijah menjadi janda. Lima belas tahun setelah menikah dengan Khadijah, Nabi Muhammad SAW pun diangkat menjadi Nabi, yaitu pada umur 40 tahun. Khadijah meninggal pada tahun 621 A.D, dimana tahun itu bertepatan dengan Mi’raj nya Nabi Muhammad SAW ke Surga. Nabi SAW sangatlah mencintai Khadijah. Sehingga hanya setelah sepeninggalnya Khadijah lah Nabi SAW baru mau menikahi wanita lain.
2. SAWDA BINT ZAM’A: Suami pertamanya adalah Al Sakran Ibn Omro Ibn Abed Shamz, yang meninggal beberapa hari setelah kembali dari Ethiophia. Umur Sawda Bint Zam’a sudah 65 tahun, tua, miskin dan tidak ada yang mengurusinya. Inilah sebabnya kenapa Nabi SAW menikahinya.
3. AISHA SIDDIQA: Seorang perempuan bernama Kholeah Bint Hakeem menyarankan agar Nabi SAW mengawini Aisha, putri dari Aby Bakrs, dengan tujuan agar mendekatkan hubungan dengan keluarga Aby Bakr. Waktu itu Aishah sudah bertunangan dengan Jober Ibn Al Moteam Ibn Oday, yang pada saat itu adalah seorang Non-Muslim. Orang-orang di Makkah tidaklah keberatan dengan perkawinan Aishah, karena walaupun masih muda, tapi sudah cukup dewasa untuk mengerti tentang tanggung jawab didalam sebuah perkawinan. Nabi Muhammad SAW bertunangan dulu selama 2 tahun dengan Aishah sebelum kemudian mengawininya. Dan bapaknya Aishah, Abu Bakr pun kemudian menjadi khalifah pertama setelah Nabi SAW meninggal.
4. HAFSAH BINT UMAR: Hafsah adalah putri dari Umar, khalifah ke dua. Pada mulanya, Umar meminta Usman mengawini anaknya, Hafsah. Tapi Usman menolak karena istrinya baru saja meninggal dan dia belum mau kawin lagi. Umar pun pergi menemui Abu Bakar yang juga menolak untuk mengawini Hafsah. Akhirnya Umar pun mengadu kepada nabi bahwa Usman dan Abu Bakar tidak mau menikahi anaknya. Nabi SAW pun berkata pada Umar bahwa anaknya akan menikah demikian juga Usman akan kawin lagi. Akhirnya, Usman mengawini putri Nabi SAW yiatu Umi Kaltsum, dan Hafsah sendiri kawin dengan Nabi SAW. Hal ini membuat Usman dan Umar gembira.
5. ZAINAB BINT KHUZAYMA: Suaminya meninggal pada perang UHUD, meninggalkan dia yang miskin dengan beberapa orang anak. Dia sudah tua ketika nabi SAW mengawininya. Dia meninggal 3 bulan setelah perkawinan yaitu pada tahun 625 A.D.
6. SALAMA BINT UMAYYA: Suaminya, Abud Allah Abud Al Assad Ibn Al Mogherab, meninggal dunia, sehingga meninggalkan dia dan anak-anaknya dalam keadaan miskin. Dia saat itu berumur 65 tahun. Abu Bakar dan beberapa sahabat lainnya meminta dia mengawini nya, tapi karena sangat cintanya dia pada suaminya, dia menolak. Baru setelah Nabi Muhammad SAW mengawininya dan merawat anak-anaknya, dia bersedia.
7. ZAYNAB BINT JAHSH: Dia adalah putri Bibinya Nabi Muhammad SAW, Umamah binti Abdul Muthalib. Pada awalnya Nabi Muhammad SAW sudah mengatur agar Zaynab mengawini Zayed Ibn Hereathah Al Kalby. Tapi perkawinan ini kandas ndak lama, dan Nabi menerima wahyu bahwa jika mereka bercerai nabi mesti mengawini Zaynab (surat 33:37).
8. JUAYRIYA BINT AL-HARITH: Suami pertamanya adalah Masafeah Ibn Safuan. Nabi Muhammad SAW menghendaki agar kelompok dari Juayreah (Bani Al Mostalaq) masuk Islam. Juayreah menjadi tahanan ketika Islam menang pada perang Al-Mustalaq (Battle of Al-Mustalaq). Bapak Juayreyah datang pada Nabi SAW dan memberikan uang sebagai penebus anaknya, Juayreyah. Nabi SAW pun meminta sang Bapak agar membiarkan Juayreayah untuk memilih. Ketika diberi hak untuk memilih, Juayreyah menyatakan ingin masuk islam dan menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah yang terakhir. Akhirnya Nabi pun mengawininya, dan Bani Almustalaq pun masuk islam.
9. SAFIYYA BINT HUYAYY: Dia adalah dari kelompok Jahudi Bani Nadir. Dia sudah menikah dua kali sebelumnya, dan kemudian menikahi Nabi SAW. Cerita nya cukup menarik, mungkin Insya Allah disampaikan terpisah.
10. UMMU HABIBA BINT SUFYAN: Suami pertamanya adalah Aubed Allah Jahish. Dia adalah anak dari Bibi Rasulullah SAW. Aubed Allah meninggak di Ethiopia. Raja Ethiopia pun mengatur perkawinan dengan Nabi SAW. Dia sebenarnya menikah dengan nabi SAW pada 1 AH, tapi baru pada 7 A.H pindah dan tinggal bersama Nabi SAW di Madina, ketika nabi 60 tahun dan dia 35 tahun.
11. MAYMUNA BINT AL-HARITH: Dia masih berumur 36 tahun ketika menikah dengan Nabi Muhammad SAW yang sudah 60 tahun. Suami pertamanya adalah Abu Rahma Ibn Abed Alzey. Ketika Nabi SAW membuka Makkah di tahun 630 A.D, dia datang menemui Nabi SAW, masuk Islam dan meminta agar Rasullullah mengawininya. Akibatnya, banyaklah orang Makkah merasa terdorong untuk merima Islam dan nabi SAW.
12. MARIA AL-QABTIYYA: Dia awalnya adalah orang yang membantu menangani permasalahan dirumah Rasullullah yang dikirim oleh Raja Mesir. Dia sempat melahirkan seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Ibrahim akhirnya meninggal pada umur 18 bulan. Tiga tahun setelah menikah, Nabi SAW meninggal dunia, dan Maria (thx buat Joan) akhirnya meninggal 5 tahun kemudian, tahun 16 A.H. Waktu itu, Umar bin Khatab yang menjadi Iman sholat Jenazahnya, dan kemudian dimakamkan di Al-Baqi.
Kalau sudah tahu begini dan kalau memang dikatakan mau mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW, kira-kira masih minat dan berani nggak ya kaum Adam untuk ber-istri lebih dari 1?
(Dicopy dari http://tausyiah275.blogsome.com/category/ensiklopedia-islam/kisah-nabi-dan-rasul/, sumber: anwary-islam.com)
Contohlah Setan!
Bismillah, judul artikel ini mungkin membingungkan dan ‘terkesan’ menyesatkan. Tapi ada baiknya dibaca dahulu hingga selesai, baru berkomentar.
Setan diciptakan ALLOH SWT sebagai musuh yg mesti diwaspadai oleh manusia. Namun bukan berarti tidak ada sifat ‘baik’ pada diri setan, ataupun hikmah yg bisa dipelajari oleh manusia. Rasululloh SAW sendiri pernah berdialog dg Iblis (artikel 1, artikel 2).
Lantas, apa saja sifat2 ‘baik’ setan yg patut ‘ditiru’ oleh manusia? Saya dapatkan dari seorang teman, berikut ini sifat2 setan yg mesti dicontoh manusia:
1. Pantang menyerah, setan akan selalu menggoda imam manusia sebelum tujuannya tercapai.
2. Selalu berusaha, setan selalu mempunyai usaha yang kreatif dan inovatif untuk menggoda manusia agar terjerumus di dalam dunianya.
3. Konsisten, setan tidak pernah mengeluh walaupun dia gagal untuk menggoda manusia, tapi dia tetap pantang menyerah.
4. Solider, setan tdk pernah saling menyerang satu sm lain, akan ttp mereka selalu berkerja sama dlm mencapai tujuan yaitu menggoda manusia.
5. Jenius, setan memang pintar untuk menggoda manusia. Ia dapat menciptakan ide-ide kreatif dan tidak plagiat.
6. Tanpa pamrih, setan melakukan pekerjaan menggoda manusia 24 jam nonstop dan tidak meminta imbalan sedikitpun tidak seperti kita.
7. Suka berteman, setan selalu ingin berteman dan dapat menjaga pertemanan (Setia, solider) agar temannya di neraka kelak akan banyak.
Tentu saja, sifat2 setan tersebut mesti kita terapkan dalam hal kebajikan, bukan seperti yg setan lakukan.
Semoga berguna.
(Dicopy dari http://tausyiah275.blogsome.com/2010/09/17/contohlah-setan/)
Setan diciptakan ALLOH SWT sebagai musuh yg mesti diwaspadai oleh manusia. Namun bukan berarti tidak ada sifat ‘baik’ pada diri setan, ataupun hikmah yg bisa dipelajari oleh manusia. Rasululloh SAW sendiri pernah berdialog dg Iblis (artikel 1, artikel 2).
Lantas, apa saja sifat2 ‘baik’ setan yg patut ‘ditiru’ oleh manusia? Saya dapatkan dari seorang teman, berikut ini sifat2 setan yg mesti dicontoh manusia:
1. Pantang menyerah, setan akan selalu menggoda imam manusia sebelum tujuannya tercapai.
2. Selalu berusaha, setan selalu mempunyai usaha yang kreatif dan inovatif untuk menggoda manusia agar terjerumus di dalam dunianya.
3. Konsisten, setan tidak pernah mengeluh walaupun dia gagal untuk menggoda manusia, tapi dia tetap pantang menyerah.
4. Solider, setan tdk pernah saling menyerang satu sm lain, akan ttp mereka selalu berkerja sama dlm mencapai tujuan yaitu menggoda manusia.
5. Jenius, setan memang pintar untuk menggoda manusia. Ia dapat menciptakan ide-ide kreatif dan tidak plagiat.
6. Tanpa pamrih, setan melakukan pekerjaan menggoda manusia 24 jam nonstop dan tidak meminta imbalan sedikitpun tidak seperti kita.
7. Suka berteman, setan selalu ingin berteman dan dapat menjaga pertemanan (Setia, solider) agar temannya di neraka kelak akan banyak.
Tentu saja, sifat2 setan tersebut mesti kita terapkan dalam hal kebajikan, bukan seperti yg setan lakukan.
Semoga berguna.
(Dicopy dari http://tausyiah275.blogsome.com/2010/09/17/contohlah-setan/)
A China Town Lady
Pertama kali wanita ini datang ke kelas khusus non Muslims (Islamic Forum for non Muslims) saya sangka sekedar iseng-iseng. Dia datang tapi hanya duduk sebentar lalu meninggalkan ruangan. Tapi minggu selanjutnya dia datang lagi. Sampai pada akhirnya saya Tanya: “who are you and are you interested in learning Islam?”. Dia menjawab: “yes, I feel disconnection”.
Setelah tanya kenapa merasa “disconnected?” Dia mengatakan bahwa saya selalu berbicara tentang Islam dan agama lain, tapi agamanya tidak pernah disebutkan. Saya Tanya: “What is your religion?” Dia menjawab bahwa dia beragama Budha. Sementara dalam kelas itu saya biasanya konsentrasi kepada agama Kristen, katolik dan Yahudi.
Maka sejak itu setiap kali dia hadir di kelas, saya selalu menyebutkan beberapa kaitan diskusi dengan agama-agama lain, termasuk Budha. Bagaimana agama budha misalnya menitik beratkan ajarannnya pada “alam” dan “spiritual”, yang sesungguhnya Islam lebih jauh memperhatikan hal-hal tersebut, tapi dengan pendekatan yang imbang (balanced). Saya juga sempat memberikan hadiah sebuah buku milik Harun Yahya “Islam and Budhism”.
Sejak itu perhatiannya ke kelas semakin konsentrasi. Bahkan setiap kali selasai belajar biasanya dengan sopan (adat china) meminta kalau saya bisa berbicara khusus dengannnya. Anehnya, sebelum memulai pembicaraan biasanya sudah meneteskan airmata. Saya Tanya: “what really makes you crying?”. Dia bilang bahwa hatinya cenderung ke agama Islam, tapi terlalu banyak dosa yang telah diperbuatnya.
Saya kemudian menanyakan: “Dosa apa yang terlalu memberatkan anda?”. Dia menjawab bahwa dia itu adalah penyembah berhala (patung-patung) yang menurutnya 'Unforgivable' dalam islam. Rupanya dalam salah satu diskusi saya menjelaskan bahwa semua dosa diampuni kecuali dosa 'syirik'.
Setelah saya menjelaskan bahwa dosa syirik yang dimaksud adalah ketika sudah menjadi Muslim lalu tetap melakukan berbagai kesyirikan, maka dia menjadi senang. Bahkan sejak itu, setiap kali ke kelas, dengan bahasa Inggerisnya yang kental china, bersemangat untuk mengajukan berbagai pertanyaan tentang masalah-masalah praktis dalam Islam, misalnya shalat.
Eirine (saya belum menanyakan nama asli chinanya), itulah nama yang selama ini kita kenal. Wanita yang berpenampilan sangat sederhana ini rupanya berpendidikan tinggi. Beliau adalah professor anthropology pada City College, sebuah universitas negeri di bagian atas (up town) kota New York. Rupanya yang memperkenalkan Islam kepadanya adalah murid-murid Muslim yang belajar di college tersebut. Secara kebetulan, saya memang cukup dikenal di kalangan mahasiswa di college ini karena beberapa kali memberikan ceramah tentang Islam.
Bertepatan dengan malam Nuzul Al Qur’an, di masjid Al-Hikmah yang dimiliki oleh masyarakat Muslim Indonesia diadakan “Open House Iftar” atau acara buka puasa bersama dengan tetangga-tetangga non Muslim. Rupanya Eirine juga hadir dalam acara tersebut. Saya yang kebetulan sebelum berbuka puasa itu menjelaskan kepada non Muslim mengenai Islam, melihat Eirine nampak serius mendengarkan.
Setelah berbuka puasa, saya terkejut karena biasanya Eirine tidak terbiasa langsung mendekat ke saya sebelum memberikan isyarat. Biasanya dengan mengangkat tangan atau isyarat yang lain. Tapi saat itu setelah selesai memakan kue-kuean, persis di saat akan dilaksanakan shalat magrib, dia mendekat dan mengatakan: ” I think I don’t have any reason to delay it any more”. Saya tanya: “delaying what?” Dia bilang: “I wanted to be a Muslim tonight”.
Dengan bersyukur kepada Allah SWT segera saya umumkan kepada jama’ah yang memang membludak malam itu bahwa seorang sister akan mengucapkan syahadah. Di saat saya minta untuk mengucapkan syahadah sebelum magrib, dia minta kalau diberi waktu lagi. Saya tanya kenapa? Dia menjawab: “I am nervous”. Maka saya putuskan untuk memberikan waktu kepadanya hingga Isha.
Alhamdulillah, dihadapan jama’ah Isha masjid Al-Hikmah, wanita China Town ini mengucapkan syahadah diiringi linangan airmata dan pekik takbir jama’ah masjid Al-hikmah. Allahu akbar!
Senin lalu, Eirine menyempatkan diri mengikuti ceramah saya tentang “Why al Qur’an?” di pace University. Di universitas ini beberapa waktu lalu ditemukan Al Qur’an di WC dua kali, dan sempat menjadi issue besar. Untuk itu, Muslim Students Association menggelar public forum untuk menjelaskan kepada kemunitas Pace Universitas tentang Al Qur’an dan kenapa Al Qur’an itu begitu disucikan. Eirine yang hadir hari itu sudah lengkap dengan penutup kepalanya.
Bu Prof., selamat dan doa kami menyertai!
New York, 5 Nopember 2006
M. Syamsi Ali
Setelah tanya kenapa merasa “disconnected?” Dia mengatakan bahwa saya selalu berbicara tentang Islam dan agama lain, tapi agamanya tidak pernah disebutkan. Saya Tanya: “What is your religion?” Dia menjawab bahwa dia beragama Budha. Sementara dalam kelas itu saya biasanya konsentrasi kepada agama Kristen, katolik dan Yahudi.
Maka sejak itu setiap kali dia hadir di kelas, saya selalu menyebutkan beberapa kaitan diskusi dengan agama-agama lain, termasuk Budha. Bagaimana agama budha misalnya menitik beratkan ajarannnya pada “alam” dan “spiritual”, yang sesungguhnya Islam lebih jauh memperhatikan hal-hal tersebut, tapi dengan pendekatan yang imbang (balanced). Saya juga sempat memberikan hadiah sebuah buku milik Harun Yahya “Islam and Budhism”.
Sejak itu perhatiannya ke kelas semakin konsentrasi. Bahkan setiap kali selasai belajar biasanya dengan sopan (adat china) meminta kalau saya bisa berbicara khusus dengannnya. Anehnya, sebelum memulai pembicaraan biasanya sudah meneteskan airmata. Saya Tanya: “what really makes you crying?”. Dia bilang bahwa hatinya cenderung ke agama Islam, tapi terlalu banyak dosa yang telah diperbuatnya.
Saya kemudian menanyakan: “Dosa apa yang terlalu memberatkan anda?”. Dia menjawab bahwa dia itu adalah penyembah berhala (patung-patung) yang menurutnya 'Unforgivable' dalam islam. Rupanya dalam salah satu diskusi saya menjelaskan bahwa semua dosa diampuni kecuali dosa 'syirik'.
