Friday, March 30, 2012

Mantan Model Top Rusia Itu Kini Memeluk Islam

Hingga 2006 lalu, Masha merupakan artis dan model terkenal di Rusia dan negara-negara berbahasa Rusia lainnya. Saat itu Masha mencapai puncak popularitas dan Fabrik, grup musiknya, sedang berada di deretan teratas jajaran music Rusia. Sekarang, Masha sang Aktris, Dancer, dan Musisi terkenal ini, memakai jilbab dan mengalihkan aktivitas keartisannya dengan mengajar. Masha mengatakan dia membenci masa lalunya dan merasa bahwa baginya saat ini lah kesuksesan yang sesungguhnya.

Saat masih menjadi penyanyi, tidak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya bahwa dia akan menjadi seorang muslim, berpuasa, menunaikan ibadah haji, dan meminum air terbaik (air zamzam). Masha berpindah keyakinan menjadi muslim pada tahun 2006. Saat itu Masha mendapat kabar bahwa salah satu teman terdekatnya di kota lain mengalami koma. “Saya tidak tahu bagaimana saya dapat menolong teman saya. Hari itu, untuk pertama kali, saya berdoa dan memohon pada Tuhan.” ungkapnya dalam sebuah wawancara.

Hari berikutnya, teman Masha tersebut menelepon Masha dan berkata bahwa ketika koma, dia melihat Masha menolongnya. Masha menangis seketika karena itu pertama kali dalam hidupnya Masha menginginkan sesuatu dari Tuhan. Saat itu juga Masha mulai meninggalkan kesuksesannya dan menerima Islam.

“Sebuah keimanan kepada Allah (swt) telah mengubah hidup saya. Keinginan untuk beriman kepada Allah (swt) ada dalam hati nurani setiap orang. Saya tidak percaya bahwa Allah (swt) memberikan kecerdasan manusia hanya untuk kita hidup, makan, tidur, dan kemudian mati. Allah (swt) memberi kita kesempatan untuk hidup pada jalan yang dengan itu kita dapat mencapai-Nya (swt).” Masha menguraikan.

Masha menemukan Islam memiliki landasan yang paling kuat dalam hubungannya dengan agama lain. Ia melihat bahwa semua aturan Islam dapat diterapkan dalam kehidupan, dan menurutnya, jalan Islam adalah jalan kesuksesan. “saya merasa bersyukur. Sekarang saya mendapat kesempatan untuk membandingkan bagaimana saya dahulu dan sekarang. Sekarang saya menjalani kehidupan yang sebenarnya dan kemudian saya berhasil.”

Pada awalnya Masha merasa berat mempelajari bahasa arab pada Al-Qur’an, namun ketika menjalaninya, Masha menyukainya. “Saya pikir ini adalah kunci untuk mempelajari pengetahuan lainnya,”

Saat ini Masha mengajar di universitas. Masha menguasai 5 bahasa di Eropa dan menulis beberapa lagu Islam. Ia masih tetap menikmati musik, namun beralih pada Nasyid seperti Raihan, Sami Yusuf, dan Yusuf Islam.

Sekian banyak uang dan materi yang dapat dicapainya di masalalu tidak membuat Masha menyesal. Semua yang berkilau di masa lalu menjadi tidak berharga lagi saat ini, dan Masha membencinya. Masha tidak takut menunjukan diri secara terbuka sebagai muslim, sebaliknya Masha merasa memiliki kewajiban untuk menyelamatkan yang lain dai kekesatan dan menjadi contoh untuk mereka.

“Saya tidak suka melihat foto-foto saya dahulu. Namun, tidak masalah orang melihat dan belajar dari itu semua. Mereka dapat belajar bahwa seseorang dapat lahir kembali dan memulai lagi dari awal. Seseorang dapat bertobat dan membersihkan kesalahan masalalu dengan beramal shaleh, Insya Allah.” Jelasnya.

Harapannya saat ini adalah agar yang belum menemukan Islam dapat melihat ke dalam diri sendiri dan merenungi hal-hal diluar yang disediakan dunia untuk mereka. “Jika Anda tidak dapat berpikir tentang Allah (swt) setidaknya mencoba untuk membersihkan diri dari sifat buruk - sifat buruk seperti cinta-diri, sombong, iri hati, penindasan, berbohong, memuji diri sendiri, dan menyembah diri sendiri. Jika seseorang ingin mengambil langkah terhadap Islam, yang harus mereka harus lakukan adalah berpikir dan mencari bantuan dari hati nurani mereka.” Tegas Masha.

http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/mantan-model-top-rusia-itu-kini-memeluk-islam.htm

10 Golongan yang Tidak Masuk Surga

Ibnu Abas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Ada sepuluh golongan dari umatku yang tidak akan masuk surga, kecuali bagi yang bertobat. Mereka itu adalah al-qalla’, al-jayyuf, al-qattat, ad-daibub, ad-dayyus, shahibul arthabah, shahibul qubah, al-’utul, az-zanim, dan al-’aq li walidaih.

Selanjutnya Rasulullah saw. ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah al-qalla’ itu?” Beliau menjawab, “Orang yang suka mondar-mandir kepada penguasa untuk memberikan laporan batil dan palsu.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah al-jayyuf itu?” Beliau menjawab, “Orang yang suka menggali kuburan untuk mencuri kain kafan dan sebagainya.”

Beliau ditanya lagi, “Siapakah al-qattat itu?” Beliau menjawab, “Orang yang suka mengadu domba.”

Beliau ditanya, “Siapakah ad-daibub itu?” Beliau menjawab, “Germo.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah ad-dayyus itu?” Beliau menjawab, “Dayyus adalah laki-laki yang tidak punya rasa cemburu terhadap istrinya, anak perempuannya, dan saudara perempuannya.”

Rasulullah saw. ditanya lagi, “Siapakah shahibul arthabah itu?” Beliau menjawab, “Penabuh gendang besar.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah shahibul qubah itu?” Beliau menjawab, “Penabuh gendang kecil.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah al-’utul itu?” Beliau menjawab, “Orang yang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain yang meminta maaf atas dosa yang dilakukannya, dan tidak mau menerima alasan orang lain.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah az-zanim itu?” Beliau menjawab, “Orang yang dilahirkan dari hasil perzinaan yang suka duduk-duduk di tepi jalan guna menggunjing orang lain. Adapun al-’aq, kalian sudah tahu semua maksudnya (yakni orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya).”

Mu’adz bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan engkau tentang ayat ini: yauma yunfakhu fiish-shuuri fata’tuuna afwaajaa, yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangkakala, lalu kalian datang berkelompok-kelompok?” (An-Naba’: 18)

“Wahai Mu’adz, engkau bertanya tentang sesuatu yang besar,” jawab Rasulullah saw. Kedua mata beliau yang mulia pun mencucurkan air mata. Beliau melanjutkan sabdanya.

“Ada sepuluh golongan dari umatku yang akan dikumpulkan pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan yang berbeda-beda. Allah memisahkan mereka dari jama’ah kaum muslimin dan akan menampakkan bentuk rupa mereka (sesuai dengan amaliyahnya di dunia). Di antara mereka ada yang berwujud kera; ada yang berwujud babi; ada yang berjalan berjungkir-balik dengan muka terseret-seret; ada yang buta kedua matanya, ada yang tuli, bisu, lagi tidak tahu apa-apa; ada yang memamah lidahnya sendiri yang menjulur sampai ke dada dan mengalir nanah dari mulutnya sehingga jama’ah kaum muslimin merasa amat jijik terhadapnya; ada yang tangan dan kakinya dalam keadaan terpotong; ada yang disalib di atas batangan besi panas; ada yang aroma tubuhnya lebih busuk daripada bangkai; dan ada yang berselimutkan kain yang dicelup aspal mendidih.”

“Mereka yang berwajah kera adalah orang-orang yang ketika di dunia suka mengadu domba di antara manusia. Yang berwujud babi adalah mereka yang ketika di dunia gemar memakan barang haram dan bekerja dengan cara yang haram, seperti cukai dan uang suap.”

“Yang berjalan jungkir-balik adalah mereka yang ketika di dunia gemar memakan riba. Yang buta adalah orang-orang yang ketika di dunia suka berbuat zhalim dalam memutuskan hukum. Yang tuli dan bisu adalah orang-orang yang ketika di dunia suka ujub (menyombongkan diri) dengan amalnya.”

“Yang memamah lidahnya adalah ulama dan pemberi fatwa yang ucapannya bertolak-belakang dengan amal perbuatannya. Yang terpotong tangan dan kakinya adalah orang-orang yang ketika di dunia suka menyakiti tetangganya.”

“Yang disalib di batangan besi panas adalah orang yang suka mengadukan orang lain kepada penguasa dengan pengaduan batil dan palsu. Yang tubuhnya berbau busuk melebihi bangkai adalah orang yang suka bersenang-senang dengan menuruti semua syahwat dan kemauan mereka tanpa mau menunaikan hak Allah yang ada pada harta mereka.”

“Adapun orang yang berselimutkan kain yang dicelup aspal mendidih adalah orang yang suka takabur dan membanggakan diri.” (HR. Qurthubi)

Saudaraku, adakah kita di antara 10 daftar yang dipaparkan Rasulullah saw. di atas? Bertobatlah, agar selamat!

Oleh: Mochamad Bugi
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/03/118/10-golongan-yang-tidak-masuk-surga/#ixzz1qZIFPhRs

Wudhu, Bersihkan Diri Sucikan Hati

Ali bin Husein apabila berwudhu, wajahnya berubah menjadi pucat. Tatkala ditanya, “Apa yang terjadi dengan Anda saat berwudhu?” Beliau menjawab, “Tahukah kalian, dihadapan siapa aku hendak berdiri menghadap?”

Adalah Ali bin Husein, apabila beliau berwudhu maka wajah beliau berubah menjadi pucat. Tatkala beliau ditanya, “Apakah yang terjadi pada Anda saat berwudhu?” Beliau menjawab, “Tahukah kalian, dihadapan siapa aku hendak berdiri menghadap?”

Lazimnya, tatkala seseorang hendak menemui seorang pejabat yang dihormati dan dicintai misalnya, ia akan memperbagus tampilan sebelum bertemu. Ia akan bersih diri, memakai pakaian yang paling bagus dan memakai minyak yang paling wangi. Ia pun akan bercermin dan meneliti secara detil hal-hal yang sekiranya dapat mengundang kesan tidak baik dalam pandangan pejabat yang dimaksud. Itupun disertai perasaan gugup, takut dan sekaligus berharap akan mendapat sambutan yang baik. Begitulah keadaan seseorang yang hendak menghadap pejabat. Lantas bagaimana keadaan seorang hamba yang sedang mempersiapkan diri untuk menyambut panggilan Pencipta-nya untuk menghadap?

Alasan inilah yang membuat raut wajah Ali bin Husein berubah. Beliau memahami bahwa shalat berarti menghadap dan menyambut undangan Pencipta yang berkuasa untuk berbuat apapun terhadapnya. Sedangkan wudhu adalah persiapan untuk menyambut undangan agung tersebut.

Adapun sekarang, betapa sedikit orang yang mencapai penghayatan demikian dalam. Wudhu hanya sebatas formalitas dan aktifitas lahir yang tidak menyertakan amal bathin. Sehingga, amal yang sejatinya besar ini tidak banyak memberikan pengaruh yang signifikan ke dalam hati, selanjutnya nihil pula dampaknya dalam amal perbuatan.

Wudhu dan Kesucian Hati

Sejatinya, wudhu memiliki dua dimensi kesucian yang menjadi tujuan. Suci lahir dan suci batin. Sisi lahir adalah sucinya anggota badan, dan sisi batinnya adalah penyucian hati dari noda dosa dan maksiat dengan bertaubat. Oleh karena itu Allah menyandingkan antara taubat dan thaharah (bersuci) dalam firmanNya,

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Bada’i al-Fawa’id menjelaskan ayat ini, “Bersuci yang dimaksud ada dua hal; bersuci dari hadits dan najis dengan air, dan bersuci dari kesyirikan dan kemaksiatan dengan taubat. Dan poin kedua inilah yang menjadi inti. Karena bersuci dengan air tidaklah berguna tanpa bersuci dari syirik dan maksiat. Maka mempersiapkan dan mencurahkan kesungguhan untuk mendapatkan kesucian hati lebih diprioritaskan. Sebagaimana seorang hamba tatkala masuk Islam, dia terlebih dahulu membersihkan kesyirikan dengan bertaubat, baru kemudian bersuci dari hadats dengan air.”

Pada kesempatan yang lain, dalam Kitab Ighaatsatul Lahfaan beliau juga berkata, “Dengan hikmah-Nya, Allah menjadikan kebersihan sebagai persyaratan untuk berjumpa dengan-Nya, karena itu seorang yang melaksanakan shalat tidak boleh bermunajat dengan-Nya kecuali setelah bersuci. Demikian pula Allah menjadikan kebersihan dan kebaikan sebagai syarat untuk masuk jannah, sehingga tidak masuk jannah kecuali orang yang baik dan suci. Itulah dua jenis kesucian, suci badan dan suci hati. Karena itu, orang yang selesai berwudhu diperintahkan berdoa,

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِينَ ، وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ.

“Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikan aku termasuk orang-orang yang banyak bertaubat dan jadikan aku termasuk orang-orang yang beriman.” (Lafal ini diriwayatkan oleh Tirmidzi, shahih dan memiliki beberapa syawahid, seperti yang diutarakan oleh al-Albani dalam al-Irwa’)

Kebersihan hati diperoleh dengan bertaubat dari dosa, sedangkan kebersihan badan bisa diperoleh dengan air. Tatkala seseorang telah memiliki dua macam kebersihan, maka ia layak untuk berjumpa dengan Allah.”

Dan Dosa pun Berguguran

Dosa bagi hati, laksana penyakit bagi badan. Setiap kali bertambah dosa, bertambah pula tingkat keparahan penyakit yang diderita oleh hati. Hingga tatkala tak diiringi dengan penawar, sementra penyakit bertambah akut, lambat laun hati akan mati. Dosa juga menimbulkan karat di hati. Setiap kali jasad melakukan satu dosa, muncullah satu bercak hitam di hati. Jika tidak dibersihkan dan dosa terus bertambah, maka bercak hitam akan memenuhi permukaan hati, hingga hati menjadi buta, gelap dan tertutup dari cahaya iman. Inilah ‘rona’ yang dimaksud dalam firman Allah,

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (QS. Muthaffifiin;14).

Wudhu menjadi salah satu penggugur dosa dan pembersihnya, hingga racun hati menjadi tawar, penyakit menjadi hilang dan karat di hati menjadi bersih. Nabi shallallahu alaihi wasallam,

“إِذَا تَوَضّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ (أَوِ الْمُؤْمِنُ) فَغَسَلَ وَجْهَهُ، خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ) فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلّ خَطِيئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ) فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلاَهُ مَعَ الْمَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ) حَتّى يَخْرُجَ نَقِيّاً مِنَ الذّنُوبِ”.

“Jika seorang hamba Muslim atau Mukmin berwudhu lalu membasuh wajahnya, akan keluar dari wajahnya setiap dosa yang dilakukan kedua matanya bersamaan dengan keluarnya air atau tetesan air yang terakhir. Jika dia membasuh tangannya, akan keluar dari kedua tangannya setiap dosa yang pernah diperbuat oleh kedua tangannya itu bersama air atau tetesan air yang terakhir. Jika dia membasuh kedua kakinya, akan keluar setiap dosa yang pernah diperbuat oleh kedua kakinya bersama dengan air atau tetesan air yang terakhir, sehingga dia akan keluar dalam keadaan benar-benar bersih dari dosa.” (HR. Muslim)

Wudhu pun harus Khusyu’

Seyogyanya, kita hadirkan hati dan batin kita saat berwudhu. Sadar bahwa anggota wudhu yang kita basuh kerap melakukan dosa, dan kita berharap agar Allah menggugurkan dosa bersamaan tetesan air wudhu. Bukankah apa yang kita basuh di saat wudhu adalah anggota badan yang sering bersentuhan langsung dengan maksiat? Mata memandang yang haram berkali-kali, tangan berbuat aniaya bertubi-tubi, kaki melangkah ke tempat-tempat yang tidak Allah ridhai? Begitupun dengan lisan yang tak terkendali, hingga disunnahkan pula untuk berkumur sebagai penyuci.

Sertakan pula penyesalan dan taubat hati dari segala hal yang bisa mengotori, agar ia menjadi suci. Inilah yang disebut dengan wudhunya hati atau wudhu batin. Seperti perbincangan di antara dua ulama dan ahli ibadah berikut ini,

Suatu hari, Isham bin Yusuf menghadiri majlis Hatim Al-Asham, Isham bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, bagaimanakah cara Anda shalat?” Hatim menjawab, “Apabila masuk waktu shalat aku berwudhu dengan lahir dan bathin.” Isham bertanya, “Bagaimana maksud wudhu lahir dan bathin itu?” Hatim menjawab, “Wudhu lahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wudhu dengan air. Sementara wudhu bathin adalah membasuh hati dari tujuh perkara; bertaubat, menyesali dosa yang dilakukan, tidak tergila-gila oleh dunia, tidak mencari pujian orang (riya’), tidak gila jabatan, membersihkan dari kebencian dan kedengkian.”

Antara Air dan Sucinya Hati

Bersuci dengan air memang memiliki kaitan erat dengan bersihnya hati dari dosa. Karenanya, dalam salah satu doa Nabi shallalahu alaihi wasallam berbunyi,

اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِمَاءِ الثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

“Ya Allah cucilah dosa-dosaku dengan air, dan salju dan barad (air hujan es).” (HR Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya, “Bagaimana Allah membersihkan kesalahan-kesalahan dengan air dan salju? Bukankah air panas lebih efektif untuk membersihkan kotoran?”

Beliau menjawab, “Kesalahan-kesalahan menyebabkan hati menjadi panas, kotor dan lemah. Akibatnya, hati menjadi lembek, sementara api syahwat berkobar di dalamnya. Kesalahan dan dosa ibarat kayu bakar yang tersulut api, semakin banyak kesalahan, maka nyala api di hati semakin besar, dan hati semakin lemah. Air akan membersihkan kotoran sekaligus mematikan api. Apabila air tersebut dingin, ini bisa menjadikan badan lebih kuat dan lebih kokoh. Bila air tersebut disertai dengan salju dan barad, maka akan lebih menyegarkan, menguatkan dan mengokohkan badan. Dengan demikian, ia lebih banyak menghilangkan dampak dan pengaruh dari kesalahan-kesalahan tersebut.”

Begitulah keagungan wudhu, hingga kita pun tahu, tak ada satu syariatpun yang digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, kecuali mengandung maslahat yang besar. Bukan sekedar formalitas, apalagi hanya iseng. Bahwa ada yang belum merasakan efeknya secara signifikan, itu dikarenakan minimnya pengetahuan, di samping masih jauh dari pengamalan yang benar. Semoga wudhu kita bisa menjadi pembersih bagi diri dan hati kita. (Abu Umar Abdillah)

Posted in Abu Umar Abdillah
http://www.arrisalah.net/kolom/2012/01/wudhu-bersihkan-diri-sucikan-hati.html

Muliakan Orangtua, Allah Berikan Jalan-Nya

SEBAGAI seorang anak, berbakti kepada orangtua adalah sebuah keharusan. Namun kadang tak mudah melaksanakannya.

Suatu hari, tepatnya September 2005, saya menerima kabar bahwa orangtua membutuhkan uang cukup banyak. Mau memperbaiki rumah yang atapnya sudah bocor di sana sini.

Berita itu saya simpan dalam memori otak. Sore harinya saya bicarakan dengan istri.

“Bagaimana ini?” tanyaku pada istri dengan tenang.

Saat itu kami baru pindahan rumah dari Tegal ke Brebes (Jawa Tengah). Kondisi keuangan masih kocar-kacir. Namun keputusan akhir, kami akan tetap membantu orangtua, meskipun harus “menyembelih” celengan ayam jago yang belum seberapa terisi.

Setelah dihitung lembar demi lembar, alhamdulillah terkumpul Rp 250 ribu. Masih jauh dari kebutuhan orangtua yang mencapai Rp 600 ribu.

Uang itu saya sampaikan kepada orangtua apa adanya. Beliau menerima dengan baik.

Tiga bulan kemudian, datang lagi berita, kali ini dari mertua. Isinya serupa: membutuhkan uang untuk keperluan menikahkan anaknya.

Setelah bermusyawarah dengan istri, kami menetapkan untuk tetap birrul-waalidain (memuliakan kedua orangtua), meski saat itu belum ada uang sepeser pun!

Saat itu saya tengah merintis usaha ternak ayam. Sayang, ambruk karena habis dimakan binatang buas.

Syukurnya, saya punya kegiatan mengajar, sementara istri mengajar di rumah. Di sinilah awal terbukanya pintu-pintu rezeki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kami berusaha mengencangkan ikat pinggang, menyisihkan uang Rp 50 ribu untuk ditabung. Tujuannya agar kelak bisa membantu orangtua dan mertua.

Awalnya cukup berat, karena kebutuhan rumah tangga terus meningkat, sementara pemasukan tetap. Tapi dengan iringan doa tiap malam dan mencari solusi kesana-kemari, asa itu saya yakin ada.

Tak disangka, Allah membukakan pundi-pundi rezeki. Seorang ibu dan anaknya bertamu ke rumah. Ketika pulang, dia menitipkan uang untuk istri Rp 150 ribu. Alhamdulillah.

Seminggu kemudian saya bersilaturrahim ke seorang pelanggan Majalah Hidayatullah. Dia tanya tentang kegiatan yang saya lakukan. Eh, dia malah menanyakan nomor rekening. Subhanallah, setelah saya cek beberapa hari kemudian, ada kiriman uang Rp 252 ribu!

Waktu terus berjalan, hajatan mertua tinggal satu bulan lagi. Saya terus mengintensifkan doa dan menggencarkan silaturrahim untuk menawarkan bimbingan belajar dan majalah.

Suatu saat, saya disergap kelelahan teramat sangat setelah menjalani rutinitas di atas. Tiba-tiba datang seorang teman bersama istri dan anaknya. Setelah bicara kesana kemari sampai menjelang Maghrib, ia berpamitan pulang. Teman itu berbisik sambil menyerahkan amplop putih bersih, “Sekadar membantu, Mas.”

Karena penasaran, amplop itu saya buka. Rp 500 ribu! Allahu Akbar! Mahakaya Allah dalam memenuhi kebutuhan (hajat) hamba-Nya. Saya dan istri langsung bersyukur dan menyelimuti hati dengan dzikir.

Esok harinya, saya langsung antar uang itu ke orangtua dan sebagian lagi ke mertua. Adapun kekurangan lainnya kami upayakan ke sana kemari. Alhamdulillah, saya bisa membantu meringankan orangtua, biarpun cuma seberat biji sawi.

Ternyata kemurahan Allah tak henti sampai di sini. Dua bulan kemudian rekening saya mendapat kiriman Rp 150 ribu, entah dari siapa. Tiba-tiba saja. Uang itu pun saya pergunakan untuk membeli bangku guna memperlancar kegiatan Taman Pendidikan Al-Qur`an (TPA) yang kami asuh. Rencana ini memang sudah lama saya tekadkan.

Uang itu memang tak seberapa banyak. Tetapi keajaiban-keajaiban itu datang setelah kami berusaha memuliakan ibu. Maha Benar Allah akan janji-janji-Nya.*/ Sahiri

http://www.hidayatullah.com/read/20322/22/12/2011/muliakan-orangtua,-allah-berikan-jalan-nya.html

Joko Wi - Sosok Kecil dengan Ide Besar

Wali Kota Solo ini sedang jadi bintang hari-hari belakangan ini. Keputusannya menggunakan mobil buatan anak SMK (Kiat Esemka) untuk tugas sehari-hari menggegerkan negeri ini. Namun seperti apa sosok sebenarnya seorang Joko Widodo itu?

Tumbuh dari keluarga miskin yang tinggal di daerah bantaran kali yang kumuh, membuatnya tumbuh menjadi seorang pemimpin yang peka terhadap penderitaan dan berbagai problematika masyarakat miskin. Terlebih ketika spirit itu berpadu dengan pengalamannya selama 23 tahun bergelut di bidang ekspor, maka lahirlah berbagai kebijakan populis yang tak hanya membela dan melindungi kepentingan masyarakat bawah, tetapi juga berhasil menggeser paradigma jajaran pemerintahan kota yang dipimpinnya secara revolusioner.

Anak pertama dari empat bersaudara yang lahir dari pasangan Noto Mihardjo dan Sujiatmi ini, sekolah SD sampai SMA di kota Solo. Kemudian melanjutkan kuliah bidang teknologi kayu di UGM, Yogyakarta. Setelah lulus kuliah ia sempat bekerja di Aceh selama 2 tahun, sebelum akhirnya mulai merintis usaha di kota kelahirannya. "Saya memulai usaha dari minus, bukan dari nol. Pelan-pelan merintis. Ya sekarang masih kecil, tapi paling tidak produksi yang kami hasilkan sudah diekspor," kisahnya.

Semula ia mengaku tak berniat mencalonkan diri menjadi wali kota. Perhatiannya selama ini hanya tersita untuk urusan usaha yang telah dirintisnya. Sampai suatu ketika, ia merasa prihatin atas perkembangan dan pembangunan kota kelahirannya yang dirasa berhenti di tempat. "Saya melihat kok tidak semakin baik, tapi malah semakin turun dan semakin tidak baik. Sehingga saya merasa tergelitik, saya pikir mengelola kota itu apa sulitnya, sih?"

Pemikiran sederhana itulah yang membuat Joko Wi merasa tertantang. "Tapi saya juga tidak serius-serius amat, karena saya juga merasa tidak terkenal. Jadi boleh dibilang, menjadi wali kota ini bagi saya seperti sebuah kecelakaan," kelakarnya.

