Monday, March 12, 2012

Bisyir bin Harits, Seorang Wali dari Dunia Pemabuk

Hidayah bisa datang kepada siapa saja yang dikehendaki Allah SWT. Tak terkecuali Bisyir bin Harits, seorang pemuda yang gemar minum-minuman keras.

Bisyir bin Harits benar-benar datang. Ia menempati janji seperti yang disampaikan kepada saudara perempuannya. Namun kemunculannya terlihat lain, ia limbung seperti halnya orang yang tengah kebingungan.

Belum lagi duduk atau berkata sepatah katapun untuk basa-basi, Bisyir malah melenggang meninggalkan ruang tamu, “Saya akan naik ke atas,” begitu kata Bisyir tanpa basa-basi, membuat saudara perempuannya heran.

Keheranan saudara perempuan Bisyir kian bertambah. Pasalnya setelah melewati beberapa anak tangga menuju ke loteng, Bisyir berhenti. Ia terdiam di sana sampai saat subuh tiba.

“Mengapa sepanjang malam tadi engkau hanya berdiri di tangga itu?” tanya saudara perempuan Bisyir sesaat setelah Bisyir selesai melaksanakan shalat subuh.

“Ketika saya baru naik, tiba-tiba muncul pemikiran dalam otakku. Di Baghdad ini banyak orang yang memiliki nama Bisyir, ada yang Yahudi, Kristen, Majusi. Aku sendiri seorang muslim yang bernama Bisyir. Saat ini aku mendapat kebahagiaan yang besar. Aku bertanya dalam diriku: Apakah yang telah aku lakukan ini sehingga mendapat kebahagiaan sedemikian besar, dan apa pula yang selama ini mereka kerjakan sehingga tidak mendapat kebahagiaan seperti yang kudapat? Itulah yang membuatku berdiri di tangga itu sepanjang malam tadi,” kata Bisyir kepada suadara perempuannya.

Tingkah aneh yang dilakukan Bisyir tidak itu saja. Orang-orang yang mengenalnya mengetahui, hampir separuh hidup Bisyir dijalani dengan penuh keanehan.

Suatu ketika cuaca sangat dingin, orang-orang yang tidak kuat dengan cuaca itu merangkap bajunya beberapa lembar, tapi Bisyir malah melepas bajunya yang dipakai hingga menggigil kedinginan.

“Mengapa engkau melepas bajumu wahai Abu Nashr, bukankah engkau menggigil kedinginan. Lihatlah orang-orang itu, mereka mengenakan baju berlapis-lapis,” kata salah seorang sahabat yang merasa aneh dengan tingkah Bisyir.

“Aku teringat pada orang-orang miskin, betapa menderitanya mereka saat ini, sementara aku tidak punya uang untuk membantu mereka, karena itu aku turut merasakan penderitaan seperti yang mereka rasakan saat ini,” kata Bisyir. Sahabatnya tidak bisa berkata-kata.

Di waktu yang lain, Bisyir berjanji hendak mengunjungi Ma’ruf, salah satu sahabatnya. Mendapati janji tersebut Ma’ruf dibuat girang. Dengan sabar Ma’ruf menunggu kedatangan Bisyir hingga waktu dluhur tiba, Bisyir belum juga tiba hingga usai shalat Asar.

Bahkan setelah menunaikan salat Isya pun, Bisyir belum juga tiba. Ma’ruf tetap bersabar menunggu kedatangan Bisyir, Ia yakin Bisyir tidak mungkin mengkhianati janjinya. Harapan dan kesabaran Ma’ruf tidak sia-sia. Ketika malam semakin larut, ia melihat Bisyir dari kejauhan, tangannya mengapit sebuah sajadah.

Saat sampai di Sungai Tigris, Bisyir menyeberangi sungai itu dengan cara berjalan di atas air. Hal sama dilakukannya ketika hendak pulang saat waktu subuh tiba setelah mereka berbincang sepanjang malam. Seorang sahabat Ma’ruf yang menyaksikan kejadian itu mencoba mengejar Bisyir, kepadanya ia minta didoakan, setelah mendoakan sahabat Ma’ruf sesuai yang dimintanya, Bisyir berpesan agar apa yang dilihatnya itu tidak diceritakan kepada siapapun. Dan orang itu tetap menjaga rahasia tersebut sepanjang masa hidup Bisyir.

Tawakal kepada Allah

Di lain kesempatan Bisyir kedatangan sekelompok orang dari Syiria. Mereka bermaksud mengajaknya menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Namun ajakan itu tidak serta merta dipenuhinya. Kepada tamunya itu Bisyir mengajukan syarat: Pertama, mereka tidak dibolehkan membawa bekal apapun. Kedua, mereka tidak boleh meminta belas kasihan orang lain dalam perjalanan. Ketiga, jika ada orang yang melihat karena iba dan kasihan kepada mereka, mereka tidak diizinkan menerima pemberian itu.