Setelah saya menjelaskan bahwa dosa syirik yang dimaksud adalah ketika sudah menjadi Muslim lalu tetap melakukan berbagai kesyirikan, maka dia menjadi senang. Bahkan sejak itu, setiap kali ke kelas, dengan bahasa Inggerisnya yang kental china, bersemangat untuk mengajukan berbagai pertanyaan tentang masalah-masalah praktis dalam Islam, misalnya shalat.
Eirine (saya belum menanyakan nama asli chinanya), itulah nama yang selama ini kita kenal. Wanita yang berpenampilan sangat sederhana ini rupanya berpendidikan tinggi. Beliau adalah professor anthropology pada City College, sebuah universitas negeri di bagian atas (up town) kota New York. Rupanya yang memperkenalkan Islam kepadanya adalah murid-murid Muslim yang belajar di college tersebut. Secara kebetulan, saya memang cukup dikenal di kalangan mahasiswa di college ini karena beberapa kali memberikan ceramah tentang Islam.
Bertepatan dengan malam Nuzul Al Qur’an, di masjid Al-Hikmah yang dimiliki oleh masyarakat Muslim Indonesia diadakan “Open House Iftar” atau acara buka puasa bersama dengan tetangga-tetangga non Muslim. Rupanya Eirine juga hadir dalam acara tersebut. Saya yang kebetulan sebelum berbuka puasa itu menjelaskan kepada non Muslim mengenai Islam, melihat Eirine nampak serius mendengarkan.
Setelah berbuka puasa, saya terkejut karena biasanya Eirine tidak terbiasa langsung mendekat ke saya sebelum memberikan isyarat. Biasanya dengan mengangkat tangan atau isyarat yang lain. Tapi saat itu setelah selesai memakan kue-kuean, persis di saat akan dilaksanakan shalat magrib, dia mendekat dan mengatakan: ” I think I don’t have any reason to delay it any more”. Saya tanya: “delaying what?” Dia bilang: “I wanted to be a Muslim tonight”.
Dengan bersyukur kepada Allah SWT segera saya umumkan kepada jama’ah yang memang membludak malam itu bahwa seorang sister akan mengucapkan syahadah. Di saat saya minta untuk mengucapkan syahadah sebelum magrib, dia minta kalau diberi waktu lagi. Saya tanya kenapa? Dia menjawab: “I am nervous”. Maka saya putuskan untuk memberikan waktu kepadanya hingga Isha.
Alhamdulillah, dihadapan jama’ah Isha masjid Al-Hikmah, wanita China Town ini mengucapkan syahadah diiringi linangan airmata dan pekik takbir jama’ah masjid Al-hikmah. Allahu akbar!
Senin lalu, Eirine menyempatkan diri mengikuti ceramah saya tentang “Why al Qur’an?” di pace University. Di universitas ini beberapa waktu lalu ditemukan Al Qur’an di WC dua kali, dan sempat menjadi issue besar. Untuk itu, Muslim Students Association menggelar public forum untuk menjelaskan kepada kemunitas Pace Universitas tentang Al Qur’an dan kenapa Al Qur’an itu begitu disucikan. Eirine yang hadir hari itu sudah lengkap dengan penutup kepalanya.
Bu Prof., selamat dan doa kami menyertai!
New York, 5 Nopember 2006
M. Syamsi Ali
Tuesday, December 14, 2010
Sang Anak "Ajaib"
“Papah, Mamah, Rio Tunggu di Pintu Surga!”
Agnes adalah sosok wanita Katolik taat. Setiap malam, ia beserta keluarganya rutin berdoa bersama. Bahkan, saking taatnya, saat Agnes dilamar Martono, kekasihnya yang beragama Islam, dengan tegas ia mengatakan “Saya lebih mencintai Yesus Kristus dari pada manusia!”
Ketegasan prinsip Katolik yang dipegang wanita itu menggoyahkan Iman Martono yang muslim, namun jarang melakukan ibadah sebagaimana layaknya orang beragama Islam. Martono pun masuk Katolik, sekedar untuk bisa menikahi Agnes. Tepat tanggal 17 Oktober 1982, mereka melaksanakan pernikahan di Gereja Ignatius, Magelang, Jawa Tengah.
Usai menikah, lalu menyelesaikan kuliahnya di Jogjakarta, Agnes beserta sang suami berangkat ke Bandung, kemudian menetap di salah satu kompleks perumahan di wilayah Timur kota kembang. Kebahagiaan terasa lengkap menghiasi kehidupan keluarga ini dengan kehadiran tiga makhluk kecil buah hati mereka, yakni: Adi, Icha dan Rio.
Di lingkungan barunya, Agnes terlibat aktif sebagai jemaat Gereja Suryalaya, Buah Batu, Bandung. Demikan pula Martono, sang suami. Selain juga aktif di Gereja, Martono saat itu menduduki jabatan penting, sebagai kepala Divisi Properti PT Telkom Cisanggarung, Bandung.
Karena Ketaatan mereka memegang iman Katolik, pasangan ini bersama beberapa sahabat se-iman, sengaja mengumpulkan dana dari tetangga sekitar yang beragama Katolik. Mereka pun berhasil membeli sebuah rumah yang 'disulap' menjadi tempat ibadah (Gereja,red).
Uniknya, meski sudah menjadi pemeluk ajaran Katolik, Martono tak melupakan kedua orangtuanya yang beragama Islam. Sebagai manifestasi bakti dan cinta pasangan ini, mereka memberangkatkan ayahanda dan ibundanya Martono ke Mekkah, untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Hidup harmonis dan berkecukupan mewarnai sekian waktu hari-hari keluarga ini. Sampai satu ketika, kegelisahan menggoncang keduanya. Syahdan, saat itu, Rio, si bungsu yang sangat mereka sayangi jatuh sakit. Panas suhu badan yang tak kunjung reda, membuat mereka segera melarikan Rio ke salah satu rumah sakit Kristen terkenal di wilayah utara Bandung.
Di rumah sakit, usai dilakukan diagnosa, dokter yang menangani saat itu mengatakan bahwa Rio mengalami kelelahan. Akan tetapi Agnes masih saja gelisah dan takut dengan kondisi anak kesayangannya yang tak kunjung membaik.
Saat dipindahkan ke ruangan ICU, Rio, yang masih terkulai lemah, meminta Martono, sang ayah, untuk memanggil ibundanya yang tengah berada di luar ruangan. Martono pun keluar ruangan untuk memberitahu Agnes ihwal permintaan putra bungsunya itu.
Namun, Agnes tak mau masuk ke dalam. Ia hanya mengatakan pada Martono, ”Saya sudah tahu.” Itu saja.
Martono heran. Ia pun kembali masuk ke ruangan dengan rasa penasaran yang masih menggelayut dalam benak. Di dalam, Rio berucap, “Tapi udahlah, Papah aja, tidak apa-apa. Pah hidup ini hanya 1 centi. Di sana nggak ada batasnya.”
Sontak, rasa takjub menyergap Martono. Ucapan bocah mungil buah hatinya yang tengah terbaring lemah itu sungguh mengejutkan. Nasehat kebaikan keluar dari mulutnya seperti orang dewasa yang mengerti agama. Hingga sore menjelang, Rio kembali berujar, “Pah, Rio mau pulang!”
“Ya, kalau sudah sembuh nanti, kamu boleh pulang sama Papa dan Mama,” jawab Martono. “Ngga, saya mau pulang sekarang. Papah, Mamah, Rio tunggu di pintu surga!” begitu, ucap Rio, setengah memaksa.
Belum hilang keterkejutan Martono, tiba-tiba ia mendengar bisikan yang meminta dia untuk membimbing membacakan syahadat kepada anaknya. Ia kaget dan bingung. Tapi perlahan Rio dituntun sang ayah, Martono, membaca syahadat, hingga kedua mata anak bungsunya itu berlinang. Martono hafal syahadat, karena sebelumnya adalah seorang Muslim.
Tak lama setelah itu bisikan kedua terdengar, bahwa setelah Adzan maghrib Rio akan dipanggil sang Pencipta. Meski tambah terkejut, mendengar bisikan itu, Martono pasrah. Benar saja, 27 Juli 1999, persis saat sayup-sayup Adzan maghrib, berkumandang Rio menghembuskan nafas terakhirnya.
Tiba jenazah Rio di rumah duka, peristiwa aneh lagi-lagi terjadi. Agnes yang masih sedih waktu itu seakan melihat Rio menghampirinya dan berkata, “Mah saya tidak mau pakai baju jas mau minta dibalut kain putih aja.” Saran dari seorang pelayat Muslim, bahwa itu adalah pertanda Rio ingin dishalatkan sebagaimana seorang Muslim yang baru meninggal.
Setelah melalui diskusi dan perdebatan diantara keluarga, jenazah Rio kemudian dibalut pakaian, celana dan sepatu yang serba putih kemudian dishalatkan. Namun, karena banyak pendapat dari keluarga yang tetap harus dimakamkan secara Katolik, jenazah Rio pun akhirnya dimakamkan di Kerkov. Sebuah tempat pemakaman khusus Katolik, di Cimahi, Bandung.
Sepeninggal Rio
Sepeninggal anaknya, Agnes sering berdiam diri. Satu hari, ia mendengar bisikan ghaib tentang rumah dan mobil. Bisikan itu berucap, “Rumah adalah rumah Tuhan dan mobil adalah kendaraan menuju Tuhan.” Pada saat itu juga Agnes langsung teringat ucapan mendiang Rio semasa TK dulu, ”Mah, Mbok Atik nanti mau saya belikan rumah dan mobil!” Mbok Atik adalah seorang muslimah yang bertugas merawat Rio di rumah. Saat itu Agnes menimpali celoteh si bungsu sambil tersenyum, “Kok Mamah ga dikasih?” “Mamah kan nanti punya sendiri” jawab Rio, singkat.
Entah mengapa, setelah mendengar bisikan itu, Agnes meminta suaminya untuk mengecek ongkos haji waktu itu. Setelah dicek, dana yang dibutuhkan Rp. 17.850.000. Dan yang lebih mengherankan, ketika uang duka dibuka, ternyata jumlah totalnya persis senilai Rp 17.850.000, tidak lebih atau kurang sesenpun. Hal ini diartikan Agnes sebagai amanat dari Rio untuk menghajikan Mbok Atik, wanita yang sehari-hari merawat Rio di rumah.
Singkat cerita, di tanah suci, Mekkah, Mbok Atik menghubungi Agnes via telepon. Sambil menangis ia menceritakan bahwa di Mekkah ia bertemu Rio. Si bungsu yang baru saja meninggalkan alam dunia itu berpesan, “Kepergian Rio tak usah terlalu dipikirkan. Rio sangat bahagia disini. Kalo Mama kangen, berdoa saja.”
Namun, pesan itu tak lantas membuat sang Ibunda tenang. Bahkan Agnes mengalami depresi cukup berat, hingga harus mendapatkan bimbingan dari seorang Psikolog selama 6 bulan.
Satu malam saat tertidur, Agnes dibangunkan oleh suara pria yang berkata, “Buka Alquran surat Yunus!”. Namun, setelah mencari tahu tentang surat Yunus, tak ada seorang pun temannya yang beragama Islam mengerti kandungan makna di dalamnya. Bahkan setelah mendapatkan Alquran dari sepupunya, dan membacanya berulang-ulang pun, Agnes tetap tak mendapat jawaban.
“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya setengah berteriak, sembari menangis tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai membuat hatinya berangsur tenang, dan spontan berucap “Astaghfirullah.” Tak lama kemudian, akhirnya Agnes menemukan jawabannya sendiri di surat Yunus ayat 49: “Katakan tiap-tiap umat mempunyai ajal. Jika datang ajal, maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mendahulukannya”.
Beberapa kejadian aneh yang dialami sepeninggal Rio, membuat Agnes berusaha mempelajari Islam lewat beberapa buku. Hingga akhirnya wanita penganut Katolik taat ini berkata, “Ya Allah terimalah saya sebagai orang Islam, saya tidak mau di-Islamkan oleh orang lain!”.
Setelah memeluk Islam, Agnes secara sembunyi-sembunyi melakukan shalat. Sementara itu, Martono, suaminya, masih rajin pergi ke gereja. Setiap kali diajak ke gereja Agnes selalu menolak dengan berbagai alasan.
Sampai suatu malam, Martono terbangun karena mendengar isak tangis seorang perempuan. Ketika berusaha mencari sumber suara, betapa kagetnya Martono saat melihat istri tercintanya, Agnes, tengah bersujud dengan menggunakan jaket, celana panjang dan syal yang menutupi aurat tubuhnya.
“Lho kok Mamah shalat,” tanya Martono. “Maafkan saya, Pah. Saya duluan, Papah saya tinggalkan,” jawab Agnes lirih. Ia pasrah akan segala resiko yang harus ditanggung, bahkan perceraian sekalipun.
Martono pun Akhirnya Kembali ke Islam
Sejak keputusan sang istri memeluk Islam, Martono seperti berada di persimpangan. Satu hari, 17 Agustus 2000, Agnes mengantar Adi, putra pertamanya untuk mengikuti lomba Adzan yang diadakan panitia Agustus-an di lingkungan tempat mereka tinggal. Adi sendiri tiba-tiba tertarik untuk mengikuti lomba Adzan beberapa hari sebelumnya, meski ia masih Katolik dan berstatus sebagai pelajar di SMA Santa Maria, Bandung. Martono sebetulnya juga diajak ke arena perlombaan, namun menolak dengan alasan harus mengikuti upacara di kantor.
Di tempat lomba yang diikuti 33 peserta itu, Gangsa Raharjo, Psikolog Agnes, berpesan kepada Adi, “Niatkan suara adzan bukan hanya untuk orang yang ada di sekitarmu, tetapi niatkan untuk semesta alam!” ujarnya. Hasilnya, suara Adzan Adi yang lepas nan merdu, mengalun syahdu, mengundang keheningan dan kekhusyukan siapapun yang mendengar. Hingga bulir-bulir air mata pun mengalir tak terbendung, basahi pipi sang Ibunda tercinta yang larut dalam haru dan bahagia. Tak pelak, panitia pun menobatkan Adi sebagai juara pertama, menyisihkan 33 peserta lainnya.
Usai lomba Agnes dan Adi bersegera pulang. Tiba di rumah, kejutan lain tengah menanti mereka. Saat baru saja membuka pintu kamar, Agnes terkejut melihat Martono, sang suami, tengah melaksanakan shalat. Ia pun spontan terkulai lemah di hadapan suaminya itu. Selesai shalat, Martono langsung meraih sang istri dan mendekapnya erat. Sambil berderai air mata, ia berucap lirih, “Mah, sekarang Papah sudah masuk Islam.” Mengetahui hal itu, Adi dan Icha, putra-putri mereka pun mengikuti jejak ayah dan ibunya, memeluk Islam.
Perjalanan panjang yang sungguh mengharu biru. Keluarga ini pun akhirnya memulai babak baru sebagai penganut Muslim yang taat. Hingga kini, esok, dan sampai akhir zaman. Insya Allah. (M.Yasin/Alhikmah)
Agnes adalah sosok wanita Katolik taat. Setiap malam, ia beserta keluarganya rutin berdoa bersama. Bahkan, saking taatnya, saat Agnes dilamar Martono, kekasihnya yang beragama Islam, dengan tegas ia mengatakan “Saya lebih mencintai Yesus Kristus dari pada manusia!”
Ketegasan prinsip Katolik yang dipegang wanita itu menggoyahkan Iman Martono yang muslim, namun jarang melakukan ibadah sebagaimana layaknya orang beragama Islam. Martono pun masuk Katolik, sekedar untuk bisa menikahi Agnes. Tepat tanggal 17 Oktober 1982, mereka melaksanakan pernikahan di Gereja Ignatius, Magelang, Jawa Tengah.
Usai menikah, lalu menyelesaikan kuliahnya di Jogjakarta, Agnes beserta sang suami berangkat ke Bandung, kemudian menetap di salah satu kompleks perumahan di wilayah Timur kota kembang. Kebahagiaan terasa lengkap menghiasi kehidupan keluarga ini dengan kehadiran tiga makhluk kecil buah hati mereka, yakni: Adi, Icha dan Rio.
Di lingkungan barunya, Agnes terlibat aktif sebagai jemaat Gereja Suryalaya, Buah Batu, Bandung. Demikan pula Martono, sang suami. Selain juga aktif di Gereja, Martono saat itu menduduki jabatan penting, sebagai kepala Divisi Properti PT Telkom Cisanggarung, Bandung.
Karena Ketaatan mereka memegang iman Katolik, pasangan ini bersama beberapa sahabat se-iman, sengaja mengumpulkan dana dari tetangga sekitar yang beragama Katolik. Mereka pun berhasil membeli sebuah rumah yang 'disulap' menjadi tempat ibadah (Gereja,red).
Uniknya, meski sudah menjadi pemeluk ajaran Katolik, Martono tak melupakan kedua orangtuanya yang beragama Islam. Sebagai manifestasi bakti dan cinta pasangan ini, mereka memberangkatkan ayahanda dan ibundanya Martono ke Mekkah, untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Hidup harmonis dan berkecukupan mewarnai sekian waktu hari-hari keluarga ini. Sampai satu ketika, kegelisahan menggoncang keduanya. Syahdan, saat itu, Rio, si bungsu yang sangat mereka sayangi jatuh sakit. Panas suhu badan yang tak kunjung reda, membuat mereka segera melarikan Rio ke salah satu rumah sakit Kristen terkenal di wilayah utara Bandung.