Tapi ketika akhirnya ia betul-betul terpilih menjadi orang nomor satu di jajaran pemerintahan kota Solo, maka Joko Wi segera "mendiagnosa" berbagai penyakit yang membonsai pertumbuhan kotanya. Lalu apa yang ia temukan? "Saya kira masalah yang pertama adalah tak adanya leadership. Dan yang kedua adalah problem di sistem manajemennya. Karena ketika saya hidup di ekspor selama 23 tahun, ada tiga hal yang ‘tidak boleh tidak' harus dipenuhi; Yaitu, yang pertama masalah Quality [kualitas]. Kedua, masalah Price [harga]. Artinya kita harus selalu efisien, sehingga harga kita bisa kompetitif. Dan yang ketiga, adalah masalah On time delivery [ketepatan waktu pengiriman]. Ketiga hal ini saya kira sangat bepengaruh sekali dalam pengelolaan kepemerintahan dan pengelolaan sebuah kota, khususnya mempengaruhi kebijakan atau policy yang saya ambil," paparnya. Sungguh luar biasa!

____________

Artikel ini diambil dari majalah LuarBiasa edisi Desember 2011: Big Idea Big Success. Dapatkan tulisan lengkapnya di edisi tersebut. Majalah motivasi ini bisa diperoleh di toko-toko buku terdekat di kota Anda. Untuk pemesanan: (021) 33445555, free ongkos kirim untuk Jakarta. Info: www.majalahluarbiasa.com

Bagikan ke teman Anda, Share & Be Happy!
http://m.andriewongso.com/artikel/success_story/4743/Joko_Wi_-_Sosok_Kecil_Dengan_Ide_Besar/

Meluangkan Waktu Satu Jam Lagi

Pada akhir 1970-an, di Jepang ada seorang anak muda yang membuka sebuah toko grosir kecil. Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat itu, toko biasanya beroperasi sampai jam 10 malam dan pemiliknya akan buru-buru menutup tokonya.

Suatu malam, jam telah menunjukkan pukul 11. Anak muda itu masih membereskan barang-barang di tokonya. Ketika ia selesai mengerjakan pekerjaannya dan berniat untuk menutup tokonya, tiba-tiba datanglah beberapa orang yang ingin membeli barang. Meskipun jam buka tokonya sudah lewat, pembeli itu tetap dilayaninya dengan ramah. Setelah semua pembelinya pergi, anak muda itu langsung menambahkan stok barang.

Waktu setengah jam pun berlalu dan sekarang sudah pukul 11.30. Saat hendak menutup pintu tokonya, datang lagi pembeli lain yang ingin membeli barangnya.

Anak muda itu merasa bingung dan bertanya-tanya sendiri, mengapa sampai segitu malam masih ada yang keluar untuk membeli barangnya? Apakah mereka tidak tahu jika dia akan menutup tokonya?

Setelah melihat suasana di sekitar, anak muda itu baru menyadari bahwa rupaya hampir semua toko di kompleks pertokoan itu sudah tutup. Hanya toko si anak muda itu yang masih buka. Ia kini menjadi tahu bahwa bisnisnya tidak mengenal batas waktu. Asalkan masih ada orang yang belum tidur, pasti ada bisnis yang datang!

Dengan pengetahuan yang baru itu, anak muda ini pun mengubah jam kerjanya. Ia membuka tokonya setiap jam 7 pagi dan menutup tokonya setiap jam 11 malam. Karena toko si anak muda itu beroperasi lebih lama dibanding toko-toko yang lain, tokonya dikunjungi banyak pembeli dan menjadi toko favorit.

Setahun kemudian, toko anak muda ini berkembang menjadi lebih besar. Pendapatan per tahunnya mencapai sebesar 2 miliar yen. Meski begitu, anak muda itu terus menerapkan metode itu, sehingga bisnisnya semakin besar dan besar. Luar biasanya, pada 2002 pendapatan tokonya bisa mencapai angka 1,148 miliar yen!

Anak muda pekerja keras itu bernama Takao Yasuda. Kini, ia menjadi seorang pengusaha ternama: owner dan CEO dari jaringan toko diskon "Don Quijote". Sudah ada lebih dari 150 outlet, 4 di antaranya ada di Hawaii, Amerika Serikat. Ia salah satu orang terkaya di Jepang.

***

Kisah hidup Takao Yasuda, memang seperti sebuah keajaiban. Keajaiban yang juga bisa terjadi di kehidupan semua orang, termasuk kita, asalkan kita "siap bayar harga", antara lain dengan rela berkorban. Seperti Yasuda, hal yang perlu kita lakukan hanyalah meluangkan waktu sedikit lebih banyak untuk melakukan pekerjaan yang kita sukai atau untuk merintis impian kita.

Dengan rela mengorbankan waktu lebih lama untuk bekerja, kemauan kuat, dan kerja keras, kita bisa menuju kesuksesan yang lebih besar & lebih gemilang.

Luar biasa!

Bagikan ke teman Anda, Share & Be Happy!
http://m.andriewongso.com/artikel/success_story/4926/Meluangkan_Waktu_Satu_Jam_Lagi/

Thursday, March 29, 2012

Shuhaib bin Sinan, Sang Pendamping Setia Rasulullah

RASULULLAH Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata bahwa orang-orang yang paling pertama dan utama masuk Islam ada empat. Pertama, Rasullulah sendiri, sebagai tokoh dari Arab. Kedua, Shuhaib bin Sinan sebagai tokoh dari Romawi. Ketiga, Bilal sebagai tokoh dari Abyssina. Dan keempat, Salman al-Farisi sebagai tokoh dari Farsi.

Shuhaib bin Sinan memang berasal dari Romawi. Bahkan, nama al-Rumi yang kerap digandengkan kepada namanya berasal dari kata Romawi. Namun, catatan sejarah menunjukkan, nenek moyang Shuhaib sebetulnya berasal dari Arab, dan merupakan keluarga terhormat.

Nenek moyang Shuhaib pindah ke Iraq jauh sebelum datangnya Islam. Di negeri ini, ayah Shuhaib diangkat menjadi hakim dan walikota oleh Kisra, Raja Persia . Shuhaib dan orangtuanya tinggal di istana yang terletak di pinggir sungai Eufrat ke arah hilir Jazirah dan Mosul . Mereka hidup dalam keadaan senang dan bahagia.

Suatu ketika datang orang-orang Romawi menyerbu dan menawan sejumlah penduduk, termasuk Shuhaib. Setelah ditawan, Shuhaib dijualbelikan sebagai budak dari satu saudagar ke saudagar lain. Ia menghabiskan masa kanak-kanak dan permulaan masa remaja di Romawi sebagai budak. Akibatnya, dialeknya pun sudah seperti orang Romawi.

Pengembaraannya yang panjang sebagai budak akhirnya berakhir di Makkah. Majikannya yang terakhir membebaskan Shuhaib karena melihat kecerdasan, kerajinan, dan kejujuran Shuhaib. Bahkan, sang majikan memberikan kesempatan kepadanya untuk berniaga bersama.

Memeluk Islam

Perihal keislaman Shuhaib, diceritakan oleh sahabatnya, 'Ammar bin Yasir. Suatu ketika, 'Ammar berjumpa Shuhaib di muka pintu rumah Arqam bin Abu Arqam. Saat itu Rasulullah masih berdakwah secara sembunyi-sembunyi di rumah tersebut.

“Kamu mau kemana?” tanya `Amar.

Shuhaib balik bertanya, “Dan kamu hendak kemana?”

“Aku mau menjumpai Rasulullah untuk mendengarkan ucapannya,” jawab 'Ammar.

“Aku juga mau menjumpainya,” ujar Shuhaib pula.

Lalu mereka masuk ke dalam rumah Arqam menemui Rasulullah. Keduanya mendengar secara khidmat penjelasan tentang aqidah Islam hingga petang hari. Setelah itu, keduanya menyatakan diri memeluk Islam. Secara sembunyi-sembunyi mereka kemudian keluar dari rumah itu.

Hijrah

Ketika Rasulullah hendak berhijrah ke Madinah, Shuhaib ikut serta. Ada yang mencatat bahwa Shuhaib telah menyembunyikan segala emas, perak, dan kekayaan yang dimilikinya sebagai hasil perniagaan bertahun-tahun di Makkah sebelum pergi hijrah. Catatan lain menyebutkan bahwa harta tersebut hendak ia bawa ke Madinah.

Rencananya, Shuhaib akan menjadi orang ketiga yang akan berangkat ke Madinah setelah Rasulullah dan Abu Bakar. Namun, orang-orang Quraisy telah mengetahui rencana tersebut. Mereka mengatur segala persiapan guna menggagalkannya.

Ketika hijrah akan dilakukan, pasukan Quraisy menyerbu. Malang nasib Shuhaib. Ia masuk perangkap dan tertawan. Akibatnya, kepergian Shuhaib ke Madinah tertunda, sementara para sahabat yang lain bisa meloloskan diri.

Saat orang-orang Quraisy lengah, Shuhaib langsung naik ke punggung unta dan memacu sekencang-kencangnya menuju gurun yang luas. Tentara Quraisy segera memburu dan hampir berhasil menyusulnya. Tiba-tiba Shuhaib berhenti dan berteriak:

“Hai orang-orang Quraisy, kalian mengetahui bahwa aku adalah ahli panah yang paling mahir. Demi Allah, kalian tak akan berhasil mendekatiku sebelum kulepaskan semua anak panah yang berada dalam kantong ini. Dan setelah itu aku akan menggunakan pedang untuk menebas kalian sampai senjata di tangan ini habis semua. Nah, majulah ke sini kalau kalian berani! Tetapi kalau kalian setuju, aku akan tunjukkan tempat penyimpanan harta benda milikku asal kalian membiarkan aku pergi.”

Ibnu Mardaweh meriwayatkan dari Utsman an-Nahdiy dari Shuhaib bahwa pasukan Quraisy saat itu berkata, “Hai Shuhaib, dulu kamu datang kepada kami tanpa harta. Sekarang kamu hendak pergi hijrah sambil membawa pergi hartamu? Hal ini tidak boleh terjadi.”

“Apakah kalian menerima tawaranku?”

Tentara Quraisy akhirnya tertarik dan sepakat untuk melepaskan Shuhaib sekaligus menerima imbalan harta. Reputasi Shuhaib sebagai orang jujur selama ini telah membuat tentara Quraisy itu percaya bahwa Shuhaib tak akan berbohong.

Setelah kaum Quraisy balik arah, lalu melanjutkan perjalanan seorang diri hingga menyusul Rasulullah yang sedang berada di Quba’.

Waktu itu Rasulullah sedang duduk dikelilingi para sahabat. Ketika mendengar salam dari Shuhaib, Nabi langsung berseru gembira, “Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya!” Ucapan itu diulangnya sampai dua kali.

Beberapa saat kemudian turunlah Surat Al-Baqarah ayat 207. Ibnu Abbas, Anas bin Musayyab, Abu Utsman an-Nahdiy, Ikrimah, dan yang lain berkata, ayat ini diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berkenaan dengan peristiwa yang menimpa Shuhaib. Sementara kebanyakan ulama berpendapat, ayat ini umum untuk setiap mujahid yang berperang di jalan Allah, seperti halnya fiman Allah dalam Surat at-Taubah ayat 111: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji benar Allah dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain Allah)? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”

Sebuah catatan menunjukkan, Shuhaib baru mengetahui turunnya ayat mengenai dirinya setelah bertemu Umar bin Khattab dan kawan-kawannya di Tharf al-Hurrah. Mereka berkata pada Shuhaib, “Perniagaanmu beruntung.”

“Kalian sendiri bagaimana? Saya tidak merugikan perniagaanmu di jalan Allah. Apa yang kalian maksud dengan perniagaanku beruntung?” tanya Shuhaib.

Para sahabat kemudian memberitahu bahwa Allah telah menurunkan ayat yang berkaitan dengan dia.

Pendamping Setia

Setelah hijrah, Shuhaib menjadi pendamping setia Rasulullah. Ia dikenal berani dan andal menggunakan lembing dan panah.

Shuhaib pernah berkata, “Tidak ada sesuatu peperangan yang dilakukan Rasulullah dengan pihak lain yang aku tidak ada di sampingnya. Tidak pernah suatu perjanjian yang dibuat Rasulullah dengan pihak lain yang aku tidak ada di sampingnya. Tidak pernah suatu angkatan perang yang disiapkan oleh Rasulullah untuk pergi bertempur yang aku tidak ada di dalamnya. Tidak ada sesuatu peperangan yang sedang berkecamuk yang aku tidak ada di kanan kiri baginda. Tidak pernah terjadi sesuatu persiapan untuk mengirim bantuan yang aku tidak hadir di tempat itu. Pendek kata, aku adalah orang yang berdiri di tengah-tengah antara musuh dan Rasulullah.”

Setelah Rasulullah wafat, Shuhaib menyumbangkan baktinya kepada Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar bin Khaththab ketika keduanya menjadi khalifah. Ketika Umar ditikam dari belakang saat memimpin shalat Shubuh, Shuhaib langsung ditunjuk sebagai pengganti imam.

Kata Umar, “Shalatlah kalian bersama Shuhaib.” Padahal saat itu kaum Muslimin belum memutuskan siapakah yang bakal menggantikan Umar sebagai khalifah.

