Monday, March 7, 2011

Hamil di Luar Nikah

Artikel ini saya kumpulkan dari berbagai macam sumber.

Fenoma!
Banyak perempuan hamil di luar nikah, lalu karena tidak mau menanggung malu, orang tuanya menikahkan anak yang hamil dengan laki-laki (baik yang menghamili maupun yang tidak menghamili).

Lalu, apakah pernikahannya ini sah?

Ada ustadz yang bilang bahwa pernikahannya ini tidak sah sebab harus menunggu bayi itu lahir dan baru menikah. Tetapi, yang seperti ini sepertinya tidak lazim dan malah membuat malu (aib) di kalangan masyarakat kita.

Ada ustadz berpendapat atau (barangkali didukung dengan hadits Nabis SAW) menganggap bahwa pernikahan tersebut tidak sah. Katanya, ketika anaknya sudah lahir kelak, ia harus menikah ulang lagi.

Tentang hamil di luar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar.

QS 17 : 32. "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk."

QS 24 : 2. "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman."

QS 3 : 135. "Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri[*], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui."
[*]. Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil.

Jumhur ulama berdasar pada hadis 'Aisyah dari Ath-Thobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau berkata: "Awalnya zina akhirnya nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal." Sahabat yang mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas yang disebut madzab Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50).

Sedangkan boleh tidaknya perempuan yang berzina menikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya, para ulama berbeda pendapat terhadap hal tersebut:

Pendapat pertama menyatakan bahwa hal tersebut diharamkan, pendapat ini adalah pendapatnya Hasan al-Bishry dan lain-lainya. Mereka berdasar pada firman Allah SWT :

"Dan perempuan yang berzina tidak menikahinya kecuali laki-laki yang berzina atau pun musrik dan hal tersebut diharamkan bagi orang-orang yang beriman." (An-Nur: 3)

Ayat ini menurut mereka menyatakan akan keharaman menikahnya perempuan yang berzina dengan laki-laki yang bukan menzinahinya.

Pendapat kedua menyatakan bahwa hal tersebut dibolehkan. Sedang ayat di atas bukan menjelaskan keharaman hal tersebut tetapi menunjukkan atas pencelaan orang yang melakukannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Jumhur Ulama.

Mereka pun berdasar kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasay dari Ibnu Abbas, ia berkata: "Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW, ia berkata: 'Sesungguhnya istriku tidak bisa menjaga dirinya dari perbuatan zinah.' Nabi pun bersabda: 'Jauhkalah dia.' Orang itu menjawab: 'Aku khawatir jiwaku akan mengikutinya (karena kecintaannya).' Nabi pun bersabda padanya: 'Kalau begitu bersenang-senanglah dengannya.'" (Nailul Author 6/145)

Juga hadits yang diriwayatkan dari Aisyah:

Sesuatu yang harom tidak dapat menghalalkan yang haram. (HR Baihaqy)

Akan tetapi mereka yang berpendapat tentang kebolehan menikahnya seorang wanita yang berzinah dengan laki-laki yang bukan menzinahinya dalam beberapa hal;

1. Fuqoha Hanafiyah menyatakan: Jika wanita yang berzina tidak hamil. Maka aqad nikahnya dengan laki-laki yang bukan menzinahinya adalah sah. Demikian juga jika si wanita tersebut sedang hamil, demikian menurut Abu Hanifah dan Muhammad. Akan tetapi ia tidak boleh menggaulinya selama belum melahirkan. Dengan dalil sebagain berikut:

a. perempuan yang berzina tidak termasuk wanita yang haram dinikahi. Oleh karena itu hukumnya mubah (boleh) dan termasuk dalam firman-Nya: "Dan kami menghalalkan bagi kalian selain dari itu." (an-Nisaa: 24)

b. Tidak ada keharaman karena disebabkan air (sperma) hasil zina. Dengan dalil hal tersebut tidak bisa menjadi sebab penasaban anak tersebut kepada bapaknya. Oleh karena itu zina tidak bisa menjadi penghalang pernikahan.

Adapun sebab tidak bolehnya laki-laki tersebut menggauli wanita tersebut sampai ia melahirkan, adalah sabda Rasulullah SAW : "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain." (HR Abu Daud dan at- Tirmidzy) yang dimaksud adalah wanita hamil disebabkan orang lain.

2. Abu Yusuf dan Zufar berpendapat: "Tidak bolah melakukan aqad nikah terhadap wanita yang hamil karena zina. Karena kehamilan tersebut menghalanginya untuk menggauli wanita tersebut dan juga menghalangi aqad dengannya. Sebagimana halnya kehamilan yang sah, yaitu; sebagaimana tidak bolehnya melaksanakan aqad nikah dengan wanita yang hamil bukan karena zina maka dengan wanita yang hamil karena zina pun tidak sah."

3. Fuqoha Malikiyah menyatakan: "Tidak boleh melaksanakan aqad nikah dengan wanita yang berzina sebelum diketahui bahwa wanita tersebut tidak sedang hamil (istibraa), hal tersebut diketahui dengah haid sebanyak tiga kali atau ditunggui tiga bulan. Karena aqad dengannya sebelum istibra adalah aqad yang fasid dan harus digugurkan. Baik sudah nampak tanda-tanda kehamilan atau belum karena dua sebab, pertama adalah kehamilannya sebagimana hadits janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain atau dikhawtirkan dapat tercampurnya nasab jika belum nampak tanda-tanda kehamilan."

4. Fuqoha Syafiiyah: Jika ia berzina dengan seorang wanita, maka tidak diharamkan menikah dengannya, hal tersebut berdasar pada firman Allah: Dan kami menghalalkan bagi kalian selain dari itu (an-Nisaa: 24) juga sabda Rasulullah SAW : "sesuatu yang haram tidak dapat mengharamkan yang halal."

5. Fuqoha Hanabilah berpendapat jika seorang wanita berzinah maka tidak boleh bagi laki-laki yang mengetahu hal tersebut menikahinya, kecuali dengan dua syarat:

a. Selesai masa iddahnya dengan dalil di atas, janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain dan hadit shohih Wanita yang hamil tidak boleh digauli sampai ia melahirkan

b. Wanita tersebut bertaubat dari zinanya berdasarkan firman Allah SWT: dan hal tersebut diharamkan bagi orang-orang mumin (an-Nur: 3) dan ayat tersebut berlaku sebelum ia bertaubat. Jika sudah bertaubat hilanglah keharaman menikahinya sebab Rasulullah SAW bersabda: "Orang yang bertaubat dari dosanya seperti orang yang tidak memiliki dosa."

Jika hukum hudud belum diterapkan di negeri ini, maka orang yang melakukannya harus banyak beristigfar dan segera bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha, dan tidak boleh mengulangi lagi hal tersebut. Karena tidak mungkin orang tersebut melakukan hukuman hudud atau dirinya sendiri. Karena hukum hudud harus dilaksanakan oleh negara dalam hal ini mahkamah khusus yang telah ditunjuk.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
sumber: Syariahonline
http://bundahenny.blogspot.com/2007/12/hamil-diluar-nikah-status-anak-zina.html

No comments:

Post a Comment