Di rumah sakit, usai dilakukan diagnosa, dokter yang menangani saat itu mengatakan bahwa Rio mengalami kelelahan. Akan tetapi Agnes masih saja gelisah dan takut dengan kondisi anak kesayangannya yang tak kunjung membaik.
Saat dipindahkan ke ruangan ICU, Rio, yang masih terkulai lemah, meminta Martono, sang ayah, untuk memanggil ibundanya yang tengah berada di luar ruangan. Martono pun keluar ruangan untuk memberitahu Agnes ihwal permintaan putra bungsunya itu.
Namun, Agnes tak mau masuk ke dalam. Ia hanya mengatakan pada Martono, ”Saya sudah tahu.” Itu saja.
Martono heran. Ia pun kembali masuk ke ruangan dengan rasa penasaran yang masih menggelayut dalam benak. Di dalam, Rio berucap, “Tapi udahlah, Papah aja, tidak apa-apa. Pah hidup ini hanya 1 centi. Di sana nggak ada batasnya.”
Sontak, rasa takjub menyergap Martono. Ucapan bocah mungil buah hatinya yang tengah terbaring lemah itu sungguh mengejutkan. Nasehat kebaikan keluar dari mulutnya seperti orang dewasa yang mengerti agama. Hingga sore menjelang, Rio kembali berujar, “Pah, Rio mau pulang!”
“Ya, kalau sudah sembuh nanti, kamu boleh pulang sama Papa dan Mama,” jawab Martono. “Ngga, saya mau pulang sekarang. Papah, Mamah, Rio tunggu di pintu surga!” begitu, ucap Rio, setengah memaksa.
Belum hilang keterkejutan Martono, tiba-tiba ia mendengar bisikan yang meminta dia untuk membimbing membacakan syahadat kepada anaknya. Ia kaget dan bingung. Tapi perlahan Rio dituntun sang ayah, Martono, membaca syahadat, hingga kedua mata anak bungsunya itu berlinang. Martono hafal syahadat, karena sebelumnya adalah seorang Muslim.
Tak lama setelah itu bisikan kedua terdengar, bahwa setelah Adzan maghrib Rio akan dipanggil sang Pencipta. Meski tambah terkejut, mendengar bisikan itu, Martono pasrah. Benar saja, 27 Juli 1999, persis saat sayup-sayup Adzan maghrib, berkumandang Rio menghembuskan nafas terakhirnya.
Tiba jenazah Rio di rumah duka, peristiwa aneh lagi-lagi terjadi. Agnes yang masih sedih waktu itu seakan melihat Rio menghampirinya dan berkata, “Mah saya tidak mau pakai baju jas mau minta dibalut kain putih aja.” Saran dari seorang pelayat Muslim, bahwa itu adalah pertanda Rio ingin dishalatkan sebagaimana seorang Muslim yang baru meninggal.
Setelah melalui diskusi dan perdebatan diantara keluarga, jenazah Rio kemudian dibalut pakaian, celana dan sepatu yang serba putih kemudian dishalatkan. Namun, karena banyak pendapat dari keluarga yang tetap harus dimakamkan secara Katolik, jenazah Rio pun akhirnya dimakamkan di Kerkov. Sebuah tempat pemakaman khusus Katolik, di Cimahi, Bandung.
Sepeninggal Rio
Sepeninggal anaknya, Agnes sering berdiam diri. Satu hari, ia mendengar bisikan ghaib tentang rumah dan mobil. Bisikan itu berucap, “Rumah adalah rumah Tuhan dan mobil adalah kendaraan menuju Tuhan.” Pada saat itu juga Agnes langsung teringat ucapan mendiang Rio semasa TK dulu, ”Mah, Mbok Atik nanti mau saya belikan rumah dan mobil!” Mbok Atik adalah seorang muslimah yang bertugas merawat Rio di rumah. Saat itu Agnes menimpali celoteh si bungsu sambil tersenyum, “Kok Mamah ga dikasih?” “Mamah kan nanti punya sendiri” jawab Rio, singkat.
Entah mengapa, setelah mendengar bisikan itu, Agnes meminta suaminya untuk mengecek ongkos haji waktu itu. Setelah dicek, dana yang dibutuhkan Rp. 17.850.000. Dan yang lebih mengherankan, ketika uang duka dibuka, ternyata jumlah totalnya persis senilai Rp 17.850.000, tidak lebih atau kurang sesenpun. Hal ini diartikan Agnes sebagai amanat dari Rio untuk menghajikan Mbok Atik, wanita yang sehari-hari merawat Rio di rumah.
Singkat cerita, di tanah suci, Mekkah, Mbok Atik menghubungi Agnes via telepon. Sambil menangis ia menceritakan bahwa di Mekkah ia bertemu Rio. Si bungsu yang baru saja meninggalkan alam dunia itu berpesan, “Kepergian Rio tak usah terlalu dipikirkan. Rio sangat bahagia disini. Kalo Mama kangen, berdoa saja.”
Namun, pesan itu tak lantas membuat sang Ibunda tenang. Bahkan Agnes mengalami depresi cukup berat, hingga harus mendapatkan bimbingan dari seorang Psikolog selama 6 bulan.
Satu malam saat tertidur, Agnes dibangunkan oleh suara pria yang berkata, “Buka Alquran surat Yunus!”. Namun, setelah mencari tahu tentang surat Yunus, tak ada seorang pun temannya yang beragama Islam mengerti kandungan makna di dalamnya. Bahkan setelah mendapatkan Alquran dari sepupunya, dan membacanya berulang-ulang pun, Agnes tetap tak mendapat jawaban.
“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya setengah berteriak, sembari menangis tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai membuat hatinya berangsur tenang, dan spontan berucap “Astaghfirullah.” Tak lama kemudian, akhirnya Agnes menemukan jawabannya sendiri di surat Yunus ayat 49: “Katakan tiap-tiap umat mempunyai ajal. Jika datang ajal, maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mendahulukannya”.
Beberapa kejadian aneh yang dialami sepeninggal Rio, membuat Agnes berusaha mempelajari Islam lewat beberapa buku. Hingga akhirnya wanita penganut Katolik taat ini berkata, “Ya Allah terimalah saya sebagai orang Islam, saya tidak mau di-Islamkan oleh orang lain!”.
Setelah memeluk Islam, Agnes secara sembunyi-sembunyi melakukan shalat. Sementara itu, Martono, suaminya, masih rajin pergi ke gereja. Setiap kali diajak ke gereja Agnes selalu menolak dengan berbagai alasan.
Sampai suatu malam, Martono terbangun karena mendengar isak tangis seorang perempuan. Ketika berusaha mencari sumber suara, betapa kagetnya Martono saat melihat istri tercintanya, Agnes, tengah bersujud dengan menggunakan jaket, celana panjang dan syal yang menutupi aurat tubuhnya.
“Lho kok Mamah shalat,” tanya Martono. “Maafkan saya, Pah. Saya duluan, Papah saya tinggalkan,” jawab Agnes lirih. Ia pasrah akan segala resiko yang harus ditanggung, bahkan perceraian sekalipun.
Martono pun Akhirnya Kembali ke Islam
Sejak keputusan sang istri memeluk Islam, Martono seperti berada di persimpangan. Satu hari, 17 Agustus 2000, Agnes mengantar Adi, putra pertamanya untuk mengikuti lomba Adzan yang diadakan panitia Agustus-an di lingkungan tempat mereka tinggal. Adi sendiri tiba-tiba tertarik untuk mengikuti lomba Adzan beberapa hari sebelumnya, meski ia masih Katolik dan berstatus sebagai pelajar di SMA Santa Maria, Bandung. Martono sebetulnya juga diajak ke arena perlombaan, namun menolak dengan alasan harus mengikuti upacara di kantor.
Di tempat lomba yang diikuti 33 peserta itu, Gangsa Raharjo, Psikolog Agnes, berpesan kepada Adi, “Niatkan suara adzan bukan hanya untuk orang yang ada di sekitarmu, tetapi niatkan untuk semesta alam!” ujarnya. Hasilnya, suara Adzan Adi yang lepas nan merdu, mengalun syahdu, mengundang keheningan dan kekhusyukan siapapun yang mendengar. Hingga bulir-bulir air mata pun mengalir tak terbendung, basahi pipi sang Ibunda tercinta yang larut dalam haru dan bahagia. Tak pelak, panitia pun menobatkan Adi sebagai juara pertama, menyisihkan 33 peserta lainnya.
Usai lomba Agnes dan Adi bersegera pulang. Tiba di rumah, kejutan lain tengah menanti mereka. Saat baru saja membuka pintu kamar, Agnes terkejut melihat Martono, sang suami, tengah melaksanakan shalat. Ia pun spontan terkulai lemah di hadapan suaminya itu. Selesai shalat, Martono langsung meraih sang istri dan mendekapnya erat. Sambil berderai air mata, ia berucap lirih, “Mah, sekarang Papah sudah masuk Islam.” Mengetahui hal itu, Adi dan Icha, putra-putri mereka pun mengikuti jejak ayah dan ibunya, memeluk Islam.
Perjalanan panjang yang sungguh mengharu biru. Keluarga ini pun akhirnya memulai babak baru sebagai penganut Muslim yang taat. Hingga kini, esok, dan sampai akhir zaman. Insya Allah. (M.Yasin/Alhikmah)
Friday, December 10, 2010
Bunga Mawar & Pohon Cemara
by Andrie Wongso on Wednesday, July 7, 2010 at 5:58pm.
Suatu hari di tengah hutan, bunga mawar menertawakan pohon cemara. Katanya, “Meskipun kamu tumbuh begitu tegap, tapi kamu tidak harum sehingga tidak bisa menarik kumbang dan lebah untuk mendekat.”
Pohon cemara diam saja. Kemudian, bunga mawar menceritakan keburukan pohon cemara dimana-mana. Akhirnya, pohon cemara menjadi tersingkir dan menyendiri di tengah hutan.
Ketika musim dingin yang hebat datang, salju turun dengan lebatnya. Bunga mawar yang sombong itu, kesulitan mempertahankan kehidupannya. Demikian juga dengan pohon dan bunga-bunga lainnya. Hanya pohon cemara yang masih tegak berdiri, di tengah badai salju dingin yang menerpa bumi.
Pada tengah malam yang sunyi, salju berbincang-bincang dengan pohon cemara.
Kata salju, “Setiap tahun, saya datang ke muka bumi ini. Dan kamulah satu-satunya yang dapat melewati ujian saya. Kamu mampu berdiri tegak, dalam menahan segala macam tekanan alam.”
Teman-teman yang luar biasa!
Ada peribahasa Timur yang berbunyi demikian: “Menabur debu dengan angin berlawanan”. Ada juga ungkapan begini: “Menengadah ke langit dan membuang ludah.” Semuanya mengisahkan kebodohan-kebodohan yang dilakukan seseorang, hingga akhirnya mencelakakan dirinya sendiri.
Bunga mawar dalam cerita atas bersifat congkak, dan kepuasan yang didapatnya hanya bersifat sebentar. Sementara itu, pohon cemara berlapang dada, hatinya bagaikan langit besar tak bertepi saat menerima fitnah dan cela.
Mari, belajar dari si pohon cemara. Dia tegar saat “menahan serangan”, baik itu serangan berupa tindakan, ucapan, atau pikiran. Ia mampu menjadikannya sebagai sesuatu yang sejuk, hangat, dan damai.
Ingat, dengan keteguhan jiwa dan pikiran, kebahagiaan dapat kita raih. Caci maki dan fitnah sekalipun, tidak akan mampu menjatuhkan orang yang kuat! Setuju kan?
Salam sukses, luar biasa!
Suatu hari di tengah hutan, bunga mawar menertawakan pohon cemara. Katanya, “Meskipun kamu tumbuh begitu tegap, tapi kamu tidak harum sehingga tidak bisa menarik kumbang dan lebah untuk mendekat.”
Pohon cemara diam saja. Kemudian, bunga mawar menceritakan keburukan pohon cemara dimana-mana. Akhirnya, pohon cemara menjadi tersingkir dan menyendiri di tengah hutan.
Ketika musim dingin yang hebat datang, salju turun dengan lebatnya. Bunga mawar yang sombong itu, kesulitan mempertahankan kehidupannya. Demikian juga dengan pohon dan bunga-bunga lainnya. Hanya pohon cemara yang masih tegak berdiri, di tengah badai salju dingin yang menerpa bumi.
Pada tengah malam yang sunyi, salju berbincang-bincang dengan pohon cemara.
Kata salju, “Setiap tahun, saya datang ke muka bumi ini. Dan kamulah satu-satunya yang dapat melewati ujian saya. Kamu mampu berdiri tegak, dalam menahan segala macam tekanan alam.”
Teman-teman yang luar biasa!
Ada peribahasa Timur yang berbunyi demikian: “Menabur debu dengan angin berlawanan”. Ada juga ungkapan begini: “Menengadah ke langit dan membuang ludah.” Semuanya mengisahkan kebodohan-kebodohan yang dilakukan seseorang, hingga akhirnya mencelakakan dirinya sendiri.
Bunga mawar dalam cerita atas bersifat congkak, dan kepuasan yang didapatnya hanya bersifat sebentar. Sementara itu, pohon cemara berlapang dada, hatinya bagaikan langit besar tak bertepi saat menerima fitnah dan cela.
Mari, belajar dari si pohon cemara. Dia tegar saat “menahan serangan”, baik itu serangan berupa tindakan, ucapan, atau pikiran. Ia mampu menjadikannya sebagai sesuatu yang sejuk, hangat, dan damai.
Ingat, dengan keteguhan jiwa dan pikiran, kebahagiaan dapat kita raih. Caci maki dan fitnah sekalipun, tidak akan mampu menjatuhkan orang yang kuat! Setuju kan?
Salam sukses, luar biasa!
Empat Batu Bata
by Andrie Wongso on Wednesday, October 13, 2010 at 3:00pm.
Saat liburan panjang, seorang mahasiswa pulang ke kampung halamannya. Di sana, tengah dimulai pembangunan tempat ibadah, dan tentunya, sangat dibutuhkan tenaga sukarela untuk membantu.
Si pemuda itu pun dengan senang hati ikut ambil bagian dalam kegiatan tersebut. Dengan bersemangat, ia mulai belajar mengaduk semen, meletakkan bata, melapisi dengan semen, kemudian menaruh bata, menyemen lagi, merapikan, demikian seterusnya. Dengan semangat menggebu, akhirnya, setengah tembok berhasil diselesaikan. Lalu dengan perasaan puas, walaupun sedikit lelah, dia berdiri mengagumi tembok hasil kerja pertamanya.
Tiba-tiba, dia melihat sesuatu yang janggal. Ada empat batu bata pertama yang tersusun tidak rapi! Keempat batu bata itu tampak lebih menonjol dan miring di antara batu bata lainnya yang tersusun rapi. Timbul perasaan kecewa dan tidak puas atas hasil kerjanya. Bergegas, ditemuinya sang pemuka agama untuk mendiskusikan masalah yang mengganggu pikirannya.
“Lihat Pak, batu bata pertama yang saya pasang kurang rapi sehingga mengganggu keindahan seluruh tembok di atasnya. Tolong Pak, beri kesempatan kepada saya untuk memperbaikinya dengan merobohkan dan memasang ulang batu-batu bata itu. Saya berjanji pasti akan mengerjakan sebaik-baiknya sampai selesai.”
Namun, usulannya itu ditolak. “Tidak ada yang perlu diperbaiki, Nak. Tembok sudah naik setengah, tidak perlu dirobohkan hanya gara-gara empat bata yang kurang rapi. Teruskan saja pekerjaanmu hingga selesai,” ujar si pemuka agama.
Akhirnya, meski merasa kecewa dan tidak puas, si pemuda mampu menyelesaikan keseluruhan tembok tersebut. Namun, setiap kali melewati batu bata yang kurang sempurna itu, selalu timbul rasa tidak puas dan bersalah yang mengusiknya. Ia secepatnya berlalu, pura-pura tidak melihat, bahkan sengaja berjalan memutar untuk menghindari pemandangan bata miring tersebut. Sebab, setiap kali melewatinya, ia merasa diingatkan pada kesalahan yang telah diperbuatnya. Ia menganggap, kesalahan itu akan dilihat banyak orang yang lewat di sana.
Sampai suatu hari, ada kunjungan seorang pemimpin dari ibukota. Si anak muda mendapat tugas mendampingi mereka berkeliling di tempat itu. Tiba-tiba sang pemimpin menghentikan langkah menatap tembok di sana dan berkata, “Wah, dinding ini indah sekali.”
Dengan terkejut, si pemuda lantas bertanya, “Apanya yang indah, Pak? Apakah Bapak tidak melihat empat batu bata yang miring dan mengganggu kesempurnaan seluruh tembok ini?”
“Oh ya, saya melihat empat batu bata itu, tetapi saya juga melihat ratusan batu bata lainnya yang bagus! Karena ketidaksempurnaan seperti katamu itu anak muda, membuat dinding ini justru tampak indah untuk dinikmati, bukan sekadar dinding kosong yang rata.”
Sejenak si anak muda terpana. Untuk pertama kalinya, sejak tembok itu berdiri, pemuda itu melihat tembok yang sama, dengan kesadaran yang berbeda. Sebelumnya, matanya selalu memperhatikan kesalahan yang telah dilakukan hingga ia selalu ingin menghancurkan seluruh dinding. Dia tidak menyadari tumpukan batu bata yang bagus dan sempurna yang jauh lebih banyak jumlahnya. Kebaikan yang banyak dari hasil kerjanya itu, seolah tertutupi kesalahan kecil yang ia lakukan sebelumnya.