Selanjutnya, Umar berkata, “Jangan kalian takut kepada Shuhaib karena dia seorang maula (hamba yang dimerdekakan). Dia tidak akan memperebutkan jabatan khalifah ini.”*

http://www.hidayatullah.com/read/20052/05/12/2011/shuhaib-bin-sinan,-sang-pendamping-setia-rasulullah.html

‘Umar bin Khaththab, Khalifah Penjaga Pasar

HARGA-harga komoditi pangan di Indonesia sering tak terkontrol. Suatu saat melambung tinggi, di saat lain anjlok mencapai titik terendah. Bawang merah misalnya, harganya pernah mencapai puluhan ribu per kilo, tapi saat tiba waktu panen turun drastis. Saking rendahnya harga itu, para petani di Nganjuk, Jawa Timur pernah lebih memilih membakar barangnya daripada menjualnya.

Tidak terkontrolnya harga-harga tersebut karena begitu lemahnya peran pemerintah. Saking lemahnya, adanya pemerintah itu seperti tidak ada. Sebagian orang bilang, peran pemerintah memang dibatasi. Pemerintah tidak boleh intervensi soal harga. Harga lebih diserahkan kepada mekanisme pasar. Namun bila harga-harga melangit sehingga mencekik rakyat, pemerintah mestinya punya kewenangan mengontrol harga.

Seperti pendapat sebagian besar ulama, dalam kasus tertentu -walau mereka berpendapat sebaiknya harga memang ditentukan oleh pasar- pemerintah berhak mengontrol harga, demi melindungi rakyat. Karena dalam banyak kasus, melambungkan harga-harga itu bukan semata mekanisme pasar, melainkan lantaran ulah para tengkulak.

Dalam sejarah Islam, orang yang pertama kali turut campur menentukan harga di pasar adalah ‘Umar bin Khaththab, saat beliau menjabat khalifah. Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikenal tegas ini punya perhatian besar kepada pasar. Sebab, pasar adalah jantung ekonomi suatu masyarakat (negara). Berangkat dari kepentingan ini, sekalipun khalifah, ‘Umar merasa perlu turun sendiri ke pasar-pasar melakukan pengawasan. Bila melihat penyimpangan beliau langsung meluruskan.

Dari Sa’id bin Al-Musayyib diriwayatkan, ‘Umar bertemu Hathib bin Abi Balta’ah yang sedang menjual kismis di pasar. ‘Umar berkata, “Kamu tambah harganya atau angkat dari pasar kami.”

Riwayat lain, dari Yahya bin Abdul Rahman bin Hathib. Dia berkata, “Ayahku dan ‘Utsman bin ‘Affan adalah dua sekutu yang mengambil kurma dari Al-Aliyah ke pasar. Mereka kemudian bertemu dengan ‘Umar. “Wahai Ibnu Abi Balta’ah, tambahlah harganya, apabila tidak, maka keluarlah dari pasar kami,” kata Umar.

Riwayat di atas menunjukkan bahwa ‘Umar begitu peduli dengan harga-harga yang berkembang di pasar. Beliau melarang menurunkan harga. Harga yang terlalu murah sepintas memang menguntungkan konsumen. Namun sesungguhnya dalam jangka panjang itu bakal menghancurkan kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan penjual maupun kepentingan pembeli itu sendiri.

Harga yang terlalu murah, membuat para pedagang enggan berjualan karena keuntungannya terlalu sedikit. Tidak sepadan dengan jerih payah dan modal yang dikeluarkan. Bila pedagang enggan berjualan, pada akhirnya tentu bakal mempengaruhi persedian barang. Saat persedian barang sedikit, sementara di sisi lain permintaan bertambah, yang terjadi kemudian harga melambung tinggi. Nah, ini tentu tidak menguntungkan bagi masyarakat banyak.

Karena itu, di samping melarang menurunkan harga, ‘Umar memerintahkan pedagang menjual sesuai harga pasar. Ada riwayat yang menunjukkan hal tersebut. Diriwayatkan, seorang laki-laki datang membawa kismis dan menaruhnya di pasar. Lalu dia menjual tidak dengan harga pasar. Tidak jelas di riwayat ini apakah pria itu menjual di bawah harga pasar atau justru di atasnya. Yang jelas ‘Umar berkata, “Juallah dengan harga pasar atau kamu pergi dari pasar kami. Sesungguhnya kami tidak memaksamu dengan satu harga.”

Sebagian ulama menganggap apa yang dilakukan ‘Umar tersebut bertentangan dengan ketentuan Rasulullah. Abu Dawud dan At-Tirmidzi mengisahkan, suatu hari harga-harga barang naik. Sebagian umat Islam lalu mendatangi Rasulullah, minta beliau menentukan harga. Tapi Nabi tidak bersedia. Beliau hanya berdoa, “Aku berdoa agar Allah menghilangkan mahalnya harga dan meluaskan rezeki.” Rasulullah memberi alasan kenapa menolak menentukan harga, “Sesungguhnya Allah, Dialah yang menentukan harga, yang Maha Menahan, Maha Meluaskan lagi Maha Memberi rezeki. Dan aku berharap bertemu Allah dan tidak ada seorang dari kalian meminta pertanggungjawabanku atas kezaliman dalam darah dan harta.”

Ulama lain, seperti Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi berpendapat sebaliknya. Seperti ditulis dalam bukunya, Al Fiqh Al Iqtishadi Lil Amiril Mukminin Umar ibnu Al Khathab (diterjemahkan penerbit Khalifa dengan judul Fiqih Ekonomi Umar bin Khathab), menurut Jaribah apa yang dilakukan Umar tidak bertentangan dengan Hadits Nabi di atas. Jaribah punya dua alasan.

Pertama, naiknya harga pada zaman Nabi tersebut akibat fluktuasi dari persediaan dan permintaan barang. Artinya, harga naik karena persediaan barang sedikit sementara permintaan banyak. Karena itu Rasulullah enggan menetapkan harga. Memperkuat pendapatnya, Jaribah mengutip pendapatnya Ibnu Taimiyah. Syaikhul Islam ini berpendapat, membuat dalil berdasarkan Hadits yang menunjukkan keengganan Nabi menentukan harga, untuk membuktikan dilarangnya penentuan harga secara mutlak adalah kesalahan. “Ini adalah kasus khusus, bukan umum,” kata Ibnu Taimiyah.

Kedua, masih kata Jaribah, ‘Umar tidak membatasi harga tertentu, misalnya dengan nominal tertentu. ‘Umar hanya minta pedagang menjual dengan harga pasar. Di antara dalil yang menunjukkan ‘Umar benar-benar menjaga harga pasar adalah saat beliau memerintahkan Hathib untuk masuk ke rumahnya dan menjual kismisnya sebagaimana kehendaknya. Sebab, berjualan di rumah jauh dari penglihatan penjual dan pembeli, sehingga tidak mempengaruhi harga di pasar.

Sekalipun sikap ‘Umar tegas dalam menjaga harga pasar, namun beliau tidak kaku. Pada kasus tertentu pedagang boleh menjual barangnya di luar harga pasar.

Itu pernah dialami Al-Miswar bin Makhramah. Ia menjual makanan dengan harga modalnya atau tanpa keuntungan. ‘Umar heran dengan apa yang dilakukan Miswar tersebut, “Apakah kamu gila, wahai Miswar?”

Miswar menjawab, “Demi Allah, tidak wahai Amirul Mukminin. Tetapi aku melihat mendung musim gugur. Aku benci menahan apa yang bermanfaat bagi manusia.” Mendengar jawaban Miswar tersebut, ‘Umar segera menyahut, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”

Tetapi jika penyimpangan harga, baik turun maupun naik yang terlalu ekstrim karena ulah pedagang, misalnya monopoli, maka menurut Jaribah, negara mesti bertindak demi kemaslahatan semua orang.

Kesimpulannya, bila terjadi pergerakan harga, baik naik maupun turun, akibat fluktuasi persediaan dan permintaan barang dalam keadaan normal, maka penentuan harga dalam keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Penetapan harga di saat keadaan normal, dianggap sebagai kezaliman kepada rakyat yang menyebabkan penguasa harus mempertanggungjawabkan pada Hari Kiamat kelak. */Bambang Subagyo

http://www.hidayatullah.com/read/21947/29/03/2012/‘umar-bin-khaththab,-khalifah-penjaga-pasar.html

Subhanallah, Pria Yahudi Ini Mengislamkan Jutaan Orang

Jad adalah seorang pria keturunan Yahudi. Di pertengahan hidupnya, ia memeluk agama Islam. Setelah bersyahadat, ia mengubah namanya menjadi Jadullah Al-Qur'ani.

Jad pun memutuskan hidupnya untuk berkhidmat dalam dakwah Islamiyah. Dia berdakwah ke negara-negara Afrika dan berhasil mengislamkan jutaan orang.

Sejatinya, Ibunda Jadullah adalah Yahudi fanatik, seorang dosen di salah satu lembaga tinggi. Namun di tahun 2005, dua tahun setelah kematian Jadullah, ibunya memeluk agama Islam.

Ibunda Jadullah menuturkan, putranya menghabiskan usianya dengan berdakwah. Dia mengaku telah melakukan beragam cara untuk mengembalikan putranya pada agama Yahudi. Namun, selalu gagal.

''Mengapa seorang Ibrahim yang tidak berpendidikan dapat mengislamkan putraku,'' ujar sang ibu terheran-heran. Sedangkan dia yang berpendidikan tinggi tak mampu menarik hati putranya sendiri kepada agama Yahudi.

***

Kisah Jad dan Ibrahim

Lima puluh tahun lalu di Prancis, Jad bertetangga dengan seorang pria Turki berusia 50 tahun. Pria tersebut bernama Ibrahim. Ia memiliki toko makanan yang letaknya di dekat apartemen tempat keluarga Jad tinggal. Saat itu usia Jad baru tujuh tahun.

Jad seringkali membeli kebutuhan rumah tangga di toko Ibrahim. Setiap kali akan meninggalkan toko, Jad selalu mengambil coklat di toko Ibrahim tanpa izin alias mencuri.

Pada suatu hari, Jad lupa tak mengambil coklat seperti biasa. Tiba-tiba, Ibrahim memanggilnya dan berkata bahwa Jad melupakan coklatnya. Tentu saja Jad sangat terkejut, karena ternyata selama ini Ibrahim mengetahui coklatnya dicuri. Jad tak pernah menyadari hal tersebut, dia pun kemudian meminta maaf dan takut Ibrahim akan melaporkan kenakalannya pada orang tua Jad.

"Tak apa. Yang penting kamu berjanji tidak akan mengambil apapun tanpa izin. Lalu, setiap kali kamu keluar dari sini, ambillah cokelat, itu semua milikmu!" ujar Ibrahim. Jad pun sangat gembira.

Waktu berlalu, tahun berubah. Ibrahim yang seorang Muslim menjadi seorang teman bahkan seperti ayah bagi Jad, si anak Yahudi. Sudah menjadi kebiasaan Jad, dia akan berkonsultasi pada Ibrahim setiap kali menghadapi masalah.

Dan setiap kali Jad selesai bercerita, Ibrahim selalu mengeluarkan sebuah buku dari laci lemari, memberikannya pada Jad dan menyuruhnya membuka buku tersebut secara acak. Saat Jad membukanya, Ibrahim kemudian membaca dua lembar dari buku tersebut kepada Jad dan memberikan saran dan solusi untuk masalah Jad. Hal tersebut terus terjadi.

Hingga berlalu 14 tahun, Jad telah menjadi seorang pemuda tampan berusia 24 tahun. Sementara Ibrahim telah berusia 67 tahun.

Hari kematian Ibrahim pun tiba. Namun sebelum meninggal, dia telah menyiapkan kotak berisi buku yang selalu dia baca acapkali Jad berkonsultasi. Ibrahim menitipkannya kepada anak-anaknya untuk diberikan kepada Jad sebagai sebuah hadiah.

Mendengar kematian Ibrahim, Jad sangat berduka dan hatinya begitu terguncang. Karena selama ini, Ibrahim satu-satunya teman sejati bagi Jad, yang selalu memberikan solusi atas semua masalah yang dihadapinya.

Selama 17 tahun, Ibrahim selalu mempelakukan Jad dengan baik. Dia tak pernah memanggil Jad dengan "Hei Yahudi" atau "Hei kafir" bahkan Ibrahim pun tak pernah mengajak Jad kepada agama Islam.

***

Hari berlalu, setiap kali tertimpa masalah, dia selalu teringat Ibrahim. Jad pun kemudian mencoba membuka halaman buku pemberian Ibrahim. Namun, buku tersebut berbahasa arab, Jad tak bisa membacanya. Ia pun pergi menemui salah satu temannya yang berkebangsaan Tunisia. Jad meminta temannya tersebut untuk membaca dua lembar dari buku tersebut. Persis seperti apa yang biasa Ibrahim lakukan untuk Jad.

Teman Jad pun kemudian membaca dan menjelaskan arti dua lembar dari buku yang dia baca kepada Jad. Ternyata, apa yang dibaca sangat pas pada masalah yang tengah dihadapi Jad. Temannya pun memberikan solusi untuk masalah Jad.

