Monday, April 9, 2012

"Durhaka" Berbuah Celaka

"Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah," demikian pepatah masyhur yang menunjukkan bagaimana peran ibu pada anak-anaknya.

Hanya saja, teramat sedikit anak yang mengerti dan menghargai ibu mereka. Padahal, dalam al-Quran banyak disebutkan, ridha ibu merupakan ridha Allah dan murka ibu bisa membuat murkan Allah. Setidaknya tercermin dalam kisah ini.

Peristiwa ini terjadi pada naas yang pernah dialami oleh Ali, pemuda asal Madura, pada pertengahan tahun 2005 silam.

Menurut pengakuan laki-laki berperawakan murah senyum ini, peristiwa yang hampir merenggut nyawanya tersebut, bermuara pada keinginannya melanjutkan studi, seusai menamatkan proses pembelajaran Sekolah Menengah Aliyah (SMA), di salah satu pondok pesantren di kota garam tersebut.

Setelah berbagi pikiran dengan salah satu temannya, diambillah keputusan untuk melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi Islam yang terletak di Situbondo, Jawa Timur.

Tak disangka, ketika mengutarakan keinginannya tersebut kepada kedua orangtuanya, ternyata keinginan mereka bertolakbelaka dengan apa yang dikehendaki Ali. Alasannya, selain jauh, dia juga tidak memiliki teman sekampung yang hendak melakukan studi di sana.

”Ndak usah kuliah di sana. Kamu kan gak ada teman dari sini (kampung). Nanti kamu berangkat dan pulang sendirian. Kalau terjadi apa-apa di jalan, bagaimana?” papar Ali, menirukan keberatan ibunya.

Sekalipun telah mendapat sinyal ketidakridhaan orangtuanya, terutama ibu, Ali nampaknya tetap bersikeras untuk melanjutkan misinya. Peringatan-peringatan orangtuanya akan kemudharatan kalau dia bersikukuh kuliah di sana, sama sekali tak digubris. “Anjing menggonggong, kafilah terus berlalu.”

Akhirnya, melihat kengototan si-buah hati yang gak bisa ditawar-tawar, mereka pun dengan berat hati menyetujui keberangkatan Ali.

”Kalau kamu masih bersikeras, ya, terserah kamu,” ujar mereka dengan nada berat, penuh keterpaksaan.

Kecelakaan

Tidak lama setelah mendapat ’lampu hijau’ dari orangtua, bersama si-teman, Ali akhirnya berangkat ke daerah perantauan. Perjalanan pertama ini, bertujuan untuk observasi, memastikan akan kebenaran berita, bahwa di pondok yang mereka tuju itu ada perguruan tingginya, atau tidak.

Memang, perburuan mereka akan perguruan tinggi, bisa dibilang sedikit agak liar. Menurut pengakuan Ali, mereka sama sekali buta akan perguruan tinggi tersebut. Anehnya, mereka sudah tergiur untuk kuliah di sana.

Tanda-tanda kurang baik mulai cium. Ketika mereka telah menapakkan telapak kaki di lokasi yang mereka tuju. Setelah menggali informasi dari pengurus pesantren, terungkap, bahwa pondok tersebut tidak memiliki perguruan tinggi, sebagaimana informasi yang mereka dapatkan.

”Saya sangat kecewa. Jauh-jauh dari madura ke Situbondo, ternyata hasilnya nihil,” terang Ali.

Karena perburuannya tidak sukses, Ali pun langsung balik kanan, pulang kampung. Namun, perjalanan kali ini, dia harus tempuh sendiri, karena sahabatnya masih ada keperluan yang lain. Dan hal inilah yang sangat dikhawatirkan oleh kedua orangtuanya.

Ceritanya, ketika bus yang dikendarai Ali tiba di salah satu terminal di Madura, ia bersiap-siap turun. Tak ada angin, tak ada hujan, ketika kaki kirinya menginjakkan tanah, tiba-tiba dia langsung lunglai, pingsan. Naasnya, kepala bagian belakang, terbentur tortoar, yang mengakibatkan goresan luka tepat pada salah satu sarafnya, yang kemudian menyebabkan Ali berlumuran darah.

Ali langsung tidak berdaya. Sekujur tubuhnya kaku, tak ubahnya sebuah mayat.
”Menurut informasi yang saya peroleh, saat itu tangan saya dalam posisi terlentang. Tidak bisa diubah posisinya, karena kaku. Akhirnya, untuk mengganti pakaianku yang berlumuran darah, pihak medis memotong-motong bajuku,” jelasnya.

Celakanya lagi, saat itu, pria yang memiliki kemampuan bahasa Arab ini, tidak membawa satu pun kartu identitas, sehingga membuat orang-orang di sekitarnya kebingungan untuk menghubungi pihak keluarga.

Sebuah keajaiaban, di tengah kondisi keritisnya, Ali sempat mengucapkan nama pondok almamaternya, sehingga memudahkan para relawan melacak keberadaan keluarganya.
”Sudah pasti itu pertolongan Allah. Dalam kondisi demikian, aku bisa memberitahu nama almamaterku. Dan terus-terang, saya sendiri tidak menyadari akan hal itu,” akunya dengan nada terbata-bata.

Pasca kecelakaan itu, selama empat hari Ali tidak sadarkan diri. Dalam kurun waktu itu, ± delapan infus dan dua oksigen dia habiskan.

Buta, Bisu dan Tuli

Setelah mengalami masa kritis, pada hari kelima, Ali mulai siuman. Sayangnya, kondisi ini, justru membuat Ali semakin terpukul. Bagaimana tidak, ketika awal siuman, dia mendapatkan dirinya tidak mampu melihat, mendengar, dan berbicara. ”Saya sangat terpukul,” tegasnya.

Untunglah, Ali bukan tipe orang yang mudah menyerah dengan keadaan. Seiring dengan berjalannya waktu, kondisi Ali sedikit demi sedikit membaik. Dia sudah mampu memdengar dan melihat. Tapi, untuk berbicara, dia mengalami kesulitan. Banyak lawan bicaranya, termasuk ibu bapaknya sendiri, tidak mengerti dengan apa yang dia katakan. ”Keluar suara, tapi mereka pada tidak mengerti dengan apa yang saya ucapkan,” terangnya.

Selama kurang lebih satu bulan, Ali mengalami kondisi yang demikian. Alhamdulillah, setelah itu kondisinya kembali membaik, normal seperti sediakala, meskipun, kadang kala dia masih merasakan rasa nyeri di kepalanya.

Sedari itu, Ali tidak pernah lagi mengacuhkan perkataan orangtuanya. Peristiwa tersebut, benar-benar dijadikan pelajaran penting bagi kehidupannya.

”Ini adalah teguran Allah yang sangat berharga bagiku. Intinya, jangan pernah kita mendurhakai orangtua. Ingat, ridha Allah itu terletak pada ridha orangtua, dan murka Allah, itu terletak pada murka orangtua,” ujarnya mengingatkan, sembari menyitir salah satu hadits Nabi Muhammad Shalallahu ’alahi Wasallam. Semoga kisah ini bisa dijadikan pelajaran bagi semuanya, ujar Ali mengakhiri ceritanya.*

Cerita ini dikisahkah Ali, pemuda asal guluk-guluk, Madura, kepada hidayatullah.com

http://www.hidayatullah.com/read/15836/12/03/2011/

No comments:

Post a Comment