Para sahabat yang luar biasa,
Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sebab, kita semua hidup dengan aneka keterbatasan. Setiap manusia, Anda dan saya, tentu memiliki “bata” yang jelek dan “bata” yang bagus di kehidupan. Ini mengingatkan saya pada sebuah pepatah, 'tak ada gading yang tak retak'. Dalam sebuah keindahan, pasti terdapat kekurangsempurnaan.
Kadang, tanpa sadar kita melakukan kesalahan, tetapi dari sana kita justru bisa belajar tentang sebuah kebenaran. Tak jarang, kita juga mengalami kegagalan, agar bisa merasakan nikmatnya sebuah keberhasilan. Karena itu, tak perlu malu dengan kesalahan di masa lalu. Jangan pula patah semangat saat kegagalan mendera. Sebab, di balik semua itu, kita bisa belajar sesuatu.
Kesadaran akan keterbatasan sebaiknya dapat menjadi pemacu semangat kita untuk terus melakukan perbaikan dalam segenap aspek kehidupan. Bukan saatnya lagi kita meratapi kekurangan, tapi justru dengan keterbatasan itu, kita bisa terus belajar untuk memaksimalkan kelebihan yang sudah ada guna membangun masa depan.
Jadi, jangan hancurkan 'dinding yang bagus' karena 'bata yang tak sempurna'. Karena, di balik setiap proses kehidupan, pasti ada proses pembelajaran. Tujuannya satu: untuk menguatkan dan menyempurnakan, sehingga hidup lebih bermakna.
Salam sukses, luar biasa!!
Share and be happy.
Saat liburan panjang, seorang mahasiswa pulang ke kampung halamannya. Di sana, tengah dimulai pembangunan tempat ibadah, dan tentunya, sangat dibutuhkan tenaga sukarela untuk membantu.
Si pemuda itu pun dengan senang hati ikut ambil bagian dalam kegiatan tersebut. Dengan bersemangat, ia mulai belajar mengaduk semen, meletakkan bata, melapisi dengan semen, kemudian menaruh bata, menyemen lagi, merapikan, demikian seterusnya. Dengan semangat menggebu, akhirnya, setengah tembok berhasil diselesaikan. Lalu dengan perasaan puas, walaupun sedikit lelah, dia berdiri mengagumi tembok hasil kerja pertamanya.
Tiba-tiba, dia melihat sesuatu yang janggal. Ada empat batu bata pertama yang tersusun tidak rapi! Keempat batu bata itu tampak lebih menonjol dan miring di antara batu bata lainnya yang tersusun rapi. Timbul perasaan kecewa dan tidak puas atas hasil kerjanya. Bergegas, ditemuinya sang pemuka agama untuk mendiskusikan masalah yang mengganggu pikirannya.
“Lihat Pak, batu bata pertama yang saya pasang kurang rapi sehingga mengganggu keindahan seluruh tembok di atasnya. Tolong Pak, beri kesempatan kepada saya untuk memperbaikinya dengan merobohkan dan memasang ulang batu-batu bata itu. Saya berjanji pasti akan mengerjakan sebaik-baiknya sampai selesai.”
Namun, usulannya itu ditolak. “Tidak ada yang perlu diperbaiki, Nak. Tembok sudah naik setengah, tidak perlu dirobohkan hanya gara-gara empat bata yang kurang rapi. Teruskan saja pekerjaanmu hingga selesai,” ujar si pemuka agama.
Akhirnya, meski merasa kecewa dan tidak puas, si pemuda mampu menyelesaikan keseluruhan tembok tersebut. Namun, setiap kali melewati batu bata yang kurang sempurna itu, selalu timbul rasa tidak puas dan bersalah yang mengusiknya. Ia secepatnya berlalu, pura-pura tidak melihat, bahkan sengaja berjalan memutar untuk menghindari pemandangan bata miring tersebut. Sebab, setiap kali melewatinya, ia merasa diingatkan pada kesalahan yang telah diperbuatnya. Ia menganggap, kesalahan itu akan dilihat banyak orang yang lewat di sana.
Sampai suatu hari, ada kunjungan seorang pemimpin dari ibukota. Si anak muda mendapat tugas mendampingi mereka berkeliling di tempat itu. Tiba-tiba sang pemimpin menghentikan langkah menatap tembok di sana dan berkata, “Wah, dinding ini indah sekali.”
Dengan terkejut, si pemuda lantas bertanya, “Apanya yang indah, Pak? Apakah Bapak tidak melihat empat batu bata yang miring dan mengganggu kesempurnaan seluruh tembok ini?”
“Oh ya, saya melihat empat batu bata itu, tetapi saya juga melihat ratusan batu bata lainnya yang bagus! Karena ketidaksempurnaan seperti katamu itu anak muda, membuat dinding ini justru tampak indah untuk dinikmati, bukan sekadar dinding kosong yang rata.”
Sejenak si anak muda terpana. Untuk pertama kalinya, sejak tembok itu berdiri, pemuda itu melihat tembok yang sama, dengan kesadaran yang berbeda. Sebelumnya, matanya selalu memperhatikan kesalahan yang telah dilakukan hingga ia selalu ingin menghancurkan seluruh dinding. Dia tidak menyadari tumpukan batu bata yang bagus dan sempurna yang jauh lebih banyak jumlahnya. Kebaikan yang banyak dari hasil kerjanya itu, seolah tertutupi kesalahan kecil yang ia lakukan sebelumnya.
Para sahabat yang luar biasa,
Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sebab, kita semua hidup dengan aneka keterbatasan. Setiap manusia, Anda dan saya, tentu memiliki “bata” yang jelek dan “bata” yang bagus di kehidupan. Ini mengingatkan saya pada sebuah pepatah, 'tak ada gading yang tak retak'. Dalam sebuah keindahan, pasti terdapat kekurangsempurnaan.
Kadang, tanpa sadar kita melakukan kesalahan, tetapi dari sana kita justru bisa belajar tentang sebuah kebenaran. Tak jarang, kita juga mengalami kegagalan, agar bisa merasakan nikmatnya sebuah keberhasilan. Karena itu, tak perlu malu dengan kesalahan di masa lalu. Jangan pula patah semangat saat kegagalan mendera. Sebab, di balik semua itu, kita bisa belajar sesuatu.
Kesadaran akan keterbatasan sebaiknya dapat menjadi pemacu semangat kita untuk terus melakukan perbaikan dalam segenap aspek kehidupan. Bukan saatnya lagi kita meratapi kekurangan, tapi justru dengan keterbatasan itu, kita bisa terus belajar untuk memaksimalkan kelebihan yang sudah ada guna membangun masa depan.
Jadi, jangan hancurkan 'dinding yang bagus' karena 'bata yang tak sempurna'. Karena, di balik setiap proses kehidupan, pasti ada proses pembelajaran. Tujuannya satu: untuk menguatkan dan menyempurnakan, sehingga hidup lebih bermakna.
Salam sukses, luar biasa!!
Share and be happy.
Jadi Orang Baik Itu Gampang
by Andrie Wongso on Sunday, December 5, 2010 at 5:04pm.
Pada suatu hari, Confusius berkata, "Kita boleh berbuat apa saja, semau kita, seumur hidup kita; mencuri, menyiksa, menipu.. Pokoknya, apa saja!"
Salah seorang muridnya bertanya, "Master, kok enak sekali ya. Tapi, apakah ada syaratnya?"
Jawab Confusius, "Syaratnya sangat ringan, kok. Kalian boleh berbuat jahat seumur hidup kalian, tetapi cukup satu hari saja sebelum meninggal dunia, jadilah orang baik!"
Murid yang lain segera menanggapi, "Tapi Master! Kita kan tidak tahu, kapan kita akan meninggal dunia?"
Kata Confusius, "Oleh karena itu, anggaplah besok kamu akan meninggal dunia. Jadilah orang baik hari ini..!! Mudah kan? Jalani ya.."
Pada suatu hari, Confusius berkata, "Kita boleh berbuat apa saja, semau kita, seumur hidup kita; mencuri, menyiksa, menipu.. Pokoknya, apa saja!"
Salah seorang muridnya bertanya, "Master, kok enak sekali ya. Tapi, apakah ada syaratnya?"
Jawab Confusius, "Syaratnya sangat ringan, kok. Kalian boleh berbuat jahat seumur hidup kalian, tetapi cukup satu hari saja sebelum meninggal dunia, jadilah orang baik!"
Murid yang lain segera menanggapi, "Tapi Master! Kita kan tidak tahu, kapan kita akan meninggal dunia?"
Kata Confusius, "Oleh karena itu, anggaplah besok kamu akan meninggal dunia. Jadilah orang baik hari ini..!! Mudah kan? Jalani ya.."
Sang Kriminal
Suatu ketika di Negara Eropa, seorang kriminal buronan negara berhasil tertangkap. Sang kriminal adalah buronan kelas kakap yang telah melakukan banyak sekali kejahatan, perampokan, pembunuhan, terorisme dan tidaklah terhitung daftarnya.
Pengadilan Negara menjatuhkan vonis hukuman mati kepadanya dan mereka mulai mendiskusikan hukuman apa yang akan mereka berikan kepada sang kriminal. Mereka memilih beberapa alternatif, diantaranya hukuman gantung, hukuman tembak, kursi listrik, ruang beracun, dll.
Pada saat diskusi tersebut berlangsung, seorang ilmuwan mencadangkan suatu metode baru sebagai percobaan untuk memberi vonis hukuman mati, suatu metode yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Mereka pun mendengarkan ide tersebut dan akhirnya mereka pun menyetujui ide tersebut dan membiarkan sang ilmuwan melakukan riset terhadapnya.
Sang kriminal dimasukkan kedalam suatu ruangan dan dibaringkan dengan tubuh terikat. Matanya ditutup dan dibisikkan, "Kamu akan segera dihukum mati! dengan metode terbaru maka urat nadi di pergelanganmu akan kami potong dan darahmu akan segera menetes. Kamu tidak akan merasa sakit karena teknologi yang kami gunakan sangat canggih. Darahmu akan menetes perlahan-lahan dan akan membiarkan dirimu mendengar suara tetesannya. Secara perlahan kamu akan kehabisan darah dan tubuhmu akan melemah, detak jantungmu semakin perlahan.. semakin lemah.. sampai akhirnya kamu akan mati!"
Mereka pun kemudian eksekusi, sang kriminal mulai merasakan potongan di pergelangan tangan kanannya, segera ia merasakan aliran darahnya menetes.. tes..tes... suara tetesan tersebut membuatnya tahu bahwa dia semakin kehilangan darah.. dan tubuhnya semakin lemah.. sampai jantungnya berdetak semakin perlahan.. dan tragisnya diapun mati.
Ironisnya... walaupun sang kriminal tersebut mati. Dia tidak sempat menyadari bahwa percobaan yang dilakukan terhadapnya bukanlah teknologi canggih untuk memotong pergelangannya. Tetapi.. yang mereka lakukan hanyalah.. mengambil sepotong es dingin yang tajam.. kemudian digunakannya potongan tersebut melewati pergelangannya yang sesungguhnya tidak memotong apapun!
Sang kriminal, yang dibuat percaya bahwa pergelangannya telah dipotong, mengikuti semua sugesti palsu yang dikatakan oleh sang ilmuwan. Walaupun yang dikatakan palsu, tetapi sugesti tersebut menjadi 'kenyataan' karena sang kriminal memang mempercayainya!
Dalam otak kita, ada sesuatu yang dinamakan alam bawah sadar, dan apapun yang kita berikan kedalamnya, akan menjadi kenyataan! Tubuh kita akan mempercayai informasi apapun, walaupun itu palsu! Jika kita mempercayainya, maka tubuh kita akan bereaksi seolah-olah itu adalah kenyataan. Sama juga dengan kehidupan, Jika Anda menonton TV yang membentuk pikiran Anda dengan hal-hal yang tidak berguna setiap harinya... maka diri andapun menjadi pribadi yang tidak berguna.
Karena itu, jika Anda menginginkan hal yang terbaik segera isilah pikiran Anda dengan hal-hal positif.. Jika ingin kaya.. isilah otak Anda dengan kekayaan.. Jika ingin sukses, isilah pikiran Anda dengan kesuksesan.
Pengadilan Negara menjatuhkan vonis hukuman mati kepadanya dan mereka mulai mendiskusikan hukuman apa yang akan mereka berikan kepada sang kriminal. Mereka memilih beberapa alternatif, diantaranya hukuman gantung, hukuman tembak, kursi listrik, ruang beracun, dll.
Pada saat diskusi tersebut berlangsung, seorang ilmuwan mencadangkan suatu metode baru sebagai percobaan untuk memberi vonis hukuman mati, suatu metode yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Mereka pun mendengarkan ide tersebut dan akhirnya mereka pun menyetujui ide tersebut dan membiarkan sang ilmuwan melakukan riset terhadapnya.
Sang kriminal dimasukkan kedalam suatu ruangan dan dibaringkan dengan tubuh terikat. Matanya ditutup dan dibisikkan, "Kamu akan segera dihukum mati! dengan metode terbaru maka urat nadi di pergelanganmu akan kami potong dan darahmu akan segera menetes. Kamu tidak akan merasa sakit karena teknologi yang kami gunakan sangat canggih. Darahmu akan menetes perlahan-lahan dan akan membiarkan dirimu mendengar suara tetesannya. Secara perlahan kamu akan kehabisan darah dan tubuhmu akan melemah, detak jantungmu semakin perlahan.. semakin lemah.. sampai akhirnya kamu akan mati!"
Mereka pun kemudian eksekusi, sang kriminal mulai merasakan potongan di pergelangan tangan kanannya, segera ia merasakan aliran darahnya menetes.. tes..tes... suara tetesan tersebut membuatnya tahu bahwa dia semakin kehilangan darah.. dan tubuhnya semakin lemah.. sampai jantungnya berdetak semakin perlahan.. dan tragisnya diapun mati.
Ironisnya... walaupun sang kriminal tersebut mati. Dia tidak sempat menyadari bahwa percobaan yang dilakukan terhadapnya bukanlah teknologi canggih untuk memotong pergelangannya. Tetapi.. yang mereka lakukan hanyalah.. mengambil sepotong es dingin yang tajam.. kemudian digunakannya potongan tersebut melewati pergelangannya yang sesungguhnya tidak memotong apapun!
Sang kriminal, yang dibuat percaya bahwa pergelangannya telah dipotong, mengikuti semua sugesti palsu yang dikatakan oleh sang ilmuwan. Walaupun yang dikatakan palsu, tetapi sugesti tersebut menjadi 'kenyataan' karena sang kriminal memang mempercayainya!
Dalam otak kita, ada sesuatu yang dinamakan alam bawah sadar, dan apapun yang kita berikan kedalamnya, akan menjadi kenyataan! Tubuh kita akan mempercayai informasi apapun, walaupun itu palsu! Jika kita mempercayainya, maka tubuh kita akan bereaksi seolah-olah itu adalah kenyataan. Sama juga dengan kehidupan, Jika Anda menonton TV yang membentuk pikiran Anda dengan hal-hal yang tidak berguna setiap harinya... maka diri andapun menjadi pribadi yang tidak berguna.
Karena itu, jika Anda menginginkan hal yang terbaik segera isilah pikiran Anda dengan hal-hal positif.. Jika ingin kaya.. isilah otak Anda dengan kekayaan.. Jika ingin sukses, isilah pikiran Anda dengan kesuksesan.
Kisah Dua Lautan
Di Palestina ada dua laut. Keduanya sangat berbeda. Yang satu dinamakan Laut Galilea, yaitu sebuah danau yang luas dengan air yang jernih dan bisa diminum. Ikan dan manusia berenang dalam danau tersebut. Danau itu juga dikelilingi oleh ladang dan kebun hijau. Banyak orang mendirikan rumah mereka di sekitarnya. Nabi Isa a.s. pun berlayar di danau tersebut beberapa kali.
Laut yang lain dinamakan Laut Mati. Dan sungguh-sungguh sesuai dengan namanya, segala sesuatu yang ada di dalamnya mati. Airnya sangat asin sehingga Anda pun bisa sakit bila meminumnya. Danau itu tidak ada ikannya. Tak ada sesuatupun yang tumbuh di tepiannya. Tak seorangpun ingin tinggal di sekitar danau ini karena baunya yang tidak sedap.
Jadi yang menarik tentang kedua laut itu adalah bahwa ada satu sungai yang mengalir ke keduanya.
Jadi apa yang membuat keduanya berbeda?
Bedanya adalah, danau yang satu menerima dan memberi; sedangkan danau yang satunya hanya menerima dan menyimpan.
Sungai Yordan mengalir ke permukaan Laut Galilea dan mengalir keluar dari dasar danau itu. Danau tersebut memanfaatkan air Sungai Yordan dan meneruskannya kepada danau lainnya untuk juga memanfaatkannya.
Sungai Yordan kemudian mengalir ke dalam Laut Mati namun tidak pernah keluar lagi. Laut Mati secara egois menyimpan air Sungai Yordan bagi dirinya sendiri. Hal itulah yang membuatnya mati. Karena Laut Mati hanya menerima dan tidak memberi.
Laut yang lain dinamakan Laut Mati. Dan sungguh-sungguh sesuai dengan namanya, segala sesuatu yang ada di dalamnya mati. Airnya sangat asin sehingga Anda pun bisa sakit bila meminumnya. Danau itu tidak ada ikannya. Tak ada sesuatupun yang tumbuh di tepiannya. Tak seorangpun ingin tinggal di sekitar danau ini karena baunya yang tidak sedap.