Rasa keingin tahuannya terhadap buku itu pun tak bisa lagi dibendung. Ia pun menanyakan pada kawannnya, "Buku apakah ini?" tanyanya. Temannya pun menjawab, "Ini adalah Alquran, kitab suci umat Isam," ujarnya.

Jad tak percaya sekaligus merasa kagum. Jad pun kembali bertanya, "Bagaimana cara menjadi seorang Muslim?"

Temannya menjawab, "Dengan mengucapkan syahadat dan mengikuti syariat." Kemudian, Jad pun memeluk agama Islam.

Setelah menjadi Muslim, Jad mengubah namanya menjadi Jadullah Al-Qur'ani. Nama tersebut diambil sebagai ungkapan penghormatan kepada Al-Qur'an yang begitu istimewa dan mampu menjawab semua permasalahan hidupnya selama ini.

Sejak itu, Jad memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupya untuk menyebarkan ajaran yang ada pada Alquran.

Suatu hari, Jadullah membuka halaman Alquran pemberian Ibrahim dan menemukan sebuah lembaran. Lembaran tersebut bergambar peta dunia, ditandatangani Ibrahim dan bertuliskan ayat An-Nahl 125.

"Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik..." Jad pun kemudian yakin bahwa lembaran tersebut merupakan keinginan Ibrahim untuk dilaksanakan oleh Jad.

Jadullah pun meninggalkan Eropa dan pergi berdakwah ke negara-negara Afrika. Salah satu negara yang dikunjunginya yakni Kenya, di bagian selatan Sudan dimana mayoritas penduduk negara tersebut beragama Kristen.

Jadullah berhasil mengislamkan lebih dari enam juta orang dari suku Zolo. Jumlah ini hanya dari satu suku tersebut, belum lagi suku lain yang berhasil dia Islamkan. Subhanallah.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/12/03/29/m1mo1k-subhanallah-pria-yahudi-ini-mengislamkan-jutaan-orang

Genghis Khan dan Pelajaran Pengendalian Emosinya

Siapa yang tak kenal sosok sehebat Genghis Khan? Seorang kaisar yang mampu mempersatukan seluruh bangsa Mongolia dan memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, meliputi hampir separuh daratan bumi dari Asia hingga Eropa Timur. Tapi, tahukah Anda bahwa salah satu rahasia kehebatan seorang Genghis Khan ini adalah kemampuannya dalam mengelola emosinya.

Kejadian dalam kisah berikut ini konon menjadi "alat pengasah" kemampuan Genghis Khan yang satu itu. Inilah kisahnya:

Suatu hari Genghis Khan pergi berburu di hutan. Banyak sahabatnya yang menemaninya. Mereka menaiki kuda masing-masing, sembari membawa serta busur dan anak panah mereka. Mereka berharap bisa bersenang-senang dalam perburuan kali ini. Di salah satu pergelangan tangan sang kaisar, bertengger burung elang kesayangannya.

Pada masa itu, burung elang memang dilatih untuk berburu. Atas perintah sang pemilik, burung elang itu akan melayang terbang, dan mencari mangsa. Ketika berhasil melihat seekor rusa atau kelinci, burung elang itu akan terbang menukik ke bawah dengan gerakan cepat seperti layaknya anak panah.

Sepanjang hari Genghis Khan dan teman-teman berburunya menyusuri hutan. Namun, mereka belum juga bisa bersenang-senang seperti yang diharapkan. Menjelang gelap, mereka pun mulai bersiap-siap pulang. Genghis sudah sering melewati hutan itu, sehingga ia sangat mengenali seluk-beluk jalur di dalam hutan. Karena itulah ketika sisa rombongan lainnya mengambil jalur yang lebih pendek, Genghis Khan memilih jalur yang lebih panjang dengan memutar melewati sebuah lembah di antara dua gunung. Cuaca hari itu lembap, sehingga membuat tenggorokan sang kaisar terasa kering. Burung kesayangannya pun terbang meninggalkan sang masternya.

Sementara itu, Genghis Khan menggerakkan kudanya perlahan. Dia merasa pernah melihat sebuah mata air yang jernih di dekat jalur yang sedang dilaluinya ini. Andaikan dia bisa menemukannya sekarang! Tapi sayangnya, musim panas yang sangat terik kali ini telah mengeringkan semua ceruk gunung. Betapa gembiranya sang kaisar begitu melihat ada sedikit air yang mengalir dari celah-celah bebatuan. Ia tahu ada sebuah mata air di sebelah sana. Di musim semi, aliran air yang deras selalu mengucur di sini; tapi sekarang alirannya sangat kecil.

Sang kaisar melompat turun dari kuda. Ia mengeluarkan piala perak berukuran kecil dari tas berburunya. Dipegangnya erat-erat piala itu karena aliran air yang begitu pelan. Dengan begitu, dibutuhkan waktu yang lama untuk memenuhi piala itu. Setelah piala itu nyaris penuh, ia pun bermaksud meminumnya. Saat piala itu menyentuh bibirnya, tiba-tiba terdengar suara desing di udara. Piala itu terjatuh dari tangan sang kaisar. Seluruh airnya tumpah di tanah. Sang kaisar menengadah, ingin tahu siapa yang melakukan hal itu. Ternyata, itu ulah binatang kesayangannya.

Elang itu terbang memutar beberapa kali, lalu hinggap di antara bebatuan di dekat mata air. Sang kaisar mengambil piala itu, dan sekali lagi memeganginya untuk menampung aliran air yang mengalir pelan. Kali ini, ia tak butuh waktu lama untuk memenuhi pialanya. Ketika sudah penuh, ia mendekatkan piala itu ke mulutnya. Si Elang kembali terbang menukik dan menjatuhkan piala itu dari tangan sang kaisar.

Kali ini, marahlah sang kaisar. Dicobanya sekali untuk mengisi piala itu. Dan untuk ketiga kalinya, si Elang mencegahnya untuk meminum air di piala itu. Kemarahan sang kaisar sudah terasa di ubun-ubun. "Beraninya kau berbuat itu!" teriaknya. "Kalau saja kau ada di tanganku, akan aku remas lehermu itu!" Lalu, sang kaisar kembali mengisi pialanya. Tapi kali ini sebelum meminumnya, sang kaisar sudah menarik pedangnya. "Nah, Tuan Elang," kata sang kaisar, "ini yang terakhir kali."

Belum juga ia menyelesaikan kalimatnya, si Elang sudah menukik turun dan menjatuhkan piala dari tangan sang kaisar. Tapi kali ini sang kaisar melihat gerakannya. Dengan ayunan pedang yang cepat, sang kaisar menghunus pedangnya begitu si elang terbang melewatinya. Si Elang yang malang itu terjatuh dengan luka yang parah. Ia terlihat menderita di sisi kaki sang master. "Itulah hukumanmu," ucap Genghis Khan.

Namun ketika sedang mencari pialanya, sang kaisar melihat pialanya terjatuh di antara dua batu, yang sulit untuk diraihnya. "Aku akan minum dari mata air itu," katanya pada diri sendiri. Ia pun mulai mendaki tepian yang curam menuju mata air itu. Ternyata hal itu tidak mudah dilakukan. Semakin tinggi ia mendaki, semakin ia merasa haus. Tapi akhirnya ia bisa tiba di tujuan. Di sana memang ada sekolam penuh air. Tapi, apa gerangan yang terbaring di dalam kolam, dan memenuhi kolam itu? Ternyata itu adalah bangkai ular berukuran raksasa, jenis ular yang sangat berbisa. Seketika, sang kaisar berdiri terpaku. Ia lupa akan dahaganya. Yang dipikirkannya hanya burung malang yang terbaring di tanah tadi.

"Si Elang telah menyelamatkan nyawaku!" serunya. "Dan, bagaimana aku membalas budinya? Dia sahabat karibku, dan aku malah membunuhnya." Sang kaisar merangkak menuruni tepian mata air. Dengan perlahan, diambilnya si Elang itu dan dimasukkannya ke dalam tas berburunya. Lalu, ia menaiki kudanya dan berkuda dengan cepat menuju rumah.

Sang kaisar berkata pada dirinya sendiri, "Hari ini aku sudah mendapat pelajaran menyedihkan tapi sangat berharga. Ternyata, memang tindakan yang diambil saat dalam keadaan marah itu berakibat fatal."

Dari kisah Genghis Khan di atas, kita bisa mengambil hikmah: jangan pernah mengambil suatu tindakan atau keputusan dalam keadaan marah, yang nantinya akan kita sesali. Jika amarah datang menyerang, berusahalah untuk mengontrol dan meredakannya. Pikirkan akibatnya. Kita perlu mempertimbangkan tindakan kita dan akibat-akibatnya. Kalau kita mampu mengendalikan kemarahan kita yang sekejap saja, kita bisa terbebas dari rasa penyesalan yang berlangsung berhari-hari.

Bagikan ke teman Anda, Share & Be Happy!

http://m.andriewongso.com/artikel/aw_corner/5099/Anger_Management_By_Genghis_Khan/

Tuesday, March 27, 2012

Inilah Orang-orang yang Dihinakan Allah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT bila mencintai hamba-Nya memanggil Jibril seraya berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia.’” Rasulullah bersabda, “Maka, Jibril pun mencintai si fulan.” Lalu, Jibril menyeru semua penduduk langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan.” Nabi bersabda, “Maka, si fulan dicintai penduduk langit dan dia pun diterima oleh penduduk bumi.”

Jika Allah membenci seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman, “Sesungguhnya Aku membenci si fulan, maka bencilah dia sehingga Jibril pun membencinya.” Rasulullah bersabda, “Lalu, Jibril menyeru penduduk langit, ‘Sesungguhnya Allah membenci si fulan, maka bencilah dia.’” Penduduk langit pun membenci si fulan, kemudian dia pun dibenci penduduk bumi. (HR Bukhari dan Muslim).

Orang yang sengsara adalah yang dihinakan Allah sehingga penduduk bumi pun akan membicarakan orang tersebut dengan kejelekan dan cercaan. “Dan barang siapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS al-Hajj 18).

Rasulullah SAW sering berdoa agar tidak dihinakan Allah, “Ya Allah berilah tambahan kebaikan dan jangan Engkau kurangi, muliakan kami, dan jangan Engkau hinakan. Berilah anugerah kepada kami dan jangan kaucegah. Prioritaskan kami dan jangan ditinggalkan. Ridailah kami dan berikan keridaan kepada kami.” (HR Achmad dan Turmudzi).

Di antara bentuk kehinaan yang ditimpakan Allah di dunia adalah kehinaan hidup, ditimpakan kekalahan dalam persaingan, dan disesatkan dari jalan Allah. Sedangkan, kehinaan pada hari kiamat adalah ditutup matanya dari melihat Allah (QS Hud 105-107/al-Muthaffifiin 14-17).

Di antara orang-orang yang dihinakan, pertama, pelaku kemaksiatan (QS Ghofir 82). Al- Mu’tamir bin Sulaiman berkata, “Sesungguhnya seseorang yang melakukan dosa secara rahasia, maka pada pagi harinya akan ditimpakan kehinaan.” (Raudlatul Muhibbin, karya Ibnul Qoyyim, hlm 441).

Kedua, orang yang menentang ajaran Islam (QS az-Zumar 55-61 dan al-An’am 125). Umar RA berkata, “Kita dimuliakan Allah dengan Islam dan barang siapa yang mencari kemuliaan dengan selain Islam, maka dia akan dihinakan.” (Ibnu Abdil Birr dalam kitab Al-Mujalasah wa Jawahiril Ilmi, juz II, hlm 273).

Ketiga, menolak kebenaran karena kesombongan (QS Shad 12-15, al-Haqqah 4-8). Hasan Bisri mengatakan, ada tiga macam manusia, yakni mukmin, munafik, dan kafir. Mukmin adalah orang yang menaati perintah Allah, kafir adalah yang dihinakan Allah, dan munafik adalah mereka yang tidak mengenal Allah, tapi dikenal keingkarannya dengan perbuatan-perbuatan jahat dan menampakkan kejauhan dirinya dari Allah (Al-Firyabi dalam kitab Shifatul Munafiq, hlm 61).

Keempat, sombong di hadapan makhluk (QS al-Qashash 83). Kelima, orang zalim (QS al-A’raf 165-166 , Yunus 13-14). Keenam, penghamba harta dan kedudukan (QS al-An’am 44). Rasulullah bersabda, “Celakalah penghamba dinar dan dirham.” (HR Bukhari).

Oleh: Prof Dr Achmad Satori Ismail
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/03/26/m1hw3i-inilah-orangorang-yang-dihinakan-allah

Monday, March 26, 2012

Kesombongan Iblis

"Ana khairun minhu, saya lebih baik dari dia." Itulah kalimat iblis ketika Tuhan menanyakan alasan mengapa ia tidak mau melaksanakan perintah, sujud kepada Adam. Iblis menambahkan, “Khalaqtani min nar wa khalaqtahu min tin, Engkau menciptakan aku dari api dan menciptakan dia (hanya) dari tanah." (QS al-A’raf 12). Itulah kesombongan iblis, merasa diri lebih mulia karena asal kejadian.