“Pergi tanpa perbekalan dan tidak boleh meminta-minta dapat kami terima, tapi apabila orang lain memberikan sesuatu mengapa tidak boleh menerimanya,” tanya salah seorang dalam rombongan itu.

Mendengar kekhawatiran tersebut, Bisyir pun menjawab, “Sebenarnya diri kalian tidak memasrahkan diri kepada Allah, tapi kepada perbekalan yang kalian bawa.”

Pada saat yang lain datang seorang lelaki datang minta nasihat pada Bisyir, lelaki itu memiliki uang sebanyak 2000 dirham, yang halal dan akan digunakannya untuk melaksanakan haji.

Kepada orang itu Bisyir malah berkata, “Apakah engkau hendak bersenang-senang? Jika engkau benar-benar bermaksud membuat Allah suka, lunasilah hutang seseorang, atau berikan uang itu kepada anak yatim, atau kepada orang yang butuh pertolongan. Kelapangan yang diberikan kepada jiwa seorang muslim lebih disukai Allah daripada seribu kali menunaikan ibadah haji.”

Mendengar nasihat itu, laki-laki itu menjawab, “Walau demikian aku lebih suka jika uang ini kupergunakan untuk menunaikan ibadah haji.”

“Itulah bukti, engkau telah memperolehnya dengan cara tidak halal, maka engkau tidak akan merasa senang sebelum menghabiskannya dengan cara-cara yang tidak benar,” kata Bisyir kemudian.

Keanehan dan kealiman Bisyir tidak terlepas dari pengalaman relijius yang pernah dialaminya. Sewaktu muda, Bisyir dikenal sebagai seorang pemabuk. Suatu malam ia berjalan seorang diri dengan sempoyongan karena mabuk minuman keras. Di tengah perjalanan ia menemukan secarik kertas bertuliskan kalimat 'Bismillahirramanirrahim'. Antara sadar dan tidak, ia lantas membeli minyak mawar yang dipakainya memerciki kertas itu untuk disimpannya.

Setelah kejadian itu, di suatu malam ada seorang ulama yang bermimpi bahwa ia diperintah Allah agar menemui Bisyir, dengan menyatakan, “Engkau telah mengharumkan namaku, maka Aku pun telah mengharumkan namamu. Engkau telah memuliakan nama-Ku, maka aku pun telah memuliakan dirimu. Engkau telah menyucikan nama-Ku, maka aku pun telah menyucikan dirimu. Demi kebesaran-Ku, niscaya kuharumkan namamu, baik di dunia maupun di akhirat.”

Namun, karena ia mengenal Bisyir sebagai sosok pemuda berandal, lelaki itupun langsung melanjutkan tidurnya setelah ia bersuci. Tapi ia menemukan mimpi yang sama hingga tiga kali.

Keesokan harinya ia pergi menemui Bisyir, yang tengah menghadiri pesta minuman keras. Ia ceritakan sebuah pengalaman dan perintah Allah yang mesti dikerjakannya. Sejak itu, atas izin dan perkenan Allah, Bisyir langsung berubah. Namanya tidak lagi disebut dalam pesta anggur, apalagi sampai ia datang ke pesta maksiat itu.

***

Kisah yang lain menyebutkan, Bisyir sempat bertemu Rasulullah SAW dalam tidurnya. Rasulullah mengatakan kepadanya alasan mengapa Allah memilihnya sebagai hamba yang dimuliakan. Karena dia selalu mengikuti sunah Nabi SAW, memuliakan orang yang saleh, memberi nasihat yang baik kepada saudara-saudaranya, dan mencintai Rasulullah dan keluarganya.

Pada kesempatan lain Bisyir sempat meminta nasihat pada sahabat Ali bin Abi Thalib melalui mimpinya. Sahabat Ali pun memberinya nasehat. “Belas kasihan orang kaya kepada orang miskin, karena berharap pahala dari Allah adalah perbuatan baik. Tapi lebih baik lagi bila orang-orang miskin itu enggan menerima pemberian orang kaya karena percaya kepada kemurahan Allah.”

Begitulah kisah hidup Abu Nashr Bisyir bin Al-Harits Al-Hafi. Meski sempat menjadi brandal dan pemabuk semasa mudanya, hamba Allah yang saleh yang lahir di Kota Merv (Persia) pada 150 H / 767 M ini segera berubah setelah hidayah itu diperolehnya. Ia tinggalkan segala kesenangan di dunia, lalu belajar hadits di Baghdad. Ia meninggal pada 227 H. Karena kesalehannya, Imam Ahmad bin Hambal, pendiri mazhab Hambali, pun ikut menghormati dan mengaguminya.

Referensi Kisah Alkisah Nomor 08 / 11-24 April 2005
http://www.sufiz.com/jejak-sufi/bisyir-bin-harits-seorang-wali-dari-dunia-pemabuk.html

No comments:

Post a Comment