Jadi yang menarik tentang kedua laut itu adalah bahwa ada satu sungai yang mengalir ke keduanya.
Jadi apa yang membuat keduanya berbeda?
Bedanya adalah, danau yang satu menerima dan memberi; sedangkan danau yang satunya hanya menerima dan menyimpan.
Sungai Yordan mengalir ke permukaan Laut Galilea dan mengalir keluar dari dasar danau itu. Danau tersebut memanfaatkan air Sungai Yordan dan meneruskannya kepada danau lainnya untuk juga memanfaatkannya.
Sungai Yordan kemudian mengalir ke dalam Laut Mati namun tidak pernah keluar lagi. Laut Mati secara egois menyimpan air Sungai Yordan bagi dirinya sendiri. Hal itulah yang membuatnya mati. Karena Laut Mati hanya menerima dan tidak memberi.
Cermin Yang Terlupakan
Pada suatu ketika, sepasang suami istri, katakanlah nama mereka Smith, mengadakan 'garage sale' untuk menjual barang-barang bekas yang tidak mereka butuhkan lagi. Suami istri ini sudah setengah baya, dan anak-anak mereka telah meninggalkan rumah untuk hidup mandiri. Sekarang waktunya untuk membenahi rumah, dan menjual barang-barang yang tidak dibutuhkan lagi.
Saat mengumpulkan barang-barang yang akan dijual, mereka menemukan benda-benda yang sudah sedemikian lama tersimpan di gudang. Salah satu di antaranya adalah sebuah cermin yang mereka dapatkan sebagai hadiah pernikahan mereka, dua puluh tahun yang lampau.
Sejak pertama kali diperoleh, cermin itu sama sekali tidak pernah digunakan. Bingkainya yang berwarna biru aqua membuat cermin itu tampak buruk, dan tidak cocok untuk diletakkan di ruangan mana pun di rumah mereka. Namun karena tidak ingin menyakiti orang yang menghadiahkannya, cermin itu tidak mereka kembalikan. Demikianlah, cermin itu teronggok di loteng. Setelah dua puluh tahun berlalu, mereka berpikir orang yang memberikannya tentu sudah lupa dengan cermin itu. Maka mereka mengeluarkannya dari gudang, dan meletakkannya bersama dengan barang lain untuk dijual keesokan hari.
Garage sale mereka ternyata mendapat banyak peminat. Halaman rumah mereka penuh oleh orang-orang yang datang untuk melihat barang bekas yang mereka jual. Satu per satu barang bekas itu mulai terjual. Perabot rumah tangga, buku-buku, pakaian, alat berkebun, mainan anak-anak, bahkan radio tua yang sudah tidak berfungsi pun masih ada yang membeli.
Seorang lelaki menghampiri Mrs. Smith.
"Berapa harga cermin itu?" katanya sambil menunjuk cermin tak terpakai tadi.
Mrs. Smith tercengang. "Wah, saya sendiri tidak berharap akan menjual cermin itu. Apakah Anda sungguh ingin membelinya?" katanya.
"Ya, tentu saja. Kondisinya masih sangat bagus." jawab pria itu.
Mrs. Smith tidak tahu berapa harga yang pantas untuk cermin jelek itu. Meskipun sangat mulus, namun baginya cermin itu tetaplah jelek dan tidak berharga.
Setelah berpikir sejenak, Mrs. Smith berkata, "Hmm ... anda bisa membeli cermin itu untuk satu dolar."
Dengan wajah berseri-seri, pria tadi mengeluarkan dompetnya, menarik selembar uang satu dolar dan memberikannya kepada Mrs. Smith.
"Terima kasih," kata Mrs. Smith, "Sekarang cermin itu jadi milik Anda. Apakah perlu dibungkus?"
"Oh, jika boleh, saya ingin memeriksanya sebelum saya bawa pulang." jawab si pembeli.
Mrs. Smith memberikan ijinnya, dan pria itu bergegas mengambil cerminnya dan meletakkannya di atas meja di depan Mrs. Smith. Dia mulai mengupas pinggiran bingkai cermin itu. Dengan satu tarikan dia melepaskan lapisan pelindungnya dan muncullah warna keemasan dari baliknya. Bingkai cermin itu ternyata bercat emas yang sangat indah, dan warna biru aqua yang selama ini menutupinya hanyalah warna dari lapisan pelindung bingkai itu!
"Ya, tepat seperti yang saya duga! Terima kasih!" sorak pria itu dengan gembira.
Mrs. Smith tidak bisa berkata-kata menyaksikan cermin indah itu dibawa pergi oleh pemilik barunya, untuk mendapatkan tempat yang lebih pantas daripada loteng rumah yang sempit dan berdebu.
Kisah ini menggambarkan bagaimana kita melihat hidup kita. Terkadang kita merasa hidup kita membosankan, tidak seindah yang kita inginkan. Kita melihat hidup kita berupa rangkaian rutinitas yang harus kita jalani. Bangun pagi, pergi bekerja, pulang sore, tidur, bangun pagi, pegi bekerja, pulang sore, tidur. Itu saja yang kita jalani setiap hari.
Sama halnya dengan Mr. dan Mrs. Smith yang hanya melihat plastik pelapis dari bingkai cermin mereka, sehingga mereka merasa cermin itu jelek dan tidak cocok digantung di dinding. Padahal dibalik lapisan itu, ada warna emas yang indah.
Padahal di balik rutinitas hidup kita, ada banyak hal yang dapat memperkaya hidup kita. Setiap saat yang kita lewati, hanya bisa kita alami satu kali seumur hidup kita. Setiap detik yang kita jalani, hanya berlaku satu kali dalam hidup kita. Setiap detik adalah pemberian baru dari Tuhan untuk kita. Akankah kita menyia-nyiakannya dengan terpaku pada rutinitas? Akankah kita membiarkan waktu berlalu dengan merasa hidup kita tidak seperti yang kita inginkan?
Setelah dua puluh tahun, dan setelah terlambat, barulah Mrs. Smith menyadari nilai sesungguhnya dari cermin tersebut. Inginkah kita menyadari keindahan hidup kita setelah segalanya terlambat? Tentu tidak.
Sebab itu, marilah kita mulai mengikis pandangan kita bahwa hidup hanyalah rutinitas belaka. Mari kita mulai mengelupas rutinitas tersebut dan menemukan nilai sesungguhnya dari hidup kita.
Marilah kita mulai menjelajah hidup kita, menemukan hal-hal baru, belajar lebih banyak, mengenal orang lebih baik. Mari kita melakukan sesuatu yang baru. Mari kita membuat perbedaan! Dengan suatu semangat baru untuk menjalani hidup lebih baik setiap hari.
Saat mengumpulkan barang-barang yang akan dijual, mereka menemukan benda-benda yang sudah sedemikian lama tersimpan di gudang. Salah satu di antaranya adalah sebuah cermin yang mereka dapatkan sebagai hadiah pernikahan mereka, dua puluh tahun yang lampau.
Sejak pertama kali diperoleh, cermin itu sama sekali tidak pernah digunakan. Bingkainya yang berwarna biru aqua membuat cermin itu tampak buruk, dan tidak cocok untuk diletakkan di ruangan mana pun di rumah mereka. Namun karena tidak ingin menyakiti orang yang menghadiahkannya, cermin itu tidak mereka kembalikan. Demikianlah, cermin itu teronggok di loteng. Setelah dua puluh tahun berlalu, mereka berpikir orang yang memberikannya tentu sudah lupa dengan cermin itu. Maka mereka mengeluarkannya dari gudang, dan meletakkannya bersama dengan barang lain untuk dijual keesokan hari.
Garage sale mereka ternyata mendapat banyak peminat. Halaman rumah mereka penuh oleh orang-orang yang datang untuk melihat barang bekas yang mereka jual. Satu per satu barang bekas itu mulai terjual. Perabot rumah tangga, buku-buku, pakaian, alat berkebun, mainan anak-anak, bahkan radio tua yang sudah tidak berfungsi pun masih ada yang membeli.
Seorang lelaki menghampiri Mrs. Smith.
"Berapa harga cermin itu?" katanya sambil menunjuk cermin tak terpakai tadi.
Mrs. Smith tercengang. "Wah, saya sendiri tidak berharap akan menjual cermin itu. Apakah Anda sungguh ingin membelinya?" katanya.
"Ya, tentu saja. Kondisinya masih sangat bagus." jawab pria itu.
Mrs. Smith tidak tahu berapa harga yang pantas untuk cermin jelek itu. Meskipun sangat mulus, namun baginya cermin itu tetaplah jelek dan tidak berharga.
Setelah berpikir sejenak, Mrs. Smith berkata, "Hmm ... anda bisa membeli cermin itu untuk satu dolar."
Dengan wajah berseri-seri, pria tadi mengeluarkan dompetnya, menarik selembar uang satu dolar dan memberikannya kepada Mrs. Smith.
"Terima kasih," kata Mrs. Smith, "Sekarang cermin itu jadi milik Anda. Apakah perlu dibungkus?"
"Oh, jika boleh, saya ingin memeriksanya sebelum saya bawa pulang." jawab si pembeli.
Mrs. Smith memberikan ijinnya, dan pria itu bergegas mengambil cerminnya dan meletakkannya di atas meja di depan Mrs. Smith. Dia mulai mengupas pinggiran bingkai cermin itu. Dengan satu tarikan dia melepaskan lapisan pelindungnya dan muncullah warna keemasan dari baliknya. Bingkai cermin itu ternyata bercat emas yang sangat indah, dan warna biru aqua yang selama ini menutupinya hanyalah warna dari lapisan pelindung bingkai itu!
"Ya, tepat seperti yang saya duga! Terima kasih!" sorak pria itu dengan gembira.
Mrs. Smith tidak bisa berkata-kata menyaksikan cermin indah itu dibawa pergi oleh pemilik barunya, untuk mendapatkan tempat yang lebih pantas daripada loteng rumah yang sempit dan berdebu.
Kisah ini menggambarkan bagaimana kita melihat hidup kita. Terkadang kita merasa hidup kita membosankan, tidak seindah yang kita inginkan. Kita melihat hidup kita berupa rangkaian rutinitas yang harus kita jalani. Bangun pagi, pergi bekerja, pulang sore, tidur, bangun pagi, pegi bekerja, pulang sore, tidur. Itu saja yang kita jalani setiap hari.
Sama halnya dengan Mr. dan Mrs. Smith yang hanya melihat plastik pelapis dari bingkai cermin mereka, sehingga mereka merasa cermin itu jelek dan tidak cocok digantung di dinding. Padahal dibalik lapisan itu, ada warna emas yang indah.
Padahal di balik rutinitas hidup kita, ada banyak hal yang dapat memperkaya hidup kita. Setiap saat yang kita lewati, hanya bisa kita alami satu kali seumur hidup kita. Setiap detik yang kita jalani, hanya berlaku satu kali dalam hidup kita. Setiap detik adalah pemberian baru dari Tuhan untuk kita. Akankah kita menyia-nyiakannya dengan terpaku pada rutinitas? Akankah kita membiarkan waktu berlalu dengan merasa hidup kita tidak seperti yang kita inginkan?
Setelah dua puluh tahun, dan setelah terlambat, barulah Mrs. Smith menyadari nilai sesungguhnya dari cermin tersebut. Inginkah kita menyadari keindahan hidup kita setelah segalanya terlambat? Tentu tidak.
Sebab itu, marilah kita mulai mengikis pandangan kita bahwa hidup hanyalah rutinitas belaka. Mari kita mulai mengelupas rutinitas tersebut dan menemukan nilai sesungguhnya dari hidup kita.
Marilah kita mulai menjelajah hidup kita, menemukan hal-hal baru, belajar lebih banyak, mengenal orang lebih baik. Mari kita melakukan sesuatu yang baru. Mari kita membuat perbedaan! Dengan suatu semangat baru untuk menjalani hidup lebih baik setiap hari.
Thursday, December 9, 2010
Aku Akan Menjadi Lenganmu...
Bob Butler kehilangan kedua kakinya pada tahun 1965 akibat ledakan ranjau di Vietnam. Ia kembali ke negerinya sebagai pahlawan perang. Dua puluh tahun kemudian IA sekali lagi membuktikan kepahlawanan yang murni berasal dari lubuk hatinya.
Butler sedang bekerja di garasi rumahnya di sebuah kota kecil di Arizona pada suatu Hari dalam musim panas ketika IA mendengar jeritan seorang wanita dari salah satu rumah tetangganya. Ia menggelindingkan kursi rodanya ke rumah ini, tetapi semak-semak yang tinggi di rumah itu tidak memungkinkan kursi rodanya mencapai pintu belakang. Maka veteran itu keluar dari kursinya Dan merangkak tanpa peduli debu Dan
semak yang harus dilewatinya.
"Aku harus sampai ke sana," ucapnya dalam hati. "Tak peduli bagaimanapun sulitnya."
Ketika Butler tiba di rumah itu, IA tahu bahwa jeritan itu datang dari arah kolam. Di sana seorang anak perempuan berusia kira-kira tiga tahun sedang terbenam di dalamnya. Anak itu lahir tanpa lengan, sehingga ketika IA jatuh ke dalam kolam IA tidak dapat berenang. Sang ibu hanya bisa berdiri mematung sambil menangisi putri kecilnya. Butler langsung menceburkan diri Dan menyelam ke dalam dasar kolam lalu membawanya naik. Wajah anak bernama Stephanie itu sudah membiru, denyut nadinya tidak terasa Dan IA tidak benapas.
Butler segera berusaha melakukan pernafasan buatan untuk menghidupkannya kembali sementara ibunya menghubungi pemadam kebakaran melalui telepon. Ia diberitahu bahwa petugas kesehatan kebetulan sedang bertugas di tempat lain. Dengan putus ASA, IA terisak-isak sambil memeluk pundak Butler.
Sementara terus melakukan pernafasan buatan, Butler dengan tenang meyakinkan sang ibu bahwa Stephanie akan selamat. "Jangan cemas," katanya. "Saya menjadi tangannya untuk keluar dari kolam itu. Ia akan baik-baik saja. Sekarang saya akan menjadi paru-parunya. Bila bersama-sama Kita pasti bisa."
Beberapa saat kemudian anak kecil itu mulai terbatuk-batuk, sadar kembali Dan mulai menangis. Ketika mereka saling berpelukan Dan bergembira bersama-sama, sang ibu bertanya kepada Butler tentang bagaimana IA yakin bahwa anaknya akan selamat.
"Ketika kaki saya remuk terkena ledakan di Vietnam, saya sedang sendirian di sebuah ladang," ceritanya kepada perempuan itu. "Tidak ada orang lain di sekitar situ yang bisa menolong kecuali seorang gadis Vietnam yang masih kecil. Sambil berjuang menyeretnya ke desa, gadis itu berbisik dalam bahasa Inggris patah-patah, "Tidak apa-apa. Anda akan hidup. Saya akan menjadi kaki Anda. Bersama-sama Kita pasti bisa."
"Ini kesempatan bagi saya untuk membalas yang pernah saya terima," katanya kepada ibu Stephanie.
Kita semua adalah malaikat-malaikat bersayap sebelah. Hanya bila saling membantu kita semua dapat terbang. ( Luciano De Crescenzo. )
Butler sedang bekerja di garasi rumahnya di sebuah kota kecil di Arizona pada suatu Hari dalam musim panas ketika IA mendengar jeritan seorang wanita dari salah satu rumah tetangganya. Ia menggelindingkan kursi rodanya ke rumah ini, tetapi semak-semak yang tinggi di rumah itu tidak memungkinkan kursi rodanya mencapai pintu belakang. Maka veteran itu keluar dari kursinya Dan merangkak tanpa peduli debu Dan
semak yang harus dilewatinya.
"Aku harus sampai ke sana," ucapnya dalam hati. "Tak peduli bagaimanapun sulitnya."
Ketika Butler tiba di rumah itu, IA tahu bahwa jeritan itu datang dari arah kolam. Di sana seorang anak perempuan berusia kira-kira tiga tahun sedang terbenam di dalamnya. Anak itu lahir tanpa lengan, sehingga ketika IA jatuh ke dalam kolam IA tidak dapat berenang. Sang ibu hanya bisa berdiri mematung sambil menangisi putri kecilnya. Butler langsung menceburkan diri Dan menyelam ke dalam dasar kolam lalu membawanya naik. Wajah anak bernama Stephanie itu sudah membiru, denyut nadinya tidak terasa Dan IA tidak benapas.
Butler segera berusaha melakukan pernafasan buatan untuk menghidupkannya kembali sementara ibunya menghubungi pemadam kebakaran melalui telepon. Ia diberitahu bahwa petugas kesehatan kebetulan sedang bertugas di tempat lain. Dengan putus ASA, IA terisak-isak sambil memeluk pundak Butler.
Sementara terus melakukan pernafasan buatan, Butler dengan tenang meyakinkan sang ibu bahwa Stephanie akan selamat. "Jangan cemas," katanya. "Saya menjadi tangannya untuk keluar dari kolam itu. Ia akan baik-baik saja. Sekarang saya akan menjadi paru-parunya. Bila bersama-sama Kita pasti bisa."
Beberapa saat kemudian anak kecil itu mulai terbatuk-batuk, sadar kembali Dan mulai menangis. Ketika mereka saling berpelukan Dan bergembira bersama-sama, sang ibu bertanya kepada Butler tentang bagaimana IA yakin bahwa anaknya akan selamat.