Kesombongan iblis rupanya adalah sebuah penyakit yang juga bisa menular kepada manusia. Bahkan, iblis secara aktif menularkannya kepada anak cucu Adam. Pernyataan dan sikap ana khairun minhu sekarang bahkan lebih banyak digunakan oleh manusia.

Jika iblis merasa diri lebih baik karena asal penciptaannya, manusia juga tertular kesombongan karena keturunan seperti itu. Itu sebabnya Nabi Muhammad SAW mengingatkan kita dengan sabda beliau, “Semua kalian berasal dari Adam dan Adam (diciptakan) dari tanah. Tidak ada kelebihan orang Arab dari yang bukan Arab, kecuali karena takwa.”

Sabda Nabi tersebut hendak menyadarkan kita agar tidak menjadi angkuh karena keturunan. Kemuliaan hanya bisa dicapai dengan takwa. “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS al-Hujurat:13).

Lebih mencengangkan lagi, ternyata manusia mengembangkan prinsip ana khairun minhu hampir dalam semua lapangan kehidupan. Dengan prinsip itu, manusia kemudian saling bersaing tidak sehat, lalu saling membenci, saling bermusuhan, saling menjatuhkan, bahkan ada yang sampai saling membunuh.

Ketika manusia memperebutkan sebuah jabatan, misalnya, masing-masing menggunakan jurus ana khairun minhu itu. Berbagai teknik digunakan untuk memengaruhi opini orang bahwa dialah yang lebih baik. Oleh karena itu, dia lebih layak untuk dipilih. Baliho, spanduk, brosur, stiker, iklan, dan berbagai macam teknik komunikasi massa digunakan untuk menyatakan ana khairun minhu, saya lebih baik dari dia.

Sebenarnya, untuk meraih prestasi, manusia boleh saja, bahkan dianjurkan untuk menjadi yang terbaik, menjadi the best. Manusia harus menunjukkan prestasi terbaik atau produk kerja terbaik. Tapi, berusaha menjadi yang terbaik tidak sama dengan merasa yang paling baik. Yang pertama adalah sebuah upaya positif, yang kedua adalah sebuah kesombongan.

Lebih berbahaya lagi ketika kesombongan ana khairun minhu itu digunakan oleh seorang penguasa. Ia tidak akan suka dikritik. Ia selalu ingin dipuja-puja. Ia memfasilitasi hidupnya dengan berbagai kemewahan. Ia tidak mau melihat ada orang lain yang lebih unggul yang bisa menggantikan kedudukannya. Ia lalu menggunakan berbagai cara dan muslihat untuk mempertahankan

Demikian sedikit gambaran betapa kesombongan iblis telah merasuki manusia sehingga menggerus nilai-nilai kemanusiaan. Dampak negatifnya bisa semakin meluas dan merusak jika tidak segera disadari. Karena itu, kita harus sadar dan menyelamatkan diri dari proses dehumanisasi akibat penyakit iblis tersebut. Wallahu a’lam

Oleh: Dr Ir Fuad Rumi MS
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/03/20/m1663t-kesombongan-iblis

Wednesday, March 21, 2012

Ki Ageng Pandanarang dan Berdirinya Kota Semarang

Ia menjadi penyebar agama Islam di kota Semarang, sekaligus sebagai bupati pertama. Namanya dikenal sebagai cikal-bakal kota Semarang

Kalau berada di Bukit Mugas, akan Anda lihat Kota Semarang bawah terhampar luas hingga ke laut Jawa, di tempat yang tinggi inilah Ki Ageng Pandanarang (kadang dilafalkan Pandanaran), bupati pertama Semarang dimakamkan. Meski sudah meninggal seakan-akan beliau masih ingin mengawasi kota Semarang yang telah didirikannya sejak awal abad ke 16.

Makam wali yang terletak di tengah kota ini sering diziarahi para birokrat, pedagang, serta santri dan kiai di sekitar Semarang. Malah setiap menjelang ulang tahun kota Semarang, pada 2 Mei, hampir semua pejabat kota Semarang, dari Walikota hingga Lurah berziarah ke makamnya, di lanjutkan ke makam Sunan Tembayat, anak Ki Ageng Pandanarang di Klaten. Sunan Tembayat dikenal sebagai Ki Ageng Pandanarang II, sekaligus sebagai Bupati Semarang kedua.

Asem Arang

Menurut buku Ki Ageng Pandanarang, Pendiri Kota Semarang, karya H. Sukardiyono, BA, juru kunci makam, Bukit Mugas dulu dikenal sebagai Pulau Tirang, sebab kala itu Kota Semarang bawah masih berupa lautan, dan Mugas termasuk pantai laut Jawa. Karena tempatnya agak tinggi dan menjorok ke laut, disebut Pulau Tirang atau Tirang Ngampar.

Di kawasan itu sebelum Ki Ageng Pandanarang datang, sudah ada beberapa Ajar, Pendeta Hindu, seperti Ajar Pragota yang berdiam di tanah pemakaman Bergota sekarang. Menurut serat Kandaning Ringgit Purwa Naskah kbg Nr 7, setelah menetap di Tirang Ampar, Ki Pandanarang berhasil mengislamkan sejumlah penduduk yang bertempat tinggal di sana. Berapa jumlahnya tidak disebutkan, mereka menjadi santri-santrinya. Malah di antara Endang, sebutan murid wanita dalam sekolah agama Hindu, yang bernama Sejanila bersedia masuk Islam dan kemudian menjadi istrinya.

Karena muridnya semakin banyak, Ki Ageng Pandanarang memindahkan pesantrennya ke daerah Pengisikan, dekat pantai yang landai, yang sekarang disebut Bubakan. Bubak, artinya membuka sebidang tanah yang dijadikan tempat kediaman. Selain banyak ikannya, daerah sekitar pantai itu juga dijadikan lahan pertanian dan perkebunan.

Di pemukiman baru itulah, Ki Ageng Pandanarang mendirikan masjid, komplek pesantren, pasar serta lahan pertanian. Karena diakui sebagai cikal-bakal tempat tersebut, beliau diberi gelar “Jurunata”. Gelar ini sekaligus jabatan yang bobotnya setingkat dengan Bupati sekarang. Di sebelah Bubakan ada kampung bernama Jumatan, di sinilah letak persis kediamannya, tempat Jurunata.

Kabupaten Semarang di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Ini terjadi karena Ki Ageng Pandanarang ada hubungan keluarga dengan Kerajaan Demak. Konon, Ki Ageng Pandanarang sendiri datang ke Semarang karena diutus Raden Patah untuk menyiarkan Islam.

Sebetulnya Islam sudah berkembang di Semarang sejak Laksamana Cheng Ho mendarat di pantai Simongan Semarang tahun 1405 M, namun seabad kemudian, Kiai dan masyarakat yang dibina Cheng Ho sudah meninggal dunia, banyak penduduk yang kembali beragama Hindu. Untuk itulah Ki Ageng Pandanarang diutus ke Semarang untuk membina lagi masyarakat Islam yang telah berganti kepercayaannya.

Sementara nama kota Semarang berasal dari ujarannya. Ketika di Bubakan, ia melihat lahan yang jarang terdapat pohon Asam, berbeda dengan tempatnya dulu di Pulau Tirang, yang bergunung, sehingga pohon Asam tumbuh subur. Oleh masyarakat kemudian tempat tersebut dinamakan Semarang, kependekan dari Asem Arang (pohon Asem yang jarang).

Menurut buku 'Ki Ageng Pandanarang, Pendiri Kota Semarang', Ki Ageng adalah cucu Pangeran Sabrang Lor, anak tertua Raden Patah. Raja Demak pertama itu mempunyai putra tertua yang berdiam di sebelah utara sungai yang mengalir di Demak, dan oleh karena itu dia di beri nama Pangeran Sabrang Lor.

Pangeran Sabrang Lor mati muda dan memiliki anak yang bernama Pangeran Madiyo Pandan. Ia lebih senang hidup sebagai Sufi, di masa tuanya kemudian pindah ke Pulau Tirang. Anaknya yang bernama Kanjeng Pangeran Mande Pandan yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Pandanarang, meneruskan perjuangan ayahnya membina masyarakat Islam disekitar pulau itu, sebagaimana diceritakan diatas.

Kisah lain, keluarga Pangeran Madiyo Pandan memang ditugasi menyebarkan agama Islam di daerah Semarang. Namun karena usianya sudah tua, tugas itu diteruskan anaknya, Ki Ageng Pandanarang, hingga berdiri Kabupaten Semarang.

***

Kapan Ki Ageng Pandanarang hidup? Sampai sekarang tidak ada catatan yang pasti. Ada beberapa tanggal yang menjadi perkiraan. Kota Semarang menetapkan hari lahirnya pada 2 Mei 1547 M. ini adalah tanggal dikukuhkannya Ki Ageng Pandanarang II alias Sunan Tembayat sebagai Bupati Semarang II.

Jadi, bisa diperkirakan, Ki Ageng dilahirkan sekitar 50 tahun sebelum tahun 1547. Beliau dimakamkan di Bukit Mugas. Atau sekarang beralamatkan di jalan Mugas Dalam II/4 Semarang, bersebelahan dengan Gedung SMP negeri 10 Semarang. Peninggalan yang ada , antara lain komplek makam, masjid dan bangunan yang dulu pernah digunakan sebagai peantren Pandanarang.

http://www.sufiz.com/jejak-wali/ki-ageng-pandanarang.html

Tuesday, March 20, 2012

Jangan Malu Hidup Sederhana

Kemarin, secara tak sengaja saya menonton acara “Mamah Dedeh on the street” dan dengan tema yang cukup menarik perhatian saya yaitu Jangan malu hidup sederhana. Mungkin terdengar tak bermakna apa-apa atau bahkan hanya menjadi lalu lalang bagi yang tak memperhatikannya. Tapi sesungguhnya makna kalimat tersebut sangatlah dalam.

Kalimat itu mengingatkan saya akan kesederhanaan yang teramat sangat yang dialami oleh Junjungan kita Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalaam.

Dalam suatu kisah Rasulullah :

Suatu hari ‘Umar bin Khaththab RA menemui Nabi saw. di kamar beliau, lalu ‘Umar mendapati beliau tengah berbaring di atas sebuah tikar usang yang pinggirnya telah digerogoti oleh kemiskinan (lapuk).

Tikar membekas di belikat beliau, bantal yang keras membekas di bawah kepala beliau, dan kulit samakan membekas di kepala beliau.

Di salah satu sudut kamar itu terdapat gandum sekitar satu gantang. Di bawah dinding terdapat qarzh (semacam tumbuhan untuk menyamak kulit).

Maka, air mata ‘Umar bin Khaththab RA meleleh dan ia tidak kuasa menahan tangis karena iba dengan kondisi Nabi saw..

Lalu Nabi saw. bertanya sambil melihat air mata ‘Umar RA yang berjatuhan, “Apa yang membuatmu menangis, Ibnu Khaththab?”

‘Umar RA menjawab dengan kata-kata yang bercampur-aduk dengan air mata dan perasaannya yang terbakar, “Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis, sedangkan tikar ini membekas di belikat Anda, sedangkan aku tidak melihat apa-apa di lemari Anda? Kisra dan kaisar duduk di atas tilam dari emas dan kasur dari beludru dan sutera, dan dikelilingi buah-buahan dan sungai-sungai, sementara Anda adalah Nabi dan manusia pilihan Allah!”

Lalu Nabi saw. menjawab dengan senyum tersungging di bibir beliau, “Wahai Ibnu Khaththab, kebaikan mereka dipercepat datangnya, dan kebaikan itu pasti terputus. Sementara kita adalah kaum yang kebaikannya ditunda hingga hari akhir. Tidakkah engkau rela jika akhirat untuk kita dan dunia untuk mereka?”

‘Umar menjawab, “Aku rela.” (HR. Hakim, Ibnu Hibban dan Ahmad)

Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, sebaiknya Anda memakai tikar yang lebih lembut dari tikar ini.”

Lalu, Nabi saw. menjawab dengan khusyuk dan merendah diri, “Apa urusanku dengan dunia? Perumpamaan diriku dengan dunia itu tidak lain seperti orang yang berkendara di suatu hari di musim panas, lalu ia berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian ia pergi dan meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi)

******

Jika kehidupan tauladan kita saja sangat sederhana, bahkan jauh di bawah kita, mengapa kita yang masih dapat memikirkan makanan apa yang akan di makan besok lalu mengeluh mengenai kekurangan secara materi yang terkadang tak beralasan. Karena kata Rasulullah pun kebaikan sejati untuk umat muslim di tunda atau bukan di dunia melainkan di akhirat kelak. Karena Allah Maha Mengetahui, bahwa dunia adalah persinggahan. Jadi tak perlu menggadaikan akhirat yang lebih kekal dengan kebaikan yang berlimpah yang telah Allah persiapkan bagi orang beriman dengan kemewahan dunia yang hanya sementara.