"Ketika kaki saya remuk terkena ledakan di Vietnam, saya sedang sendirian di sebuah ladang," ceritanya kepada perempuan itu. "Tidak ada orang lain di sekitar situ yang bisa menolong kecuali seorang gadis Vietnam yang masih kecil. Sambil berjuang menyeretnya ke desa, gadis itu berbisik dalam bahasa Inggris patah-patah, "Tidak apa-apa. Anda akan hidup. Saya akan menjadi kaki Anda. Bersama-sama Kita pasti bisa."
"Ini kesempatan bagi saya untuk membalas yang pernah saya terima," katanya kepada ibu Stephanie.
Kita semua adalah malaikat-malaikat bersayap sebelah. Hanya bila saling membantu kita semua dapat terbang. ( Luciano De Crescenzo. )
Sendok Kuah
John mengundang ibunya makan malam di apartemennya. Sewaktu makan, ibunya selalu memperhatikan betapa cantiknya teman se-apartemen anaknya John.
Sang ibu malah sudah lama memendam kecurigaan adanya hubungan istimewa antara John dan teman se apartemennya dan hal itu menambah keingin-tahuan sang ibu tentang hubungan anaknya itu. Hingga malam hari, sang ibu memperhatikan bagaimana kedua insan itu berinteraksi. Sang ibu mulai bertanya-tanya dalam hatinya ada apa di balik hubungan John dan temannya itu yang tidak kasat mata.
Membaca pikiran sang ibu, John berkata, "Saya tahu apa yang ada dalam pikiran ibu, tetapi saya jamin, Julie dan saya hanyalah TEMAN BIASA saja."
Satu minggu kemudian, Julie mengatakan pada John, "Sejak ibumu datang makan malam, saya tidak dapat lagi menemukan sendok perak kuah itu. Kau tidak akan terpikir bahwa ibumu yang membawanya bukan?"
John berkata, "Aku meragukan hal itu, tetapi untuk memastikannya aku akan menulis surat padanya.
Lalu John menulis suratnya sebagai berikut :
Ibu yang tercinta,
Saya tidak mengatakan ibu "mengambil" sendok kuah dari apartemenku, dan saya juga tidak mengatakan ibu "tidak mengambil" sendok kuah itu. Tetapi faktanya adalah bahwa sendok kuah itu raib sejak ibu datang makan malam disini.
Beberapa hari kemudian John menerima surat dari ibunya yang berbunyi :
Puteraku sayang.
Ibu tidak mengatakan kau "tidur" dengan Julie, dan ibu juga tidak mengatakan kau "tidak tidur" dengannya.
Tetapi faktanya adalah bila ia tidur di tempat tidurnya sendiri, ia akan menemukan sendok kuah itu.
Ibumu tercinta.
Pelajaran untuk hari ini ------ "Jangan membohongi ibumu"
Sang ibu malah sudah lama memendam kecurigaan adanya hubungan istimewa antara John dan teman se apartemennya dan hal itu menambah keingin-tahuan sang ibu tentang hubungan anaknya itu. Hingga malam hari, sang ibu memperhatikan bagaimana kedua insan itu berinteraksi. Sang ibu mulai bertanya-tanya dalam hatinya ada apa di balik hubungan John dan temannya itu yang tidak kasat mata.
Membaca pikiran sang ibu, John berkata, "Saya tahu apa yang ada dalam pikiran ibu, tetapi saya jamin, Julie dan saya hanyalah TEMAN BIASA saja."
Satu minggu kemudian, Julie mengatakan pada John, "Sejak ibumu datang makan malam, saya tidak dapat lagi menemukan sendok perak kuah itu. Kau tidak akan terpikir bahwa ibumu yang membawanya bukan?"
John berkata, "Aku meragukan hal itu, tetapi untuk memastikannya aku akan menulis surat padanya.
Lalu John menulis suratnya sebagai berikut :
Ibu yang tercinta,
Saya tidak mengatakan ibu "mengambil" sendok kuah dari apartemenku, dan saya juga tidak mengatakan ibu "tidak mengambil" sendok kuah itu. Tetapi faktanya adalah bahwa sendok kuah itu raib sejak ibu datang makan malam disini.
Beberapa hari kemudian John menerima surat dari ibunya yang berbunyi :
Puteraku sayang.
Ibu tidak mengatakan kau "tidur" dengan Julie, dan ibu juga tidak mengatakan kau "tidak tidur" dengannya.
Tetapi faktanya adalah bila ia tidur di tempat tidurnya sendiri, ia akan menemukan sendok kuah itu.
Ibumu tercinta.
Pelajaran untuk hari ini ------ "Jangan membohongi ibumu"
Nasi Bungkus
Di suatu sore hari pada saat aku pulang kantor dengan mengendarai sepeda motor, aku disuguhkan suatu drama kecil yang sangat menarik, seorang anak kecil berumur lebih kurang sepuluh tahun dengan sangat sigapnya menyalip disela-sela kepadatan kendaraan di sebuah lampu merah perempatan jalan di Jakarta .
Dengan membawa bungkusan yang cukup banyak diayunkannya sepeda berwarna biru muda, sambil membagikan bungkusan tersebut ,ia menyapa akrab setiap orang, dari tukang koran , penyapu jalan, tuna wisma sampai Pak Polisi.
Pemandangan ini membuatku tertarik, pikiran ku langsung melayang membayangkan apa yang diberikan si anak kecil tersebut dengan bungkusannya, apakah dia berjualan ? “Kalau dia berjualan apa mungkin seorang tuna wisma menjadi langganan tetapnya atau…??, untuk membunuh rasa penasaran ku, aku pun membuntuti si anak kecil tersebut sampai di sebrang jalan , setelah itu aku langsung menyapa anak tersebut untuk aku ajak berbincang-bincang.
”Dek, boleh kakak bertanya ?” tanyaku.
“Silahkan kak.” Jawab adik kecil.
“Kalau boleh tahu yang barusan Adik bagikan ketukang koran, tukang sapu, peminta-minta bahkan pak polisi, itu apa ?” tanyaku dengan heran.
“Oh… itu bungkusan nasi dan sedikit lauk kak… memang kenapa kak?” dengan sedikit heran , sambil ia balik bertanya.
”Oh... tidak! Kakak Cuma tertarik cara kamu membagikan bungkusan itu, kelihatan kamu sudah terbiasa dan cukup akrab dengan mereka. Apa kamu sudah lama kenal dengan mereka?”
Lalu ,Adik kecil ini mulai bercerita, “Dulu … aku dan ibuku sama seperti mereka hanya seorang tuna wisma, setiap hari bekerja hanya mengharapkan belaskasihan banyak orang, dan seperti kakak ketahui hidup di Jakarta begitu sulit, sampai kami sering tidak makan, waktu siang hari kami kepanasan dan waktu malam hari kami kedinginan ditambah lagi pada musim hujan kami sering kehujanan.”
“Apabila kami mengingat waktu dulu… kami sangat-sangat sedih , namun setelah ibuku membuka warung nasi, kehidupan keluarga kami mulai membaik. Maka dari itu ibu selalu mengingatkanku, bahwa masih banyak orang yang susah seperti kita dulu , jadi kalau saat ini kita diberi rejeki yang cukup , kenapa kita tidak dapat berbagi kepada mereka.”
”Yang ibu ku selalu katakan ‘hidup harus berarti buat banyak orang ‘, karena pada saat kita kembali kepada Sang Pencipta tidak ada yang kita bawa, hanya satu yang kita bawa yaitu Kasih kepada sesama serta Amal dan Perbuatan baik kita , kalau hari ini kita bisa mengamalkan sesuatu yang baik buat banyak orang , kenapa kita harus tunda.”
”Karena menurut ibuku umur manusia terlalu singkat , hari ini kita memiliki segalanya, namun satu jam kemudian atau besok kita dipanggil Sang Pencipta, apa yang kita bawa?”
Kata-kata adik kecil ini sangat menusuk hatiku, saat itu juga aku merasa menjadi orang yang tidak berguna, bahkan aku merasa tidak lebih dari seonggok sampah yang tidak ada gunanya,dibandingkan adik kecil ini.
Aku yang selama ini merasa menjadi orang hebat dengan pendidikan dan jabatan tinggi, namun untuk hal seperti ini, aku merasa lebih bodoh dari anak kecil ini, aku malu dan sangat malu. Ya.. Tuhan, Ampuni aku, ternyata kekayaan, kehebatan dan jabatan tidak mengantarku kepada Mu.
Hanya Kasih yang sempurna serta Iman dan Pengharapan kepada-Mu lah yang dapat mengiringiku masuk ke Surga. Terima kasih adik kecil, kamu adalah malaikat ku yang menyadarkan aku dari tidur nyenyakku.
(Oleh : Laila Nurul Muna)
Dengan membawa bungkusan yang cukup banyak diayunkannya sepeda berwarna biru muda, sambil membagikan bungkusan tersebut ,ia menyapa akrab setiap orang, dari tukang koran , penyapu jalan, tuna wisma sampai Pak Polisi.
Pemandangan ini membuatku tertarik, pikiran ku langsung melayang membayangkan apa yang diberikan si anak kecil tersebut dengan bungkusannya, apakah dia berjualan ? “Kalau dia berjualan apa mungkin seorang tuna wisma menjadi langganan tetapnya atau…??, untuk membunuh rasa penasaran ku, aku pun membuntuti si anak kecil tersebut sampai di sebrang jalan , setelah itu aku langsung menyapa anak tersebut untuk aku ajak berbincang-bincang.
”Dek, boleh kakak bertanya ?” tanyaku.
“Silahkan kak.” Jawab adik kecil.
“Kalau boleh tahu yang barusan Adik bagikan ketukang koran, tukang sapu, peminta-minta bahkan pak polisi, itu apa ?” tanyaku dengan heran.
“Oh… itu bungkusan nasi dan sedikit lauk kak… memang kenapa kak?” dengan sedikit heran , sambil ia balik bertanya.
”Oh... tidak! Kakak Cuma tertarik cara kamu membagikan bungkusan itu, kelihatan kamu sudah terbiasa dan cukup akrab dengan mereka. Apa kamu sudah lama kenal dengan mereka?”
Lalu ,Adik kecil ini mulai bercerita, “Dulu … aku dan ibuku sama seperti mereka hanya seorang tuna wisma, setiap hari bekerja hanya mengharapkan belaskasihan banyak orang, dan seperti kakak ketahui hidup di Jakarta begitu sulit, sampai kami sering tidak makan, waktu siang hari kami kepanasan dan waktu malam hari kami kedinginan ditambah lagi pada musim hujan kami sering kehujanan.”
“Apabila kami mengingat waktu dulu… kami sangat-sangat sedih , namun setelah ibuku membuka warung nasi, kehidupan keluarga kami mulai membaik. Maka dari itu ibu selalu mengingatkanku, bahwa masih banyak orang yang susah seperti kita dulu , jadi kalau saat ini kita diberi rejeki yang cukup , kenapa kita tidak dapat berbagi kepada mereka.”
”Yang ibu ku selalu katakan ‘hidup harus berarti buat banyak orang ‘, karena pada saat kita kembali kepada Sang Pencipta tidak ada yang kita bawa, hanya satu yang kita bawa yaitu Kasih kepada sesama serta Amal dan Perbuatan baik kita , kalau hari ini kita bisa mengamalkan sesuatu yang baik buat banyak orang , kenapa kita harus tunda.”
”Karena menurut ibuku umur manusia terlalu singkat , hari ini kita memiliki segalanya, namun satu jam kemudian atau besok kita dipanggil Sang Pencipta, apa yang kita bawa?”
Kata-kata adik kecil ini sangat menusuk hatiku, saat itu juga aku merasa menjadi orang yang tidak berguna, bahkan aku merasa tidak lebih dari seonggok sampah yang tidak ada gunanya,dibandingkan adik kecil ini.
Aku yang selama ini merasa menjadi orang hebat dengan pendidikan dan jabatan tinggi, namun untuk hal seperti ini, aku merasa lebih bodoh dari anak kecil ini, aku malu dan sangat malu. Ya.. Tuhan, Ampuni aku, ternyata kekayaan, kehebatan dan jabatan tidak mengantarku kepada Mu.
Hanya Kasih yang sempurna serta Iman dan Pengharapan kepada-Mu lah yang dapat mengiringiku masuk ke Surga. Terima kasih adik kecil, kamu adalah malaikat ku yang menyadarkan aku dari tidur nyenyakku.
(Oleh : Laila Nurul Muna)
Wednesday, December 8, 2010
Kisah Cinta Sejati
Namaku Linda dan aku memiliki sebuah kisah cinta yang memberiku sebuah pelajaran tentangnya. Ini bukanlah sebuah kisah cinta hebat dan mengagumkan penuh gairah seperti dalam novel-novel roman, walau begitu menurutku ini adalah kisah yang jauh lebih mengagumkan dari itu semua.
Ini adalah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda alhabsyi dan ibuku, Yasmine Ghauri. Mereka bertemu di sebuah acara resepsi pernikahan dan kata ayahku ia jatuh cinta pada pandangan pertama ketika ibuku masuk ke dalam ruangan dan saat itu ia tahu, inilah wanita yang akan menikah dengannya. Itu menjadi kenyataan dan kini mereka telah menikah selama 40 tahun dan memiliki tiga orang anak, aku anak tertua, telah menikah dan memberikan mereka dua orang cucu.
Mereka hidup bahagia, dan selama bertahun-tahun telah menjadi orang tua yang sangat baik bagi kami, mereka membimbing kami, anak-anaknya dengan penuh cinta kasih dan kebijaksanaan.
Aku teringat suatu hari ketika aku masih berusia belasan tahun. Saat itu beberapa ibu-ibu tetangga kami mengajak ibuku pergi ke pembukaan pasar murah yang mengobral alat-alat kebutuhan rumah tangga. Mereka mengatakan saat pembukaan adalah saat terbaik untuk berbelanja barang obral karena saat itu saat termurah dengan kualitas barang-barang terbaik. Tapi ibuku menolaknya karena ayahku sebentar lagi pulang dari kantor. Kata ibuku, "Mama tak akan pernah meninggalkan papa sendirian."
Hal itu yang selalu dicamkan oleh ibuku kepadaku. Apapun yang terjadi, sebagai seorang wanita aku harus patuh pada suamiku dan selalu menemaninya dalam keadaan apapun, baik miskin, kaya, sehat maupun sakit. Seorang wanita harus bisa menjadi teman hidup suaminya. Banyak orang tertawa mendengar hal itu menurut mereka, itu hanya janji pernikahan, omong kosong belaka. Tapi aku tak pernah memperdulikan mereka, aku percaya nasihat ibuku.
Sampai suatu hari, bertahun-tahun kemudian, kami mengalami duka, setelah ulang tahun ibuku yang ke-59, ibuku terjatuh di kamar mandi dan menjadi lumpuh. Dokter mengatakan kalau saraf tulang belakang ibuku tidak berfungsi lagi, dan dia harus menghabiskan sisa hidupnya di tempat tidur.
Ayahku, seorang pria yang masih sehat di usianya yang lebih tua, tapi ia tetap merawat ibuku, menyuapinya, bercerita banyak hal padanya, mengatakan padanya kalau ia mencintainya. Ayahku tak pernah meninggalkannya, selama bertahun-tahun, hampir setiap hari ayahku selalu menemaninya, ia masih suka bercanda-canda dengan ibuku. Ayahku pernah mencatkan kuku tangan ibuku, dan ketika ibuku bertanya, "untuk apa kau lakukan itu? Aku sudah sangat tua dan jelek sekali..."
Ayahku menjawab, "Aku ingin kau tetap merasa cantik."
Begitulah pekerjaan ayahku sehari-hari, ia merawat ibuku dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, para kenalan yang mengenalnya sangat hormat dengannya. Mereka sangat kagum dengan kasih sayang ayahku pada ibuku yangtak pernah pudar.
Suatu hari ibu berkata padaku sambil tersenyum, "... kau tahu, Linda. Ayahmu tak akan pernah meninggalkan aku... Kau tahu kenapa?" Aku menggeleng, dan ibuku melanjutkan, "Karena aku tak pernah meninggalkannya..."
Itulah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda Alhabsyi dan ibuku, Yasmine Ghauri, mereka memberikan kami anak-anaknya pelajaran tentang tanggung jawab, kesetiaan, rasa hormat, saling menghargai, kebersamaan, dan cinta kasih. Bukan dengan kata-kata, tapi mereka memberikan contoh dari kehidupannya.
Ini adalah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda alhabsyi dan ibuku, Yasmine Ghauri. Mereka bertemu di sebuah acara resepsi pernikahan dan kata ayahku ia jatuh cinta pada pandangan pertama ketika ibuku masuk ke dalam ruangan dan saat itu ia tahu, inilah wanita yang akan menikah dengannya. Itu menjadi kenyataan dan kini mereka telah menikah selama 40 tahun dan memiliki tiga orang anak, aku anak tertua, telah menikah dan memberikan mereka dua orang cucu.
Mereka hidup bahagia, dan selama bertahun-tahun telah menjadi orang tua yang sangat baik bagi kami, mereka membimbing kami, anak-anaknya dengan penuh cinta kasih dan kebijaksanaan.
Aku teringat suatu hari ketika aku masih berusia belasan tahun. Saat itu beberapa ibu-ibu tetangga kami mengajak ibuku pergi ke pembukaan pasar murah yang mengobral alat-alat kebutuhan rumah tangga. Mereka mengatakan saat pembukaan adalah saat terbaik untuk berbelanja barang obral karena saat itu saat termurah dengan kualitas barang-barang terbaik. Tapi ibuku menolaknya karena ayahku sebentar lagi pulang dari kantor. Kata ibuku, "Mama tak akan pernah meninggalkan papa sendirian."
Hal itu yang selalu dicamkan oleh ibuku kepadaku. Apapun yang terjadi, sebagai seorang wanita aku harus patuh pada suamiku dan selalu menemaninya dalam keadaan apapun, baik miskin, kaya, sehat maupun sakit. Seorang wanita harus bisa menjadi teman hidup suaminya. Banyak orang tertawa mendengar hal itu menurut mereka, itu hanya janji pernikahan, omong kosong belaka. Tapi aku tak pernah memperdulikan mereka, aku percaya nasihat ibuku.
Sampai suatu hari, bertahun-tahun kemudian, kami mengalami duka, setelah ulang tahun ibuku yang ke-59, ibuku terjatuh di kamar mandi dan menjadi lumpuh. Dokter mengatakan kalau saraf tulang belakang ibuku tidak berfungsi lagi, dan dia harus menghabiskan sisa hidupnya di tempat tidur.
Ayahku, seorang pria yang masih sehat di usianya yang lebih tua, tapi ia tetap merawat ibuku, menyuapinya, bercerita banyak hal padanya, mengatakan padanya kalau ia mencintainya. Ayahku tak pernah meninggalkannya, selama bertahun-tahun, hampir setiap hari ayahku selalu menemaninya, ia masih suka bercanda-canda dengan ibuku. Ayahku pernah mencatkan kuku tangan ibuku, dan ketika ibuku bertanya, "untuk apa kau lakukan itu? Aku sudah sangat tua dan jelek sekali..."
Ayahku menjawab, "Aku ingin kau tetap merasa cantik."
Begitulah pekerjaan ayahku sehari-hari, ia merawat ibuku dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, para kenalan yang mengenalnya sangat hormat dengannya. Mereka sangat kagum dengan kasih sayang ayahku pada ibuku yangtak pernah pudar.
Suatu hari ibu berkata padaku sambil tersenyum, "... kau tahu, Linda. Ayahmu tak akan pernah meninggalkan aku... Kau tahu kenapa?" Aku menggeleng, dan ibuku melanjutkan, "Karena aku tak pernah meninggalkannya..."
Itulah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda Alhabsyi dan ibuku, Yasmine Ghauri, mereka memberikan kami anak-anaknya pelajaran tentang tanggung jawab, kesetiaan, rasa hormat, saling menghargai, kebersamaan, dan cinta kasih. Bukan dengan kata-kata, tapi mereka memberikan contoh dari kehidupannya.
Tiket Kereta
Semenjak kecil, saya takut untuk memperingati hari ibu karena tidak berapa lama setelah saya lahir, saya dibuang oleh ibu saya.
Setiap kali peringatan hari ibu, saya selalu tidak merasa nyaman karena selama peringatan hari ibu semua acara televisi menayangkan lagu tentang kasih ibu, begitu juga dengan radio dan bahkan iklan biskuit pun juga menggunakan lagu tentang hari ibu.
Saya tidak bisa meresapi lagu-lagu seperti itu. Setelah sebulan lebih saya dilahirkan, saya ditemukan oleh seseorang di stasiun kereta api Xin Zhu. Para polisi yang berada di sekitar stasiun itu kebingungan untuk mendapatkan susu buat saya. Tapi pada akhirnya, mereka bisa menemukan seorang ibu yang bisa menyusui saya. Kalau bukan karena dia, saya pasti sudah menanggis dan sakit. Setelah saya selesai disusui dan tertidur dengan tenang, para polisi pelan-pelan membawa saya ke De Lan Center di kecamatan Bao Shan kabupaten Xin Zhu. Hal ini membuat para biarawati yang sepanjang hari tertawa ria akhirnya pusing tujuh keliling.
Saya tidak pernah melihat ibu saya. Semasa kecil saya hanya tahu kalau saya dibesarkan oleh para biarawati. Pada malam hari, di saat anak-anak yang lain sedang belajar, saya yang tidak ada kerjaan hanya bisa menggangu para biarawati. Pada saat mereka masuk ke altar untuk mengikuti kelas malam, saya juga akan ikut masuk ke dalam. Terkadang saya bermain di bawah meja altar, menggangu biarawati yang sedang berdoa dengan membuat wajah-wajah yang aneh. Dan lebih sering lagi ketiduran sambil bersandar di samping biarawati. Biarawati yang baik hati itu tidak menunggu kelas berakhir terlebih dahulu, tetapi dia langsung menggendong saya naik untuk tidur. Saya curiga apakah mereka menyukai saya, karena mereka bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk keluar dari altar.
Walaupun kami adalah anak-anak yang terbuang, tetapi sebagian besar dari kami masih memiliki keluarga. Pada saat tahun baru ataupun hari raya, banyak sanak saudara yang datang menjemput. Sedangkan saya, di mana rumah saya pun saya tidak tahu. Karena hal inilah para biarawati sangat memperhatikan anak-anak yang tidak memiliki sanak saudara sehingga mereka tidak memperbolehkan anak-anak lain mengganggu kami.
Sejak kecil prestasi saya cukup bagus dan para biarawati mencarikan banyak pekerja sosial untuk menjadi guru saya. Kalau dihitung-hitung sudah cukup banyak yang menjadi pengajar saya. Mereka adalah lulusan dan dosen dari universitas Jiao dan universitas Qing, lembaga penelitian, dan insinyur. Guru yang mengajarkan saya IPA pada tahun sebelumnya adalah seorang mahasiswa dan sekarang dia telah menjadi asisten dosen. Guru yang mengajari saya Bahasa Inggris adalah seorang yang jenius. Tidak heran sejak kecil kemampuan saya dalam berbahasa Inggris sudah bagus.
Para biarawati juga memaksa saya untuk belajar piano. Semenjak kelas 4 SD, saya telah menjadi pianis di gereja dan pada saat misa saya yang bertanggung jawab untuk bermain piano. Karena didikan yang saya dapatkan di gereja, kemampuan berbicara saya pun juga bagus. Di sekolah saya sering mengikuti lomba berpidato, pernah juga menjadi
perwakilan alumni untuk mengikuti debat. Tetapi saya sama sekali tidak pernah mendapatkan peran yang penting dalam acara peringatan hari ibu.
Walaupun saya suka memainkan piano tetapi saya mempunyai satu prinsip, saya tidak akan memainkan lagu-lagu yang berhubungan dengan hari ibu, kecuali jika ada orang yang memaksa saya. Tetapi tetap saja saya tidak akan memainkan lagu-lagu tersebut atas dasar keinginan saya sendiri. Terkadang saya pernah berpikir, siapakah ibu saya? Saat membaca novel, saya menebak bahwa saya adalah anak haram, ayah meninggalkan ibu dan ibu yang masih muda akhirnya membuang saya.
Mungkin karena kepintaran saya yang cukup bagus, ditambah lagi dengan adanya bantuan dari pengajar yang sepenuh hati membantu, saya dengan lancar bisa lolos ujian masuk jurusan arsitektur di Universitas Xin Zhu. Saya menyelesaikan kuliah sambil bekerja sambilan. Biarawati Sun, yang membesarkan saya, terkadang datang mengunjungi saya. Jika teman-teman kuliah saya yang bandel-bandel itu melihat biarawati Sun, mereka akan langsung berubah menjadi kalem. Banyak teman-teman saya, yang setelah mengetahui latar belakang saya, datang menghibur saya. Mereka juga mengakui, bahwa saya mempunyai pembawaan yang baik, dikarenakan saya dibesarkan oleh para biarawati.
Saat wisuda, orang tua dari mahasiswa lain semua berdatangan, sedangkan keluarga saya satu-satunya yang hadir hanya Biarawati Sun. Kepala jurusan saya bahkan meminta Biarawati Sun untuk foto bersama. Di masa wajib militer, saya kembali ke De Lan Center. Tiba-tiba saja di hari itu Biarawati Sun ingin membicarakan hal yang serius dengan saya. Dia mengambil sebuah amplop surat dari raknya dan dia mempersilahkan saya untuk melihat isi-isi dari amplop surat itu.
Di dalam amplop surat itu, terdapat dua lembar tiket kereta. Biarawati Sun berkata pada saya bahwa pada saat polisi mengantar saya ke tempat ini, dalam baju saya terselip dua lembar tiket perjalanan dari tempat tinggal asal ibu saya menuju stasiun Xin Zhu. Tiket pertama adalah tiket bus dari salah satu tempat di bagian selatan menuju ke Ping Dong. Dan tiket yang satunya lagi adalah tiket kereta api dari Ping Dong ke Xin Zhu. Ini adalah tiket kereta api yang lambat. Dari situ saya tahu bahwa ibu kandung saya bukanlah orang yang berada.
Biarawati Sun mengatakan pada saya bahwa mereka biasanya tidak suka mencari latar belakang dari bayi-bayi yang telah ditinggalkan. Oleh karena itu, mereka menyimpan dua tiket kereta ini dan memutuskan untuk memberikannya pada saat saya sudah dewasa. Mereka telah lama mengamati saya dan pada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa saya adalah orang yang rasional. Jadi seharusnya saya mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah ini. Mereka pernah pergi ke kota kecil ini dan menemukan bahwa jumlah penduduk kota kecil itu tidak banyak. Jadi jika saya benar-benar ingin mencari keluarga saya, seharusnya saya tidak akan menemui kesulitan.
Saya selalu terpikir untuk bertemu dengan orang tua saya. Tetapi setelah memegang dua tiket ini, mulai timbul keraguan dalam hati saya. Saya sekarang hidup dengan baik, mempunyai ijazah lulusan S1, dan bahkan memiliki seorang teman wanita yang akan menjadi teman hidup saya. Mengapa saya harus melihat ke masa lalu? Mencari masa lalu yang benar-benar asing bagi saya. Lagi pula besar kemungkinan kenyataan yang didapatkan adalah hal yang tidak menyenangkan.
Biarawati Sun justru mendukung saya untuk pergi ke kota asal ibu saya. Dia menggangap kalau saya akan memiliki masa depan yang cerah, jika teka-teki tentang asal-usul kelahiran saya tidak dijadikan alasan sebagai bayangan gelap dalam diri saya. Dia terus membujuk diri saya untuk tidak terlalu memikirkan kemungkinan terburuk yang akan saya hadapi, yang seharusnya tidak akan menggoyahkan kepercayaan diri saya terhadap masa depan saya.
Saya akhirnya berangkat ke kota yang berada di daerah pegunungan, yang bahkan tidak pernah saya dengar namanya. Dari kota Ping Dong saya harus naik kereta api selama satu jam lebih untuk tiba di sana. Saat itu musim dingin. Walaupun berada di daerah selatan, di kota ini hanya terdapat satu kantor polisi, satu pos kota, satu Sekolah Dasar, dan satu Sekolah Menengah Pertama, selain itu tidak ada lagi gedung yang
lainnya.
Saya bolak-balik ke kantor polisi dan pos kota untuk mencari data kelahiran saya. Akhirnya saya menemukan dua dokumen yang berhubungan dengan diri saya. Dokumen pertama adalah data mengenai kelahiran seorang anak laki-laki. Dokumen kedua adalah data laporan kehilangan anak. Hilangnya anak itu adalah di saat hari kedua saya dibuang, satu bulan lebih setelah saya dilahirkan. Menurut keterangan dari biarawati, saya ditemukan di stasiun Xin Zhu. Sepertinya saya sudah menemukan data-data kelahiran saya.
Sekarang masalahnya adalah ayah saya telah meninggal dunia dan ibu saya juga telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu. Saya mempunyai seorang kakak laki-laki. Kakak saya telah meninggalkan kota dan tidak tahu ke mana perginya.
Karena ini adalah kota kecil, maka semua orang saling mengenal. Seorang polisi tua di kantor polisi memberitahu saya, bahwa ibu saya dulu bekerja di SMP. Dia lalu membawa saya menemui kepala SMP itu. Kepala sekolah itu adalah seorang wanita dan beliau menyambut saya dengan ramah. Dia membenarkan bahwa ibu saya pernah bekerja di sini. Dan beliau sangat baik hati, sedangkan ayah saya adalah orang yang sangat malas. Saat pria yang lain pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, hanya ayah yang tidak mau pergi. Di kota kecil ini, ayah hanya bekerja sebagai pekerja musiman. Padahal di dalam kota sama sekali tidak ada pekerjaan yang bisa dia kerjakan.
Oleh karena itu, seumur hidup dia hanya mengandalkan ibu saya yang bekerja sebagai pekerja kasar. Karena tidak memiliki pekerjaan, suasana hatinya menjadi sangat tidak baik. Jadi seringkali dia mabuk-mabukan. Dan setelah mabuk, terkadang ayah memukul ibu atau kakak saya. Walaupun setelah itu ayah merasa menyesal, kebiasaan buruk ini sangat susah untuk diubah. Ibu dan saudara saya terusik seumur hidup olehnya. Pada saat kakak duduk di kelas dua SMP, dia kabur dari rumah dan semenjak saat itu ayah tidak pernah kembali lagi. Sepengetahuan ibu kepala sekolah, ibu itu memiliki anak kedua. Namun setelah berumur satu bulan lebih, secara misterius anak itu menghilang begitu saja. Saat ibu kepala sekolah tahu bahwa saya dibesarkan di sebuah panti asuhan di daerah utara, beliau mulai menanyakan banyak hal kepada saya dan saya menjelaskannya satu per satu.
Beliau mulai tergerak hatinya dan kemudian mengeluarkan selembar amplop surat. Amplop ini ditinggalkan ibu saya sebelum ibu meninggal dan ditemukan di samping bantalnya. Kepala sekolah berpikir bahwa di dalamnya pasti terdapat barang-barang yang bermakna. Oleh karena itu, dia menyimpannya dan menunggu sampai ada keluarganya yang datang mengambil.
Dengan tangan yang gemetar, saya membuka amplop itu. Dalam amplop itu berisi tiket kereta api. Semua itu adalah tiket-tiket perjalanan dari kota kecil di bagian selatan ini menuju kecamatan Bao Shan kabupaten Xin Zhu, dan semuanya disimpan dengan baik. Kepala sekolah memberitahu saya bahwa setiap setengah tahun sekali, ibu saya pergi ke daerah di bagian utara untuk menemui salah satu saudaranya. Namun, tidak ada satu orangpun yang mengenal siapa saudara itu. Mereka hanya merasa bahwa setiap ibu saya kembali dari sana, suasana hatinya menjadi sangat baik. Ibu saya menganut agama Budha di hari tuanya. Hal yang paling membanggakan baginya adalah ia berhasil membujuk beberapa orang kaya beragama Budha untuk mengumpulkan dana sebesar NT 1.000.000 yang disumbangkan ke panti asuhan yang dikelola oleh agama Katolik. Pada hari penyerahan dana, ibu saya juga ikut hadir.
Saya merasa merinding seketika. Pada suatu kali dulu, pernah ada satu bus pariwisata yang membawa para penganut agama Budha yang berasal dari daerah selatan. Mereka membawa selembar cek bernilai NT 1.000.000 untuk disumbangkan ke De Lan Center.
Para biarawati sangat berterimakasih dan mereka mengumpulkan semua anak-anak untuk berfoto bersama para penyumbang. Pada saat itu, saya sedang bermain basket. Saya juga ikut dipanggil dan dengan terpaksa saya pun ikut berfoto bersama mereka. Sekarang saya menemukan foto itu di dalam amplop ini. Saya meminta orang untuk menunjukkan yang mana ibu saya. Saya tersentak seketika. Yang lebih membuat saya terharu adalah di dalamnya terdapat foto kenangan-kenangan wisuda saya yang telah difotokopi. Foto itu adalah foto saya bersama teman-teman saya yang sedang mengenakan topi toga. Saya juga termasuk di dalam foto itu. Ibu saya, walaupun telah membuang saya, tetap datang mengunjungi saya. Mungkin saja dia juga menghadiri acara wisuda saya.
Dengan suara tenang, kepala sekolah berkata, "Kamu seharusnya berterima kasih pada ibumu. Dia membuangmu demi mencarikanmu lingkungan hidup yang lebih baik. Jika kamu tetap tinggal di sini, bisa-bisa kamu hanya lulus SMP, lalu pergi ke kota mencari kerja. Di sini hampir tidak ada orang yang mengecap pendidikan SMU. Lebih gawatnya lagi, jika kamu tidak tahan terhadap pukulan dan amarah ayahmu setiap hari, bisa-bisa kamu seperti kakakmu yang kabur dari rumah dan tidak pernah kembali lagi."
Kepala sekolah kemudian memanggil guru yang lain untuk menceritakan hal-hal tentang saya kepada mereka. Semuanya mengucapkan selamat karena saya bisa lulus dari Universitas Guo Li. Ada seorang guru yang berkata, bahwa di sini belum ada murid yang berhasil masuk ke Universitas Guo Li.
Saya tiba-tiba tergerak untuk melakukan sesuatu. Saya bertanya kepada kepala sekolah apakah di dalam sekolah ada piano. Beliau berkata bahwa pianonya bukan piano yang cukup bagus, tetapi terdapat organ yang masih baru. Saya membuka tutup piano dan menghadap matahari di luar jendela dan saya memainkan satu per satu lagu tentang ibu. Saya ingin orang-orang tahu, walaupun saya dibesarkan di panti asuhan tetapi saya bukanlah yatim piatu karena saya memiliki para biarawati yang baik hati dan senantiasa mendidik saya. Mereka bagaikan ibu yang membesarkan saya, mengapa saya tidak bisa menganggap mereka selayaknya ibu saya sendiri? Dan juga ibu saya selalu memperhatikan saya. Ketegasan dan pengorbanannya lah yang membuat saya memiliki lingkungan hidup yang baik dan masa depan yang gemilang.