Jauh berbeda apa yang saya lihat di zaman ini, pemimpin (yang notabene adalah wakil rakyat) justru mendapat fasilitas yang sangat mewah. Terlebih lagi dengan apa yang di dapat, mereka tak pernah merasa cukup. Bahkan terus menerus berusaha memperkaya diri dengan berbagai cara. Berbeda dengan rakyat yang mereka pimpin, begitu menderita. Bahkan tembok harta telah membuat batas yang tak bisa di bendung saking tebalnya. Sangat berbeda dengan pemimpin kita Rasulullah Muhammad Shallahu’alaihi wassalaam.

Salah satu penyebab mengapa banyaknya ketimpangan sosial yang terjadi adalah sifat malu yang teramat sangat. Memang benar malu adalah sebagian daripada iman. Tapi malu yang bagaimana? Jikalau malu untuk berbuat maksiat kepada Allah itu bisa di sebut malu yang merupakan sebagian daripada iman. Tapi malu yang tidak diperbolehkan yaitu malu untuk hidup sederhana. Mengapa ?? karena bisa saja dengan bersikap sederhana meskipun Allah menganugerahkan harta yang berlimpah dapat mengurangi kesenjangan sosial. Misalnya, tak ada lagi ajang pamer kemewahan di jalan raya dengan berlomba mengendarai transportasi yang canggih, pakaian-pakaian mewah dengan perhiasan mentereng atau telepon genggam mahal yang berseliweran di jalan yang mampu mengundang para penjambret dadakan (karena terkadang mereka para penjambret bukan sengaja melakukan kejahatan tapi terpaksa karena terdorong ekonomi yang sulit) untuk beraksi. Karena sederhana bukan berarti hina. Dengan kesederhanaan kita mampu merasakan apa yang terjadi pada orang-orang yang kurang beruntung di banding kita. Selain itu akan melatih hati kita untuk peka akan keadaan sekitar. Sesungguhnya ujian bukan hanya melalui kesulitan tapi juga bisa melalui harta berlimpah. Jika tak pandai kita mengelolanya maka bencana yang akan di dapat.

Karena Allah hanya melihat seseorang dari ketaqwaannya dan bukan dari melimpahnya harta yang di miliki. Orang yang sebenarnya kaya adalah orang yang sederhana namun memiliki sifat mulia. Bahkan harta tak mampu membuatnya berpaling dari Allah.

Allahua’lam.

Oleh: Kiptiah Hasan
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/01/17387/jangan-malu-hidup-sederhana/#ixzz1pcdrJUk5

Monday, March 19, 2012

Abdul Aziz Laia: Bersyahadat karena Kitab Suci Islam Memiliki Surah Maryam

Saat remaja, seorang guru berkerudung membuatnya kagum. Beranjak dewasa, hatinya terketuk oleh materi khutbah Jumat serta kumandang tilawah Alquran yang didengarnya setiap menjelang Maghrib. Kini, pria bernama Abdul Aziz Laia itu telah menghafal tiga setengah juz Alquran.

Abdul Aziz berislam sembilan tahun lalu, setelah beberapa tahun lamanya kebenaran Islam menyusup ke dalam sanubarinya. Islam, katanya, menjawab berbagai pertanyaan dan ketidakpastian dalam agamanya. “Tak ada alasan untuk keluar dari agama Allah ini,” kata pria bernama asli Lianus Laia ini.

***

Abdul Aziz. Demikian nama yang dipilihnya setelah ia memutuskan mengucap syahadat pada Januari 2002 silam. 'Laia' nama marga yang tak ingin ditanggalkannya, ia sematkan di belakang nama barunya itu. Dilahirkan dan dibesarkan di tengah keluarga Kristiani, Aziz tak pernah mengenal Islam. Terlebih di Nias Selatan, kota kelahirannya, umat Islam adalah masyarakat minoritas.

“Yang kuingat, dulu aku dan teman-teman kerap merobek gambar apapun yang disebut-sebut sebagai gambarnya orang Islam. Tapi aku sendiri tak tahu apa itu Islam,” ujar Abdul Aziz kepada Republika yang menemuinya di kampus LIPIA, Jakarta Selatan, Kamis (15/3) lalu.

Satu hal yang ia tahu tentang Muslim kala itu; mereka berbeda. Perbedaan itu ditemukannya dalam diri salah seorang guru perempuan di sekolahnya. “Aku masih ingat, dulu aku sering mengamati pakaiannya. Ia mengenakan kerudung dan rok panjang yang menutupi kakinya, tidak seperti pakaian guru-guru perempuan lain di sekolahku.”

Tak hanya itu, Aziz kagum pada bagaimana sang ibu guru berperilaku dan bertutur kata. “Akhlaknya mencerminkan kebaikan budi pekerti. Jika semua Muslim seperti itu, saya yakin akan banyak sekali orang yang tertarik pada Islam,” kata Abdul Aziz, masih dengan nada kagum.

***

Semua hanya sebatas kekaguman, hingga akhirnya Abdul Aziz menamatkan sekolah menengah pertamanya dan melanjutkan studinya ke sebuah sekolah kejuruan di Medan. Di kota itulah segalanya berawal. Aziz bekerja sebagai fotografer pada sebuah keluarga Muslim dan tinggal bersama mereka di rumah yang berdekatan dengan masjid.

Setiap hari, selama tiga tahun, Aziz mendengar rekaman tartil Alquran lengkap dengan terjemahannya dikumandangkan setiap menjelang Maghrib. Al-Anbiyaa’ dan Maryam adalah dua surah yang paling sering diputar kala itu. “Aku sangat terheran-heran kala itu. Nabi-nabi yang disebutkan dalam Alquran sama persis dengan nabi-nabi yang pernah kami (umat Kristiani) pelajari,” kata Aziz.

Berangkat dari situ, perhatian Aziz pada Islam muncul secara perlahan. Khutbah yang didengarnya setiap hari Jumat melengkapi perhatiannya dan mengubahnya menjadi keingintahuan. “Aku semakin ingin tahu lebih banyak hal tentang Islam. Dan secara perlahan pula, aku semakin jarang pergi ke gereja.”

Tak hanya itu, Aziz merasa ada yang mengetuk-ngetuk hatinya kala melihat para jamaah masjid berwudlu. “Itu seperti baptis dalam ajaran kami. Aku merasa Islam dekat dengan berbagai hal yang pernah kuketahui sebelumnya tentang agamaku.” Meski belum resmi berislam, keingintahuan yang bertambah besar setelah itu membuat Aziz memilih menjadi remaja masjid. Sesekali, ia bahkan ikut mengerjakan amalan-amalan Muslim.

***

Lulus dari sekolah kejuruan, pria kelahiran 25 Oktober 1980 ini lalu merantau ke Riau dan bekerja di sana. Dua tahun pertama di sana, katanya, ia semakin giat mendalami Islam. “Aku mulai membandingkan antara Islam dan Kristen,” katanya.

Pada waktu yang sama, Aziz mulai meragukan dogma-dogma agamanya. Seperti dogma yang mengatakan bahwa dosa-dosa umat Kristiani dihapuskan pada Natal dan tahun baru. “Ketika yang kulihat justru bahwa banyak dari kami merayakan Natal sambil mabuk-mabukan, jaminan pengampunan dosa itu mustahil,” ujarnya.

Hingga akhirnya, ia memilih salah seorang kawannya yang juga seorang penggiat masjid untuk menjawab pertanyaannya. Setelah sempat tidak mampu memejamkan mata pada malam sebelumnya, Aziz melontarkan tiga pertanyaan pada kawannya itu. “Aku bertanya tentang siapa Muhammad, bagaimana posisi Isa dan Maryam dalam Islam, dan mengapa babi haram dimakan.”

Dari uraian sang kawan, Aziz mengetahui bahwa perihal Nabi Muhammad juga disebutkan di dalam Injil, dan larangan memakan daging babi disebutkan dalam Alquran. Dan ia semakin takjub saat mengetahui bahwa Islam memiliki surah bernama Maryam, sementara agamanya tidak.

Tak ada lagi keraguan dalam hati Aziz untuk membantah kebenaran Islam saat itu. Tak ingin menunda, Aziz meminta diislamkan saat itu juga, dua minggu setelah ia merayakan Natal. Meski tak disaksikan siapapun selain Allah dan kawannya, Lianus Laia pun resmi berhijrah dengan nama Abdul Aziz Laia.

***

Pasca berislam, Aziz semakin menunjukkan perannya sebagai remaja masjid. Ia dipercaya sebagai ketua, diundang berbicara di berbagai masjid, dan menjadi penggagas pengajian khusus mualaf di Kecamatan Tualang Perawang, Siak, Riau. Selain itu, Aziz juga belajar membaca Alquran pada sang marbot yang mengislamkannya.

Hanya saja, Aziz merasa, ia tak banyak belajar banyak tentang Islam kala itu. Bahkan, ia malu karena tak juga mampu membaca Alquran. “Tak ada yang membimbingku mendalami agama. Namun di tengah kondisi itu, aku tak pernah absen untuk shalat berjamaah di masjid.”

Hingga akhirnya, ia bertemu seorang ustadz yang menyarankan Aziz untuk menimba ilmu agama di Jawa. Di luar dugaan, masyarakat Tualang Perawang mendukung dan bergotong royong menyiapkan biaya keberangkatannya. “Saya bertolak dari Riau dengan membawa uang sebesar 13 juta yang dikumpulkan oleh masyarakat. Subhanallah.”

Di Jawa, Aziz mula-mula menimba ilmu selama tiga bulan di sebuah pesantren di Pandeglang, kemudian setahun di Tasikmalaya. Dari kedua pesantren tersebut, Aziz merasa kebutuhannya sebagai mualaf tidak terpenuhi, dikarenakan tidak ada sistem pembimbingan khusus bagi mualaf seorang seperti dirinya.

Kondisi itu semakin parah karena Aziz mulai kehabisan bekal sehingga harus bekerja. Ia bekerja di klink pesantren dan hanya diperbolehkan ikut belajar bersama para siswa Aliyah setelah tugas-tugasnya selesai. Itupun tanpa terlibat aktif dan menerima rapor karena ia tak mampu membayar SPP. “Di kelas, aku hanya jadi pendengar.”

Solusi datang dari Allah saat ia bertemu seorang teman yang kemudian mengenalkannya pada seorang teman lain dari Medan. Dari teman yang terakhir, Aziz bertemu seorang mualaf yang mengelola pesantren khusus mualaf An-Naba’ Center, Syamsul Arifin Nababan.

***

Ustaz Nababan, demikian Aziz memanggilnya, mengizinkannya untuk tinggal di An-Naba’ Center dan mempelajari Islam tanpa dibebani kewajiban finansial. “Di sanalah aku mulai belajar Alquran secara intensif dan kemudian mulai menghafalnya.”

Atas perjuangan sang ustadz pula, Aziz dapat berkuliah di LIPIA. Di samping itu, semangat dakwah yang tinggi dalam dirinya mendorongnya untuk mendalami ilmu dakwah di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Dirosat Islamiyah Al-Hikmah, Jakarta Selatan. Selain berkuliah, pria yang bercita-cita menjadi dai ini juga sibuk berdakwah di berbagai tempat.

Mengenai keislamannya, Aziz mengaku puas dan tenang. “Subhanallah, kehidupan menjadi sangat indah dengan Islam.” Keindahan itu, katanya, tidak akan ia gadaikan dengan apapun. “Diiming-imingi apapun, dan diancam dengan apapun, aku tidak akan meninggalkan agama ini. Jiwa ragaku untuk Islam,” tegasnya.

Tentang cita-citanya, Aziz mengaku akan terus mempersiapkan diri untuk itu. Sulung dari tujuh bersaudara ini bertekad untuk terus menuntut ilmu hingga menjadi seorang yang ‘mumpuni’ di bidang agama. “Setelah lulus S2, aku akan kembali ke Nias dan berdakwah di sana.”

Oleh: Devi Anggraini Oktavika
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/12/03/18/m12bd2-abdul-aziz-laia-bersyahadat-karena-kitab-suci-islam-memiliki-surah-maryam

Thursday, March 15, 2012

Filosofi Botol Kecap

Dikisahkan ada seorang pengusaha kaya yang tampak bahagia. Uang bukan masalah baginya. Usahanya maju, dia jarang rugi, hampir semua bisnisnya mendatangkan keuntungan berlipat. Seakan-akan, uang itu mengejar-ngejar dirinya.

Dia pun memiliki istri yang cantik, anak-anak yang sehat dan lucu. Akan tetapi, di balik kesuksesannya itu ada banyak perilaku buruk yang dia lakukan. Pengusaha ini gemar melakukan maksiat.

Karena berkantong tebal, dia dengan mudah bisa bergonta-ganti pasangan alias main perempuan, melakukan kecurangan dalam bisnis, mengonsumsi makanan dan minuman haram, dan beragam kemaksiatan lainnya.

Sampai suatu ketika, dia mengalami sebuah peristiwa yang mengubah hidupnya. Anaknya yang berusia tiga tahun meninggal dunia karena kecelakaan yang disebabkan keteledoran dirinya. Peristiwa itu membawa perubahan dalam dirinya.