Prinsip yang saya tetapkan telah dilenyapkan. Saya bukan saja bisa memainkan lagu peringatan hari ibu, tetapi saya juga bisa menyanyikannya. Kepala sekolah dan para guru juga ikut bernyanyi. Suara piano juga tersebar ke seluruh sekolah dan suara piano saya pasti berkumandang sampai ke lembah. Di senja hari ini, penduduk-penduduk di kota kecil akan bertanya, "Kenapa ada orang yang memainkan lagu tentang ibu?" Bagi saya hari ini adalah hari ibu. Sebuah amplop yang dipenuhi tiket kereta api membuat saya untuk selamanya tidak takut untuk memperingati hari ibu.
---
Ini adalah sebuah kisah nyata dari rektor Universitas Ji Nan yang bernama Li Jia Tong.
"Berterima kasihlah kepada mereka yang telah membesarkan dan membimbing kita, hingga kita dewasa dan mencapai sebuah kesuksesan. Sekalipun mereka bukanlah ibu atau ayah kandung yang telah membesarkan kita. Tetapi ingatlah selalu budi yang telah diberikan kepada kita, hingga kita bisa seperti sekarang ini."
Setiap kali peringatan hari ibu, saya selalu tidak merasa nyaman karena selama peringatan hari ibu semua acara televisi menayangkan lagu tentang kasih ibu, begitu juga dengan radio dan bahkan iklan biskuit pun juga menggunakan lagu tentang hari ibu.
Saya tidak bisa meresapi lagu-lagu seperti itu. Setelah sebulan lebih saya dilahirkan, saya ditemukan oleh seseorang di stasiun kereta api Xin Zhu. Para polisi yang berada di sekitar stasiun itu kebingungan untuk mendapatkan susu buat saya. Tapi pada akhirnya, mereka bisa menemukan seorang ibu yang bisa menyusui saya. Kalau bukan karena dia, saya pasti sudah menanggis dan sakit. Setelah saya selesai disusui dan tertidur dengan tenang, para polisi pelan-pelan membawa saya ke De Lan Center di kecamatan Bao Shan kabupaten Xin Zhu. Hal ini membuat para biarawati yang sepanjang hari tertawa ria akhirnya pusing tujuh keliling.
Saya tidak pernah melihat ibu saya. Semasa kecil saya hanya tahu kalau saya dibesarkan oleh para biarawati. Pada malam hari, di saat anak-anak yang lain sedang belajar, saya yang tidak ada kerjaan hanya bisa menggangu para biarawati. Pada saat mereka masuk ke altar untuk mengikuti kelas malam, saya juga akan ikut masuk ke dalam. Terkadang saya bermain di bawah meja altar, menggangu biarawati yang sedang berdoa dengan membuat wajah-wajah yang aneh. Dan lebih sering lagi ketiduran sambil bersandar di samping biarawati. Biarawati yang baik hati itu tidak menunggu kelas berakhir terlebih dahulu, tetapi dia langsung menggendong saya naik untuk tidur. Saya curiga apakah mereka menyukai saya, karena mereka bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk keluar dari altar.
Walaupun kami adalah anak-anak yang terbuang, tetapi sebagian besar dari kami masih memiliki keluarga. Pada saat tahun baru ataupun hari raya, banyak sanak saudara yang datang menjemput. Sedangkan saya, di mana rumah saya pun saya tidak tahu. Karena hal inilah para biarawati sangat memperhatikan anak-anak yang tidak memiliki sanak saudara sehingga mereka tidak memperbolehkan anak-anak lain mengganggu kami.
Sejak kecil prestasi saya cukup bagus dan para biarawati mencarikan banyak pekerja sosial untuk menjadi guru saya. Kalau dihitung-hitung sudah cukup banyak yang menjadi pengajar saya. Mereka adalah lulusan dan dosen dari universitas Jiao dan universitas Qing, lembaga penelitian, dan insinyur. Guru yang mengajarkan saya IPA pada tahun sebelumnya adalah seorang mahasiswa dan sekarang dia telah menjadi asisten dosen. Guru yang mengajari saya Bahasa Inggris adalah seorang yang jenius. Tidak heran sejak kecil kemampuan saya dalam berbahasa Inggris sudah bagus.
Para biarawati juga memaksa saya untuk belajar piano. Semenjak kelas 4 SD, saya telah menjadi pianis di gereja dan pada saat misa saya yang bertanggung jawab untuk bermain piano. Karena didikan yang saya dapatkan di gereja, kemampuan berbicara saya pun juga bagus. Di sekolah saya sering mengikuti lomba berpidato, pernah juga menjadi
perwakilan alumni untuk mengikuti debat. Tetapi saya sama sekali tidak pernah mendapatkan peran yang penting dalam acara peringatan hari ibu.
Walaupun saya suka memainkan piano tetapi saya mempunyai satu prinsip, saya tidak akan memainkan lagu-lagu yang berhubungan dengan hari ibu, kecuali jika ada orang yang memaksa saya. Tetapi tetap saja saya tidak akan memainkan lagu-lagu tersebut atas dasar keinginan saya sendiri. Terkadang saya pernah berpikir, siapakah ibu saya? Saat membaca novel, saya menebak bahwa saya adalah anak haram, ayah meninggalkan ibu dan ibu yang masih muda akhirnya membuang saya.
Mungkin karena kepintaran saya yang cukup bagus, ditambah lagi dengan adanya bantuan dari pengajar yang sepenuh hati membantu, saya dengan lancar bisa lolos ujian masuk jurusan arsitektur di Universitas Xin Zhu. Saya menyelesaikan kuliah sambil bekerja sambilan. Biarawati Sun, yang membesarkan saya, terkadang datang mengunjungi saya. Jika teman-teman kuliah saya yang bandel-bandel itu melihat biarawati Sun, mereka akan langsung berubah menjadi kalem. Banyak teman-teman saya, yang setelah mengetahui latar belakang saya, datang menghibur saya. Mereka juga mengakui, bahwa saya mempunyai pembawaan yang baik, dikarenakan saya dibesarkan oleh para biarawati.
Saat wisuda, orang tua dari mahasiswa lain semua berdatangan, sedangkan keluarga saya satu-satunya yang hadir hanya Biarawati Sun. Kepala jurusan saya bahkan meminta Biarawati Sun untuk foto bersama. Di masa wajib militer, saya kembali ke De Lan Center. Tiba-tiba saja di hari itu Biarawati Sun ingin membicarakan hal yang serius dengan saya. Dia mengambil sebuah amplop surat dari raknya dan dia mempersilahkan saya untuk melihat isi-isi dari amplop surat itu.
Di dalam amplop surat itu, terdapat dua lembar tiket kereta. Biarawati Sun berkata pada saya bahwa pada saat polisi mengantar saya ke tempat ini, dalam baju saya terselip dua lembar tiket perjalanan dari tempat tinggal asal ibu saya menuju stasiun Xin Zhu. Tiket pertama adalah tiket bus dari salah satu tempat di bagian selatan menuju ke Ping Dong. Dan tiket yang satunya lagi adalah tiket kereta api dari Ping Dong ke Xin Zhu. Ini adalah tiket kereta api yang lambat. Dari situ saya tahu bahwa ibu kandung saya bukanlah orang yang berada.
Biarawati Sun mengatakan pada saya bahwa mereka biasanya tidak suka mencari latar belakang dari bayi-bayi yang telah ditinggalkan. Oleh karena itu, mereka menyimpan dua tiket kereta ini dan memutuskan untuk memberikannya pada saat saya sudah dewasa. Mereka telah lama mengamati saya dan pada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa saya adalah orang yang rasional. Jadi seharusnya saya mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah ini. Mereka pernah pergi ke kota kecil ini dan menemukan bahwa jumlah penduduk kota kecil itu tidak banyak. Jadi jika saya benar-benar ingin mencari keluarga saya, seharusnya saya tidak akan menemui kesulitan.
Saya selalu terpikir untuk bertemu dengan orang tua saya. Tetapi setelah memegang dua tiket ini, mulai timbul keraguan dalam hati saya. Saya sekarang hidup dengan baik, mempunyai ijazah lulusan S1, dan bahkan memiliki seorang teman wanita yang akan menjadi teman hidup saya. Mengapa saya harus melihat ke masa lalu? Mencari masa lalu yang benar-benar asing bagi saya. Lagi pula besar kemungkinan kenyataan yang didapatkan adalah hal yang tidak menyenangkan.
Biarawati Sun justru mendukung saya untuk pergi ke kota asal ibu saya. Dia menggangap kalau saya akan memiliki masa depan yang cerah, jika teka-teki tentang asal-usul kelahiran saya tidak dijadikan alasan sebagai bayangan gelap dalam diri saya. Dia terus membujuk diri saya untuk tidak terlalu memikirkan kemungkinan terburuk yang akan saya hadapi, yang seharusnya tidak akan menggoyahkan kepercayaan diri saya terhadap masa depan saya.
Saya akhirnya berangkat ke kota yang berada di daerah pegunungan, yang bahkan tidak pernah saya dengar namanya. Dari kota Ping Dong saya harus naik kereta api selama satu jam lebih untuk tiba di sana. Saat itu musim dingin. Walaupun berada di daerah selatan, di kota ini hanya terdapat satu kantor polisi, satu pos kota, satu Sekolah Dasar, dan satu Sekolah Menengah Pertama, selain itu tidak ada lagi gedung yang
lainnya.
Saya bolak-balik ke kantor polisi dan pos kota untuk mencari data kelahiran saya. Akhirnya saya menemukan dua dokumen yang berhubungan dengan diri saya. Dokumen pertama adalah data mengenai kelahiran seorang anak laki-laki. Dokumen kedua adalah data laporan kehilangan anak. Hilangnya anak itu adalah di saat hari kedua saya dibuang, satu bulan lebih setelah saya dilahirkan. Menurut keterangan dari biarawati, saya ditemukan di stasiun Xin Zhu. Sepertinya saya sudah menemukan data-data kelahiran saya.
Sekarang masalahnya adalah ayah saya telah meninggal dunia dan ibu saya juga telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu. Saya mempunyai seorang kakak laki-laki. Kakak saya telah meninggalkan kota dan tidak tahu ke mana perginya.
Karena ini adalah kota kecil, maka semua orang saling mengenal. Seorang polisi tua di kantor polisi memberitahu saya, bahwa ibu saya dulu bekerja di SMP. Dia lalu membawa saya menemui kepala SMP itu. Kepala sekolah itu adalah seorang wanita dan beliau menyambut saya dengan ramah. Dia membenarkan bahwa ibu saya pernah bekerja di sini. Dan beliau sangat baik hati, sedangkan ayah saya adalah orang yang sangat malas. Saat pria yang lain pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, hanya ayah yang tidak mau pergi. Di kota kecil ini, ayah hanya bekerja sebagai pekerja musiman. Padahal di dalam kota sama sekali tidak ada pekerjaan yang bisa dia kerjakan.
Oleh karena itu, seumur hidup dia hanya mengandalkan ibu saya yang bekerja sebagai pekerja kasar. Karena tidak memiliki pekerjaan, suasana hatinya menjadi sangat tidak baik. Jadi seringkali dia mabuk-mabukan. Dan setelah mabuk, terkadang ayah memukul ibu atau kakak saya. Walaupun setelah itu ayah merasa menyesal, kebiasaan buruk ini sangat susah untuk diubah. Ibu dan saudara saya terusik seumur hidup olehnya. Pada saat kakak duduk di kelas dua SMP, dia kabur dari rumah dan semenjak saat itu ayah tidak pernah kembali lagi. Sepengetahuan ibu kepala sekolah, ibu itu memiliki anak kedua. Namun setelah berumur satu bulan lebih, secara misterius anak itu menghilang begitu saja. Saat ibu kepala sekolah tahu bahwa saya dibesarkan di sebuah panti asuhan di daerah utara, beliau mulai menanyakan banyak hal kepada saya dan saya menjelaskannya satu per satu.
Beliau mulai tergerak hatinya dan kemudian mengeluarkan selembar amplop surat. Amplop ini ditinggalkan ibu saya sebelum ibu meninggal dan ditemukan di samping bantalnya. Kepala sekolah berpikir bahwa di dalamnya pasti terdapat barang-barang yang bermakna. Oleh karena itu, dia menyimpannya dan menunggu sampai ada keluarganya yang datang mengambil.
Dengan tangan yang gemetar, saya membuka amplop itu. Dalam amplop itu berisi tiket kereta api. Semua itu adalah tiket-tiket perjalanan dari kota kecil di bagian selatan ini menuju kecamatan Bao Shan kabupaten Xin Zhu, dan semuanya disimpan dengan baik. Kepala sekolah memberitahu saya bahwa setiap setengah tahun sekali, ibu saya pergi ke daerah di bagian utara untuk menemui salah satu saudaranya. Namun, tidak ada satu orangpun yang mengenal siapa saudara itu. Mereka hanya merasa bahwa setiap ibu saya kembali dari sana, suasana hatinya menjadi sangat baik. Ibu saya menganut agama Budha di hari tuanya. Hal yang paling membanggakan baginya adalah ia berhasil membujuk beberapa orang kaya beragama Budha untuk mengumpulkan dana sebesar NT 1.000.000 yang disumbangkan ke panti asuhan yang dikelola oleh agama Katolik. Pada hari penyerahan dana, ibu saya juga ikut hadir.
Saya merasa merinding seketika. Pada suatu kali dulu, pernah ada satu bus pariwisata yang membawa para penganut agama Budha yang berasal dari daerah selatan. Mereka membawa selembar cek bernilai NT 1.000.000 untuk disumbangkan ke De Lan Center.
Para biarawati sangat berterimakasih dan mereka mengumpulkan semua anak-anak untuk berfoto bersama para penyumbang. Pada saat itu, saya sedang bermain basket. Saya juga ikut dipanggil dan dengan terpaksa saya pun ikut berfoto bersama mereka. Sekarang saya menemukan foto itu di dalam amplop ini. Saya meminta orang untuk menunjukkan yang mana ibu saya. Saya tersentak seketika. Yang lebih membuat saya terharu adalah di dalamnya terdapat foto kenangan-kenangan wisuda saya yang telah difotokopi. Foto itu adalah foto saya bersama teman-teman saya yang sedang mengenakan topi toga. Saya juga termasuk di dalam foto itu. Ibu saya, walaupun telah membuang saya, tetap datang mengunjungi saya. Mungkin saja dia juga menghadiri acara wisuda saya.
Dengan suara tenang, kepala sekolah berkata, "Kamu seharusnya berterima kasih pada ibumu. Dia membuangmu demi mencarikanmu lingkungan hidup yang lebih baik. Jika kamu tetap tinggal di sini, bisa-bisa kamu hanya lulus SMP, lalu pergi ke kota mencari kerja. Di sini hampir tidak ada orang yang mengecap pendidikan SMU. Lebih gawatnya lagi, jika kamu tidak tahan terhadap pukulan dan amarah ayahmu setiap hari, bisa-bisa kamu seperti kakakmu yang kabur dari rumah dan tidak pernah kembali lagi."
Kepala sekolah kemudian memanggil guru yang lain untuk menceritakan hal-hal tentang saya kepada mereka. Semuanya mengucapkan selamat karena saya bisa lulus dari Universitas Guo Li. Ada seorang guru yang berkata, bahwa di sini belum ada murid yang berhasil masuk ke Universitas Guo Li.
Saya tiba-tiba tergerak untuk melakukan sesuatu. Saya bertanya kepada kepala sekolah apakah di dalam sekolah ada piano. Beliau berkata bahwa pianonya bukan piano yang cukup bagus, tetapi terdapat organ yang masih baru. Saya membuka tutup piano dan menghadap matahari di luar jendela dan saya memainkan satu per satu lagu tentang ibu. Saya ingin orang-orang tahu, walaupun saya dibesarkan di panti asuhan tetapi saya bukanlah yatim piatu karena saya memiliki para biarawati yang baik hati dan senantiasa mendidik saya. Mereka bagaikan ibu yang membesarkan saya, mengapa saya tidak bisa menganggap mereka selayaknya ibu saya sendiri? Dan juga ibu saya selalu memperhatikan saya. Ketegasan dan pengorbanannya lah yang membuat saya memiliki lingkungan hidup yang baik dan masa depan yang gemilang.
Prinsip yang saya tetapkan telah dilenyapkan. Saya bukan saja bisa memainkan lagu peringatan hari ibu, tetapi saya juga bisa menyanyikannya. Kepala sekolah dan para guru juga ikut bernyanyi. Suara piano juga tersebar ke seluruh sekolah dan suara piano saya pasti berkumandang sampai ke lembah. Di senja hari ini, penduduk-penduduk di kota kecil akan bertanya, "Kenapa ada orang yang memainkan lagu tentang ibu?" Bagi saya hari ini adalah hari ibu. Sebuah amplop yang dipenuhi tiket kereta api membuat saya untuk selamanya tidak takut untuk memperingati hari ibu.
---
Ini adalah sebuah kisah nyata dari rektor Universitas Ji Nan yang bernama Li Jia Tong.
"Berterima kasihlah kepada mereka yang telah membesarkan dan membimbing kita, hingga kita dewasa dan mencapai sebuah kesuksesan. Sekalipun mereka bukanlah ibu atau ayah kandung yang telah membesarkan kita. Tetapi ingatlah selalu budi yang telah diberikan kepada kita, hingga kita bisa seperti sekarang ini."
Subscribe to:
Posts (Atom)