Dia bertobat dan bertekad untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang biasa dia lakukan. Dia pun mulai belajar melakukan shalat, pergi ke masjid, melaksanakan puasa Ramadhan, dan sebagainya.

Di tengah upaya perbaikan diri itulah, krisis moneter yang menghantam pada tahun 1998 telah membawa perubahan drastis dalam bisnisnya. Perlahan, tetapi pasti, dia mengalami kebangkrutan. Satu per satu perusahaan miliknya gulung tikar dan berpindah tangan.

Utangnya membengkak sehingga tabungan dan depositonya di bank serta properti dan kendaraannya habis untuk menutupi utang-utangnya itu. Jika sebelumnya kata "gagal" dan "rugi" seakan menjauh darinya, sekarang kedua kata itu seakan lekat dengannya.

Jika sebelumnya gelimang rupiah demikian mudah dia dapatkan, sekarang uang recehan pun seakan enggan mendekat kepadanya. Telah berkali-kali, dia mencoba bangkit, merintis kembali bisnisnya, tetapi berkali-kali pula dia gagal. Tumpukan emosi negatif seakan tumpah ruah di otaknya.

Dalam kesulitan hidup yang mengimpit tersebut, dia mempertanyakan keadilan Tuhan. Saat tenggelam dalam kemaksiatan, begitu mudahnya rezeki didapat, tetapi setelah meninggalkan kemaksiatan, rezeki pun ikut meninggalkan dirinya.

"Apakah ada yang salah? Ke mana doa-doa yang selama ini dia panjatkan? Apakah Tuhan tidak mendengar atau tidak sudi mengabulkan doaku? Bukankah Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang serta akan mengabulkan doa-doa dari setiap hamba-Nya?"

Begitu keluhnya. Memang, di tengah kesulitan itu, kuantitas ibadah semakin berlipat-lipat. Namun, itu semua seakan belum cukup untuk mengembalikannya pada "kehidupan normal".

Berkali-kali, dia mendatangi ustaz dan kiai untuk meminta doa dan nasihat. Saat diberi doa atau amalan tertentu, dia akan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Namun, lagi-lagi semuanya berakhir dengan kekecewaan. Dia pun mulai meragukan para kiai dan ustaz tersebut yang katanya hanya pandai berteori. Mana buktinya?

Di ambang keputusasaan, pertolongan Allah pun datang melalui salah seorang kenalannya. Dia adalah seorang dosen agama di sebuah perguruan tinggi ternama. Dosen itu tidak membawakannya uang, menawarkan kerja sama bisnis, atau hal lain yang bersifat materi.

Namun, dia membawa nasihat yang mampu mengubah paradigma berpikir mantan pengusaha kaya ini. Tidak banyak dalil yang dia ungkapkan. Dia hanya memberikan analogi dan perlambang saja.

Katanya, "Seseorang tidak bisa mengisi botol penuh kecap dengan air putih, sebelum kecapnya dibuang terlebih dahulu. Baru setelah itu, kita bisa memasukkan air putih. Itu pun masih ada sisa-sisa kecap yang belum terbuang sehingga air yang kita masukkan masih akan bercampur dan berwarna hitam. Air itu harus dibuang lagi sehingga botol benar-benar bersih dari kecap. Baru setelah itu, air yang kita masukkan benar-benar bening karena tidak tercampur lagi dengan kecap. Analoginya, kecap itu adalah harta yang kita miliki dan air putih itu adalah doa dan amal ibadah yang kita lakukan. Antara maksiat dan kebaikan tidak akan mungkin bisa bersatu. Karena itu, ketika seseorang ingin menyucikan dirinya, semua kotoran yang ada dalam diri dan harta harus dibuang dan dibersihkan. Ada banyak skenario Tuhan untuk 'membersihkan' harta seseorang sehingga harta kotor yang dimilikinya benar-benar terkuras, mungkin dibangkrutkan usahanya, kena tipu, dan sebagainya. Andaipun semuanya sudah terkuras, boleh jadi masih ada kotoran yang masih tersisa dalam diri dan harta. Allah Swt. akan meinbersihkannya dengan penyakit, musibah, atau lainnya, sembari dia menahan rezeki dari orang itu. Nah, ketika dia sudah benar-benar bersih, Allah Swt. akan membukakan jalan rezeki yang halal kepadanya. Yang jadi masalah, apakah kita sabar atau tidak dalam proses pembersihan itu?"

Nasihat ini mampu menjawab pertanyaannya selama ini tentang keadilan Tuhan, tentang ijabah doa, tentang makna pertobatannya. Allah Swt. mengambil sebagian besar kekaya-annya bukan karena Allah benci, melainkan Allah amat sayang dan cinta kepada hamba-hamba-Nya yang bertobat.

Sebabnya, bagaimana mungkin mengisikan nasi dan sup yang lezat ke dalam mangkuk yang blepotan dengan kotoran. Tentu sangat bijak jika mangkuk itu dibersihkan terlebih dahulu. Begitu pula qada Allah, sebelum menuangkan limpahan rahmat dan ampunan-Nya, dia akan membersihkan orang tersebut dari jelaga kemaksiatan yang masih hinggap dalam diri dan hartanya.

Beberapa tahun berlalu, mantan pengusaha kaya ini sudah berada kembali di jalur kesuksesan bisnisnya. Walau belum sesukses dahulu, tanda-tanda ke arah itu sudah mulai terlihat di hadapannya. Ibaratnya, dia tengah mengisi botol nasibnya dengan air putih keberhasilan setelah dia menumpahkan hitamnya air kemaksiatan.

Rentetan kegagalan dalam bisnis telah membawa perubahan positif dalam diri pengusaha ini walau sebelumnya dia nyaris jatuh pada keputusasaan. Filosofi botol kecap yang disampaikan temannya telah membuka sudut pandang baru terhadap makna ujian dan makna hidup yang sebenarnya.

Dalam bahasa manajemen, pengusaha ini telah mengalami reinventing atau menemukan kembali tujuan hidupnya. Dalam Al Qur'an, ada sebuah pertanyaan, fa aina tadzhabun? Ke mana engkau hendak pergi? Satu pertanyaan yang dilontarkan kepada Nabi Ibrahim seperti tertera dalam QS At Takwir, 81: 26.

"Maka ke manakah kamu akan pergi?"

Jawabannya ada dalam QS Ash Shaffat, 37: 99, "Dan dia (Ibrahim) berkata, 'Sesungguhnya aku harus pergi (mengha-dap) kepada Tuhanku, dia akan memberi petunjuk kepadaku.'" Artinya, Nabi Ibrahim menemukan kembali Allahnya di situ.

Segera bertobat dari suatu dosa merupakan fardu yang harus segera dilakukan dan tidak boleh ditunda-tunda. Barang siapa menangguhkannya, dia telah berbuat maksiat. Jadi, jika dia bertobat dari dosa, masih ada tobat lain, yaitu tobat dari menunda-nunda tobat. (Ibnul Qayyim Al Jauziyah)

http://ceritainspirasimuslim.blogspot.com/2011/07/filosofi-botol-kecap.html

Wednesday, March 14, 2012

Antara Yusuf Derbeshyre, Hamza, dan Safiyya

Kisah Yusuf Derbeshyre menjadi seorang muslim boleh dibilang unik. Ia secara tak sengaja menemukan buku biografi tentan Nabi Muhammad Saw. lalu tertarik untuk membaca isinya dan kemudian memutuskan untuk menjadi seorang muslim.

Derbeshyre mengungkapkan, sebelum menjadi seorang muslim, ia seperti pemuda Inggris pada umumnya, yang suka menghabiskan malam Minggu dengan minum-minum--minuman beralkohol tentunya--dan melakukan kegiatan sejenis hanya untuk bersenang-senang.

Kehidupan Derbeshyre berubah sekira lima tahun yang lalu, ketika ia pergi berlibur ke Yunani. Saat tiba di bandara, ia langsung masuk ke sebuah toko buku untuk mencari buku-buku yang akan dibacanya selama liburan nanti.

"Duduk di pinggir kolam renang, berjemur sambil membaca buku, saya tidak perlu bawa buku banyak-banyak!" pikirnya saat itu.

Derbeshyre mencoba mengingat nama toko buku yang ia masuki di bandara Yunani, kalau tidak salah nama tokonya "WHSmith". Ia tidak menemukan banyak buku, dan hanya menemukan sebuah buku yang menurutnya menarik untuk dibaca. Ia lalu mengangkat tas ranselnya ke pundak, dan ketika akan beranjak, Derbeshyre menyenggol sebuah rak buku sehingga buku-buku dalam rak itu jatuh berantakan.

Ia merasa sedikit agak canggung, namun mencoba menghilangkannya dengan segera memungut buku-buku itu dan menempatkannya kembali ke dalam rak. Saat itulah Derbeshyre menemukan sebuah buku yang ditulis oleh penulis Barat bernama Barnaby Rogerson. Judul bukunya "The Prophet Muhammad: A Biography"

"Saya membaca halaman pertama, sepertinya menarik. Saya baca halaman kedua, lalu membawa buku itu ke kasir, saya membelinya dan membacanya selama liburan.

Setelah membaca buku biografi Nabi Muhammad Saw. itu, Derbeshyre merasa ingin mempelajari lebih jauh apa yang ia baca dalam buku tersebut. Begitu pulang dari liburan, ia mendatangi sebuah masjid lokal dan mengatakan pada pengurus masjid bahwa ia belajar lebih banyak tentang Islam.

Seorang imam--yang kemudian membimbing Derbeshyre bersyahadat--kala itu mengatakan, "Baiklah, saya katakan sejujurnya pada Anda, cara terbaik untuk memahami Islam adalah dengan menjadi seorang muslim."

Tanpa berpikir dua kali, Derbeshyre langsung setuju dan saat itu juga ia mengucapkan dua kalimat syahadat di masjid itu. Ia menambahkan "Yusuf" sebagai nama islami di depan namanya. Subhanallah ...

Hamza dan Safiyya

Yusuf Derbeshyre mengungkapkan, sebagai seorang mualaf, ia merasa memiliki ikatan kuat dengan salah seorang tokoh sahabat Rasulullah Saw. bernama Hamzah, dan sahabat-sahabat Rasulullah Saw. lainnya yang juga mualaf.

Menurut Derbeshyre perasaan keterikatan saya dengan Hamza, karena latar belakang kehidupan Hamza sebelum menjadi muslim; ia menjalani kehidupan yang keras dan suka minum minuman keras, hampir mirip dengan kehidupan Derbeshyre sebelum memeluk Islam.

"Maka, ketika saya menunaikan ibadah haji, saya berkunjung ke kawasan Gunung Uhud dimana Hamza gugur dalam peperangan. Saya turun dari bis, menuju ke pemakaman. Saya berjalan dan seperti merasakan suasana yang sangat tenang. Perasaan saya membuncah, dan air mata tiba-tiba menetes begitu saja di wajah saya. Saya tak bisa berhenti menangis, saya tidak tahu mengapa," tutur Derbeshyre mengungkapkan pengalamannya.

Ia menyempatkan diri berdoa untuk para syuhada dan Hamza sebelum kembali ke bis. Enggan rasanya Derbeshyre meninggalkan tempat itu, dan ketika ia melewati kembali area pemakaman, ia menangis lagi. Seseorang yang melihatnya menangis bertanya, "Ada apa?".

Dengan bantuan seorang penerjemah, Derbeshyre mengatakan pada orang yang bertanya padanya, "Ketika Nabi kita melihat apa yang terjadi dengan pamannya, beliau menangis, hanya menangis dan menangis. Mungkin beliau meninggalkan sesuatu di sana untuk orang-orang yang ingin menemukannya. Dan saya merasakan itu di sini, di dalam dada saya, untuk Hamza dan ini membuat perasaan saya sangat tersentuh."

Sepulang dari ibadah haji, Derbeshyre mengatakan pada istrinya yang ketika itu sedang hamil, "Jika anak kita laki-laki, saya ingin menamakannya Hamza". Tapi ternyata, ia dianugerahi anak perempuan. Derbeshyre berusaha mencari informasi lewat internet apakah ada kerabat Hamza yang perempuan, namun ia tidak menemukannya.

Istrinya lalu menyarankan suaminya untuk bertanya pada ibunya. Beberapa hari kemudian, ibu Derbeshyre memberitahukan bahwa ia menemukan tiga nama perempuan yang berkaitan dengan Hamza. Salah satu nama yang sangat disukai Derbeshyre adalah Safiyya, yang kemudian ia gunakan sebagai nama untuk bayi perempuannya.

Beberapa bulan setelah memberi nama putrinya Safiyya, Derbeshyre merasa sangat tertekan dan frustasi. I mengambil sebuah buku, membuka halaman buku sekenanya dan ingin tahu apa isinya. Ternyata halaman buku yang ia buka, bercerita tentang situasi setelah Perang Uhud, ketika jenazah para syuhada dikafani dan dikebumikan di lokasi itu. Dari kisah itu, muncul nama saudara perempuan Hamza yang datang dengan dua helai kain untuk membungkus jenazah, dan nama saudara perempuan Hamza itu adalah Safiyya !

http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/antara-yusuf-derbeshyre-hamza-dan-safiyya.htm